Anda di halaman 1dari 9

A.

Fundamental proses dalam termoregulasi


Suhu kulit meningkat dan menurun dipengaruhi oleh suhu di lingkungan sekitar
pasien. Namun, suhu jaringan tubuh bagian dalam tetap relatif konstan pada suhu
98,0 ° F hingga 98,6 ° F (37 ° C). Faktanya, suhu inti biasanya tetap antara 97 ° F
dan 100 ° F, bahkan ketika suhu lingkungan meningkat dari yang rendah 55 ° F
hingga 130 ° F. Hal ini disebabkan oleh sistem termoregulasi yang secara
konvensional diatur dalam tiga komponen, yaitu: penginderaan aferen, kontrol
pusat, dan respons eferen.
 Penginderaan Aferen
Input aferen dipicu oleh sel-sel yang sensitif terhadap suhu (reseptor) yang
ditemukan tidak hanya pada kulit namun di sebagian besar tubuh. Reseptor dingin
secara anatomis dan fisiologis berbeda dari reseptor untuk panas. Reseptor dingin
dirangsang oleh suhu di bawah ambang batas yang ditetapkan dan menghasilkan
impuls yang berjalan terutama melalui serabut saraf Aδ (A-delta). Suhu di atas
ambang batas mengaktifkan reseptor panas yang menghasilkan impuls sepanjang
serabut saraf C, yang juga memberikan sensasi nyeri. Untuk alasan ini, pasien
sering tidak dapat membedakan antara nyeri tajam dan panas hebat. Informasi
kemudian diintegrasikan pada beberapa tingkatan dalam sumsum tulang belakang
dan otak, akhirnya menuju pusat termoregulasi primer di hipotalamus.

 Kontrol Pusat (Sessler)

Meskipun beberapa integrasi dan pengaturan suhu dapat terjadi pada tingkat
medula spinalis, namun hipotalamus merupakan pusat utama untuk kontrol
termoregulasi, mengintegrasikan sebagian besar input aferen dan
mengoordinasikan berbagai output eferen yang diperlukan untuk mempertahankan
level normotermik. Cara bagaimana tubuh menetapkan ambang batas suhu masih
belum jelas, tetapi melibatkan interaksi beberapa neurotransmiter, termasuk
norepinefrin, dopamin, 5-hydroxytryptamine (serotonin), asetilkolin,
prostaglandin E1, dan neuropeptida lainnya. Faktor-faktor tambahan seperti ritme
sirkadian, olahraga, asupan makanan, infeksi, disfungsi tiroid, siklus menstruasi,
anestesi, dan obat-obatan diketahui dapat mengubah ambang batas suhu tersebut.
 Respon Eferen
Perilaku adalah respons paling efektif dalam termoregulasi. Hal ini termasuk
berpakaian secara benar, memodifikasi suhu lingkungan, dengan asumsi posisi
tubuh yang mengurangi atau meningkatkan kehilangan panas, dan meningkatkan
gerakan untuk menghasilkan produksi panas. Pertimbangan ini harus diatasi
sebelum pasien dilakukan pembiusan.

Ketika reseptor suhu mengirimkan informasi ke hipotalamus, reseptor ini


terintegrasi dan membandingkan dengan pengaturan ambang batas suhu. Nilai di
atas atau di bawah ambang ini menentukan respons eferen yang dihasilkan
(Gambar 1). Keluaran eferen dari hipotalamus mengatur suhu tubuh dengan
mengubah aliran darah subkutan, produksi keringat, tonus otot rangka, dan
aktivitas metabolisme secara keseluruhan. Kehilangan panas diakibatkan
vasodilatasi pembuluh darah dan produksi keringat, sementara panas tetap dijaga
dengan menghambat proses tersebut. Produksi panas (termogenesis) akibat
menggigil (shivering) dan meningkatkan laju metabolisme keseluruhan.
Pengaruh-pengaruh ini dijelaskan lebih lanjut dalam Tabel 1.

