Studi Ners
NSA4738
Keperawatan Gawat Darurat
Tim Penyusun:
Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns., M.Kep
Galih Noor Alivian, S.Kep., Ns., M.Kep
Arif Imam Hidayat, S.Kep., Ns., MNS
Dr. Iwan Purnawan, S.Kep., Ns., M.Kep
Dr. Sidik Awaludin, M.Kep., Ns., Sp.MB
Menyetujui
Ketua Jurusan Keperawatan Koordinator Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat
Ns. Mekar Dwi Anggraini, M.Kep, Ph.D Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns., M.Kep
NIP 198109042005012001 NIP. 198202262006041001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan
2
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga Buku Panduan Praktikum Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat Jurusan Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dapat
terselesaikan dengan baik. Buku ini disusun berdasarkan kurikulum terbari tahun 2015.
Kurikulum baru ini dirancang untuk menjawab tantangan global dunia pendidikan
khususnya untuk mencipta Ners yang terampil dan profesional. Pendidikan keperawatan
pada masa kini selalu mengalami perubahan dinamis, cepat dan kontinyu. Ners dari
Universitas Jenderal Soedirman diharapkan mampu menangani pasien maupun masalah
kesehatan di masyarakat, sehingga wajib dibekali pengetahuan yang luas, keterampilan
yang handal, mampu berkomunikasi berdasarkan empati (komunikasi efektif), serta
berbudi pekerti luhur yang tercermin pada sikap dan perilaku. Beranjak dari hal itu, maka
kurikulum 2015 disusun berdasarkan paradigma baru pendidikan Ners dengan waktu
studi diselesaikan minimal selama 3,5 tahun untuk akademik dan satu tahun untuk
profesi Ners.
Saran dan kritik membangun masih kami tim terima dalam rangka perbaikan
buku panduan Praktikum Keperawatan Gawat Darurat ini sehingga pengembangan dan
peningkatan mutu pendididikan profesi keperawatan khususnya di Jurusan keperawatan
Fikes Unsoed ini akan terwujud dengan kerja sama berbagai pihak dalam proses
pembelajaran bersama.
DAFTAR ISI
Halaman Judul 1
Halaman Pengesahan 2
Kata Pengantar 3
Daftar Isi 4
Manajemen airways & Control Servical 5
Needle decompression & Aplikasi kasa tiga sisi 15
Bantuan Hidup Dasar (Dewasa, Anak, Ibu Hamil) 19
Algoritma Initial Assesment 25
Balut Bidai 31
Dasar Interpretasi EKG 46
5
AIRWAY MANAGEMENT
Airway atau jalan napas dapat dibedakan menjadi 2 yaitu jalan napas atas dan
jalan napas bawah. Jalan napas merupakan saluran yang memungkinkan udara
atmosfer masuk melalui hidung atau mulut diteruskan ke bronkus hingga ke alveoli.
Jalan napas atas terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, laring, trakhea sampai
percabangan bronkus. Jalan napas bawah terdiri dari bronkus, percabangan bronkus
dan paru-paru (118, 2007).
Pertimbangan Usia:
a. Head-tilt Chin-lift pada infant, tempatkan satu tangan pada dahi dan
posisikan kepala secara lembut ke posisi netral, kemudian dengan tangan
8
yang lain angkat leher secara lembt hingga sedikit ektensi (Hiperekstensi
pada leher infant akan menyebabkan obstruksi pada airway). Manuver ini
dikenal sebagai “sniffing position”. Kemudian tempatkan jari di bawah dagu
bagian paling bawah yang masih terdapat tulang, angkat mandibula ke atas
atau ke arah luar.
b. Anak-anak dengan gejala epiglotitis, seperti demam tinggi atau yang
lainnya tidak boleh dipaksakan untuk posisi supine (posisi supine pada
keadaan ini akan menyebabkan ostruksi jalan napas). Biarkan anak
mempertahankan posisi nyaman sampai managemen airway definitif
tersedia.
Gambar 7. Chest thrust pada orang obesitas Gambar 8. Chest thrust pada ibu hamil
Pertimbangan Usia:
a. Pada infant, pangku infant dengan posisi telungkup, sangga infant dengan lengan
atas penolong, posisi kepala lebih rendah dari leher. Sangga kepala infant dengan
memegang bagian rahang.
b. tepuk punggung infant diantara tulang skapula dengan menggunakan tumit
tangan secara bertenaga sebanyak 5 kali (Gambar 9).
c. Balik infant ke posisi supine, sangga kepala dan leher.
d. Lakukan chest thrust secara cepat sebanyak 5 kali. Saat chest thrust tempatkan
jari telunjuk di sternum di bawah nipple infant, kemudian letakkan jari tengah
berdekatan dengan jari telunjuk (Gambar 9)..
e. Langkah a sampai d dapat terus dilakukan sampai benda asing keluar atau infant
tidak sadarkan diri.
f. Jika infant tidak sadarkan diri, buka jalan napas dan ambil benda asing jika
terlihat. Blind finger sweep tidak boleh dilakukan pada infant dan anak-anak
11
b. Penempatan alat Oral Airway yang salah dapat menekan lidah ke arah
posterior faring dan menyebabkan obstruksi lebih lanjut.
c. Alat Oral Airway yang terlalu kecil dapat menekan lidah ke orofaringdan
menyebabkan obstruksi, alat Oral Airway yang terlalu besar akan
menymbat trakea.
d. Kegagalan dalam membersihkan orofaring dari benda asing sebelum
insersi dapat menyebabkan aspirasi.
e. Untuk menghindari muntah dan aspirasi, oropharingeal airway harus
segera di lepas ketika pasien sudah sadar atau menunjukkan adanya gag
reflek.
