Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA SEORANG PRIA 53


TAHUN DENGAN SYOK SEPSIS, IMPENDING GAGAL NAFAS DAN
ILEUS OBSTRUKTIF

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian


Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Asrina Enggarela
22010117220186

Pembimbing :
dr. Ilham Anggito Aji

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Asrina Enggarela


NIM : 22010117220186
Fakultas : Kedokteran Umum
Judul : PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA SEORANG
PRIA 53 TAHUN DENGAN SYOK SEPSIS, IMPENDING
GAGAL NAFAS DAN ILEUS OBSTRUKTIF

Bagian/SMF : Ilmu Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro


Semarang

Semarang, 9 September 2018

Pembimbing

dr. Ilham Anggito Aji


BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan salah satu cabang dari ilmu kedokteran. Menurut


American Society of Anesthesiology, anestesiologi adalah salah satu canbang ilmu
kedokteran yang memiliki fokus primer tetapi tidak terbatas hanya pada:

a. Evaluasi preoperatif, intraoperatif dan pasca operasi dan pengobatan pasien


yang tidak sadar dan / atau tidak respon terhadap rasa sakit dan stres
emosional selama pembedahan, kebidanan, terapi radiologi dan diagnostik
atau prosedur medis lainnya
b. Perlindungan dan pemeliharaan fungsi kehidupan dan organ vital (misalnya,
otak, jantung, paru-paru, ginjal, hati, endokrin, integritas kulit, saraf) saat
dibawah stress anestesi, bedah dan prosedur lainnya.
c. Pemantauan dan pemeliharaan selama periode perioperatif.
d. Diagnosis dan pengobatan nyeri akut, kronis dan terkait kanker
e. Penatalaksanaan klinis resusitasi jantung dan paru.
f. Evaluasi fungsi pernapasan dan penerapan terapi pernapasan.
g. Penatalaksanaan pasien sakit kritis.
h. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik serta dapat
menerapkan dalam praktiknya
i. Mengajarkan, memberi supervisi dan mengadakan evaluasi mengenai
penampilan setiap individu baik tim medis maupun paramedik yang terlibat
dalam perawatan perioperative dan resusitasi jantung dan paru.
j. Manajemen dan mempertahankan keselamatan pasien
k. Berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarga berkaitan dengan pemberian
informasi mengenai tindakan operasi serta anggota tim medis yang terlibat
dalam operasi.
Salah satu fokus utama yang perlu dikuasai oleh dokter umum adalah
penanganan kegawat daruratan pasien seperti pada poin e-g di atas. Dokter umum
merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan dalam praktik sehari-hari. Artinya,
setiap ada pasien yang datang di UGD atau klinik, penanganan pertama adalah
kewajiban dokter umum, yaitu menangani kegawadaruratannya.

Pada contoh laporan kasus ini, pasien seorang pria 53 tahun dengan diagnosis
syok septik, impending gagal napas dan ileus obstruktif dengan tindakan penanganan
kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen jalan napas


2.1.1 Gangguan jalan napas
Terganggunya jalan napas dapat secara tiba-tiba dan lengkap, atau
perlahan dan parsial. Peristiwanya dapat progresif atau dan rekuren. Korban
gawat darurat dengan kesadaran menurun mempunyai risiko tinggi gangguan
jalan napas, dan kerap kali memerlukan jalan nafas definitif. Korban gawat
darurat tidak sadar, intoksikasi alcohol atau perlukaan intrathorax berisiko
terganggunya pernapasan (breathing). Korban yang tidak sadar, semua otot
mengalami relaksasi. Lidah akan jatuh ke dinding tenggorokan belakang dan
menghambat masuknya udara masuk ke paru. Mulut akan terbuka tetapi
keadaan ini malah akan meningkatkan obstruksi jalan napas.
Hambatan jalan napas dapat ditingkatkan oleh pembesaran jaringan
limfoid di nasofaring. Lidah merupakan penyebab utama hambatan di
orofaring. Obstruksi karena lidah diakibatkan oleh relaksasi m.genioglossus
selama anestesi atau pada pasien tidak sadar. Hambatan yang terjadi pada
laring karena obstruksi benda asing, laringospasme, edema mukosa. Obstruksi
jalan napas di trakea sering terjadi karena benda asing.
2.1.2 Menilai jalan napas

sadar Tidak sadar


pasien

Ajak bicara Bebaskan jalan napas: head


tilt n chin lift; jaw thrust

Suara jelasairway Suara gak jelas


bebas obstruksi parsial Cek napas: look,
listen, feel

Napas abnormal Tidak napas

Obstruksi parsial Obstruksi total

Napas buatan
Head tilt chin lift/jaw thrust:
Jika ada gargling suction
jika ada benda asing/material yg
terlihat double finger sweep

