Anda di halaman 1dari 62

Program

Studi Ners

BUKU PANDUAN PRAKTIKUM

NSA4738
Keperawatan Gawat Darurat

Tim Penyusun:
Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns., M.Kep
Galih Noor Alivian, S.Kep., Ns., M.Kep
Arif Imam Hidayat, S.Kep., Ns., MNS
Dr. Iwan Purnawan, S.Kep., Ns., M.Kep
Dr. Sidik Awaludin, M.Kep., Ns., Sp.MB

Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan (Fikes)


Universitas Jenderal Soedirman
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Buku : Buku Panduan Praktikum


Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat
Kode Mata Kuliah : NSA4738
Nama Penyusun :
1. Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns., M.Kep
1. Dr. Iwan Purnawan, M.Kep. Ns
2. Dr. Sidik Awaludin, M.Kep., Sp.Kep.MB
3. Galih Noor Alivian, S.Kep., Ns., M.Kep
4. Arif Imam Hidayat, S.Kep., Ns., M.Kep

Fakultas : Ilmu-ilmu Kesehatan


Jurusan : Keperawatan

Menyetujui
Ketua Jurusan Keperawatan Koordinator Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat

Ns. Mekar Dwi Anggraini, M.Kep, Ph.D Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns., M.Kep
NIP 198109042005012001 NIP. 198202262006041001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu-ilmu Kesehatan

Prof. Dr. Saryono, S.Kp., M.Kes.


NIP 197612102002121001

2
3

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, sehingga Buku Panduan Praktikum Mata Kuliah Keperawatan Gawat
Darurat Jurusan Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dapat
terselesaikan dengan baik. Buku ini disusun berdasarkan kurikulum terbari tahun 2015.
Kurikulum baru ini dirancang untuk menjawab tantangan global dunia pendidikan
khususnya untuk mencipta Ners yang terampil dan profesional. Pendidikan keperawatan
pada masa kini selalu mengalami perubahan dinamis, cepat dan kontinyu. Ners dari
Universitas Jenderal Soedirman diharapkan mampu menangani pasien maupun masalah
kesehatan di masyarakat, sehingga wajib dibekali pengetahuan yang luas, keterampilan
yang handal, mampu berkomunikasi berdasarkan empati (komunikasi efektif), serta
berbudi pekerti luhur yang tercermin pada sikap dan perilaku. Beranjak dari hal itu, maka
kurikulum 2015 disusun berdasarkan paradigma baru pendidikan Ners dengan waktu
studi diselesaikan minimal selama 3,5 tahun untuk akademik dan satu tahun untuk
profesi Ners.

Buku Panduan Praktikum MK Keperawatan Gawat Darurat ini merupakan


panduan bealjar mahasiswa pada ranah psikomotor yang melibatkan ranah kognitif
(berfikir kritis) dan efektif di dalamnya. Jumlah keterampilan tindakan pada Buku
Panduan Praktikum ini berjumlah 5 keterampilan. Kompetensi psikomotor pada MK ini
diharapkan dimiliki oleh seorang Ners atau calon perawat lulusan Universitas Jenderal
Soedirman, sehingga setelah mengikuti MK ini, kemampuan yang diperoleh dapat
diinternalisasikan dan terus-menerus diterapkan pada tingkat selanjutnya sampai nanti
menjadi Ners praktisi.

Saran dan kritik membangun masih kami tim terima dalam rangka perbaikan
buku panduan Praktikum Keperawatan Gawat Darurat ini sehingga pengembangan dan
peningkatan mutu pendididikan profesi keperawatan khususnya di Jurusan keperawatan
Fikes Unsoed ini akan terwujud dengan kerja sama berbagai pihak dalam proses
pembelajaran bersama.

Purwokerto, 1 Agustus 2022

Tim MK Keperawatan Gadar


4

DAFTAR ISI

Halaman Judul 1
Halaman Pengesahan 2
Kata Pengantar 3
Daftar Isi 4
Manajemen airways & Control Servical 5
Needle decompression & Aplikasi kasa tiga sisi 15
Bantuan Hidup Dasar (Dewasa, Anak, Ibu Hamil) 19
Algoritma Initial Assesment 25
Balut Bidai 31
Dasar Interpretasi EKG 46
5

AIRWAY MANAGEMENT

Oleh : Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., Ns., M.Kep

Airway atau jalan napas dapat dibedakan menjadi 2 yaitu jalan napas atas dan
jalan napas bawah. Jalan napas merupakan saluran yang memungkinkan udara
atmosfer masuk melalui hidung atau mulut diteruskan ke bronkus hingga ke alveoli.
Jalan napas atas terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, laring, trakhea sampai
percabangan bronkus. Jalan napas bawah terdiri dari bronkus, percabangan bronkus
dan paru-paru (118, 2007).

A. Gangguan Jalan Nafas


Perawat dapat mengetahui adanya obstruksi jalan napas pada saat penilaian awal.
Pasien yang sadar dan dapat berbicara merupakan tanda airway yang baik. Oleh
karena itu, tindakan awal saat menolong pasien adalah berusaha berbicara
dengan pasien. Jawaban yang adekut menjamin airway yang baik, pernapasan
yang baik dan perfusi ke otak yang baik. Gangguan dalam menjawab pertanyaan
menunjukkan gangguan kesadaran, gangguan jalan napas atau gangguan pada
pernapasan (118, 2007).
Obstruksi jalan nafas juga dapat dikenali melalui tanda objektif pada pasien.
Tanda objektif dapat diketahui dengan melakukan Look, Listen dan Feel.
1. Look
Lihat apakah kesadaran pasien berubah. Bila penderita gelisah, kemungkinan
besar mengalami hipoksia. Lihat adanya sianosis pada kuku dan sekitar mulut.
Lihat adanya penggunaan otot pernapasan.
2. Listen
Pernapasan yang berbunyi adalah pernapasan yang terobstruksi.
a. Mengorok (Snoring): lidah jatuh kebelakang sehingga menutup jalan napas.
b. Bunyi cairan/seperti orang berkumur (Gurgling): darah atau cairan
disekitar rongga pernapasan.
c. Stridor: bunyi stridor bisa disebut juga bunyi high pitch wheezing
disebabkan oleh obstruksi parsial faring atau laring.
3. Feel
Rasakan keluarnya udara dari hidung atau mulut pasien (merasakan adanya
udara ekspirasi).
6