Alat yang dibutuhkan:
a. Oropharingeal airway (OPA) (Gambar 10)
b. Oropharingea suction equipment
c. Tounge blade
d. Kaji kembali airway, auskultasi pasu untuk vnetilasi yang seimbang dan
suara napas bersih selama ventilasi.
Perhatian Usia:
Pada pasien anak-anak, penggunaan tounge blade lebih dianjurkan daripada
memasang OPA dengan cara terbalik kemudian di putar, prosedur yang kedua
akan menyebabkan luka di mukosa mulut dan gigi tanggal.
Referensi
118, D. Y. (2007). Buku Panduan Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans
Gawat Darurat 118 .
Pengertian
Nama lain dari tindakan ini adalah needle thoracocentesis yang digunakan untuk
mengurangi tekanan intrapleural pada kondisi tension pneumothorak. Dekompresi
dilakukan dengan kateter vena besar (nomer 14) disela iga ke-2 pada garis mid-clavicula,
menyusuri tepi atas iga ke-3.
Indikasi
Indikasi dari tindakan ini adalah kondisi tension pneumothorak. Kondisi ini
merupakan adanya akumulasi udara pada rongga pleura. Tension pneumothorak sendiri
berasal dari cedera jaringan yang membentuk 1-way valve (katup satu arah). Hal ini
membuat udara yang masuk kedalam pleura tidak bisa keluar sehingga semakin
meningkatkan tekanan intrapleural. Kondisi dengan cepat menyebabkan ganggguan
pernafasan, kolapnya sistem kardiovaskular, dan segera menimbulkan kematian jika
tidak ditangani dengan baik.
Tension pneumothorak sendiri bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a) Trauma tumpul atau tusuk
Trauma ini menyebabkan rusaknya keutuhan dari pleura visceral maupun parietal
sehingga memungkinkan udara bisa masuk baik dari udara luar maupun dari dalam
paru-paru. Fraktur iga merupakan salah satu penyebab penting dari kejadian tension
pneumothorak
b) Barotrauma
Penggunaan PEEP pada ventilator mekanik menyebabkan peningkatan tekanan
intraalveolar yang bisa berakhir dengan rusaknya pleura visceralis. Hal ini
menyebabkan udara dari alveoli masuk ke dalam rongga pleura.
c) Central venous catheter placement
Pemasangan CVP yang tidak tepat dapat melukai pleura sehingga bisa menimbulkan
kerusakan pada pleura. Hal in membuat seseorang menjadi rentan untuk mengalami
tension pneumothorak.
d) RJP
Resiko cedera tulang (fraktur costae) selama RJP membuat mereka juga rentan untuk
mengalami kerusakan pada pleura. Patahan tulang iga yang tajam tersebut sangat
rentan untuk merusak lapisan pleura.
16
Persiapan Pasien
a) Berikan oksigen 100%, berikan bantuan ventilasi jika perlu
b) Jelaskan kepada pasien dan atau keluarga alasan pelaksanaan prosedur tersebut
c) Jelaskan kepada pasian dan/atau keluarga langkah langkah prosedur
d) Jelaskan kepada pasien bahwa dia harus tetap diam selama prosedur berlangsung
Prosedur
a) Tandai lokasi anatomi tempat penusukan
Needle decompresion seharusnya diletkan pada intercosta kedua pada garis
midclavicula. Tusukan jarum akan melalui kulit dan mungkin akan melewati otot
pectoralis mayor, intercostal internal dan eksternal, dan akhirnya pleura
parietalis
17
b) Bersihkan dengan cepat area tusukan menggunakan larutan berbahan dasar iodin
c) Masukan jarum dengan ukuran besar (misal 14 atau I6) dengan kateter ke dalam
ruang intercosta dua, hanya sedikit lebih tinggi dari costae ketiga pada garis
midclavicular (1-2 cm dari batas sternum)
d) Gunakan jarum dengan panjang 3-6 cm, dan jaga supaya jarum tetap tegak lurus
saat dimasukan. Sebagian pasien mungkin memiliki dinding dada yang lebih tebal
dari 3 cm dan gagal untuk mengatasi masalah utama. Hal ini bisa disebabkan oleh
panjang jarum yang kurang adekuat.