Gambar 1

Termoregulasi hipotalamus. Input suhu ke hipotalamus terintegrasi dan


dibandingkan dengan suhu ambang batas yang memicu respons termoregulasi
yang tepat. Biasanya respons ini dimulai pada sedikitnya 0,1 ° C di atas dan di
bawah suhu tubuh normal 37 ° C (98,6 ° F). Oleh karena itu perbedaan antara
suhu yang memulai berkeringat dan yang memulai vasokonstriksi hanya 0,2 ° C.
Hal ini ditetapkan sebagai rentang ambang batas dan mewakili rentang yang
sempit di mana tubuh tidak memulai upaya termoregulasi. Kebanyakan anestesi
umum menekan respon termoregulator hipotalamus, memperluas rentang ambang
batas hingga 4 ° C. Oleh karena itu pasien kurang mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan suhu yang terjadi selama perawatan.

Table 1
Respon Hipotalamus terhadap Input Reseptor Suhu

Table 2
Classifications of Hypothermia and Deleterious Effect
B. Induksi Hipotermia
Hipotermia terinduksi bertujuan untuk menghindari komplikasi yang terkait
dengan hipotermia.

Teknik yang digunakan dalam induksi hipotermia


Teknik-teknik berikut dapat digunakan untuk menginduksi hipotermia: Sangat
penting untuk mengukur suhu inti tubuh. Alternatif dapat berupa kandung kemih,
rektal atau nasofaring. Perlu dicatat bahwa pasien obesitas lebih sulit untuk di
induksi hipotermia.. Pasien lanjut usia lebih mudah menjadi hipotermia karena
mereka tidak terlalu mudah untuk vasokonstriksi, dan umumnya memiliki tingkat
metabolisme basal yang lebih rendah.
 Antipiretik, misalnya, parasetamol.

 Fans — dapat meningkatkan risiko infeksi.

 Ice pack pada daerah femoral, pembuluh darah besar, dan ketiak. Paket ini
harus berisi es ditambah air untuk memastikan suhu yang rendah.
Dibutuhkan seringnya proses penggantian.

 Cairan dingin — ini memiliki efek cepat, misalnya, larutan kristaloid 30


ml kg − 1 pada 4 ° C selama lebih dari 30 menit. Ini dapat
mengkompensasi diuresis yang diantisipasi dan membantu
mempertahankan tekanan perfusi otak (CPP).
 Selimut atau pakaian yang diisi air (mis., Blanketrol) —ini efektif dengan
kontrol umpan balik.

 Forced cold air — ini higienis tetapi tidak memiliki kontrol umpan balik.
Ini sangat tidak efisien.

 Garis intravaskular — ini sangat mahal tetapi kontrol bisa sangat baik.

 Bypass — khusus untuk spesialis (jantung).


 Tutup pendingin — ini terutama digunakan pada neonatus dan bayi.

Sedasi biasanya diperlukan. Vasodilatasi yang diberikan ini akan membantu


perpindahan panas dari pusat tubuh ke bagian perifer dan akan mempercepat
proses pendinginan. Penting untuk menghindari reaksi menggigil, karena
metabolisme dapat meningkat hingga 100%. Hal ini dapat menyebabkan iskemia
miokard dan meningkatkan ICP.

Re-warming harus dilakukan secara bertahap dan dipandu oleh terapis. Misalnya,
jika ICP mulai meningkat setelah re-warming maka pendinginan mungkin perlu
dilakukan kembali.
Efek samping dari Induksi Hipotermia (Mark)

Sistem Kardiovaskular

Peningkatan katekolamin yang diinduksi hipotermia menyebabkan peningkatan


curah jantung dan kebutuhan oksigen. Hipotermia lebih lanjut, penurunan denyut
jantung dan perlambatan metabolisme mengurangi afterload jantung dan
kebutuhan oksigen. Karena itu, hipotermia ringan dapat menyebabkan penurunan
curah jantung. Resistensi vaskular sistemik meningkat dan tekanan vena sentral
juga meningkat. Dengan demikian, tekanan arteri rata-rata biasanya
dipertahankan. Perubahan EKG yaitu peningkatan interval PR, pelebaran
kompleks QRS, dan timbulnya gelombang Osborne atau 'J' (lekukan pada
downstroke kompleks QRS). Aritmia jarang terjadi> 30 ° C. Di bawah suhu ini,
risiko meningkat dan atrial fibrilasi biasanya diikuti oleh ventrikular fibrilasi
ketika suhu menurun hingga <28 ° C.