Jika gag reflex +  nasopharingeal


airway
jika gag reflex -  oropharingeal
airway

Bag valve mask


gagal

Intubasi trakea
Pada pasien kritis atau pasien
teranestesi mutlak jalan napas harus bebas.
Untuk menilai hambatan jalan napsharus
menggunakan indra yang kita miliki, yaitu
look, listen and feel

a. LIHAT – LOOK
1. Gerak dada & perut
2. Tanda distres nafas
3. Warna mukosa, kulit
4. Kesadaran dengan GCS atau
AVPU
b. DENGAR – LISTEN
1. Dengarkan gerak udara nafas dengan telinga
c. RABA – FEEL
1. Gerak udara nafas dengan pipi

Jaw thrust Head tilt, chin lift

Pada semua usia, cairan dapat dibersihkan dengan suction. Jika suction tidak
ada dapat dilakukan penyapuan jari manual. Jika tidak ada suction dan jumlah
penolong terbatas maka tubuh korban dapat dimiringkan yaitu posisi
stabil/mantap.

Sumbatan jalan napas terdiri dari 2 jenis, yaitu sumbatan total dan parsial
a. Sumbatan total
 Korban sudah tidak dapat batuk efektif, napas ataupun berbicara
 Korban akan berusaha keras untuk bernapas
 Sering memegang leher dengan kedua tangannya (tanda universal
tersedak)
b. Sumbatan parsial
Suara napas tambahan merupakan tanda adanya obstruksi parsial,
contohnya:
 mendengkur : pangkal lidah (snoring)
 suara berkumur : cairan (gargling)
 stridor : kejang / edema pita suara (crowing)

Penderita dengan tanda-tanda obstruksi jalan napas harus segera ditolong, hal
itu dilakukan dengan

a. membersihkan jalan nafas


b. membebaskan jalan nafas

2.1.3 Membersihkan jalan nafas


Langkah pertama menguasai jalan nafas adalah membersihkan jalan nafas.
Pembersihan ini dapat secara manual maupun dengan alat suction.
a. Pembersihan manual
Ada 3 cara untuk membersihkan mulut secara manual :
1) Gerak jari menyilang, untuk mandibula yang agak lemas.
Penolong pada verteks atau samping kepala penderita. Jari
telunjuk penolong di masukkan ke dalam sudut mulut penderita
dan tekankan jari tersebut pada gigi geligi atasnya, kemudian
tekanlah gigi geligi bawah dengan ibu jari yang menyilang jari
telunjuk tadi sehingga mulut secara paksa membuka.
2) Gerak jari dibelakang gigi geligi untuk mandibula yang kaku.
Dilakukan pada pasien yang koma untuk menghindari jari
penolong tergigit oleh pasien. Masukkan satu jari telunjuk di
antara pipi dan gigi geligi penderita dan ganjalkan ujung jari
telunjuk tadi di belakang molar terakhir.
3) Gerak angkat mandibula lidah, untuk mandibula yang sangat
lemas.
Dilakukan pada pasien yang koma untuk menghindari jari
penolong tergigit oleh pasien. Ibu jari penolong dimasukkan ke
dalam mulut dan farings penderita dan dengan ujung ibu jari
penolong dasar lidah diangkat. Jari-jari yang lain memegang
mandibula tadi pada dagu dan mengangkatnya ke depan.
b. Suction
Obstruksi jalan napas karena cairan (ditandai dengan suara gargling)
diatasi dengan penghisapan/ suction.
c. Heimlich maneuver
Manuver Heimlich (hentakan subdiafragma-abdomen) adalah suatu
hentakan yang menyebabkan peningkatan tekanan pada diafragma
sehingga memaksa udara yang ada di paru untuk keluar dengan cepat
sehingga diharapkan dapat mendorong atau mengeluarkan benda asing
yang menymbat jalan napas. Manuver ini dilakukan secara bergantian
dengan back blows hingga sumbatan hilang. Manuver ini dilakukan pada
pasien yang mengalami obstruksi total tetapi masih sadar.
2.1.4 Membebaskan jalan nafas
Menjaga jalan nafas tetap bebas dapat dilakukan dengan dan tanpa alat, atau
dengan tindakan operasi.
a. Tanpa alat
1) Head tilt, chin lift
Indikasi:
 Tidak sadar, tidak respon
 Tidak ada trauma servikal
 Tidak dapat mempertahankan jalan nafas

