Anda di halaman 1dari 10

BAB VIII

KONSEP MEDIC PENYAKIT RENAL ARTERY STENOSIS

OLEH

NUR SINTIYA MOHAMAD

1. DEFINISI
Arteri renal sterosis (ARS) adalah terhambatnya atau tersumbatnya
suplay darah di arteri yang menuju ke ginjal, biasanya di sebabkan
arterosklerosis (vibromascular displasma) pada dinding arteri atau adanya
formasi skar di arteri.
ARS adalah gangguan aliran darah menuju ginjal paling sering
disebabkan oleh arterosklerosis, vibromascular dysplasia, gangguan arteri
renal dapat disebabkan oleh ARS, lebih lanjut dapat menyebabkan gagal
ginjal bila tidak di tangani.
ARS adalah gangguan pada satu atau dua arteri yang membawa suplay
darah ke dua ginjal, renal maksudnya ginjal dan stenosis artinya penyempitan.
ARS bisa menyebabkan tekanan darah meningkat dan terganggu fungsi ginjal.
ARS lebih sering menjadi penyebab hypertensi.

2. EPIDEMIOLOGI
Fibrodisplasia penyebab ARS sering terjadi pada wanita usia 20 tahun
sampai 50 tahun. Penyakit vascular yang berhubungan dengan ginjal kurang
dari 1% dari semua kasus hipertensi. Pada orang-orang yang sudah menderita
tekanan-tekanan darah tinggi atau memiliki resiko tinggi penyakit vascular
yang berhubungan dengan ginjal adalah penyebab 10% sampai 40% dari
semua penyakit. Di Amerika serikat 1- 10% atau 50 juta orang menderota
hipertensi akibat renovascular, sedangkan arterosklerosis banyak diderita ole
pria tua terutama perokok, dan biasanya mengenai 1/3 proksimal arteri renalis
di dekat aorta ditemukan pada wanita usia tua dengan serum creatin yang
meningkat. Pada tahun 1964 Holley melaporkan tingkat ARS adalah 27%
dalam 258 kasus yang mempunyai riwayat hipertensi, dari 70 tahun sebayak
62% menderita ARS.

3. ETIOLOGI
1. Penyebab paling dominan arterosklerosis, biasanya pada usia 50 tahun ke
atas
2. Pada yang lebih muda dibawah 40 tahun kebanyakan di temukan pada
wanita denga vibromascular dysplasia
3. Arteritis
4. Renal Arteri Anurisme
5. Ekstrinsik (karena tekanan dari luar)
a. Neoplasma
b. Neurofibromatosis
c. Trauma (fibrius bands) trauma internal blending, pembentuka fibrous
4. PATOFISIOLOGY
Pada pasien dengan ARS di mulai dengan kerusakan endometrium
yang tidak bersih yang disebabkan seperti dislipidemia, rokok, hypertensi,
diabetes mellitus, imun injury, dan bertambahnya kepekatan cairan bias
menambah kerusakan endothelium pada kasus arterosklerosis. Permeabilitas
endothelium terhadap plasma makromulekul (misalnya : LDL) bertambah, sel
endothelium menurun dan bertambahya sel otot dan bertambahnya makrofag
pada intima, jika arterogenic lipoprotein pada level yang krisis pada
mekanisme kedepan akan di dapat penggumpalan lipoprotein dari daerah
tersebut yang akan menimbulkan lesi ateromatus (arteri yang rusak pada
dinding dan intima).
Aliran darah keginjal 3 sampai 5 kali kekuatan perfusi pada ginjal
dibandingkan dengan organ lain, ini disebabkan oleh filtrasi kapiler pada
glomerulus, tekanan hidriostatik dan aliran darah pada kedua kapiler
glumerulus sangat penting dalam menentukan glumerulus fitrat rate (GFR).
Pada pasien ARS adanya ischemia cronis yang disebabkan oleh aliran
daraj keginjal yang tersumbat membuat perubahan pada ginjal terutama
jaringan tissue pada tubular, perubahan-perubahan tersebut termasuk juga
atropy pada kapiler glumerulus, tubulus sclerosis, terjadi perubahan dikapsul
bowman arteri medial intra vena, pada pasien ARS, GFR tergantung pada
angiotensin II dan modulator lain yang ikut mempertahankan system regulasi
antara arteri afferent dan efferent, kegagalan mempertahankan GFR jika
tekanan perfusi ginjal di bawah 70-85 mmHg, gangguan fungsi pada
autoregulasi bisa menyebabkan kerusakan arteri suplay 50%.