B. Macam-macam Obstruksi Jalan Napas


1. Obstruksi jalan napas total
Pasien yang mengalami obstruksi jalan napas total dapat ditemukan
dalam keadaan sadar atau tidak sadar. Obstruksi total akut biasanya
disebabkan oleh benda asing yang tertelan kemudian menyangkut atau
menyumbat pangkal laring. Obstruksi total juga dapat timbul perlahan yang
berawal dari obstruksi parsial.
Sumbatan benda asing pada saluran pernapasan dapat disebut juga Foreign
Body Airway Obstruction (FBAO). Tanda-tanda pasien yang mengalami FBAO
adalah pasien tampak kesulitan bernapas seperti batuk yang tidak bersuara,
sianosis, tidak dapat besuara atau bernapas. Pasien yang memegang leher
yang menampakkan tanda umum tersedak. Segera tanyakan apakah pasien
tersedak. Jika pasien mengisyaratkan “ya” dengan mengangguk segera lakukan
pembebasan airway dengan cara heimlich manuver (abdominal thrust/ chest
thrust).
2. Obstruksi jalan napas parsial
Pada obstruksi parsial pasien masih dapat bernapas, tetapi napas biasanya
disertai bunyi (118, 2007). Sumbatan pada obstruksi parsial dapat bermacam-
macam, sehingga menimbulkan suara yang bermacam-macam.
a. Cairan (darah, sekret, aspirasi lambung, dsb)
Pada sumbatan ini timbul suara gurgling, suara napas bercampur suara
cairan. Dalam keadaan ini harus dilakukan penghisapan.
b. Pangkal lidah yang jatuh ke belakang
Keadaan ini dapat timbul pada pasien yang tidak sadar (coma) atau
penderitaan yang tulang rahang bilateralnya patah. Sehingga timbul suara
mengorok atau snoring yang harus segara diatasi dengan perbaikan airway
secara manual atau dengan alat.
c. Penyempitan di larinks atau trakhea
Dapat disebabkan edem karena berbagai hal (luka bakar, radang, dsb)
ataupun desakan neoplasma. Timbul suara “crowing” atau stridor.
Keadaan ini hanya dapat diatasi dengan perbaikan airway pada bagian
distal sumbatan, misalnya trakeostomi.
7

C. Pengelolaan Jalan Napas


1. Airway Positioning
Indikasi airway positioning adalah untuk membuka dan mempertahankan
jalan napas atau untuk mengatasi parsial atau total airway obstruction yang
disebabkan oleh lidah yang jatuh ke posterior faring dan atau epiglotis yang
yang menutup laring. Airway positioning diindikasikan untuk pasien tidak
sadar yang tidak memiliki airway yang adekuat (Proehl, 2005).
Prosedur tindakan:
a. Tempatkan pasien pada posisi supine.
b. Untuk manuver Head-tilt Chin-lift (gambar 2) , angkat dagu ke depan untuk
memindahkan mandibula ke arah anterior, sementara itu
miringkan/arahkan kepala dengan tangan di daerah dahi sehingga kepala
hiperekstensi di daerah leher (manuver ini tidak boleh dilakukan pada
pasien yang dicurigai cidera servikal)
c. Jika Head-tilt Chin-lift tidak berhasil atau kontraindikasi dengan keadaan
pasien, gunakan menuver jaw thrust atau chin lift.
Manuver Jaw thrust: angkat mandibula ke depan dengan jari telunjuk,
sementara itu ibu jari menekan ke arah berlawanan arkus zygomatikus.
Manuver chin Lift: tempatkan satu tangan pada dahi untuk menstabilkan
kepala dan leher. Dengan tangan yang lain pegang mandibula antara ibu
jari dan telunjuk. Angkat mandibula ke arah depan/ke atas.
d. Kaji kembali patensi jalan napas.

Gambar 2. Head Tilt Chin Lift Gambar 3. Jaw thrust

Pertimbangan Usia:
a. Head-tilt Chin-lift pada infant, tempatkan satu tangan pada dahi dan
posisikan kepala secara lembut ke posisi netral, kemudian dengan tangan
8

yang lain angkat leher secara lembt hingga sedikit ektensi (Hiperekstensi
pada leher infant akan menyebabkan obstruksi pada airway). Manuver ini
dikenal sebagai “sniffing position”. Kemudian tempatkan jari di bawah dagu
bagian paling bawah yang masih terdapat tulang, angkat mandibula ke atas
atau ke arah luar.
b. Anak-anak dengan gejala epiglotitis, seperti demam tinggi atau yang
lainnya tidak boleh dipaksakan untuk posisi supine (posisi supine pada
keadaan ini akan menyebabkan ostruksi jalan napas). Biarkan anak
mempertahankan posisi nyaman sampai managemen airway definitif
tersedia.

2. Airway Foreign Object Removal


Tindakan ini diindikasikan untuk mengatasi obstruksi jalan napas atas yang
disebabkan oleh benda asing/FBAO (Proehl, 2005). Pasien yang mengalami
FBAO dapat dikenali dangan tanda gejala berikut:
a. Tiba-tiba tidak dapat berbicara
b. Tanda tersedak universal: menyengkeram
leher (Gambar 3)
c. Pernapasan yang berbunyi (high pitch sounds)
selama isnpirasi
d. Penggunaan otot pernapsan aksesoris dan
peningkatan kesulitan bernapas
e. Batuk yang melemah atau tidak mampu untuk
batuk
Gambar 3
f. Tidak dapat bernapas spontas dan sianosis
g. Pada infant dan anak-anak, terjadi distres pernapasan yang tiba-tiba
ditandai dengan batuk, muntah, stridor atau wheezing.

Kontraindikasi dan perhatian khusus:


a. Pada pasien sadar, batuk dapat membebaskan jalan napas dari sumbatan.
Jangan mengganggu usaha batuk pasien kecuali jika tidak ada aliran udara
samasekali.
b. Chest thrust tidak boleh dilakukan pada pasien dengan chest injury,
contohnya: flail chest, kontusio jantung, atau fraktur sternal.
c. Pada pasien yang hamil trimester akhir (hamil tua) atau pasien obesitas,
chest thrust lebih direkomendasikan.
d. Posisi tangan yang benar sangat penting untuk menghindari injury pada
organ di dalam perut saat melakukan adominal thrust.
Peralatan yang mungkin dibutuhkan:
9

a. Suction jika memungkinkan


b. Forcep Magill atau forcep Kelly dan laringoskop (digunakan untuk
mengambil benda asing yang dapat terlihat di jalan napas atas )
Prosedur Tindakan:
a. Berdiri dibelakang pasien yang duduk atau berdiri dan lilitkan kedua
tangan ke perut. Jika pasien posisi supine, penolong berada di atas
mengapit kedua paha pasien dengan posisi mengangkang dengan lutut
sebagai tumpuan. (Gambar 4 dan 5).
b. Penempatan tangan:
1) Untuk pasien yang berdiri atau duduk , buatlah kepalan dengan satu
tangan dan kemudian genggam kepalan dengan tangan yang lain.
Tempatkan kepalan di bawah tulang xipoid diatas pusar (Gambar 6).
2) Untuk pasien posisi supine, tempatkan satu tangan diatas tangan yang
lain, dengan bagian tumit tangan yang di bawah mendorong perut.
c. Dorong dengan cepat, tekan perut ke dalam dan ke atas (naik).
d. Jika perlu, ulangi abdominal thrust beberapa kali untuk mengatasi
obstruksi jalan napas. Kaji airway secara berkala untuk mengetahui
keberhasilan manuver.
e. Untuk pasien yang sedang hamil tua atau pasien obesitas, chest thrust lebih
direkomendasikan. Posisi pasien dapat berdiri, duduk atau berbaring.
Tempatkan satu tangan di atas tangan yang lain. Tempatkan tangan di
midstrenal area diatas tulang xipoid (posisi yang sama seperti melakukan
pijat jantung eksternal). Dorong lurus ke bawah ke arah tulang belakang.
Jika perlu ulangi chest thrust sampai airway bebas dari obstruksi (Gambar
7 dan 8).
f. Jika memungkinkan, gunakan laringoskop untuk melihat faring secara
langsung, gunakan forsep Kelly untuk mengambil benda yang menyumbat
jalan napas.