e) Penempatan di sepertiga tengah klavikula meminimalkan risiko cedera pada
mammae internal selama prosedur darurat. Tempatkan kateter tepat di atas batas
tulang rusuk karena
f) Begitu jarum berada di ruang pleura, dengarkan suara mendesis saat udara keluar
g) Tarik jarum dari kateternya
h) Jagalah kanula agar selalu terbuka
i) Siapkan pasien untuk pemasangan thoracostomy tube
Kontra Indikasi
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi dari prosedur ini antara lain:
Riwayat thoracotomy
Riwayat pneumoctomy
Adanya gangguan pembekuan darah
Semua kontraindikasi tersebut bersifat relative, hal ini disebabkan tension
pneumothorak merupakan kondisi mengancam jiwa. Kegagalan penanganan dapat
berujung pada kematian
Referensi :
Henry, Mark C., and Edward R. Stapleton. EMT Prehospital Care. 3rd Ed. 2004. Mosby/Jems
18
Ciri khas dari keberadaan open pneumothorak adalah terdapatnya suara sucking
chest wound. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan lubang pada dada (luka tembak
atau luka tusuk). Saat dada mengembang akibat inspirasi , udara bukan hanya masuk
melalui hidung, namun juga masuk melalui lubang luka.
Sucking chest wound merupakan kondisi yang berbahaya karena memicu
kolapsnya paru-paru (pneumothorax). Penanganan sucking chest wound membutuhkan
dua hal yaitu menjaga udara keluar dari rongga pleura dan mencegah masuknya udara
ke dalam pleura.
Langkah-langkah Penanganan :
1. Segera hubungi nomor emergency atau nomor RS terdekat. Jika operator unit
emergency memberikan intruksi penanganan, seger lakukan. Jika tidak ada intruksi,
segera bawa korban ke RS terdekat
2. Menutup sucking chest wound
a. Letakan sesuatu seperti pelastik (utamakan steril, kalau tidak ada maka cukup
bersih) diatas lubang
b. plester pada ketiga sisi dari plastik atau kasa dan membiarkan salah satu
sisinya tetap terbuka.
Referensi :
Henry, Mark C., and Edward R. Stapleton. EMT Prehospital Care. 3rd Ed. 2004.
Mosby/Jems.
19
Pendahuluan
Kejadian henti jantung di seluruh dunia sangat tinggi. Setiap tahunnya di Eropa
terjadi 700.000 kasus terkait dengan henti jantung. Jumlah yang bisa bertahan hidup itu
hanya sekitar 5-10 % saja. Dengan demikian 90% diantaranya berakhir dengan kematian.
Penanganan yang tepat sebenarnya mampu menyelamatkan nyawa korban.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan pertama yang paling tepat
untuk mengembalikan pasien pada kondisi stabil dan membebaskan mereka dari
keadaan yang mengancam jiwa. CPR yang dilakukan oleh orang terdekat dengan korban
sebelum mendapatkan pertolongan lebih lanjut dapat menyelamatkan korban 2-3 kali
lipat. Resusitasi awal dan tindakan defibrilasi cepat dalam 1-2 menit pasca serangan
dapat meningkatkan kemungkinan hidup > 69%.
Pengertian
RJP sendiri merupakan salah satu bentuk dari bantuan hidup dasar (BHD). BHD
adalah serangkaian prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan sirkulasi darah yang
teroksigenasi setelah henti jantung dan paru. BHD juga merupakan dasar dalam
menyelamatkan penderita pada kondisi mengancam jiwa. Istilah BHD maupun RJP seling
digunakan secara tumpang tindih. Seingga RJP sendiri bisa diartikan sebagai BHD
Potensi keberhasilan RJP itu sangat dipengaruhi oleh kecepatan pemberian BHD.
Tabel berikut ini menunjukan potensi keberhasilan tindakan RJP
Tabel 2.1. Potensi Keberhasilan RJP
No Keterlambatan Keberhasilan
1 1 menit 90 %
2 4 menit 50 %
3 10 menit 1%
Chain of Survival
Chain of survival merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan untuk
menangani korban henti jantung. Chain of survival terdiri dari: (1) kenali segera dan
aktifkan sistem emergency; (2) segera lakukan RJP; (3) segera lakukan defibrilasi; (4)
bantuan hidup lanjut yang efektif; (5) perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi.
henti jantung selalu diikuti dengan henti nafas. Oleh karena itulah memeriksa denyut
nadi, lebih diutamakan daripada sibuk memikirkan apakah pasien masih bernafas atau
tidak. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka urutan BHD atau RJP tersebut adalah C-
A-B. Circulation merupakan komponen sirkulasi tubuh yang diimplikasikan dengan
denyut nadi karotis. Airways dinilai dengan melihat kepatenan jalan nafas, sedangkan
Breathing dikaji berdasarkan kemampuan spontanitas nafas.