Sistem pernapasan

Penurunan laju metabolisme pada 33 ° C berarti bahwa volume tidal ventilator


perlu dikurangi untuk mempertahankan PaCO2 dalam kisaran normal. Terdapat
insidensi pneumonia yang lebih tinggi pada pasien dengan hipotermia. Beberapa
unit menggunakan dekontaminasi usus selektif yang dapat meminimalkan risiko
ini.
Infeksi dan Fungsi Sistem Pencernaan

Hipotermia yang diinduksi dapat mengganggu fungsi sistem kekebalan tubuh;


pneumonia nosokomial akan terjadi pada lebih dari setengah pasien yang
mengalami hipotermia selama> 7 hari. Penyembuhan luka dapat tertunda dan
perawatan yang sangat baik diperlukan untuk menghindari timbulnya ulkus
dekubitus. Namun, dengan induksi hipotermia selama <24 jam, pneumonia dan
luka jarang terjadi. Risiko infeksi diperparah oleh kontrol glikemik yang buruk.
Efek samping yang penting adalah resistensi insulin dan penurunan pelepasan
insulin. Infus insulin harus digunakan untuk mengendalikan konsentrasi glukosa
yang meningkat. Penurunan motilitas gastrointestinal membutuhkan prokinetik
untuk menghindari keterlambatan dalam pemberian makanan secara enteral.
Serum amilase dan enzim hati sering meningkat dan asidosis metabolik juga
terjadi sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi laktat dan peningkatan
produksi asam lemak bebas, keton dan gliserol. Perubahan ini dapat menjadi
parah dan menyebabkan pankreatitis
Namun jarang terjadi.

Ginjal
Gangguan diuresis dan elektrolit menjadi perhatian utama saat menggunakan
hipotermia terinduksi. Diuresis dihasilkan dari penurunan penyerapan zat terlarut
dalam lengkung henle. Pergerakan kalium, magnesium, dan fosfat intraseluler
selama induksi hipotermia menyebabkan penurunan konsentrasi serum anion-
anion ini dan pengukuran dan koreksi rutin (jika perlu) harus dilakukan.
Pemeliharaan volume plasma juga penting. Dalam proses re-warming, pergeseran
anion ekstraseluler dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma.
Asam basa
Saat suhu menurun, kelarutan gas dalam cairan (mis., Darah) meningkat.
Hipotermia menghadirkan masalah dalam interpretasi gas darah arteri (ABG)
seperti ketika sampel ABG disesuaikan untuk mengkompensasi suhu rendah,
pasien tampak mengalami alkalosis respiratorik. Ada dua cara menafsirkan
sampel: Tanpa koreksi (manajemen alpha-stat) atau dengan penambahan CO2
untuk menormalkan pH (manajemen stat-stat). Apakah selama induksi hipotermia
sampel harus dikoreksi karena suhu tidak diketahui; meskipun, dalam sebuah
penelitian pada hewan tentang iskemia serebral yang diobati dengan hipotermia
terinduksi, manajemen pH-stat terbukti lebih baik. Namun, manajemen alpha-stat
digunakan di seluruh hipotermia dalam bypass kardiopulmoner.

Hematologi
Selama hipotermia terinduksi lama, waktu perdarahan akan diperpanjang sebagai
akibat dari pengurangan jumlah dan fungsi trombosit. Trombosit mengalami
skuestrasi oleh limpa dan hati, dan kembali ke sirkulasi pada proses re-warming.
Kaskade koagulasi juga dapat terganggu, meskipun waktu protrombin (PT) dan
waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) mungkin tidak mencerminkan
perubahan ini, karena dilakukan pada suhu 37 ° C. Oleh karena itu, penggunaan
hipotermia pada pasien multitrauma kontroversial karena efek buruk dari
hipotermia terinduksi pada seluruh tubuh mungkin lebih besar daripada manfaat
proteksi sistem saraf. Jumlah hitung sel putih juga berkurang.
Immunologic - Impaired immune system function increasing rate of postoperative
wound infection.