Gambar 4 Abdominal Thrust Gambar 5 Abdominal Thrust posisi supine


10

Gambar 6. Posisi tangan pada chest thrust

Gambar 7. Chest thrust pada orang obesitas Gambar 8. Chest thrust pada ibu hamil
Pertimbangan Usia:
a. Pada infant, pangku infant dengan posisi telungkup, sangga infant dengan lengan
atas penolong, posisi kepala lebih rendah dari leher. Sangga kepala infant dengan
memegang bagian rahang.
b. tepuk punggung infant diantara tulang skapula dengan menggunakan tumit
tangan secara bertenaga sebanyak 5 kali (Gambar 9).
c. Balik infant ke posisi supine, sangga kepala dan leher.
d. Lakukan chest thrust secara cepat sebanyak 5 kali. Saat chest thrust tempatkan
jari telunjuk di sternum di bawah nipple infant, kemudian letakkan jari tengah
berdekatan dengan jari telunjuk (Gambar 9)..
e. Langkah a sampai d dapat terus dilakukan sampai benda asing keluar atau infant
tidak sadarkan diri.
f. Jika infant tidak sadarkan diri, buka jalan napas dan ambil benda asing jika
terlihat. Blind finger sweep tidak boleh dilakukan pada infant dan anak-anak
11

karena dapat menyebabkan benda asing masuk ke saluran pernapsan lebih


dalam.
Anak-anak usia 1-8 tahun:
a. Untuk pasien yang duduk atau berdiri, tempatkan tangan di bawah axila, peluk
tubuh pasien. Tempatkan tangan penolong di perut diatas pusar dibawah xipoid.
Dorong ke atas sampai benda asing keluar atau pasien tidak sadar.
b. Untuk pasien dengan posisi supine, posisi penolong mengangkang dengan
tumpuan lutut di atas pasien, lutut penolong lurus dengan pinggul pasien.
Tempatkan tangan diatas pusar dibawah xipoid. Secara cepat dorong ke depan.
Jika benda terlihat, ambil benda asing dengan finger sweep.
c. Tepukan punggung /back blows tidak direkomendasikan pada anak usia di atas 1
tahun.

Gambar 9. Back slap dan chest thrust pada infant


3. Oral Airway Insertion
Tujuan Oral airway Insertion adalah untuk mempertahankan patensi jalan
napas pada pasien dengan keadaan sebagai berikut (Proehl, 2005):
a. Ketika pasien yang tidak sadar memiliki obstruksi jalan napas yang
disebabkan oleh kerusakan gag reflek dan kehilangan tonus otot-otot
submandibular.
b. Ketika jalan napas pasien tidak dapat dibuka dengan manuver lainnya.
c. Ketika pasien bernapas dengan alat bag-valve mask, Oral airway Insertion
menyebabkan jaringan lunak di posterior faring terangkat, hal ini
memudahkan ventilasi paru dan mengurangi gastric insufflation.
d. Ketika patien dengan oral intubasi membutuhkan pencegahan agar pasien
tidak mengigit endotracheal tube.
e. Ketika pasien membutuhkan suction untuk membuang sekret.
Kontraindikasi dan Perhatian:
a. Insersi oral airway pada pasien sadar atau setengah sadar dapat
menstimulasi gag reflek dan dapat menyebabkan pasien muntah dan
menyebabkan laringospasme.
12

b. Penempatan alat Oral Airway yang salah dapat menekan lidah ke arah
posterior faring dan menyebabkan obstruksi lebih lanjut.
c. Alat Oral Airway yang terlalu kecil dapat menekan lidah ke orofaringdan
menyebabkan obstruksi, alat Oral Airway yang terlalu besar akan
menymbat trakea.
d. Kegagalan dalam membersihkan orofaring dari benda asing sebelum
insersi dapat menyebabkan aspirasi.
e. Untuk menghindari muntah dan aspirasi, oropharingeal airway harus
segera di lepas ketika pasien sudah sadar atau menunjukkan adanya gag
reflek.
Alat yang dibutuhkan:
a. Oropharingeal airway (OPA) (Gambar 10)
b. Oropharingea suction equipment
c. Tounge blade

Gambar 10. OPA


Persiapan Pasien:
a. Tempatkan pasien pada posisi supine
b. Suction darah, sekret, atau material asing dari orofaring.
c. Pilih OPA dengan ukuran yang sesuai dengan cara ukur OPA pada samping
wajah pasien, pilih OPA yang panjangnya sama dengan panjang ujung lobus
telinga ke sudut mulut pasien.
Prosedur tindakan:
a. Gunakan tounge blade untuk menekan dan memindahkan lidah ke depan.
Masukan OPA ke dalam orofaring.
b. Cara lain adalah dengan memasukkan OPA ke mulut dengan arah terbalik.
Jika ujung OPA sudah sampai ke dinding posterior faring, putar OPA 180
derajat, sesuai dengan posisi seharusnya.
c. Ujung terjauh OPA harus berada diantara dasar lidah dan belakang
tenggorokan. Sedangkan ujung luar (pinggiran roda OPA) harus berada pas
di bibir pasien.
13

d. Kaji kembali airway, auskultasi pasu untuk vnetilasi yang seimbang dan
suara napas bersih selama ventilasi.
Perhatian Usia:
Pada pasien anak-anak, penggunaan tounge blade lebih dianjurkan daripada
memasang OPA dengan cara terbalik kemudian di putar, prosedur yang kedua
akan menyebabkan luka di mukosa mulut dan gigi tanggal.

Gambar 11. Cara Pemasangan OPA.


4. Nasal Airway Insertion
Tujuan dari pamasangan Nasal Airway adalah untuk mempertahankan patensi
jalan napas pada pasien dengan kondisi berikut (Proehl, 2005):
a. Untuk membebaskan jalan napas atas pasien yang disebabkan oleh
sumbatan soft tissue atau lidah yang jatuh pada pasien sadar atau tidak
sadar yang masih memiliki gag refleks yang baik.
b. Ketika insersi OPA tidak memungkinkan secara teknis atau tidak mungkin
dilakukan karena trauma yang massive pada disekitar mulut.
c. Nasofaringeal edema atau nasal sekresi yang sangat banyak pada pasien
anak
Selain membebaskan jalan napas, pemasangan Nasal Airway dapat bertujuan
untuk mengurangi soft tissue trauma ketika suction nasotracheal dibutuhkan.
Kontraindikasi dan perhatian:
a. Insersi Nasal Airway dapat menstimulasi gag refleks dan menyebabkan
pasien muntah.
b. Jika tuba terlalu panjang, mungkin akan masuk ke esofagus dan
menyebabkan gastric insufflation dan hipoventilasi.
c. Epistaksis dapat terjadi dan memicu aspirasi darah.
d. Nasal Airway tidak boleh digunakan pada pasien dengan massive facial
trauma atau trauma basis cranii.
14

Alat yang diperlukan:


a. Nasopharingeal suction equipment
b. Water solube lubricant atau anesthetic jelly
c. Nasopharingeal airway (NPA)

Gambar 12. NPA dan Cara Pemasangannya


Persiapan Pasien:
a. Tempatkan pasien pada posisi supine atau high fowler
b. Pilih lubang hidung yang terlihat lebih besar dan terbuka. Kaji adanya
trauma pada lubang hidung, benda asing, septal deviation, atau polip.
c. Siapkan suction jika perlu
Prosedur tindakan:
a. Pilih NPA yang sesuai dengan cara mengukur NPA dari ujung hidung ke
lobus telinga. Kemudian lumasi NPA.
b. Masukan NPA ke lubang hidung dengan lubang menghadap ke nasal
septum. Masukkan secara perlahan sehingga pinggiran roda NPA di ujung
atas berada di cuping hidung. Catatan: semua NPA dibuat untuk
pemasangan di lubang hidung kanan, dapat di pasang di lubang hidung kiri
dengan cara di putar secara perlahan mengikuti anatomi bentuk hidung.
c. Jika ada sumbatan saat memasukan, putaran yang lembut dapat
memperlancar NPA sampai ke hypopharynx.
d. Kaji kembali jalan napas.

