PERSIAPAN INTUBASI
A. TUJUAN KEGIATAN
Setelah mengikuti pratikum ini mahasiswa mampu memahami dan mengerti tentang
indikasi, tatacara Intubasi trakea atau pemasangan Endotracheal Tube (ETT), komplikasi
yang terjadi pada pemasangan Endotracheal Tube (ETT) serta perawatan pasca bedah.
B. PERTANYAAN MINIMAL
Seorang pasien laki-laki berusia 48 tahun dirawat di Ruang ICU hari perawatan 3 hari.
Pasien di diagnosa ARDS. Pasien mengalami gagal napas dan membutuhkan ventilasi
mekanik. Pasien harus mendapatkan intervensi pemasangan ETT agar dapat
mempertahankan jalan napas serta mempertahankan kelancaran pernapasan.
C. DASAR TEORI
Pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) biasanya mengalami kegagalan multi
organ, gagal napas, menggunakan ventilator, dan memerlukan support teknologi seperti
pemasangan Endotracheal Tube (ETT). Endotracheal Tube (ETT) berasal dari kata Endo
yang berarti di dalam, Trachea / Tracheal yang berarti saluran napas antara pangkal
tenggorok (Laring) dan percabangan kedua cabang tenggorok (bronkus), dan Tube adalah
pipa/saluran (Laksman T Hendra, dkk, 2002) (Gultom, 2020).
Intubasi merupakan tindakan invasive untuk memasukkan pipa ke dalam rongga tubuh
melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2, yakni intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan invasive
memasukkan Endotracheal Tube (ETT) ke dalam trakea dengan menggunakan
laringoskopi (Purnawan & Saryono, 2010) (Gultom, 2020).
Endotracheal Tube merupakan prosedur menyelamatkan nyawa, tetapi juga dapat
mengancam kehidupan jika posisi ujung Endotracheal Tube tidak benar. Endotracheal
Tube harus terletak sekitar 5 cm di atas karina trakhea atau di atas biforkasio trakhea
(Sanjay N Jain, 2011) (Irkhami & Rochmayanti, 2017).
Tindakan intubasi baru dapat dilakukan bila cara lain untuk membebaskan jalan nafas
gagal, perlu memberikan nafas buatan dalam jangka panjang, ada resiko besar terjadi
aspirasi baru. Pemasangan ETT dilakukan untuk membebaskan jalan napas, untuk
memberikan pernafasan mekanik dengan ventilator, dan apabila terjadi kegawatan atau
komplikasi pada tindakan anestesi (Kitong & Irwin, 2019) (Fathoni & Siwi, 2022).
Salah satu kondisi yang bisa menyebabkan gagal napas adalah obstruksi jalan napas,
termasuk obstruksi pada Endotracheal Tube (ETT). Obstruksi jalan napas merupakan
kondisi yang tidak normal akibat ketidakmampuan batuk secara efektif, bisa disebabkan
oleh sekresi yang kental atau berlebihan akibat penyakit infeksi, imobilisasi, statis
sekresi, dan batuk tidak efektif karena penyakit persyarafan misalnya cerebrovaskular
accident (CVA), efek pengobatan sedatif, dan lain-lain (Hidayat, 2005) (Kitong et al.,
2019).
PETUGAS
Perawat di ruang ICU merupakan perawat yang sudah
mendapatkan pendidikan khusus sebagai perawat yang
bekerja di ruang ICU. Para perawat tersebut harus bisa
melakukan interpretasi keadaan pasien, mendeteksi berbagai
perubahan fisiologis yang dapat mengancam jiwa, serta dapat
bertindak mandiri untuk menangani kegawatan yang
mengancam jiwa sebelum dokter datang. Dalam
melaksanakan pelayanan terhadap pasien, maka perawat
harus sesuai dengan peran kompetensinya dan bertanggung
jawab (Sulistiyowati, 2021).
PERSIAPAN Persiapan Alat:
ALAT/PASIEN
1. Set ETT sesuai ukuran pasien. Biasanya ukuran ETT
berdasarkan usia dan berat badan. Dapat diperkirakan
berdasarkan ukuran jari kelingking pasien. Pada pria
dewasa tube 7-8,5 mm, wanita dewasa 7-8 mm.
2. Xylocaine gel /spray
3. Laringoskop
4. Magills
5. Sarung tangan
6. Obat - obatan untuk persiapan intubasi antara lain:
a) Sedasi : midazolam, propofol, pentotal
b) Relaxan : Succinylcholine, rocuronium,
atracurium, vecuronium.
7. OPA (Oropharyngeal airway)
8. Stetoskop
9. Alat suction (suction cannula/catheter)
10. Bag valve mask
11. Pelster
Persiapan Pasien:
Fase Kerja
1. Mencuci tangan
2. Pastikan seluruh alat laryngoscope berfungsi dengan
baik dan pastikan bahwa pipa endotrakeal sesuai
dengan ukuran pasien.
3. Masukkan stilet kedalam pipa ETT. perhatikan jangan
sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon
4. Buat lengkungan pada pipa dan stilet
5. Cek fungsi balon dengan mengembangkan dengan
udara 10 ml. Jika fungsi baik, kempeskan balon.
