Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Manajemen Airway


2.1.1. Definisi Manajemen Airway
Menurut ATLS (Advance Trauma Life Support) (2008), Airway
manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan
gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat
disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea.

2.1.2. Posisi Pasien manajemen airway


Tujuan pertama dari manajemen jalan napas adalah saluran napas yang
paten atau lapang. Ini semua dibutuhkan oleh pasien dengan benda asing
pada saluran napas atas atau pasien dengan penurunan kesadaran yang
disertai dengan ppenurunan tonus otot faringeal. Pentingnya posisi yang tepat
tidak bisa disepelekan. Keberhasilan manajemen jalan napas ditentukan oleh
hal yang sangat mendasar namun sering diabaikan. Menempatkan pasien
pada posisi sniffing tercapai dengan fleksi dari tulang leher kira-kira 15
derajat dan ekstensi maksimal dari sendi atlantooccipital. Ekstensi kepala
harus dihindari pada pasien dengan kecurigaan gangguan tulang leher. Posisi
ini juga dapat dicapai dengan manuver chin-lift dan jaw-thrust. Pada pasien
gemuk dan payudara yang besar sering tidak efektif dengan posisi supinasi.
Posisi sniffing yang normal pada orang gemuk sering tidak cukup untuk
mengurangi sumbatan jalan napas. Menempatkan ramp atau gulungan
dibawah kepala dan bahu dapat mencapai posisi sniffing.
2.1.3. Macam-macam Obstruksi jalan nafas
Obstruksi jalan nafas dibagi menjadi 2 berdasarkan derajat
sumbatan :
1. Obstruksi total
Sumbatan jalan napas total adalah keadaan gawat darurat yang dapat
mengakibatkan kematian dalam beberapa menit jika tidak segera ditangani.
Keadaan dimana jalan nafas menuju paru-paru tersumbat total, sehingga
tidak ada udara yang masuk ke paru-paru. Terjadi perubahan yang akut
berupa hipoksemia yang menyebabkan terjadinya kegagalan pernafasan
secara cepat. Sementara kegagalan pernafasan sendiri menyebabkan
terjadinya kegagalan fungsi kardiovaskuler dan menyebabkan pula
terjadinya kegagalan SSP dimana penderita kehilangan kesadaran secara
cepat diikuti dengan kelemahan motorik bahkan mungkin pula terdapat
renjatan (seizure).
Tanda sumbatan jalan napas total yaitu gejala lebih hebat dan stridor
menghilang. Suara menghilang (Afoni), Retraksi lebih jelas, gerakan
paradoksal lebih jelas, kerja otot napas tambahan meningkat dan makin
jelas. Sianosis lebih cepat timbul. Sumbatan total tidak berbunyi dan
menyebabkan asfiksia, henti napas dan henti jantung dalam waktu 5-10
menit bila tidak dikoreksi.
2. Obstruksi parsial
Sumbatan pada sebagian jalan nafas sehingga dalam keadaan ini udara
masih dapat masuk ke paru-paru walaupun dalam jumlah yang lebih
sedikit. Bila tidak dikoreksi dapat menyebabkan kerusakan otak. Hal yang
perlu diwaspadai pada obstruksi parsial adalah Fenomena Check Valve
yaitu udara dapat masuk, tetapi tidak keluar.
Sumbatan jalan nafas parsial ditandai dengan adanya stridor, retraksi
otot napas di daerah supraklaikula, suprastrenal, sela iga dan epigastrium
selama inspirasi.
Benda asing yang menyumbat saluran pernapasan akan menyebabkan
keluhan sumbatan saluran pernapasan berupa batuk tiba-tiba, suara sesak,
dan sesak napas. Jika sumbatan ini berlangsung terus maka akan timbul
gejala perlahan yaitu stridor.