Referensi
118, D. Y. (2007). Buku Panduan Basic Trauma-Cardiac Life Support. Jakarta: Yayasan Ambulans
Gawat Darurat 118 .

Proehl, J. A. Emergency Nursing Procedurs. New Hampshire: W.B. Saunders Company.


15

EMERGENCY NEEDLE DECOMPRESSION CHEST


Oleh: Ns Iwan Purnawan, M.Kep

Pengertian
Nama lain dari tindakan ini adalah needle thoracocentesis yang digunakan untuk
mengurangi tekanan intrapleural pada kondisi tension pneumothorak. Dekompresi
dilakukan dengan kateter vena besar (nomer 14) disela iga ke-2 pada garis mid-clavicula,
menyusuri tepi atas iga ke-3.

Indikasi
Indikasi dari tindakan ini adalah kondisi tension pneumothorak. Kondisi ini
merupakan adanya akumulasi udara pada rongga pleura. Tension pneumothorak sendiri
berasal dari cedera jaringan yang membentuk 1-way valve (katup satu arah). Hal ini
membuat udara yang masuk kedalam pleura tidak bisa keluar sehingga semakin
meningkatkan tekanan intrapleural. Kondisi dengan cepat menyebabkan ganggguan
pernafasan, kolapnya sistem kardiovaskular, dan segera menimbulkan kematian jika
tidak ditangani dengan baik.

Gambar Tension Pneumothorak

Tension pneumothorak sendiri bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a) Trauma tumpul atau tusuk
Trauma ini menyebabkan rusaknya keutuhan dari pleura visceral maupun parietal
sehingga memungkinkan udara bisa masuk baik dari udara luar maupun dari dalam
paru-paru. Fraktur iga merupakan salah satu penyebab penting dari kejadian tension
pneumothorak
b) Barotrauma
Penggunaan PEEP pada ventilator mekanik menyebabkan peningkatan tekanan
intraalveolar yang bisa berakhir dengan rusaknya pleura visceralis. Hal ini
menyebabkan udara dari alveoli masuk ke dalam rongga pleura.
c) Central venous catheter placement
Pemasangan CVP yang tidak tepat dapat melukai pleura sehingga bisa menimbulkan
kerusakan pada pleura. Hal in membuat seseorang menjadi rentan untuk mengalami
tension pneumothorak.
d) RJP
Resiko cedera tulang (fraktur costae) selama RJP membuat mereka juga rentan untuk
mengalami kerusakan pada pleura. Patahan tulang iga yang tajam tersebut sangat
rentan untuk merusak lapisan pleura.
16

e) Perburukan dari pneumonia spontan / sederhana menjadi tension pneumotorak


Pneumotorak sederhana ini jika tidak tertangani dengan tepat dan segera dapat
memburuk menjadi tension pneumothorak.

Tanda dan Gejala


Beberapa tanda dan gejala dari tension pneumothorak antara lain: nyeri dada, sesak,
anxiety , takipneu, takikardi, area yang terkena tidak terdengar bunyi nafas dan
hipersonor saat dilakukan perkusi.
Selanjutnya jika tidak tertangani maka akan mulai timbul tanda tanda perburukan seperti
antara lain:
 Penurunan tingkat kesadaran
 Deviasi trakhea ke arah area yang sehat
 Hipotensi
 Distensi vena leher (jika hipotensi berat, maka tidak akan nampak)
 Sianosis
Prinsip Dasar Decompression Chest
Prinsip dasar dari tindakan ini adalah memasukan kateter kedalam rongga pleura
sehingga menghasilkan jalan keluar bagi udara dalam pleura. Hal ini akan menurnkan
tekanan dalam pleura.
Meskipun prosedur ini bukan merupakan terapi depinitif bagi tension pneumothorak,
emergent needle decompression dapat mencegah perburukan kondisi pasien dan
membantu memulihkan fungsi kardiovaskular. Hal ini disebabkan oleh penurunan
tekanan intratorakal.

Persiapan Pasien
a) Berikan oksigen 100%, berikan bantuan ventilasi jika perlu
b) Jelaskan kepada pasien dan atau keluarga alasan pelaksanaan prosedur tersebut
c) Jelaskan kepada pasian dan/atau keluarga langkah langkah prosedur
d) Jelaskan kepada pasien bahwa dia harus tetap diam selama prosedur berlangsung

Prosedur
a) Tandai lokasi anatomi tempat penusukan
Needle decompresion seharusnya diletkan pada intercosta kedua pada garis
midclavicula. Tusukan jarum akan melalui kulit dan mungkin akan melewati otot
pectoralis mayor, intercostal internal dan eksternal, dan akhirnya pleura
parietalis
17

b) Bersihkan dengan cepat area tusukan menggunakan larutan berbahan dasar iodin
c) Masukan jarum dengan ukuran besar (misal 14 atau I6) dengan kateter ke dalam
ruang intercosta dua, hanya sedikit lebih tinggi dari costae ketiga pada garis
midclavicular (1-2 cm dari batas sternum)
d) Gunakan jarum dengan panjang 3-6 cm, dan jaga supaya jarum tetap tegak lurus
saat dimasukan. Sebagian pasien mungkin memiliki dinding dada yang lebih tebal
dari 3 cm dan gagal untuk mengatasi masalah utama. Hal ini bisa disebabkan oleh
panjang jarum yang kurang adekuat.
e) Penempatan di sepertiga tengah klavikula meminimalkan risiko cedera pada
mammae internal selama prosedur darurat. Tempatkan kateter tepat di atas batas
tulang rusuk karena
f) Begitu jarum berada di ruang pleura, dengarkan suara mendesis saat udara keluar
g) Tarik jarum dari kateternya
h) Jagalah kanula agar selalu terbuka
i) Siapkan pasien untuk pemasangan thoracostomy tube

Kontra Indikasi
Beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi dari prosedur ini antara lain:
 Riwayat thoracotomy
 Riwayat pneumoctomy
 Adanya gangguan pembekuan darah
Semua kontraindikasi tersebut bersifat relative, hal ini disebabkan tension
pneumothorak merupakan kondisi mengancam jiwa. Kegagalan penanganan dapat
berujung pada kematian

Referensi :
Henry, Mark C., and Edward R. Stapleton. EMT Prehospital Care. 3rd Ed. 2004. Mosby/Jems
18

PERTOLONGAN PERTAMA OPEN PNEUMOTHORAK


(Aplikasi Kasa Tiga Sisi)
Oleh: Ns Iwan Purnawan, M.Kep

Ciri khas dari keberadaan open pneumothorak adalah terdapatnya suara sucking
chest wound. Hal tersebut disebabkan oleh keberadaan lubang pada dada (luka tembak
atau luka tusuk). Saat dada mengembang akibat inspirasi , udara bukan hanya masuk
melalui hidung, namun juga masuk melalui lubang luka.
Sucking chest wound merupakan kondisi yang berbahaya karena memicu
kolapsnya paru-paru (pneumothorax). Penanganan sucking chest wound membutuhkan
dua hal yaitu menjaga udara keluar dari rongga pleura dan mencegah masuknya udara
ke dalam pleura.