Algoritma RJP
Algoritma atau rangkaian tindakan dalam melakukan resusitasi jantung. Terdapat
dua jenis algoritma berdasarkan kompetensi penolong korban yaitu algoritma untuk
tenaga kesehatan, dan algoritma untuk tenaga non kesehatan.
A. Algoritma untuk tenaga kesehatan
a. Pastikan 3 A
Saat akan menolong korban pastikan 3 hal yaitu aman diri, aman korban, dan
aman lingkungan. Aman diri artinya penolong harus memastikan bahwa
pertolongan yang dilakukan tidak mencelakai dirinya sendiri. Aman korban
artinya penanganan yang dilakukan tidak menambah cedera korban. Aman
lingkungan artinya pertolongan dilakukan pada lingkungan yang aman dan tidak
beresiko mencelakakan penolong maupun korban.
b. Cek Respon
Mengecek respon pasien dilakukan dengan cara menepuk bahu korban dan
bertanya dengan keras “ Apakah anda baik-baik saja...”. Jika tidak ada respon,
dimana pasien tidak sadar, nafas abnormal (gasping), maka segera panggil
bantuan.
c. Panggil Bantuan
Minta pertolongan orang terdekat untuk mengamankan lokasi atau
memanggil bantuan darurat. Beberapa hal yang perlu diinformasikan saat
melakukan panggilan antara lain: nama infroman, nomor telepon, kondisi dan
jumlah korban, serta lokasi kejadian.
d. Cek Nadi
21
Cek nadi karotis pasien dalam waktu < 10 detik. Jika teraba lakukan cek
jalan nafas dan bantuan nafas jika perlu. Namun jika tidak teraba atau ragu-ragu,
segera lakukan kompresi dada.
e. Kompresi Dada dan Bantuan Nafas
Teknik kompresi dada:
Letakan pangkal telapak tangan yang dominan di setengah bawah tulang
sternum. Letakan tangan yang lain di atasnya dengan jari saling mengunci
Lakukan tekanan dengan keras dan cepat. Kecepatan yang direkomandasikan
adalah 100 – 120 kali /menit, sedangkan kedalamannya 5-6 cm
Pastikan recoil dada sempurna dan minimalkan interupsi.
Rasio kompresi dada : nafas = 30:2
Jika ada dua penolong, lakukan pergantian setiap 2 menit atau 5
f. Rescue Breathing
Rescue breathing dilakukan jika pasien nadinya sudah teraba, namun nafasnya
belum adekuat. Teknik rescue breathing sama dengan teknik bantuan nafas.
Dalam satu siklus, rescue breathing diberikan 20-24 x/menit. Rescue breathing
g. Posisi mantap
Posisi mantap diberikan jika nadi dan nafas pasien telah pulih. Tujuannya adalah
untuk memposisikan pasien senyaman mungkin sehingga bisa melakukan
pernafasan dengan baik. Selain itu posisi ini bisa mencegah pasien dari
kemungkinan mengalami aspirasi. Miringkan korban ke arah kiri untuk
menghindari tekanan pada aorta abdominalis yang bisa menghambat aliran balik
vena ke jantung.
Referensi
Atkins, D. L., Berger, S., Duff, J. P., Gonzales, J. C., Hunt, E. A., Joyner, B. L., ... & Schexnayder,
S. M. (2015). Part 11: Pediatric Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation, 132(18 suppl 2), S519-S525.
Kleinman, M. E., Brennan, E. E., Goldberger, Z. D., Swor, R. A., Terry, M., Bobrow, B. J., ... &
Rea, T. (2015). Part 5: Adult basic life support and cardiopulmonary resuscitation
quality. Circulation, 132(18 suppl 2), S414-S435.
Jeejeebhoy, F. M., Zelop, C. M., Lipman, S., Carvalho, B., Joglar, J., Mhyre, J. M., ... & Page, R.
L. (2015). Cardiac Arrest in Pregnancy. Circulation, CIR-0000000000000300.
25
Jika anda menemukan pasien trauma, yang harus anda lakukan adalah:
Cek kesadaran : AVPU (Respon Alert, Respon Verbal, Respon Pain, Un Respon)
*Sadar pemeriksaan di sesuaikan dengan permasalahan yang ada ABCDE
*Tidak Sadar, lakukan :
Khusus untuk Pasien non trauma yang tidak sadar, Buka Airway dengan tehnik Head Tilt &
ChinLift.
Catatan :
* Snoring (ngorok), sering terjadi pada pasien tidak sadar karena pangkal lidah
jatuh ke belakang
* Gurgling (kumur-kumur), terjadi sumbatan karena cairan (darah, sekret/ slem)
* Stridor, terjadi karena oedem Faring /Laring (cedera inhalasi), misal : pasien
dengan riwayat menghirup uap panas/Carbon Monoksida.
B : Pernapasan + oksigenasi/Ventilasi
Nilai frekuensi pernafasan, kemudian berikan oksigen bila ada masalah terhadap ABCD :
Pilihan :
* Canul 2- 6 LPM
* Face mask/RM (Rebreathing Mask) 6-10 LPM
* NRM (Non Rebreathing Mask) 10 – 12 LPM
* BVM (Bag Valve Mask)→Bila pernapasannya tidak adekwat atau apneu berikan
Ventilasi tambahan dengan tehnik Bagging/ventilator.