5. TANDA DAN GEJALA


Kebanyakan dari kasus ARS adalah asymptomatic, masalah utama
tekanan darah meningkat yang tidak dapat di control dengan obat-obatan,
perkembangannya fungsi kedua ginjal dapat menjadi sangat kekurangan
suplay darah atau ketika diberi obat dengan ACR inhibitor, beberapa pasien
akan mengalami pulmonary –edema (gagal jantung pada ventrikel kiri yang
mendadak). Ada abdominal bruits, nyeri pada area flank setiap berjalan, dan
urine spesifik grafity meningkat.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan yang diperlukan adalah urinalisis dengan kultur, serum
kreatinin, serum potasium, aktivitas plasma renin, rontgen thorax,
elektrokardiografi. Stenosisarteri renalis merupakan penyebab penting pada
hipertensi sekunder, tetapi skrining terhadap stenosis arteri renalis
mengalamiberbagai problematik. Test noninvasif seperti urografi intravena
dan skan ginjal, belum secara adequat dapat membedakan hipertensi
renovaskular dari hipertensi esensial.

a. Test dasar
Pemeriksaan laboratorium dengan dugaan adanya hipertensi
renovaskular harus dimulai dengan test dasar yang berhubungan dengan
kesehatan umum, yaitu : hitung darah yang lengkap, serum elektrolit dan
gula darah puasa, nitrogen urea dan serum kreatinin, urinalisa dan kultur
urin, serta EKG.
b. Pielografi intravena
Pielogram intravena bukan merupakan uji tapisan yang baik untuk
pasien dengan dugaan hipertensi renovaskular. Akurasinya kurang untuk
pasien anak-anak dan orang dewasa dengan aterosklerotik. Terdapat 75%
negative palsu pada anak-anak dan 20 – 28 % negative palsu pada orang
dewasa dengan aterosklerotik.

c. Aktivitas renin plasma


Pada pasien yang telah diketahui menderita hipertensi, sebaiknya
dimulai dengan memeriksa aktivitas renin plasma. Aktivitas renin plasma
akan meningkat pada 80% pasien yang menderita hipertensi renovaskular.
Namun, 15% pasien dengan hipertensi esensial juga memiliki renin yang
meningkat, namun lebih rendah dari hipertensi renovaskular. Dengan
mengukur aktivitas renin plasma membantu untuk pemisahan pasien-
pasien yang mekanisma humoralnya terlibat dengan sistem renin-
angiotensin-aldosteron yangrenovaskular. Nilai aktivitas renin plasma
membantu untuk menentukan pasien mana yang perlu dioperasi. Adanya
peningkatan aktivitas renin plasma pada vena perifer dengan diet sodium
normal dan tanpa pemberian obat diuretik dan adanya hipertensi maligna
sangat menunjukkan adanya stenosis arteri renalis.
d. Tes kemampuan kaptopril
Tes kemampuan captopril didasarkan atas respon berlebihan renin
pada penderita stenosis arteri renalis. Aktivitas renin plasma diukur
sebelum dan 60 menit setelah pemberian kaptopril (penghambat enzim
konverting) dosis 25 mg secara oral. Pada hipertensi dengan
kebergantungan terhadap renin, akan terdapat penghambatan terhadap
enzim konverting. Tonus arteriola afferen terutama di atur oleh
pemasukan kalsium yang terdapat dalam sel otot polos dan dihambat oleh
penghambat terowongan kasium (nifedipin dan verapamil).

e. Urografi intravena
Kriteria positif bila terdapat keadaan dibawah ini pada ginjal: (1).
Kontras mediumnya muncul terlambat, diikuti oleh gambaran paradoks
dari system pielokalikses. Urografi intravena sederhana, mempunyai
gambaran anatomi yang baik untuk tes skrining terhadap hipertensi
renovaskular. Test ini dapat juga digunakan untuk menentukan ada
tidaknya penyakit ginjal parenkim primer. (2). Ginjal mengecil lebih dari
1,5 cm. Urogram mempunyai batasan diagnostik yan penting dalam
mendeteksi lesi segmental atau cabang arteri, penyakit arteri renalis
bilateral, dan penyakit parenkim ginjal bilateral yang tidak sama beratnya,
serta pada anomaly tertentu dari ginjal kongenital .

f. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi utama manajemen hipertensi renovaskular ditujukan


untuk: (i)mencegah komplikasi hipertensi dengan mengontrol tekanan
darah, (ii) mencegah progresifitas stenosis arteri renalis yang dapat
menyebabkan kehilangan fungsi ginjal dan (iii) memulihkan fungsi ginjal
dengan mengkoreksi stenosis arteri renalis yang berat. Terapi medis
dengan obat-obat anti-hipertensi dapat mengontrol hipertensi tetapi tidak
berefek pada progresifitas lesi tersebut. Oleh karena itu, pendekatan
konservatif umum dari manajemen medis bukan merupakan pilihan
utama; setiap kasus harus dicari penyebabnya untuk menentukan tindakan
angioplasti atau operasi.

a. Terapi medis
erapi medis untuk hipertensi renovaskular pada tahun 1960-an dengan
menggunakan obat-obat seperti diuretik, hidralasin, guanetidin, dan
metildopa. Kontrol tekanan darah yang baik dilaporkan sebanyak 35-45%
pasien. Dengan munculnya obat beta blocker pada tahun 1970-an,
digunakan bersama dengan diuretik dan vasodilator sebagai triple terapi,
frekuensi kesuksesan mencapai 50-80%. Kemudian ACE inhibitor
diperkenalkan tahun 1980-an, kaptopril (dosis inisial 25 mg dua kali
sehari, dapat ditingkatkan 50 mg dua kali sehari) dan enalapril (dosis
inisial 5 mg/hari, dapat ditingkatkan 40 mg/hari), digunakan bersama
dengan diuretik, kontrol yang sukses terhadap hipertensi dilaporkan
sebanyak 85-95% dari pasien hipertensi renovaskular. (3) Efek terbesar
dari ACE inhibitor adalah hubungannya dengan patofisiologi hipertensi
renovaskular. Respon penekanan cepat dari obat ini adalah berhubungan
langsung dengan penanganan aktivitas plasma renin. Pada pasien dengan
stenosis arteri renalis bilateral yang berat, kontrol yang efektif terhadap
tekanan darah menyebabkan pro-gresifitas yang lamban pada fungsi
ginjal dengan menurunkan tekanan perfusi. Kegagalan ginjal akut
reversibel telah dila-porkan setelah penanganan dengan inhibitor enzim
converting pada pasien dengan stenosis arteri renalis bilateral, stenosis
unilateral dengan disfungsi ginjal kontralateral, atau ginjal tunggal
dengan stenosis arteri renalis. Kegagalan ginjal dapat terjadi terutama bila
tidak ada penurunan tekanan darah yang bermakna dengan ACE inhibitor.
ACE inhibitor menyebabkan dilatasi arteriola efferen melalui bloking
angiotensin II dengan menyebabkan penurunan tekanan perfusi
glomerulus dan filtrasi glomerulus. Penggunaan bersama dengan
antidiuretik, meningkatkan ketergantungan peningkatan angiotensin II
dan mungkin mempengaruhi aliran plasma ginjal, yang memainkan peran
utama terhadap kerusakan fungsi ginjal. Disfungsi renal yang diinduksi
oleh ACE inhibitor merupakan dasar terjadinya stenosis arteri renalis
bilateral, tetapi hubungan ini belum diteliti lebih lanjut. Dari penelitian
terhadap 108 penderita hipertensi dengan resiko tinggi terhadap stenosis
arteri renalis (misal: penyakit vaskular, peningkatan creatinin, penderita
hipertensi yang kurang respon memberi terhadap terapi bermacammacam
obat), menunjukkan bahwa kreatinin yang stabil selama terapi dengan
ACE inhibitor biasanya mengakibatkan terjadinya resiko stenosis arteri
renalis bilateral yang berat. Namun, peningkatan kreatinin bukan
merupakan faktor yang spesifik untuk stenosis arteri renalis bilateral.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perlu dilakukan monitor secara
cermat terhadap fungsi ginjal setelah memulai terapi dengan penghambat
enzim konverting pada pasien yang beresiko tinggi terkena penyakit