Kontraindikasi

 Trauma servikal
2) Jaw thrust
Indikasi:
 Tidak sadar, tidak respon
 Dapat dilakukan pada pasien curiga trauma servikal
 Tidak dapat mempertahankan jalan nafas

Kontraindikasi:
 Mulut sulit dibuka
b. Dengan alat
Apabila chin lift atau jaw thrust belum dapat membebaskan jalan nafas,
maka dapat dibantu dengan alat. Tindakan yang dilakukan adalah
memasang oropharyngeal airway, nasopharyngeal airway, laryngeal mask
airway atau pemasangan endotracheal tube.
1) Nasophaingeal airway
Nasophaingeal airway adalah salah satu airway adjunct yang
dapat diakai. Ukuran NPA orang dewasa yaitu 6-7 atau jari kelingking
kanan pasien.

Indikasi:

 Pada orang yang menolak


oropharyngeal airway
 Pada orang yang tidak bisa
pake oropharyngeal airway:
trismus, rahang tidak bisa
membuka, cedera berat
daerah mulut (trauma
maxilofacial)
 Untuk membebaskan
obstruksi saluran napas atas
akibat lidah pada pasien
tidak sadar atau semisadar
(gag refleks intak)
 Tindakan awal sebelum BMV

Perhatian:

 Fraktur basis cranii


 Nasal polyp
Efek samping

 Jika terlalu panjang dapat masuk esofagus


 Dapat merangsang muntah dan spasme laring
 Dapat merusak mukosa saat pemasangan sehingga rawan terjadi
perdarahan
2) Oropharingeal airway
Indikasi:
 Untuk membebaskan
obstruksi saluran napas
atas akibat lidah pasien
tidak sadar (gag reflex -)
 Tindakan awal sebelum BMV

Kontraindikasi

 Gag reflex +
 Allert or Verbal or GCS>10
3) Pemasangan endotracheal tube (ET)
Pemasangan ET dilakukan apabila:
 Cara-cara lain untuk airway gagal
 Sukar memberikan nafas buatan
 Risiko aspirasi ke paru besar
 Mencegah pCO2 meningkat (cedera kepala)
 GCS<8

Ada beberapa indikasi khusu intubasi endotrakeal pada pasien,


diantaranya adalah:

 Untuk patensi jalan napas


 Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET
harus dilaksanakan pada pasien-pasien yang baru saja makan
atau pasien dengan obstruksi usus
 Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru
 Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang
 Operasi pada daerah kepala, leher, atau jalan nafas atas
 Diperlukan untuk control dan pengeluaran secret pulmo
 Diperlukan proteksi jalan nafas pada pasien tidak sadar atau
dengan depresi reflex muntah (misalnya selama anestesi
umum)
 Adanya penyakit atau kelainan jalan nafas atas.
 Aplikasi pada ventilasi tekanan positif

Kontraindikasi:

 Trauma jalan nafas berat atau obstruksi yang tidak memberikan


pemasangan ET yang aman. Cricothyrotomi diindikasikan
pada beberapa kasus
 Trauma servikal, di mana diperlukan immobilisasi komplit

Efek samping pemasangan ET:

 Hipoksia karena spasme pita suara


 Naiknya tekanan darah
 Aritmia bradikardia sapai asistole
 Peningkatan tekanan intracranial
 Gerakan leher dapat memperberat cedera servikal
2.2 Manajemen pernafasan
Pada bantuan hidup dasar, suplai oksigen kepada pasien yang tidak nafas
dapat dilakukan dalam beberapa cara, yaitu
 Mouth to mouth
 Mouth to mask (pocket mask)
 Bag valve mask (BVM)
2.2.1 Mouth to mouth
Mouth to mouth dilakukan apabila tidak ada pocket mask ataupun bag valve
mask.
a. Buka jalan napas melewati posisi netral menggunakan teknik head-tilt /
chin-lift.
b. Jepit hidung hingga tertutup dan perlekatan mulut penolong dan pasien
sempurna dan tidak ada celah
c. Berikan ventilasi dengan meniup ke mulut pasien. Ventilasi harus
diberikan satu per satu dan tiap ventilasi diberikan dalam 1 hembusan.
d. Setelah ventilasi pertama, ambil nafas maksimal dulu sebelum melakukan
ventilasi yang kedua
2.2.2 Mouth to mask
Apabila jumlah penolong hanya 1 orang, maka penolong harus berada di sebelah
pasien sehingga mudah untuk melakukan RJP dan ventilasi tanpa harus berubah
posisi dulu.
a. Penolong berada di sebelah pasien
b. Letakkan masker di wajah pasien
c. Lekatkan masker pada wajah pasien dengan sempurna sehingga tidak ada
udara yang bocor keluar
d. Gunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang lebih dekat dengan kepala
pasien untuk memegang bagian tepi masker
e. Gunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan yang lain untuk memegang sisi
masker yang lain dan jari jari lainnya melakukan jaw thrust
f. Beri nafas bantuan dengan durasi 1 detik/nafas
2.2.3 Bag valve mask
Untuk menggunakan BVM:
a. Pasang BVM sesuai kebutuhan.
b. Buka jalan napas melewati posisi netral sementara diposisikan di atas
kepala pasien (posisi kepala).
c. Gunakan posisi tangan E-C (penyelamat pertama):
1. Tempatkan kedua tangan di sekitar masker, membentuk E dengan tiga
jari terakhir pada masing-masing tangan dan C dengan ibu jari dan jari
telunjuk di sekitar kedua sisi masker.
2. Tempelkan masker sepenuhnya di sekitar mulut dan hidung pasien
dengan mengangkat rahang untuk mempertahankan saluran udara
terbuka.
d. Berikan ventilasi (penyelamat kedua):
1. Tekan bag sekitar setengah untuk memberikan antara 400 hingga 700
mililiter
2. Berikan ventilasi halus dan mudah yang berlangsung sekitar 1 detik
2.3 Syok septik
2.3.1 Definisi
Syok sepsis adalah pasien dengan sepsis yang mengalami abnormalitas sirkulasi
dan metabolik yang akhirnya mengakibatkan terjadinya hipotensi yang
membutuhkan vasopressor untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dan nilai
laktat serum ≥ 2 mmol/L walaupun sudah dilakukan resusitasi cairan.
2.3.2 Manajemen syok septic
Inisiasi resusitasi dan terapi, seperti pemeriksaan lab darah untuk mengukur
laktat dan kultur darah, pemberian terapi cairan dan antibiotic, dan pemberian
vasopressor pada hipotensi yang mengancam nyawa harus segera dimulai
secepat mungkin. Manajemen syok septic harus segera dimulai dalam 1 jam
pertama, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
a. Mengukur Kadar Laktat
Laktat serum bukan merupakan pengukuran langsung dari perfusi jaringan
tetapi dapat menggambarkan keadaan perfusi jaringan. Peningkatan laktat
serum menunjukkan hipoksia jaringan, percepatan glikolisis aerob akibat
stimulasi dari beta adrenergic, atau penyebab lainnya yang berhubungan
dengan outcome yang buruk. Beberapa penelitian Randomized controlled
trials menunjukkan penurunan tingkat mortalitas secara signifikan pada
resusitasi yang didasarkan pada kadar laktat serum. Apabila laktat serum
awal meningkat (>2mmol/L), maka harus diukur lagi dalam 2-4 jam untuk
memandu resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien dengan
peningkatan kadar laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.
b. Kultur darah sebelum diberi antibiotik
Kultur darah harus dilakukan sebelum pemberian antibiotik untuk
mengoptimalkan identifikasi patogen dan meningkatkan hasil. Kultur darah
yang sesuai mencakup setidaknya dua set (aerobik dan anaerobik).
Pemberian terapi antibiotik yang tepat tidak boleh ditunda untuk
mendapatkan kultur darah.
c. Berikan antibiotik spektrum luas
Terapi dengan satu atau lebih antibiotik empiris spektrum luas seacara
intravena untuk mematikan semua patogen mungkin harus dimulai segera
untuk pasien yang mengalami sepsis atau syok septik. Terapi antimikroba
empiris harus dipersempit setelah identifikasi patogen dan sudah diuji
sensitivitasnya, atau dihentikan jika dokter yakin pasien tidak memiliki
infeksi. Hubungan antara pemberian antibiotik awal pada pasien dengan
dugaan infeksi dan penatalaksanaan antibiotik tetap merupakan aspek
penting dari manajemen sepsis berkualitas tinggi. Jika infeksi kemudian
terbukti tidak ada, maka antimikroba harus dihentikan.
d. Berikan cairan intravena
Resusitasi cairan yang efektif pada tatalaksana awal sangat penting untuk
stabilisasi hipoperfusi jaringan akibat syok septik. Mengingat bahwa
kondisi tersebut merupaka emergensi, resusitasi cairan awal harus dimulai
segera setelah mengenali pasien dengan sepsis dan / atau hipotensi dan
peningkatan laktat, dan selesai dalam 3 jam. Pedoman merekomendasikan
resusitasi cairan kristaloid intravena minimal 30 mL / kg. Meskipun sedikit
literatur termasuk data terkontrol untuk mendukung volume ini, studi
intervensi baru-baru ini telah menggambarkan ini sebagai praktik biasa pada
tahap awal resusitasi, dan bukti observasional mendukung. Pemberian
cairan kristaloid lebih superior dari pada koloid pada kasus syok septik,
baik dalam hal manfaat maupun biayanya sehingga hal ini mendukung
rekomendasi kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi awal
pasien dengan sepsis dan syok septik. Karena beberapa bukti menunjukkan
bahwa keseimbangan cairan positif yang terus menerus selama di ICU dapat
membahayakan pasien, pemberian cairan selain untuk resusitasi awal
memerlukan penilaian yang cermat.
e. Berikan vasopressor
Pemulihan mendesak tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah
bagian penting dari resusitasi. Resusitasi tersebut tidak boleh ditunda. Jika
tekanan darah tidak pulih setelah resusitasi cairan awal, maka vasopressor
harus dimulai dalam satu jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-
rata (MAP) ≥ 65 mm Hg. Efek fisiologis vasopressor dan gabungan
inotrope selektif/ vasopressor pada syok septik diuraikan dalam sejumlah
besar tinjauan pustaka.
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Sarmin
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Bongsari, Semarang Barat
No. CM : C166886
Tgl masuk : 29 Agustus 2018