Jika frekuensi pernafasan pasien semakin bertambah/ sesak maka langkah berikutnya cari
penyebabnya dengan melakukan pemeriksaan Inspeksi, Auskultasi, Perkusi dan Palpasi. Untuk
menentukan ada atau tidaknya kecurigaan terhadap masalah breathing yang dapat segera
mengancam nyawa.
Pada Pasien Trauma waspada terhadap gangguan/ masalah breathing yang cepat dapat
menyebabkan kematian, diantaranya :
4 masalah yang mengancam breathing serta tindakannya adalah :
1. Tension Pneumothoraks (terperangkapnya udara didalam rongga pleura), dengan
pemeriksaan IAPP temukan tanda dan gejalanya sebagai berikut:
Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
Ekspansi dinding dada tidak simetris disertai jejas pada daerah thorax
Hasil auskultasi negatif
Hasil perkusi hypersonor
Trakhea bergeser
Distensi vena Jugularis
Tindakan penyelamatan setelah pemberian O2 yaitu dekompresi needle thoracosintesis di
ICS 2 mid clavicula
Kemudian kolaborasi dokter untuk tindakan pemasangan Chest Tube/WSD
27
2. Open Pneumothoraks, (luka terbuka pada thorax), temukan tanda dan gejalanya sebagai
berikut:
Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
Ekspansi dinding dada tidak simetris
Luka terbuka/tembus pada thorax
Hasil perkusi hypersonor
Terdengar suara Sucking Chest Wound (yaitu paru menghisap udara lewat lubang
luka) pada luka terbuka/tembus.
Tindakan setelah pemberian O2 tutup dengan kassa 3 sisi yang kedap udara
Kemudian kolaborasi dokter untuk tindakan pemasangan Chest Tube/WSD
3. Masive Haematotoraks (perdarahan didalam rongga pleura/thorax), dengan
pemeriksaan IAPP temukan tanda dan gejalanya sebagai berikut:
Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
Ekspansi dinding dada tidak simetris disertai jejas/fraktur pada daerah thorax
Hasil auskultasi negatif
Hasil perkusi dullness/pekak/redup
Terdapat tanda-tanda shock hemoragic dengan perdarahan ≥ 1500 cc (≥ 200cc/jam
selama 2 jam)
Tindakan setelah pemberian O2
Kemudian kolaborasi dokter untuk tindakan pemasangan Chest Tube/WSD nilai apakah
perlu thoracotomy?
4. Flail Chest dengan Kontusio Paru (fraktur pada costae lebih dari 2 segmen), dengan
pemeriksaan IAPP temukan tanda dan gejalanya sebagai berikut:
Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
Ekspansi dinding dada tampak Paradoksal
Pasien nyeri hebat saat bernafas sehingga cenderung takut bernafas
Tindakan setelah pemberian O2 analgetik, assisted ventilasi → perlu Definitif/intubasi
(semua perlu kolaborasi dokter)
diguyur (pertimbangan 3:1 resusitasi cairan). Jangan lupa ambil sample darah (lab dan
golongan darah).
Perdarahan internal : perbaiki volume untuk cegah syok lebih lanjut, pelvis → gurita, femur →
bidai, toraks → konsul dokter bedah (torakotomy), abdomen & retroperitoneal → konsul dokter
bedah (laparatomy). Tentukan penatalaksanaannya.
Pertimbangkan pemberian tranfusi darah.
Catatan :
29
Ingat !!! kesadaran pasien adalah bagian dari prognosis, pasien akan membaik prognosisnya jika
A,B,C dalam keadaan stabil dan resusitasinya berkualitas.
E : Exposure (Gunting pakaian dan lihat jejas/cedera ancaman yang lain), kemudian cegah
hipotermia → selimut.
Bila tidak ada kontra indikasi : pasang, urine pertama dibuang, lalu tampung.
Periksa pengeluaran/jam, normal : 0,5 cc/kg BB/jam, dewasa
1 CC / kg BB / jam, anak
2 CC /kg BB / jam, bayi
Pertimbangan pemasangan, indikasi bisa saja dilakukan pada tahap circulation.
G : Gastric Tube (NGT)
Bila lewat hidung perhatikan kontra indikasi : fr. Tulang basis cranii cegah lalu lakukan lewat
mulut (OGT), perhatikan pula indikasi pemasangan yakni :
1. Untuk kepentingan selama proses pembedahan karena pasien tidak sadar
2. Untuk mengurangi distensi Abdomen
3. Untuk mencegah aspirasi
4. Untuk kuras lambung
5. Untuk pemberian nutrisi dan therapy obat
RE – Evaluasi A-B-C-D-E
SECONDARY SURVEY
Anamnesa : AMPLE (Alergi, Medication, Past History, Last meal, Event) atau KOMPAK
(Keluhan, Obat, Makan terakhir, Penyakit Penyerta, Alergi, Kejadian)
Log Roll → From Head to toe, Finger in every orifice : periksa dengan teliti untuk menilai
adakah BTLS ? (perubahan Bentuk, Tumor, Luka, dan Sakit)
TTV
Siapkan untuk :
RS Rujukan, jangan lupa hubungi RS yang dituju dan jelaskan syarat dan teknis merujuk
pasien.