2.1.4. Pengelolaan Jalan Napas


1) Pengelolaan Jalan Napas Tanpa Alat
Manajemen airway/jalan napas merupakan salah satu ketrampilan
khusus yang harus dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang
bekerja di Unit Gawat Darurat. Manajemen jalan napas memerlukan
penilaian, mempertahankan dan melindungi jalan napas dengan
memberikan oksigenasi dan ventilasi yang efektif.
Jalan napas yang lapang/paten merupakan kondisi esensial untuk
oksigenasi dan ventilasi yang adekuat dan merupakan prioritas utama
dalam tatalaksana jalan napas. Pasien sadar akan menggunakan otot jalan
napas dan reflek protektif untuk melindungi dari kemungkinan aspirasi
benda asing, cairan lambung, maupun sekret. Pada pasien dengan sakit
berat daya tahan atau kesadaran menurun, mekanisme proteksi jalan napas
dapat berkurang bahkan menghilang.
a) Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift
manuver)
Obstruksi jalan napas atas pada pasien yang tidak sadar
kebanyakan disebabkan oleh jatuhnya lidah dan efiglotis kebagian
posterior setinggi faring dan laring. Sumbatan ini diakibatkan oleh
hilangnya tonus otot submandibula yang menopang lidah secara
langsung dan epiglotis secara tidak langsung.
Tindakan yang dilakukan untuk melapangkan/membuka jalan
napas adalah manuver Chin lift (tindakan mengangkat dagu) dan
manuver Head Tilt (tindakan menekan dahi). Letakkan pasien pada
posisi terlentang pada alas keras atas selipkan papan kalau pasien
diatas kasur. Jika tonus otot menghilang, lidah akan menyumbat faring
dan efiglotis akan menyumbat laring. Lidah dan efiglotis penyebab
utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Untuk
menghindari hal ini dapat dilakukan tindakan atau manuver head tilt-
chin lift dimana tindakan ini dilakukan dengan cara satu tangan
penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan
lain mendorong dagu dengan hati-hati, sehingga hidung menghadap ke
atas dan epiglotis terbuka.

b) Perasat dorong rahang bawah (jaw thrust manuver)


Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala hanya
dilakukan manuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan
leher. Manuver jaw thrust dilakukan dengan rahang bawah diangkat
didorong ke depan pada sendinya tanpa menggerakan kepala leher.
Lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka karena lidah melekat pada
rahang bawah.
c) Manuver Heimlich
Manuver Heimlich merupakan metode yang paling efektif untuk
mengatasi obstruksi saluran napas secara total atas akibat makanan
atau benda asing yang terperangkap dalam faring posterior atau glotis.
Posisi penolong berdiri biasanya pada pasien masih sadar.
Penolong berdiri di belakang korban dan memeluk pinggang korban
dengan kedua belah tangan, kepalan salah satu tangan digenggan oleh
tangan yang lain. Sisi ibu jari kepalan penolong menghadap abdomen
korban diantara umbilikus dan dada. Kepalan tersebut ditekankan
dengan sertakan ke atas yang cepat pada abdomen korban. Penekanan
tersebut tidak memantuldan waktu puncak tekanan perlu diberi waktu
untuk menahan 0,5-1 detik dan setelah itu tekanan di lepas, perbuatan
ini harus diulang beberapa kali. Naiknya diafragma secara mendadak
menekan paru-paru yang dibatasi oleh dinding rongga dada,
meningkatkan tekanan intratorakal dan memaksa udara serta benda
asing keluar dari dalam saluran napas. Korban dalam keadaan tidak
sadar korban berbaring terlentang dan penolong berlutut melangkahi
panggul korban. Penolong menumpukkan kedua belah tangan pada
abdomen korban kemudian pelaksanakan prosedur yang sama pada
posisi berdiri.