Langkah-langkah Penanganan :
1. Segera hubungi nomor emergency atau nomor RS terdekat. Jika operator unit
emergency memberikan intruksi penanganan, seger lakukan. Jika tidak ada intruksi,
segera bawa korban ke RS terdekat
2. Menutup sucking chest wound
a. Letakan sesuatu seperti pelastik (utamakan steril, kalau tidak ada maka cukup
bersih) diatas lubang
b. plester pada ketiga sisi dari plastik atau kasa dan membiarkan salah satu
sisinya tetap terbuka.

Kasa penutup mencegah udara


Udara keluar saat ekspirasi masuk saat inspirasi

3. Amati tanda-tanda adanya tension pneumothorak


Beberapa tanda dari tension pneumothorak, antara lain:
 Nafas pendek yang parah
 Dada asimetris
 Distensi vena jugularis
 Bibir biru, sianosispada jari
 Tidak terdengar bunyi nafas pada sisi yang sakit

Referensi :
Henry, Mark C., and Edward R. Stapleton. EMT Prehospital Care. 3rd Ed. 2004.
Mosby/Jems.
19

BANTUAN HIDUP DASAR (Basic Life Support)


Oleh. Dr. Ridlwan Kamaluddin, S.Kep., N., M.Kep

Pendahuluan
Kejadian henti jantung di seluruh dunia sangat tinggi. Setiap tahunnya di Eropa
terjadi 700.000 kasus terkait dengan henti jantung. Jumlah yang bisa bertahan hidup itu
hanya sekitar 5-10 % saja. Dengan demikian 90% diantaranya berakhir dengan kematian.
Penanganan yang tepat sebenarnya mampu menyelamatkan nyawa korban.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan pertama yang paling tepat
untuk mengembalikan pasien pada kondisi stabil dan membebaskan mereka dari
keadaan yang mengancam jiwa. CPR yang dilakukan oleh orang terdekat dengan korban
sebelum mendapatkan pertolongan lebih lanjut dapat menyelamatkan korban 2-3 kali
lipat. Resusitasi awal dan tindakan defibrilasi cepat dalam 1-2 menit pasca serangan
dapat meningkatkan kemungkinan hidup > 69%.

Pengertian
RJP sendiri merupakan salah satu bentuk dari bantuan hidup dasar (BHD). BHD
adalah serangkaian prosedur yang dilakukan untuk mengembalikan sirkulasi darah yang
teroksigenasi setelah henti jantung dan paru. BHD juga merupakan dasar dalam
menyelamatkan penderita pada kondisi mengancam jiwa. Istilah BHD maupun RJP seling
digunakan secara tumpang tindih. Seingga RJP sendiri bisa diartikan sebagai BHD
Potensi keberhasilan RJP itu sangat dipengaruhi oleh kecepatan pemberian BHD.
Tabel berikut ini menunjukan potensi keberhasilan tindakan RJP
Tabel 2.1. Potensi Keberhasilan RJP
No Keterlambatan Keberhasilan
1 1 menit 90 %
2 4 menit 50 %
3 10 menit 1%

Chain of Survival
Chain of survival merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan untuk
menangani korban henti jantung. Chain of survival terdiri dari: (1) kenali segera dan
aktifkan sistem emergency; (2) segera lakukan RJP; (3) segera lakukan defibrilasi; (4)
bantuan hidup lanjut yang efektif; (5) perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi.

Kematian klinis & Henti jantung


Saat jantung tidak berdenyut maka otomatis aliran darah ke seluruh tubuh
berhenti. Jika dibiarkan maka bisa menimbulkan kematian klinis hingga kematian sel-sel
otak. Kematian klinis terjadi setelah 6-8 menit pasca henti jantung. Kondisi kematian
klinis ini ditandai dengan tidak terabanya denyut jantung dan berhentinya nafas. Kondisi
ini sebenarnya masih mungkin bisa ditolong dengan tindakan RJP segera.
Jika henti jantung terus berlanjut hingga > 8 menit maka sel-sel otak sudah mulai
mengalami kematian sel. Saat ini kondisi pasien sudah tidak bisa ditolong lagi termasuk
dengan tindakan RJP.
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan saat melakukan pengkajian pada korban
henti jantung, yaitu: (a) henti nafas belum tentu disertai dengan henti jantung; dan (b)
20

henti jantung selalu diikuti dengan henti nafas. Oleh karena itulah memeriksa denyut
nadi, lebih diutamakan daripada sibuk memikirkan apakah pasien masih bernafas atau
tidak. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka urutan BHD atau RJP tersebut adalah C-
A-B. Circulation merupakan komponen sirkulasi tubuh yang diimplikasikan dengan
denyut nadi karotis. Airways dinilai dengan melihat kepatenan jalan nafas, sedangkan
Breathing dikaji berdasarkan kemampuan spontanitas nafas.
Algoritma RJP
Algoritma atau rangkaian tindakan dalam melakukan resusitasi jantung. Terdapat
dua jenis algoritma berdasarkan kompetensi penolong korban yaitu algoritma untuk
tenaga kesehatan, dan algoritma untuk tenaga non kesehatan.
A. Algoritma untuk tenaga kesehatan

Gambar 2.1. Algoritma RJP

a. Pastikan 3 A
Saat akan menolong korban pastikan 3 hal yaitu aman diri, aman korban, dan
aman lingkungan. Aman diri artinya penolong harus memastikan bahwa
pertolongan yang dilakukan tidak mencelakai dirinya sendiri. Aman korban
artinya penanganan yang dilakukan tidak menambah cedera korban. Aman
lingkungan artinya pertolongan dilakukan pada lingkungan yang aman dan tidak
beresiko mencelakakan penolong maupun korban.
b. Cek Respon
Mengecek respon pasien dilakukan dengan cara menepuk bahu korban dan
bertanya dengan keras “ Apakah anda baik-baik saja...”. Jika tidak ada respon,
dimana pasien tidak sadar, nafas abnormal (gasping), maka segera panggil
bantuan.
c. Panggil Bantuan
Minta pertolongan orang terdekat untuk mengamankan lokasi atau
memanggil bantuan darurat. Beberapa hal yang perlu diinformasikan saat
melakukan panggilan antara lain: nama infroman, nomor telepon, kondisi dan
jumlah korban, serta lokasi kejadian.
d. Cek Nadi
21