II. DATA DASAR (EVALUASI ANESTESI PREOPERATIF)


1. Anamnesis
Alloanamnesis dengan keluarga pasien tanggal 29 Agustus 2018 jam
16.00 di IGD RSUP Dr Kariadi
A. Keluhan utama:
Tidak bisa BAB
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Kurang lebih 1 hari SMRS pasien tidak bisa BAB. Pasien
merasa terdapat benjolan di dalam perutnya. Pasien masih bias kentut,
mual (+), muntah (-), badan pasien kuning (+), dan BAK seperti teh
(+). Karena kondisi pasien tidak semakin membaik, keluarga akhirnya
membawa pasien ke IGD RSDK. Saat pertama masuk IGD, pasien
dirawat di label kuning. Kurang lebih setelah 1 jam di IGD pasien
mengalami penurunan kesadaran dan segera dipindahkan ke label
merah.
C. Riwayat Dahulu
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
 Riwayat keganasan (+) massa intraabdomen
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat alergi disangkal
 Riwayat keganasan disangkal
E. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai pegawai negeri sipil, tinggal serumah dengan
istri dan anak-anaknya. Pembiayaan pengobatan dengan JKN non PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup.
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : tampak sakit, lemah (GCS : 8 E4M3V1)
Kegawatan :Airway :Clear
Breathing :34x/menit (takipneu)
Circulation :Tegangan cukup, HR 120x/menit
(takikardi)
Tanda Vital : HR : 120x/menit RR : 34x/menit
TD : 44/26 t : 38oC