d) Chest Thrusts

Chest thrust dapat digunakan sebagai alternatif untuk Heimlich


manuver. Hal ini dilakukan pada korban obesitas atau hamil. Penolong
harus melakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Berdiri di belakang Korban Sadar •
2) Menempatkan lengan di bawah ketiak korban sehingga
mengelilingi dada.
3) Menempatkan satu kepalan tangan pada tengah tulang dada.
4) Memegang kepala tangan dengan tangan yang lain dan menekan
ke belakang dengan cepat
5) Lakukan setiap hentakan dengan kuat dengan maksud untuk
mengeluarkan sumbatan hingga benda asing keluar atau pasien
menjadi tidak sadar
6) Ketika korban menjadi tidak sadar, penolong harus mengaktifkan
ambulans darurat 119 dan memulai RJP

2) Pengelolaan Jalan Napas dengan Alat


a) Oropharyngeal airway (OPA)
Oropharyngeal airway (OPA) atau guedel’s airway berbentuk
S yang berguna untuk menahan lidah yang menutup dinding
posterior faring sehingga udara dapat mengalir dan penghisapan
dapat dilakukan dapat dilakukan melalui mulut. Sangat efektif
untuk pasien napas spontan tetapi terdapat gangguan reflex batuk.
OPA digunakan dengan ukuran yang sesuai. Cara mengukur
dengan meletakkan salah satu ujungnya di sudut mulut dan ujung
lainnya harus mencapai mandibula.
Alat bantu napas ini hanya digunakan pada pasien yang tidak
sadar bila angkat kepala-dagu tidak berhasil mempertahankan jalan
napas atas terbuka. Alat ini tidak boleh digunakan pada pasien
sadar atau setengah sadar karena dapat menyebabkan batuk dan
muntah. Jadi pada pasien yang masih ada refleks batuk atau muntah
tidak diindikasikan untuk pemasangan OPA. Indikasi : Napas
spontan, tidak ada reflek muntah, Pasien tidak sadar,tidak mampu
manuver manual
Komplikasi : Obstruksi jalan napas, Laringospasme, Muntah,
Aspirasi
Cara pemilihan OPA : pangkal OPA pada sudut mulut, ujung
OPA pada angulus mandibula. Apabila terlalu kecil maka tidak
dapat efektif membebaskan airway dan dapat mendorong lidah
semakin ke belakang. Apabila terlalu besar akan melukai epiglotis,
merangsang muntah dan laringospasme.
Setelah pemasangan OPA, lakukan pemantauan pada pasien.
Jagalah agar kepala dan dagu tetap berada pada posisi yang tepat
untuk menjaga patensi jalan napas. Lakukan penyedotan berkala di
dalam mulut dan faring bila ada sekret, darah atau muntahan.
Perhatikan hal-hal berikut ini ketika menggunakan OPA :
a. Bila OPA yang dipilih terlalu besar dapat menyumbat laring dan
menyebabkan trauma pada struktur laring.

b. Bila OPA terlalu kecil atau tidak dimasukkan dengan tepat dapat
menekan dasar lidah dari belakang dan menyumbat jalan napas.

c. Masukkan dengan hati-hati untuk menghindari terjadinya trauma


jaringan lunak pada bibir dan lidah.
b) Nasopharyngeal airway (NPA)
Nasopharyngeal airway (NPA) adalah pipa karet elastik
berbentuk seperti terompet tanpa cuff yang dapat dimasukan
melalui lubang hidung masuk kedalam faring. Digunakan pada
pasien intoksikasi atau kesadaran menurun yang tidak dapat
menggunakan OPA. Efektif pada keadaan trauma, trismus atau
penghalang lain yang menyulitkan masuknya OPA. NPA yang
sesuai dengan pasien harus diukur mulai dari ujung hidung hingga
telinga dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari OPA. NPA
sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan gangguan
perdarahan adanya resiko epistasis.
Indikasi NPA : Sadar/tidak sadar, napas spontan, ada refleks
muntah, kesulitan dengan OPA.
Kontraindikasi NPA : fraktur wajah dan fraktur tulang dasar
tengkorak. Komplikasi NPA : Trauma, laringospasme, muntah,
aspirasi, insersi intrakranial

c) Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA memiliki kelebihan istimewa dalam menentukan
penanganan kesulitan jalan nafas. LMA memberikan alternatif
untuk ventilasi selain face mask. Kontraindikasi untuk LMA adalah
pasien dengan kelainan faring (misalnya abses), sumbatan faring,
atau penyakit restriksi jalan nafas yang memerlukan tekanan
inspirasi puncak lebih besar. Walaupun LMA tidak sebagai
penganti untuk trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat
membantu terutama pada pasien dengan jalan nafas yang sulit
(yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi) disebabkan mudah
untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar (95-
99%).
Pemasangan Laringeal Mask Airway (LMA) telah menjadi salah
satu teknik anestesi yang sangat popular digunakan untuk
memfasilitasi jalanya operasi.

d) Intubasi endotrakeal. Pasien yang dilakukan intubasi endotrakeal


secara darurat sering dalam keadaan tidak berpuasa dan lambung
berisi bila dilakukan bag ventilation mask dapat menyebabkan
distensi lambung dan dapat terjadi aspirasi.
Menurut Morgan (2006) ada beberapa kondisi yang diperkirakan
akan mengalami kesulitan pada saat dilakukan intubasi, antara lain:
1) Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
2) Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
3) Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma
tulang leher
4) Obesitas
5) Variasi anatomi : lidah besar, leher pendek, gigi moncong.
Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut (Latief, 2007):
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan
anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan nafas dan lain-lain.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya saat
resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

e) Pengelolaan Jalan Nafas dengan Tindakan Operasi


Metode bedah untuk manajemen jalan napas mengandalkan
membuat sayatan bedah dibuat di bawah glotis untuk mencapai
akses langsung ke saluran pernapasan bagian bawah, melewati
saluran pernapasan bagian atas. Manajemen jalan napas bedah
sering dilakukan sebagai upaya terakhir dalam kasus di mana
Orotracheal dan intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau
kontraindikasi. Manajemen jalan napas bedah juga digunakan
ketika seseorang akan membutuhkan ventilator mekanik untuk
jangka waktu lama.
1) Cricothyrotomy adalah sayatan dilakukan melalui kulit dan
membran krikotiroid untuk membangun jalan napas paten
selama situasi yang mengancam jiwa tertentu, seperti
obstruksi jalan napas oleh benda asing, angioedema, atau
trauma wajah besar. Cricothyrotomy hampir selalu dilakukan
sebagai jalan terakhir dalam kasus di mana Orotracheal dan
intubasi nasotrakeal tidak mungkin atau kontraindikasi.
Cricothyrotomy lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan
daripada tracheostomy, tidak memerlukan manipulasi tulang
belakang leher dan berhubungan dengan komplikasi yang
lebih sedikit.