Cek nadi karotis pasien dalam waktu < 10 detik. Jika teraba lakukan cek
jalan nafas dan bantuan nafas jika perlu. Namun jika tidak teraba atau ragu-ragu,
segera lakukan kompresi dada.
e. Kompresi Dada dan Bantuan Nafas
Teknik kompresi dada:
 Letakan pangkal telapak tangan yang dominan di setengah bawah tulang
sternum. Letakan tangan yang lain di atasnya dengan jari saling mengunci
 Lakukan tekanan dengan keras dan cepat. Kecepatan yang direkomandasikan
adalah 100 – 120 kali /menit, sedangkan kedalamannya 5-6 cm
 Pastikan recoil dada sempurna dan minimalkan interupsi.
 Rasio kompresi dada : nafas = 30:2
Jika ada dua penolong, lakukan pergantian setiap 2 menit atau 5

Gambar 2. 2 . Teknik Kompresi Dada

Teknik Bantuan Nafas


 Buka jalan nafas, ambil benda penyumbat
 Look – listen – feel
 Pencet bagian cuping hidung
 Ambil nafas normal
 Letakan bibir di sekeliling mulut korban
 Hembuskan nafas sampai dada turun naik
 Berikan bantuan nafas dalam 1 detik
 Biarkan dada turun kembali sebelum memberikan bantuan nafas
berikutnya.
22

Gambar 2.3 . Teknik bantuan nafas


Lakukan kompresi dada dan bantuan nafas secara terus menerus hingga
pasien berespon

f. Rescue Breathing
Rescue breathing dilakukan jika pasien nadinya sudah teraba, namun nafasnya
belum adekuat. Teknik rescue breathing sama dengan teknik bantuan nafas.
Dalam satu siklus, rescue breathing diberikan 20-24 x/menit. Rescue breathing

g. Posisi mantap
Posisi mantap diberikan jika nadi dan nafas pasien telah pulih. Tujuannya adalah
untuk memposisikan pasien senyaman mungkin sehingga bisa melakukan
pernafasan dengan baik. Selain itu posisi ini bisa mencegah pasien dari
kemungkinan mengalami aspirasi. Miringkan korban ke arah kiri untuk
menghindari tekanan pada aorta abdominalis yang bisa menghambat aliran balik
vena ke jantung.

Gambar 2.4, Posisi Recovery/mantap


Tindakan RJP dapat dihentikan pada beberapa kondisi, antara lain:
• korban pulih
• bantuan lebih terlatih datang
• penolong kelelahan
• lingkungan tidak aman
23

• perintah dokter (do not resuscitate)


• henti jantung sudah lebih dari 30 menit

RJP WANITA HAMIL


Secara umum proses pelaksanaan RJP pada wanita hamil memiliki kesamaan
dengan RJP pada pasien dewasa. Perbedaannya terletak pada posisi korban saat
dilakukan RJP. Posisi korban saat diRJP merupakan bagian yang sangat penting dalam
memperbaiki kualitas RJP sehingga menghasilkan daya kompresi optimal dan
memperbaiki cardiac output.
Pada umumnya, kompresi autocarval dapat terjadi setelah kehamilan memasuki
usia 20 minggu. Saat itu fundus uteri telah berada tepat pada umbiikus atau sedikit
diatasnya. Dengan demikian posisi supine pada wanita hamil dengan usia kehamilan > 20
minggu dapat menurunkan aliran balik darah vena. Oleh karena itulah diperlukan posisi
tertentu untuk menjamin kelancaran aliran darah, apalagi selama proses resusitasi.
Sebelumnya posisi yang direkomendasikan untuk melakukan RJP pada wanita
hamil adalah dengan posisi miring ke sebelah kiri sebesar 300. Namun demikian ternyata
posisi ini berhasil dilakukan dalam penelitian terhadap manikin.

Gambar Posisi miring ke kiri

Posisi miring ke kiri ini ternyata membuat kekuatan kompresi mengalami


penurunan. Oleh karena itulah kemudian teknik yang direkomendasikan untuk wanita
yang sedang hamil adalah Manual Left Lateral Uterine Dosplacement (LUD). Manyal LUD
secara efektif dapat menurunkan tekanan aortacaval pada pasien dengan hipotensi.

Gambar : a LUD satu tangan, b LUD dua tangan


24

RJP PADA ANAK


Algoritma RJP pada anak pada umumnya sama dengan pada dewasa. Namun
demikian untuk rasio Kompresi dada : bantuan nafas jika terdapat dua orang penolong
adalah 15:2. Sedangkan jika terdapat satu orang penolong maka sama dengan RJP pada
dewasa yakni 30:2. Kedalaman kompresipun sama yaitu antara 5 – 6 cm.

Referensi

Atkins, D. L., Berger, S., Duff, J. P., Gonzales, J. C., Hunt, E. A., Joyner, B. L., ... & Schexnayder,
S. M. (2015). Part 11: Pediatric Basic Life Support and Cardiopulmonary
Resuscitation Quality. Circulation, 132(18 suppl 2), S519-S525.

Kleinman, M. E., Brennan, E. E., Goldberger, Z. D., Swor, R. A., Terry, M., Bobrow, B. J., ... &
Rea, T. (2015). Part 5: Adult basic life support and cardiopulmonary resuscitation
quality. Circulation, 132(18 suppl 2), S414-S435.

Jeejeebhoy, F. M., Zelop, C. M., Lipman, S., Carvalho, B., Joglar, J., Mhyre, J. M., ... & Page, R.
L. (2015). Cardiac Arrest in Pregnancy. Circulation, CIR-0000000000000300.
25

ALGORITME INITIAL ASSESSMENT TRAUMA


Oleh : Arif Imam Hidayat, MNS

Jika anda menemukan pasien trauma, yang harus anda lakukan adalah:

3A Aman Diri (APD)


Aman Lingkungan
Aman Pasien

Cek kesadaran : AVPU (Respon Alert, Respon Verbal, Respon Pain, Un Respon)
*Sadar pemeriksaan di sesuaikan dengan permasalahan yang ada ABCDE
*Tidak Sadar, lakukan :

PANGGIL BANTUAN SPGDT

 PRIMARY SURVEY (Pasien Trauma)

A : Airway (Jalan nafas) + Control cervical


pegang kepala (fiksasi)  pasang neck collar (bila curiga Fr. Cervical)
Curiga FR. Tulang CERVICAL, bila :
1. Trauma Kapitis dengan penurunan kesadaran
2. Multi Trauma
3. Terdapat Jejas di atas Clavicula kearah Cranial
4. Biomekanika Trauma Mendukung
Periksa Airway :  Look, Listen, Feel
* bila Gurgling lakukan suction / di miringkan (Log Roll)
* bila Snoring lakukan Jaw Thrust/Chin Lift (tindakan manual)
 gunakan OPA (pasien tidak sadar) atau NPA (pasien sadar)
hati-hati fraktur basis cranii
* bila terdengar Stridor  Perlu Airway Definitif
(Intubasi/Surgical Airway)
Curiga FR. Tulang BASIS CRANII :
1. Perdarahan dari lubang hidung / telinga
2. Racoon Eyes
3. Beatle Sign
4. Brill Hematom
26

Khusus untuk Pasien non trauma yang tidak sadar, Buka Airway dengan tehnik Head Tilt &
ChinLift.

Catatan :
* Snoring (ngorok), sering terjadi pada pasien tidak sadar karena pangkal lidah
jatuh ke belakang
* Gurgling (kumur-kumur), terjadi sumbatan karena cairan (darah, sekret/ slem)
* Stridor, terjadi karena oedem Faring /Laring (cedera inhalasi), misal : pasien
dengan riwayat menghirup uap panas/Carbon Monoksida.