6. Beri pelumas pada ujung pipa ETT sampai cuff
7. Membersihkan jalan napas terhadap secret atau darah .
8. Anastesi mukosa nasal dengan topical lidokain dan
topical vasokontriktor. berikan semprotan benzokain
atau tetrakain jika pasien sadar atau tidak dalam
keadaan anastesi dalam.
9. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag
masker FiO2 100%.
10. Posisi pasien yang sesuai dan tidak menggangu jalan
nafas pasien
11. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri
memegang laringoskop.
12. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut
menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke
kiri.
13. Masukkan bilah sedikit demi sedikit sampai ujung
laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan agar
lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi
pasien.
14. Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan
kemiringan 30 samapi 40 derajat sejajar aksis
pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi sebagai
titik tumpu.
15. Bila pita suara sudah terlihat, tahan tarikan / posisi
laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan
pergelangan tangan.
16. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring
sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita
suara ± 1 – 2 cm atau pada orang dewasa atau
kedalaman pipa ET ±19 -23 cm.
17. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon
dengan udara 5 – 10 ml.
18. Hubungkan pipa ET dengan ambubag dan lakukan
ventilasi sambil melakukan auskultasi (asisten),
pertama pada lambung, kemudian pada paru kanan
dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada.
19. Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak
mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan
pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan
hiperventilasi ulang selama 30 detik.
20. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan
balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc.
21. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tidak
terdorong atau tercabut
22. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit
pipa ET jika mulai sadar.
23. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran
10 sampai 12 liter per menit) (Catharina, 2017).
Fase Terminasi
1. Rapikan alat
2. Cuci tangan
3. Kaji respon pasien
4. Observasi kemungkinan komplikasi yang mungkin
timbul :
Dokumentasi
(Musliha, 2016).
HAL YANG PERLU Setelah menjalani prosedur intubasi endotrakeal, mengalami
pasien akan
DIPERHATIKAN dalam
sakit tenggorokan dan kesulitan namun akan segera menelan,
pulih
endotrakeal dicabut.
setelah tabung Jika mengalami beberapa gejala di bawah ini
setelah intubasi
endotrakeal, segera menghubungi dokter penanggung
jawab:
1. Wajah membengkak.
2. Nyeri pada dada.
3. Kesulitan berbicara.
4. Kesulitan menelan.
5. Napas menjadi sesak.
6. Sakit tenggorokan yang parah.
(Musliha, 2016).
UNIT TERKAIT 1. Instalasi gawat darurat
2. ICU
3. NICU
4. Instalasi rawat inap
REFERENSI
Catharina. (2017). Modul Skills Lab B-Jilid 2 Lab
Ketrampilan Medik/PPD-UNSOED. Ppd-Unsoed.
http://fk.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/modul
labskill/genap II/Genap II - Pemasangan Endotracheal
Tube.pdf
B. PERTANYAAN MINIMAL
Seorang pasien laki-laki berusia 48 tahun dengan diagnosa ARDS dirawat di Ruang ICU
hari perawatan 7 hari. Pasien mulai stabil, bernapas spontan dan adekuat, serta tingkat
kesadaran yang meningkat. Pasien diindikasikan intervensi pelepasan ETT agar dapat
berlatih bernapas spontan dan tidak ketergantungan dengan ventilator, serta
mengembalikan fungsi pernapasan pada fungsi normal.
C. DASAR TEORI
Ekstubasi merupakan tindakan mengeluarkan pipa endotrakeal dari posisinya.
Menentukan saat yang tepat untuk melakukan ekstubasi merupakan kesulitan yang sering
dialami klinis, manajemen pasien yang menggunakan ventilasi mekanik memerlukan
kewaspadaan konstan terhadap tanda-tanda yang mengindikasikan waktu yang tepat
untuk dilakukan ekstubasi. Ketika pasien mulai menunjukkan bukti perbaikan klinis, bisa
digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang akan dilakukan ekstubasi. Hal yang harus
diperhatikan untuk indikasi ektubasi, yaitu: (Ayundari et al., 2020)
1) Oksigenasi harus adekuat ketika bernafas dengan jumlah oksigen yang di hirup
berada pada tingkat non toksik.
2) Pasien harus memiliki hemodinamik yang stabil dengan dukungan vasopresor
yang minimal atau tanpa dukungan vasopresor.
3) Pasien harus sadar terhadap lingkungan sekitarnya ketika tidak tersedasi dan harus
bebas dari beberapa keadaan yang reversibel, misalnya sepsis atau elektrolit yang
tidak normal.
Jika ekstubasi dilakukan tidak sesuai dengan indikasi maka akan mengakibatkan
kegagalan sehingga pasien membutuhkan reintubasi. Reintubasi memungkinkan
terjadinya trauma saluran nafas, infeksi nosokomial dan bertambah lamanya hari
perawatan yang mengakibatkan biaya perawatan meningkat (Ayundari et al., 2020).
3. Kontrak waktu
Fase Kerja
Fase Terminasi
Dokumentasi
1. Waktu pelaksanaan
2. Catat respon pasien sebelum dan setelah tindakan
dilakukan
3. Catat hasil pengukuran tanda-tanda vital
4. Catat keluhan pasien dan dosis oksigen
yang diberikan
5. Nama perawat yang melaksanakan
HAL YANG PERLU 1. Kepatenan jalan napas
DIPERHATIKAN 2. Reflek batuk spontan
3. Sekret tidak berlebih