2) Tracheostomy adalah pembukaan operasi dibuat dari kulit


leher ke trakea. Sebuah tracheostomy di mana seseorang
akan perlu berada di ventilator mekanik untuk jangka waktu
lama. Keuntungan dari tracheostomy termasuk risiko kurang
dari infeksi dan kerusakan trakea seperti trakea stenosis
f) Sungkup ventilasi
Penggunaan sungkup dapat mengalirkan oksigen dan sistem
napas ke pasien. Lingkaran sungkup muka disesuaikan dengan
bentuk muka pasien. Sungkup muka dapat disambungkan mesin
melalui konektor. Ventilasi yang efektif memerlukan jalan yang
bebas dan sungkup muka yang rapat dan tidak bocor. Teknik
pemasangan sungkup yang tidak tepat dapat menyebabkan reservoir
bag kempes walaupun klepnya ditutup. Hal ini menunjukkan
adanya kebocoran sekeliling sungkup. Sebaliknya tekanan sirkuit
napas yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernapasan
yang minimal menunjukkan adanya obstruksi jalan napas. Bila
sungkup muka dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan
digunakan untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif
dengan memompa kantong napas. Sungkup muka dipasang dengan
penekanan pada badan sungkup dengan ibu jari dan telunjuk. Jari
tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi sendi
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan
pada jaringan lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi
obstruksi jalan napas. Jari kelingking ditempatkan ditempat
dibawah sudut mandibula dan digunakan untuk manuver jaw thrust
yang paling penting untuk dapat melakukan ventilas pasien.pada
situasi yang sulit diperlukan dua tangan untuk mendapat jaw thrust
yang adekuat dan sungkup muka yang rapat karena itu diperlukan
seorang asisten untuk memompa kantong. Obstruksi selama
ekspiasi dapat disebabkan karena tekanan kuat dari sungkup muka
atau efek ball-valve dari jaw thrust. Terkadang sulit memasang
sungkup rapat dimuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya atau
memasukan gulungan kasa kerongga mulut mungkin dapat
menolong mengatasi kesulitan ini. Tekanan normal ventilasi jangan
sampai melebihi 20 cm H2O untuk mencegah udara masuk
kelambung. Kebanyakan jalan napas pasien dapat dipertahankan
dengan sungkup muka, OPA dan NPA. Ventilasi dengan sungkup
muka dalam jangka panjang dapat menimbulkan cedera akibat
tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila sungkup
muka dan ikatan sungkup digunakan dalam jangka lama maka
posisi harus sering diubah untuk menghindari cedera. Hindari
tekanan pada mata, dan mata sebaiknya diplester untuk
menghindari resiko abrasi kornea.

2.2. Manajemen Breathing


2.2.1. Defini Pernapasan
Pernapasan adalah keseluruhan proses yang melaksanakan pemindahan
pasif oksigen (O2) dari atmosfer ke jaringan untuk menunjang metabolisme
sel, serta pemindahan pasif terus-menerus CO2 yang dihasilkan jaringan ke
atmosfer. Sistem pernapasan merupakan sistem yang sangat penting dalam
tubuh manusia. Sistem pernapasan berperan dalam homeostasis dengan
mempertukarkan O2 dan CO2 antara atmosfer dan darah. Mekanisme
pernapasan dimulai dengan ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya
udara antara atmosfer dan alveoli paru. Kemudian terjadi difusi oksigen dan
karbondioksida antara alveoli dan darah. Oksigen dan karbondioksida dalam
darah dan cairan selanjutnya akan diangkut menuju ke jaringan tubuh, dan
sebaliknya (Mubarok, 2015)
2.2.2. Penilaian Pernapasan
a. Inspeksi
Prosedur inspeksi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1) Dada diobservasi dengan membandingkan satu sisi dengan yang lainnya.
Beberapa kelainan yang dapat ditemukan pada bentuk dada yaitu :
a). Barrel chest (dada tong)
Mengalami peningkatan diameter anteroposterior bentuk ini dianggap
normal selama masa bayi dan seiring penuaan. Timbul akibat terjadinya
hiperinflation paru-paru (terjebaknya udara akibat saluran pernapasan
yang sempit/menyempit). Sering terjadi pada pasien enfisema dan
penyakit paru obstruksi kronik .
b). Pectus Excavatum
Berbentuk dada corong dicirikan dengan depresi bagian bawah
sternum, timbul jika terjadi depresi pada bagian bawah dari sternum. Hal
ini akan menekan jantung dan pembuluh darah besar yang mengakibatkan
mur-mur. Kondisi ini dapat timbul pada ricketsia (kekurangan vitamin D
atau kalsium dan dari paparan sinar matahari yang tidak cukup yang dapat
mengganggu pertumbuhan tulang yang normal), marfan’s syndrome
(sebuah gangguan jaringan ikat yang menyebabkan cacat tulang), atau
akibat kecelakaan kerja
c). Pigeon chest
Berbentuk dada burung sternum mengalami perubahan letak kearah
anterior, meningkatkan diameter anteposterior. Perbatasan kartilago kostal
dengan tonjolan sternum relative tertekan. Timbul sebagai akibat dari
ketidaktepatan sternum. Sering terjadi pada pasien dengan kifoskoliosis
berat.
d).Kyphoscoliosis
Pada kyphoscoliosis, kurvatura tulang belakang dan rotasi vertebra
yang abnormal mengakibatkan deformitas dada, menyebabkan hasil
pengkajian paru menjadi sangat sulit diinterprestasikan. Terlihat dengan
adanya elevasi skpula yang akan mengganggu pergerakan paru-paru.
Kelainan ini dapat timbul pada pasien dengan osteoporosis dan kelainan
musculoskeletal lain yang memengaruhi toraks.
Kifosis : meningkatnya kelengkungan normal columna vertebrae thoracalis
menyebabkan pasien tampak bongkok.
Skoliosis : melengkungnya vertebrae thoracalis kesamping disertai rotasi
vertebral