B : Pernapasan + oksigenasi/Ventilasi
Nilai frekuensi pernafasan, kemudian berikan oksigen bila ada masalah terhadap ABCD :
Pilihan :
* Canul  2- 6 LPM
* Face mask/RM (Rebreathing Mask)  6-10 LPM
* NRM (Non Rebreathing Mask) 10 – 12 LPM
* BVM (Bag Valve Mask)→Bila pernapasannya tidak adekwat atau apneu berikan
Ventilasi tambahan dengan tehnik Bagging/ventilator.

Jika frekuensi pernafasan pasien semakin bertambah/ sesak maka langkah berikutnya cari
penyebabnya dengan melakukan pemeriksaan Inspeksi, Auskultasi, Perkusi dan Palpasi. Untuk
menentukan ada atau tidaknya kecurigaan terhadap masalah breathing yang dapat segera
mengancam nyawa.

Pada Pasien Trauma waspada terhadap gangguan/ masalah breathing yang cepat dapat
menyebabkan kematian, diantaranya :
4 masalah yang mengancam breathing serta tindakannya adalah :
1. Tension Pneumothoraks (terperangkapnya udara didalam rongga pleura), dengan
pemeriksaan IAPP temukan tanda dan gejalanya sebagai berikut:
 Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
 Ekspansi dinding dada tidak simetris disertai jejas pada daerah thorax
 Hasil auskultasi negatif
 Hasil perkusi hypersonor
 Trakhea bergeser
 Distensi vena Jugularis
Tindakan penyelamatan setelah pemberian O2 yaitu dekompresi needle thoracosintesis di
ICS 2 mid clavicula
Kemudian kolaborasi dokter untuk tindakan pemasangan Chest Tube/WSD
27

2. Open Pneumothoraks, (luka terbuka pada thorax), temukan tanda dan gejalanya sebagai
berikut:
 Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
 Ekspansi dinding dada tidak simetris
 Luka terbuka/tembus pada thorax
 Hasil perkusi hypersonor
 Terdengar suara Sucking Chest Wound (yaitu paru menghisap udara lewat lubang
luka) pada luka terbuka/tembus.
Tindakan setelah pemberian O2  tutup dengan kassa 3 sisi yang kedap udara
Kemudian kolaborasi dokter untuk tindakan pemasangan Chest Tube/WSD
3. Masive Haematotoraks (perdarahan didalam rongga pleura/thorax), dengan
pemeriksaan IAPP temukan tanda dan gejalanya sebagai berikut:
 Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
 Ekspansi dinding dada tidak simetris disertai jejas/fraktur pada daerah thorax
 Hasil auskultasi negatif
 Hasil perkusi dullness/pekak/redup
 Terdapat tanda-tanda shock hemoragic dengan perdarahan ≥ 1500 cc (≥ 200cc/jam
selama 2 jam)
Tindakan setelah pemberian O2
Kemudian kolaborasi dokter untuk tindakan pemasangan Chest Tube/WSD nilai apakah
perlu thoracotomy?
4. Flail Chest dengan Kontusio Paru (fraktur pada costae lebih dari 2 segmen), dengan
pemeriksaan IAPP temukan tanda dan gejalanya sebagai berikut:
 Pasien sangat sesak, frekuensi nafas cepat dan dangkal
 Ekspansi dinding dada tampak Paradoksal
 Pasien nyeri hebat saat bernafas sehingga cenderung takut bernafas
Tindakan setelah pemberian O2 analgetik, assisted ventilasi → perlu Definitif/intubasi
(semua perlu kolaborasi dokter)

Untuk mencari penyebab gangguan pada breathing lakukan pemeriksaan:


 Look / inspeksi : buka baju yang menutup dada pasien, ada jejas? nilai pergerakan
(simetris/tidak)
 Listen/Auskultasi (dengan Stetoscope) : kedua sisi dada, sisi dada yang sehat maupun yang
sakit (dengarkan suara paru) dan dengarkan juga bunyi jantung.
 Listen/Perkusi : kedua sisi dada,  normalnya sonor, nilai apakah terdapat
hipersonor?, dullness?
 Feel/Palpasi : ada krepitasi? Flailchest? Fr. Iga ?
Tentukan apa masalah/ gangguannya, kemudian lakukan tindakan atau perlu segera lapor
dokter bedah.

C : Circulation+ Control perdarahan dan perbaikan volume


Perdarahan external : lakukan balut tekan (hati-hati terhadap sumber perdarahan yang potensial
cepat mengancam nyawa), cek akral dan nadi, bila ada tanda-tanda syok hemoragic
(hipovolemik) berikan infus 2 jalur dengan cairan Ringer Laktat (RL) yang hangat 1-2 liter
28

diguyur (pertimbangan 3:1 resusitasi cairan). Jangan lupa ambil sample darah (lab dan
golongan darah).
Perdarahan internal : perbaiki volume untuk cegah syok lebih lanjut, pelvis → gurita, femur →
bidai, toraks → konsul dokter bedah (torakotomy), abdomen & retroperitoneal → konsul dokter
bedah (laparatomy). Tentukan penatalaksanaannya.
Pertimbangkan pemberian tranfusi darah.

D : Disability (pemeriksaan Status Neurologis)


1. Nilai GCS

Eye : 4 Buka mata Spontan


3 Buka mata terhadap suara
2 Buka mata terhadap nyeri
1 Tidak ada respon

Verbal : 5 Orientasi Baik


4 Berbicara bingung
3 Berbicara tidak jelas (hanya kata-kata yang keluar)
2 Merintih/mengerang
1 Tidak ada respon

Motorik: 6 Bergerak Mengikuti Perintah


5 Bergerak terhadap nyeri dan dapat melokalisir nyeri
4 Berlawanan dengan rangsang nyeri atau withdrawl
3 Fleksi abnormal (dekortikasi)
2 Extensi abnormal (deserebrasi)
1 Tidak ada respon (flasid)
2. Reaksi Pupil dengan Pen Light : Isokor atau UnIsokor, Midriasis, Dilatasi, Ukuran.
3. Kekuatan otot motorik; bandingkan kedua sisinya, dengan cara :
Pasien sadar contoh → perintahkan pasien untuk berjabat tangan dengan petugas dengan
kuat (menilai ada/tidaknya lateralisasi motorik yang mengarah pada cedera otak), untuk kaki
perintahkan untuk di gerakan atau tangan petugas diletakan di bawah telapak kaki korban
kemudian di perintahkan untuk mendorong dengan kuat.( Bisa juga di nilai pada saat cek
GCS )
Pasien tidak sadar kedua tangan pasien di pegang kuat oleh petugas kemudian di lepas
berbarengan kemudian di nilai kekuatan ototnya, begitupula untuk bagian kaki.

Catatan :
29

o Lihat bagian ekstremitas ada yang luka atau tidak ?


o Pasien tidak sadar, pada saat melepaskan tangan pasien perhatikan alasnya agar tidak
keluar dari bednya.
o Jika petugasnya terbatas pemeriksaan kekuatan otot di lakukan pada saat secondary
survey.
o Menilai ada atau tidaknya kontralateral indikasi cedera otak sehingga perlu mencegah
terjadinya hipoksia (cedera otak sekunder)
o Rujuk untuk pemeriksaan diagnostik seperti; CT-Scan, MRI, dll

Ingat !!! kesadaran pasien adalah bagian dari prognosis, pasien akan membaik prognosisnya jika
A,B,C dalam keadaan stabil dan resusitasinya berkualitas.