renovaskular. ACE inhibitor mungkin dapat memperbaiki pasien dengan
nefropati iskemi yang berkaitan dengan penyakit renovaskular bilateral,
tetapi penelitian lebih lanjut akan validitas diagnostic ini belum ada. Dari
penelitian pada 108 penderita dengan resiko aterosklerosis pada penderita
penyakit renovaskular yang berat dan dibandingkan dengan pemeriksaan
angiografi, maka ditemukan bahwa tidak terjadi kegagalan ginjal akut
pada penelitian ini dan kreatinin plasma selalu ditemukan kembali setelah
pemakaian penghambat enzim converting diberhentikan. Oleh karena itu
peningkatan kreatinin plasma yang diinduksi oleh penghambat enzim
konverting merupakan alat yang sangat sensitif terhadap penyakit
renovaskular bilateral pada kelompok yang beresiko tinggi. Sebagai
kesimpulannya, terapi dengan obat tidak dapat memperbaiki stenosis
arteri renalis yang sudah ada, meskipun control tekanan darah baik.
Sebanyak 40-45 % kasus, stenosis arteri renalis yang progresif dapat
merusak fungsi ginjal pada ginjal yang bersangkutan. Sesungguhnya,
ginjal dengan stenosis derajat tinggi, efektif kontrol tekanan darah dengan
obat dapat menurunkan tekanan perfusi, ikut menyebabkan iskemi lebih
lanjut dan menyebabkan kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Dengan
menggunakan obat antihipertensi secara teratur, kontrol tekanan darah
menjadi baik berkisar 85 – 95 % pada pasien dengan hipertensi
renovaskular. Kegagalan pengobatan dimungkinkan karena adanya
stenosis derajat tinggi dengan produksi renin yang meningkat atau
stenosis arteri renalis bilateral yang berat dengan terdapatnya retensi
garam dan air. Oleh karena bisa terjadi progresifitas stenosis arteri renalis,
maka perlu dilakukan monitor fungsi ginjal pada pasien yang mendapat
terapi dengan obat. Ini vital karena tekanan darah dapat terus terkontrol
dengan baik dengan obat dan menyingkirkan kehilangan fungsi ginjal
secara progresif. Lebih dari itu, serum kreatinin atau kreatinin kliren tidak
berubah pada stenosis arteri renalis unilateral oleh karena adanya efek
sebaliknya dari fungsi ginjal kontralateral yang tanpa stenosis arteri
renalis. Oleh karena itu, baik klirens kreatinin (beberapa kali per tahun)
maupun ukuran ginjal (sekali setahun) merupakan tanda yang penting
untuk diamati. Ukuran ginjal dapat diperiksa dengan tomografi,
sonografi, atau skanning. Sebagai pembanding kita dapat melihat bahwa
amlodipine dapat mengurangi resistensi vaskular pada penderita
hipertensi esensial, dan menaikkan aliran darah ginjal. Amlodipine juga
meningkatkan laju filtrasi glomerulus dengan mengurangi jumlah
kreatinin serum sedangkan ekskresi mikroalbumin pada urine tidak
berkurang atau tidak berubah. Kemampuan amlodipine untuk
mempertahankan aliran darah ginjal pada saat tekanan diastolik dan
sistolik turun, kemungkinan isebabkan oleh 2 faktor: yaitu efek dilatasi
pada arteri renalis, disertai dengan adanya efek vasokonstriksi, termasuk
angiotensin II dan juga endothelin-1. Penderita yang mengalami
ateroskleoris pada arteri renalis juga dapat diterapi dengan amlodipine,
karena amlodipine mempengaruhi ratio HDL/LDL dan menstabilkan
membran plasma.
REFERENSI

https://www.scribd.com/document/326257145/Asuhan-Keperawatan-Arteri-Renal-
Stenosis

https://www.google.co.id/url?q=http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/vol.20_no.1_4.pdf&sa=U&ved=0ahUKEwil-
MWRttzWAhVKOo8KHUsZBvMQFggMAI&usg=AOvVaw3o5GqIFMZn7On8HB-
d85x6

Anda mungkin juga menyukai