OK
ICU
Jahit
Catatan : Log Roll bisa di lakukan di tahap primary survey jika memang ada indikasi yang
mengancam nyawa, namun dilakukan hanya 1 kali.
31
A. Pembalutan
Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan
baik oleh dokter dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut
merujuk pada aplikasi secara luas maupun secara sempit pembalutan untuk tujuan
terapeutik. Apapun alasannya, perlu diingat bahwa jika tidak diterapkan dengan
benar, membalut dapat lebih cepat dan mudah menyebabkan injury. Tekanan
pembalutan harus tidak melebihi tekanan hidrostatik intravaskuler, jika membalut
bertujuan untuk mengurangi pembentukan oedema tanpa meningkatkan tahanan
vaskuler yang dapat merusak aliran darah.
1. Tujuan Pembalutan
Imobilisasi (Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian
itu tidak bergeser)
Pressure (Menahan pembengkakan yang dapat terjadi pada luka)
Secondary Dressing (Melindungi atau mempertahankan balutan utama pada
luka)
Menutup bagian tubuh agar tidak terkontaminasi
a. Mitella
Bahan pembalut yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai
ukuran. Panjang kaki antara 50-100cm. Dapat dibuat dengan mudah
contohnya dari kain katun yang halus, pakaian bekas dan selimut. Usahakan
kain yang digunakan mudah dibentuk , kuat dan halus. Pembalut ini
dipergunakan pada bagian tubuh yang berbentuk bulat/silindris dan untuk
menggantung bagian anggota badan yang cedera. Pembalut ini biasa dipakai
pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan, pinggul, telapak kaki,
dan untuk menggantung lengan.
b. Dasi
Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga
agar beberapa lapis dan berbentuk seperti pita dengan kedua ujung-ujungnya
lancip dengan lebamya antara 5-10cm. Pembalut ini biasa dipergunakan
untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang lain), rahang, ketiak,
lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.
Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan
elastis.Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah
menyerap air, darah dan tidak mudah bergeser ( Kendor).
d. Plester:
Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang
terkilir, untuk merekatkan pada kelainan patah tulang. Plester penutup luka
biasanya dilengkapi dengan obat anti septik.
f. Kasa Steril
Kasa steril merupakan kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk
menutup luka kecil yang sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik).
Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut dapat menggunakan plaster
atau elastic bandage.
3. Prosedur pembalutan
1) Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan
Bagian dari tubuh yang mana ?
Apakah ada luka terbuka atau tidak ?
Bagaimana luas luka tersebut ?
Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak ?
2) Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan, dapat salah satu atau
kombinanasi
3) Sebelum dibalut jika luka terbuka perlu diberi desinfektan atau dibalut
dengan pembalut yang mengandung desinfektan atau dislokasi perlu
direposisi
4) Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan :
33
Mitella Tangan
Balutan Spiral
Digunakan untuk membalut bagian tubuh berbentuk silindris seperti pada
lengan, kaki dan paha.
Balutan Kepala
Digunakan untuk melindungi balutan utama pada kepala. Terdapat dua teknik
balutan yaitu dengan 1 rol balutan dan 2 rol balutan. Balutan dengan 2 rol
digunakan jika tidak terdapat asisten untuk membantu pemasangan balutan.
Metode 1 roll
B. PEMBIDAIAN
Semua ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai Bidai
atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah
tidak bergerak (immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit.
Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis pada bagian
distal yang mengalami cedera sebelum dan sesudah imobilisasi.
Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah atau dua tulang dari
sendi yang terganggu. Sebelum dipasang diukur lebih dulu pada anggota
badan korban yang tidak sakit
Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku
Lakukah tarikan secara perlahan sampai lurus sumbu tulang sehingga dapat
dipasang bidai yang benar. Tarikan /traksi segera dilepas bila saat diperiksa
tampak sianotik dan nadi lemah.
Pada kecurigaaan trauma tulang belakang letakkan pada posisi satu garis.
Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat
yang patah
Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.
Jangan memindahkan penderita sebelum imobilisasi selesai dilakukan kecuali
ada ditempat bahaya
3. Macam-Macam Bidai/Splint
Rigid splint
Pneumatic splint & gips
Traction splint
Perekaman EKG sering dibuat dengan kecepatan 25 mm/detik, kalibrasi biasa dilakukan
dengan 1 milivolt yang menghasilkan defleksi setinggi 10 mm.