2) Observasi kesimetrisan pergerakan dada. Gangguan pergerakan atau tidak


adekuatnya ekspansi dada mengindikasikan penyakit pada paru-paru atau
pleura. Pergerakan unilateral dari dada menunjukkan penyakit unilateral,
misalnya pneumotoraks, pneumonia, atau efusi pleura (Smith, 2003).
Pernapasan kussmaul (lapar udara) ditandai oleh pernapasan yang cepat dan
dalam akibat stimulasi pusat pernapasan karena asidosis metabolic, misalnya
pada ketoasidosis, gagal ginjal kronik. Observasi retraksi abnormal ruang
interkostal selama inspirasi, yang dapat mengindikasikan obstruksi jalan napas.
Cedera dinding dada dapat menyebabkan gerakan paradoksal dinding dada

3) observasi tipe pernapasan seperti: pernapasan hidung atau pernapasan


diafragma serta penggunaan otot bantu pernapasan.

4) Hitung laju pernapasan selama 1 menit. Laju pernapasan merupakan tanda yang
paling berguna ketika terdapat ancaman pernapasan (Smith 2003). Laju
pernapasan normal pada orang dewasa sekitar 12 – 20 kali per menit
(Resuscitation Countil UK 2006).
a. Takipnea biasanya merupakan salah satu indikator pertama adanya distres
pernapasan (Smith 2003). Jika laju pernapasan tinggi atau meningkat, maka
keadaan ini mungkin menunjukkan bahwa pasien sakit dan dapat
memburuk secara tiba-tiba (Resuscitation Council UK 2006).
b. Bradipnea merupakan tanda yang buruk dan kemungkinan penyebabnya
meliputi kelelahan, hipotermia, cedera kepala dan depresi sistem saraf
pusat (SSP). Bradipnea yang terjadi mendadak pada pasien yang
mengalami distres pernapasan dapat dengan cepat diikuti oleh henti napas.

5) Nilai pola (ritme) pernapasan. Pola pernapasan Cheyne-Stoke (Adanya periode


apnea yang berselang-seling dengan periode hiperpnea) dapat terkait dengan
iskemia batang otak, cedera serebral, dan gagal ventrikel kiri yang berat
(perubahan sensitivitas karbon dioksida pada pusat pernapasan) (Ford et al.
2005).

6) Leher harus dilihat secara seksama apakah ada luka tembus, asimetris, atau
pembengkakan yang dapat menyebabkan gangguan jalan napas.

b. Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengkaji kesimetrisan pergerakan dada dan
mengobservasi abnormalitas, mengidentifikasi keadaan kulit, dan mengetahu
vocal/tactile premitus (vibrasi). Palpasi toraks berguna untuk mengetahui
abnormalitas yang terkaji saat inspeksi seperti masa, lesi, dan bengkak. Perlu
dikaji juga kelembutan kulit terutama jika pasien mengeluh nyeri. Perhatikan
adanya getaran dinding dada yang dihasilkan ketika berbicara (vocal premitus).
Lakukan palpasi dinding dada untuk mendeteksi emfisema akibat pembedahan
atau krepitasi (menunjukan pneumotoraks sampai terbukti sebaliknya) (Smith,
2003).
c. Perkusi
Melakukan perkusi utnuk mengkaji rensonansi pulmoner, organ yang ada
disekitarnya, dan pengembangan (ekskursi) diafragma. Jenis suara perkusi ada dua
jenis yaitu
1. Suara perkusi normal
a. Resonan (Sonor) : dihasilkan pada jaringan paru-paru normal umumnya
bergaung dengan bernada rendah.
b. Dullness : di hasilkan diatas bagian jantung atau paru-paru.
c. Tympany : dihasilkan diatas perut yang berisi udara umumnya bersifat
musical.
2. Suara perkusi abnormal
a. Hiperresonan : bergaung lebih rendah dibandingkan dengan resonan dan
timbul pada bagian paru-paruyang abnormal berisi udara.
b. Flatness : nadanya lebih tinggi dari dullness dan dapat didengar pada perkusi
daerah paha, dimana seluruh areanya berisi jaringan.

d. Auskultasi
Auskultasi merupakan pengkajian yang sangat bermakna mencakup
mendengarkan suara napas normal dan suara tambahan (abnormal). Suara napas
normal dihasilkan dari getaran udara ketika melalui jalan napas dari laring ke
alveoli dan bersifat bersih.
1). Jenis suara napas normal adalah :
a. Bronchial : sering juga disebut dengan ‘tubular sound’ Karena suara ini
dihasilkan oleh udara yang melalui tube (pipa), suaranya terdengar keras,
nyaring, dengan hembusan yang lembut. Fase ekspresinya lebih panjang
dari pada inspirasi dan tidak ada jeda di antara kedua fase tersebut. Normal
terdengar di atas trachea atau daerah lekuk suprasternal.
b. Bronkovesikular : merupakan gabungan dari suara napas bronchial dan
vesicular. Suara terdengar nyaring dengan intensitas sedang. Inspirasi sama
panjang dengan ekspirasi. Suara ini terdengar di daerah dada dimana
bronchus tertutup oleh dinding dada.
c. Vesicular : terdengar lembut, halus, seperti angin sepoi-sepoi. Inspirasi
lebih panjang dari ekspirasi, ekspirasi terdengar seperti tiupan

2). Jenis suara napas tambahan adalah :


a. Wheezing : terdengar selama inspirasi dan ekspirasi, dengan karakter suara
nyaring, musical suara terus menerus yang disebabkan aliran udara melalui
jalan napas yang menyempit melalui bronkus dan bronkioulus.
Penyebabnya meliputi asma dan gangguan jalan napas obstruktif kronik.
b. Ronchi : terdengar selama fase inspirasi dan ekspirasi. Karakter suara
terdengar perlahan, nyaring, dan suara mengorok terus menerus
berhubungan dengan sekresi kental dan peningkatan produksi sputum.
c. Stridor : menandakan obstruksi parsial jalan napas bagian atas, misalnya
disebabkan oleh benda asing, edema laring.
d. Snoring : suara napas seperti mengorok terjadi karena penutupan sebagian
laring oleh lidah
e. Growgling : suara napas seperti berkumur terjadi karena adanya cairan di
dalam mulut atau saluran napas bagian atas
f. Crackles, dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1). Fine crackles : setiap fase lebih sering terdengar saat inspirasi.
Karakter suara meletup, terpatah-patah akibat udara melewati daerah
yang lembap di aveoli atau bronkhiolus. Suara seperti rambut yang
digesekkan.
2). Coorse crackles : lebih menonjol saat ekspirasi. Karakter suara lemah,
kasar, suara gesekan teropong akibat terdapatnya cairan atau sekresi
pada jalan napas yang besar. Mungkin akan berubah ketika pasien
batuk.

Anda mungkin juga menyukai