SpO2 : 88%

BB : 60 kg
Kepala : Mesosefal
Mata : Pupil isokor (+) sklera ikterik (+/+), konjungtiva
anemis (+/+) Reflek Cahaya (+)/(+), Reflek Kornea
(+)/(+)
Telinga : Discharge (-)
Hidung : Epistaksis (-), Discharge (-), Deviasi septum (-)
Mulut : Bibir kering (-), Bibir sianosis (-)
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher :Trakhea deviasi (-), pembesaran nnll (-/-),
nyeri tekan (-), kaku kuduk (-)
Dada :
Pulmo : Inspeksi :Simetris statis dinamis
Palpasi :Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi :Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), ST (-)
Cor :Inspeksi :Ictus cordis tak tampak
Palpasi :IC teraba di SIC V 2 cm medial LMCS
Perkusi :Konfigurasi jantung dbn
Auskultasi : Suara jantung I-II murni, bising (-)
Abdomen : Inspeksi : cembung, venektasi (-)
Auskultasi :Bising usus (+) Normal
Palpasi :Dalam batas normal, defans
muscular(-)
Perkusi :Timpani (+), Pekak sisi (+) N,
pekak alih (-)
Ekstremitas : Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Akral dingin +/+ +/+
Sianosis -/- -/-
Capp. Refill <2”/<2” <2”/<2”

Motorik : Superior Inferior


Gerak -/- -/-
Kekuatan 000/000 000/000
Tonus -/- -/-
Trofi e/e e/e
RP +/+ +/+
RF +++/+++ +++/+++
Klonus -/- -/-
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium (29 Agustus 2018)
Hasil
Pemeriksaan Satuan Nilai Rujukan
(29/08/2018)
Darah Lengkap
Hemoglobin 6,6 g/dL 13-16
Hematokrit 19 % 40-54
Eritrosit 2,34 106/uL 4,4-5,9
MCH 28,2 Pg 27-32
MCV 81,2 fL 76-96
MCHC 34,7 g/dL 29-36
Leukosit 19,1 103/uL 3,8-10,6
Trombosit 55 103/uL 150-400
RDW 21,6 % 11,60-14,80
MPV 10,3 fL 4-11
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 103 mg/dl 80-160
Ureum 133 mg/dL 15-39
Kreatinin 2,6 mg/dL 0,6-1,3
SGOT 284 U/L 15-34
SGPT 135 U/L 15-60
Bilirubin total 8,12 mg/dL 0,3-1,2
Bilirubin direk 6,11 mg/dL 0,0-0,2
Bilirubin indirek 2,01 mg/dL 0,2-0,8
Albumin 2,3 g/dL 3,4-5,0
Elektrolit
Natrium 120 mmol/L 136-145
Kalium 6,1 mmol/L 3,5-5,1
Chlorida 88 mmol/L 98-107

Imunoserologi
Negative<0,13
HBsAg 0.00
Positif ≥0,13
Koagulasi
PPT 22,3 Detik 9,4-11,3
PTTK 60,5 Detik 27,7-40,2

b. MSCT (Juli 2018)


Massa intraabdomen curiga limphoma dengan metastasis hepar dan
lien.

4. DIAGNOSIS
a. penurunan kesadaran
b. syok septik
c. impending gagal napas
d. ileus obstruktif parsial
e. suspek limfoma
f. anemia normositik normokromik
g. leukositosis
h. trombositopenia
i. azotemia
j. hipokloremia
k. hiponatremia
l. azotemia
m. hiperkalemia
n. hipoalbuminemia
o. hiperbilirubinemia
p. studi koagulasi memanjang