Keterangan gambar
1. Gelombang P
Merupakan depolarisasi atrium dengan nilai normal:
Tinggi : < 0,3 mvolt
Lebar : < 0,12 detik
Selalu positif di L II
Selalu negatif di aVR
Kepentingan
Mengetahui kelainan di Atrium
47
2. Interval PR
Menggambarkan waktu konduksi AV, diukur dari permulaan gelombang P sampai
permulaan gelombang QRS dengan nilai normal 0,12 - 0,20 detik.
Kepentingan :
Kelainan sistem konduksi/blok
3. Kompleks QRS
Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel dengan nilai normal:
Lebar : 0,06 - 0,12 detik
Tinggi : tergantung lead
Kompleks QRS terdiri dari gelombang Q, R dan S.
Kepentingan :
Mengetahui adanya hipertrofi ventrikel
Mengetahui adanya Bundle branch block
Mengetahui adanya infark
4. Gelombang Q
Merupakan defleksi negatif pertama pada kompleks QRS dengan nilai normal:
Lebar : < 0,04 detik
Dalam : kurang dari 1/3 tinggi gelombang R
Gelombang Q yang abnormal disebut Q patologis
5. Gelombang R
Merupakan defleksi positif pertama pada kompleks QRS. Gel R umumnya positif di lead
I,II,V5 dan V6. Di lead aVR, V1,V2 biasanya hanya kecil atau tidak ada.
6. Gelombang S
Merupakan defleksi negatif setelah gelombang R. Di lead aVR dan V1 gelombang S terlihat
dalam. Dari V2 ke V6 akan terlihat makin lama makin menghilang
7. Gelombang T
Merupakan gambaran repolarisasi ventrikel dengan nilai normal :
Tinggi : 1 mV di lead dada
0,5 mV di lead ekstrimitas
Minimal ada 0,1 mV
Kepentingan :
Mengetahui adanya iskemia/infark
Kelainan elektrolit
8. Gelombang U
Merupakan defleksi positif setelah gelombang T dan sebelum gelombang P berikutnya.
9. Segment ST
Diukur dari akhir gelombang QRS sampai permulaan gelombang T. Segment T ini
normalnya isoelektris. Jika segment ST diatas garis isoelektris disebut ST elevasi dan yang
dibawah garis isoelektris disebut ST depresi.
48
Kriteria EKG normal atau irama sinus (SR) adalah sebagai berikut :
Irama teratur.
Frekwensi jantung (HR) antara 60-100 x/menit.
Gel P normal, setiap gel P diikuti gel QRS dan T.
Interval PR normal ( 0,12 – 0,20 detik ).
Gel QRS normal ( 0,06 – 0,12 detik ).
Semua gelombang sama.
Irama EKG yg tidak mempunyai kriteria tersebut disebut disritmia atau aritmia
SANDAPAN EKG
II III
Elektroda diletakkan di sisi dalam pergelangan tangan dan kaki. Apabila ekstremitas
diamputasi maka elektroda diletakkan dapat diletakkan pada puntung ekstremitas.
Sedangkan pada pasien tremor, elektroda dapat diletakkan di bagian atas ekstremitas guna
mendapatkan hasil rekaman yang lebih baik.
b. Sandapan Unipolar
Sandapan Unipolar Ektremitas yang diperkuat (augmented)
Merekam besar potensial listrik pada satu ektremitas, elektroda diletakkan pada
ektremitas yg akan diukur. Gabungan elektroda-elektroda pada ektremitas yg lain
membentuk elektroda indiferen (aVR, aVL, aVF).
Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika akan melakukan perekaman EKG, yaitu:
1. Pasien sebaiknya berbaring pada tempat tidur yang nyaman atau meja yang cukup luas
untuk menyokong seluruh tubuh
2. Pasien dianjurkan untuk istirahat total karena gerakan pasien dapat merubah hasil
rekaman.
3. Sebelum melakukan perekaman hendaknya pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan
terkait prosedur tindakan supaya menurunkan/menghilangkan ketakutan.
4. Kulit dan elektroda harus kontak dengan baik. Untuk mendapatkan hasil yang optimal
dapat menggunakan gel.
5. Alat EKG harus distandarisasi dengan cermat sehingga 1 milivolt akan menimbulkan
defleksi 1 cm.
6. Pasien dan alat harus di arde dengan baik untuk menghindari gangguan arus bolak – balik.
51
Berdasarkan jumlah sadapan yang dianalisis, EKG dibedakan menjadi EKG strip dan
EKG lengkap 12 lead. Analisa EKG strip merupakan analisa yang dilakukan pada salah satu
lead saja. Gambar 23 berikut ini salah satu contoh dari EKG strip
P Pulmonal
b. Gelombang P mitral
Gelombang P ini memiliki lebar > 0,12 detik dan membentuk huruf M.
Bentuk gelombang P ini juga merupakan salah satu petunjuk adanya hipertropi atrium
kiri.
c. Irama Junctional
Irama junctional berasal dari sel di luar nodus SA sehingga menghasilkan
bentuk gelombang P yang aneh atau tidak ada sama sekali. Hal ini seperti terlihat pada
Gambar 31.