Shivering and Wound Healing - Increased shivering which can increase heat
production by 100% - 300% with concomitant oxygen consumption up to 500%
and increased production of CO2. Vasoconstriction and the reduced delivery of
oxygen to injured tissues also leads to a delay in wound healing and a significant
rate of postoperative infection rate.

Kardiovaskular - Peningkatan nadi dan tekanan darah (pasca operasi), resistensi


vaskular sistemik (SVR), kontraktilitas, disritmia dan iritabilitas ventrikel, depresi
miokard dan sekresi katekolamin. Curah jantung dan denyut jantung menurun
(intraoperatif).

Pernafasan - Kekuatan berkurang pada suhu inti tubuh kurang dari 33 C, namun
respon ventilasi CO2 tidak terpengaruh.

Hati – Aliran darah dan fungsinya berkurang yang secara signifikan menurunkan
metabolisme beberapa obat.

Neurologis - Penurunan aliran darah otak, peningkatan resistensi serebrovaskular,


penurunan konsentrasi alveolar minimum, keterlambatan anestesi karena efek
langsung depresan hipotermia, perubahan sensoris mental termasuk rasa kantuk
dan kebingungan.
Metabolik - Penurunan laju metabolisme, penurunan perfusi jaringan yang
menyebabkan asidosis metabolik, dan hiperglikemia dari katekolamin dapat
terjadi. Peningkatan konsumsi oksigen dapat terjadi akibat reaksi menggigil pasca
operasi.

Hematologi - Peningkatan viskositas darah, trombositopenia, pergeseran ke kiri


dari kurva disosiasi hemoglobin yang mengarah ke hipoksia, perubahan koagulasi
melalui gangguan fungsi trombosit, penurunan aktivitas faktor koagulasi yang
menyebabkan perdarahan intraoperatif yang lebih besar dan kehilangan darah.

Imunologis - Gangguan fungsi sistem kekebalan tubuh meningkatkan laju infeksi


luka pasca operasi.

Drug Pharmacology - Decreased hepatic blood flow, and metabolism coupled


with decreased renal blood flow and clearance result in decreased anesthetic
requirement, delayed awakening due to reduced rates of drug clearance.

Farmakologi Obat - Menurunnya aliran darah hati, dan metabolisme yang disertai
dengan penurunan aliran darah ginjal dan klirens mengakibatkan berkurangnya
kebutuhan anestesik, keterlambatan sadarnya pasien akibat berkurangnya
kecepatan klirens obat.

Shivering and Wound Healing - Peningkatan shivering yang dapat meningkatkan


produksi panas hingga 100% - 300% dengan konsumsi oksigen bersamaan hingga
500% dan peningkatan produksi CO2. Vasokonstriksi dan berkurangnya
pengiriman oksigen ke jaringan yang terluka juga menyebabkan penundaan
penyembuhan luka dan tingkat infeksi pasca operasi yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Díaz, M., & Becker, D. E. (2010). Thermoregulation: physiological and clinical


considerations during sedation and general anesthesia. Anesthesia progress, 57(1), 25–
34. doi:10.2344/0003-3006-57.1.25

2. Sessler D. I. Temperature monitoring. In: Miller R. D., editor. Miller’s Anesthesia. 6th
ed. Philadelphia: Elsevier, Churchill Livingstone; 2005. pp. 1571–1597.

3. Mark Luscombe, John C Andrzejowski, Clinical applications of induced


hypothermia, Continuing Education in Anaesthesia Critical Care & Pain,
Volume 6, Issue 1, February 2006, Pages 23–27,

Anda mungkin juga menyukai