5. TINDAKAN ANESTESI
a. Intubasi ET ukuran 7,5 dengan kedalaman 19 cm
b. Injeksi ketamin 100 mg
c. Pasang IV line untuk infus 2 jalur
d. Terapi cairan: RL 30cc/kg x 60 kg= 1800 cc
e. Vascon syring pump Dosis titrasi (jika setelah terapi cairan MAP<65)
f. Koreksi hiponatremi dengan NaCl 2% 250 cc 12 tpm
g. Injeksi Ca glukonase 1 amp
h. Transfusi PRC 2 kolf
i. Pengawasan dengan monitor
j. Pemeriksaan laboratorium darah
k. Konsul TS bedah
l. Konsul TS interna
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien pria 53 tahun dengan syok sepsis, impending gagal
nafas dan ileus obstruktif. Saat pasien datang dilakukan penilaian triage dan pasien
kemudian dirujuk ke label kuning bagian bedah. Saat datang jalan napas dan
pernapasan pasien baik, terdapat gangguan hemodinamik ringan-sedang, kesadaran
komposmentis tetapi keeadaan umum pasien tampak lemah. Selama di label kuning,
pasien dilakukan resusitasi cairan, pengambilan sampel darah, dan pemberian
antibiotik serta monitoring tanda tanda vital. Kedasaran pasien menurun setelah 1 jam
di label kuning. Kesadaran pasien menjadi somnolen, hipotensi, desaturasi, takikardia
dan takipneu sehingga segerea dirujuk ke label merah. Dilakukan penilaian ABC dan
didapatkan bahwa pasien mengalami gangguan nafas sehingga dibantu dengan
pemasangan endotracheal tube ukuran 7,5, sedalam 19 cm dengan injeksi ketamine
100 mg. Pasien juga dipasang orofaringeal airway untuk mencegah lidah jatuh dan
bantuan ventilasi tekanan positif. Resusitasi awal dilakukan dengan pemberian
loading cairan RL intravena 30cc/kg. Apabila setelah loading cairan hemodinamik
pasien tidak membaik maka diberikan vascon syring pump dengan dosis titrasi.

Keadaan pasien mulai membaik setelah dipasang endotracheal tube dan


loading cairan RL intravena 1800cc. Tekanan darah pasien 105/75 mmHg, HR
82x/menit, RR 20x/menit dan saturasi 100%. Untuk mengatasi penurunan tekanan
darah pasien diinjeksi dobutamin 8cc/jam via syring pump. Untuk penanganan lebih
lanjut pasien dikonsulkan kepada bagian bedah dan bagian interna untuk operasi ileus
obstruktif parsial e.c. tumor intraabdomen.
BAB V
KESIMPULAN
Pada kasus ini, pasien pria 53 tahun dengan syok sepsis, impending gagal nafas dan
ileus obstruktif. Pasien mengalami penurunan kesadaran, gangguan napas berat dan
gangguan hemodinamik. Pada pasien dilakukan pemasangan endotracheal tube
ukuran 7,5, sedalam 19 cm dengan injeksi ketamine 100 mg. dipasang orofaringeal
airway untuk mencegah lidah jatuh dan bantuan ventilasi tekanan positif. Resusitasi
awal dilakukan dengan pemberian loading cairan RL intravena 30cc/kg. Apabila
setelah loading cairan hemodinamik pasien tidak membaik maka diberikan vascon
syring pump dengan dosis titrasi.
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Assossciation. 2016. ACLS Provider Manual Supplementary


Material.

Fuzzard K, Kidd T, Roulston K, Sloan C. 2016. ADVANCED LIFE SUPPORT


(ALS) EDUCATION PACKAGE Including: Basic Life Support Advanced Life
Support Peri-arrest patient management. Edisi 11. Bendigo Health Resuscitation
Committee

The American National Red Cross. 2015. American Red Cross Basic Life Support for
Healthcare Providers Handbook. USA: Staywell publisher

American Heart Association. 2015. Highlight of The 2015 American Heart


Association Guidelines for CPR and ECC.

Levy M, Evans L, Rhodes A. 2018. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018
Update. the Society of Critical Care Medicine and the European Society of Intensive
Medicine. DOI: 10.1097/CCM.0000000000003119

Makic MB, Bridges E. Managing Sepsis and Septic Shock: Current Guidelines and
Definitions. AJN. 2018. 118 (2): 34-39

Soenarjo, Jatmiko HD. 2013. Anestesiologi. Semarang: PERDATIN Jateng


Dellinger P, Schorr C. 2016. A User’s Guide to the Surviving Sepsis Guidelines. the
Society of Critical Care Medicine and the European Society of Intensive Medicine.

Anda mungkin juga menyukai