5. Tentukan interval PR
Beberapa kondisi yang menyebabkan adanya kelainan bentuk pada interval PR antara lain:
a. Blokade sistem konduksi
54
7. Interpretasi
55
Interpretasi EKG strip ditegakan berdasarkan 6 komponen, seperti terlihat pada Gambar
38.
Irama EKG normal dikenal sebagai irama sinus yang memenuhi beberapa kriteria
antara lain
Irama : regular
Frekuensi : 60 – 100 x/menit
Gel P : normal
Interval PR : 0,12 – 0,2 detik
Kompleks QRS : Sempit (< 0,12 detik)
Bentuk gelombang : seragam
Sedangkan untuk EKG strp yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dinamakan
sebagai disritmia. Adapun jenis-jenis disritmia yang bisa ditegakan melalui EKG strip ini
antara lain:
• Sinus takikardi
• Sinus bradikardi
• Irama junctional (accelerated, bradikardi, & takikardi)
• Irama ventrikular (accelerated, takikardi)
• Atrial flutter
• Atrial fibrilation
• AV blok
• VT/VF
Interpretasi EKG Lengkap 12 Lead
Interpretasi EKG lengkap 12 lead memiliki 7 langkah, antara lain:
1. Menentukan irama
Kaji apakah iramanya regullar atau iregullar ?
Caranya sama seperti dalam menentukan irama pada EKG strip
Kaji apakah termasuk irama sinus ?
Irama sinus ditandai dengan adanya gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS.
Hal ini bisa dilihat pada Gambar 39 dan 40
2. Menentukan HR
Cara yang digunakan sama dengan yang dilakukan paa EKG strip. Sedangkan lead yang
dipilih adalah yang memiliki gambaran gelombang paling jelas.
Berdasarkan Gambar 41, maka lead yang bisa dipilih adalah Lead II karena memiliki
bentuk gelombang R yang paling jelas.
3. Menentukan aksis jantung
Aksis jantung merupakan arah rata-rata kelistrikan miokardium. Aksis normal jantung
berada pada rentang -300 hingga +1100.
Sedangkan letak aksis di luar area normal dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
Left Axis Deviation
Axis jantung berada pada rentang -300 sampai dengan -900
Right Axis Deviation
Axis jantung berada pada rentang +1100 sampai dengan +1800.
Undetermined Axis Deviation
Sering dikenal pula sebagai extreme RAD dan adapula yang menyatakan sebagai
Northwest axis.
Letak aksis jantung ditentukan melalui beberapa langkah berikut ini, antara lain:
57
a. Buat bentuk dua garis menyilang kemudian namai lead I (untuk horisontal) dan aVF
untuk vertikal, seperti pada Gambar 43
Gambar 43. Garis menyilang
d. Buat garis lurus pada melalui kedua titik (a & b) tersebut hingga terbentuk titik
potong (c). Kemudian tarik garis dari pusat diagram (e) menuju titik pertemuan
garis tersebut.
Gambar 46. Tarik garis lurus dari sumbu grafik ke titik pertemuan.
Pengkajian yang dilakukan meliputi identifikasi gambaran iskemi, injuri, atau infark pada
sadapan atau lead EKG. Selanjutnya tentukan dimana lokasi miokard yang terkena
berdasarkan gambaran leadnya.
Gambar 46. Gambaran Iskemi, Injuri dan Infark
7. Interpretasi
Komponen yang digunakan dalam menegakan kesimpulan dalam interpretasi EKG dapat
dlihat pada Gambar 49
MATERI BLS & AED Airway and Initial Balut Interpretasi Keterangan
(Fasilitator) (RK) Breathing Assesment Bidai & EKG (SA)
Management (AIH) Transpor
(IP) tasi
(GNA)
Pertemuan I 1 2 3 4 5 Pendampingan
penuh
Pertemuan II 2 3 4 5 1 Pendampingan
penuh
Pertemuan III 3 4 5 1 2 Pendampingan
penuh
Pertemuan 4 5 1 2 3 Pendampingan
IV penuh
Pertemuan V 5 1 2 3 4 Pendampingan
penuh
Pertemuan 1 2 3 4 4 Supervisi
VI
Pertemuan 2 3 4 5 1 Supervisi
VII
Pertemuan 3 4 5 1 2 Supervisi
VIII
Pertemuan 4 5 1 2 3 Supervisi
IX
Pertemuan X 5 1 2 3 4 Supervisi
Pertemuan Mandiri
XI
Pertemuan 1 2 3 4 4 Ujian
XII
Pertemuan 2 3 4 5 1 Ujian
XIII
Pertemuan 3 4 5 1 2 Ujian
XIV
Pertemuan 4 5 1 2 3 Ujian
XV
Pertemuan 5 1 2 3 4 Ujian
XVI
Keterangan:
Jadwal latihan mandiri bisa digunakan untuk melakukan ujian tergantung kesiapan
dosen penguji dan kelompok
62