E : Exposure (Gunting pakaian dan lihat jejas/cedera ancaman yang lain), kemudian cegah
hipotermia → selimut.

Ingat setiap selesai melakukan tindakan evaluasi ulang/reevaluasi !!

Tambahan pada Primary survey:


F : Folley catheter, lihat ada kontra indikasi?
Tidak dipasang bila ada ruptur uretra :
*Pada laki-laki, ada darah di OUE, scrotum haematum, RT prostat melayang.
*Pada wanita : keluar darah dari uretra, hematum perinium

Bila tidak ada kontra indikasi : pasang, urine pertama dibuang, lalu tampung.
Periksa pengeluaran/jam, normal : 0,5 cc/kg BB/jam, dewasa
1 CC / kg BB / jam, anak
2 CC /kg BB / jam, bayi
Pertimbangan pemasangan, indikasi bisa saja dilakukan pada tahap circulation.
G : Gastric Tube (NGT)
Bila lewat hidung perhatikan kontra indikasi : fr. Tulang basis cranii cegah lalu lakukan lewat
mulut (OGT), perhatikan pula indikasi pemasangan yakni :
1. Untuk kepentingan selama proses pembedahan karena pasien tidak sadar
2. Untuk mengurangi distensi Abdomen
3. Untuk mencegah aspirasi
4. Untuk kuras lambung
5. Untuk pemberian nutrisi dan therapy obat

H : Heart Monitor (waspada terhadap arithmia yang mengancam), Pulse Oxymeter


(saturasi normal), Pemeriksaan Radiology (pada lokasi cedera yang terindikasi/thórax dan
pelvics)
30

RE – Evaluasi A-B-C-D-E

 SECONDARY SURVEY
 Anamnesa : AMPLE (Alergi, Medication, Past History, Last meal, Event) atau KOMPAK
(Keluhan, Obat, Makan terakhir, Penyakit Penyerta, Alergi, Kejadian)
 Log Roll → From Head to toe, Finger in every orifice : periksa dengan teliti untuk menilai
adakah BTLS ? (perubahan Bentuk, Tumor, Luka, dan Sakit)
 TTV
Siapkan untuk :
 RS Rujukan, jangan lupa hubungi RS yang dituju dan jelaskan syarat dan teknis merujuk
pasien.
 OK
 ICU
 Jahit

Catatan : Log Roll bisa di lakukan di tahap primary survey jika memang ada indikasi yang
mengancam nyawa, namun dilakukan hanya 1 kali.
31

PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN


Oleh: Galih Noor Alivian, M.Kep., Ns

A. Pembalutan
Membalut merupakan salah satu keterampilan yang harus dikuasai dengan
baik oleh dokter dan pemberi pelayanan kesehatan lainnya. Istilah pembalut
merujuk pada aplikasi secara luas maupun secara sempit pembalutan untuk tujuan
terapeutik. Apapun alasannya, perlu diingat bahwa jika tidak diterapkan dengan
benar, membalut dapat lebih cepat dan mudah menyebabkan injury. Tekanan
pembalutan harus tidak melebihi tekanan hidrostatik intravaskuler, jika membalut
bertujuan untuk mengurangi pembentukan oedema tanpa meningkatkan tahanan
vaskuler yang dapat merusak aliran darah.

1. Tujuan Pembalutan
 Imobilisasi (Menyokong bagian tubuh yang cedera dan mencegah agar bagian
itu tidak bergeser)
 Pressure (Menahan pembengkakan yang dapat terjadi pada luka)
 Secondary Dressing (Melindungi atau mempertahankan balutan utama pada
luka)
 Menutup bagian tubuh agar tidak terkontaminasi

2. Alat dan Bahan

a. Mitella
Bahan pembalut yang berbentuk segitiga sama kaki dengan berbagai
ukuran. Panjang kaki antara 50-100cm. Dapat dibuat dengan mudah
contohnya dari kain katun yang halus, pakaian bekas dan selimut. Usahakan
kain yang digunakan mudah dibentuk , kuat dan halus. Pembalut ini
dipergunakan pada bagian tubuh yang berbentuk bulat/silindris dan untuk
menggantung bagian anggota badan yang cedera. Pembalut ini biasa dipakai
pada cedera di kepala, bahu, dada, siku, telapak tangan, pinggul, telapak kaki,
dan untuk menggantung lengan.

b. Dasi
Pembalut ini adalah mitella yang dilipat-lipat dari salah satu sisi segitiga
agar beberapa lapis dan berbentuk seperti pita dengan kedua ujung-ujungnya
lancip dengan lebamya antara 5-10cm. Pembalut ini biasa dipergunakan
untuk membalut mata, dahi (atau bagian kepala yang lain), rahang, ketiak,
lengan, siku, paha, lutut, betis dan kaki terkilir.

c. Elastic Bandage/Pita (Gulung )


32

Pembalut ini dapat dibuat dari kain katun, kain kassa, flanel atau bahan
elastis.Yang paling sering adalah dari kassa, hal ini karena kassa mudah
menyerap air, darah dan tidak mudah bergeser ( Kendor).

Macam-macam ukuran pembalut dan penggunaannya :


Lebar 2,5 cm : Biasa untuk jari-jari
Lebar 5cm : Biasa untuk leher dan pergelangan tangan
Lebar 7,5 cm : Biasa untuk kepala, lengan atas, lengan bawah, betis dan
kaki
Lebar 10 cm : Biasa untuk paha dan sendi pinggul
Lebar >10-15cm : Biasa untuk dada, perut, dan punggung

d. Plester:
Pembalut in untuk merekatkan penutup luka, untuk fiksasi pada sendi yang
terkilir, untuk merekatkan pada kelainan patah tulang. Plester penutup luka
biasanya dilengkapi dengan obat anti septik.

e. Pembalut yang spesifik


 Snelverband adalah pembalut pita yang sudah ditambah dengan kassa
penutup luka dan steril, baru dibuka pada saat akan dipergunakan, sering
dipakai pada luka-luka lebar yang terdapat pada badan.
 Sufratulle adalah kassa steril yang telah direndam dengan obat pembunuh
kuman. Biasa dipergunakan pada luka-luka kecil

f. Kasa Steril
Kasa steril merupakan kassa yang dipotong dengan berbagai ukuran untuk
menutup luka kecil yang sudah diberi obat-obatan ( antibiotik, antiplagestik).
Setelah ditutup kassa itu kemudian baru dibalut dapat menggunakan plaster
atau elastic bandage.

3. Prosedur pembalutan
1) Perhatikan tempat atau letak yang akan dibalut dengan menjawab pertanyaan
 Bagian dari tubuh yang mana ?
 Apakah ada luka terbuka atau tidak ?
 Bagaimana luas luka tersebut ?
 Apakah perlu membatasi gerak bagian tubuh tertentu atau tidak ?
2) Pilih jenis pembalut yang akan dipergunakan, dapat salah satu atau
kombinanasi
3) Sebelum dibalut jika luka terbuka perlu diberi desinfektan atau dibalut
dengan pembalut yang mengandung desinfektan atau dislokasi perlu
direposisi
4) Tentukan posisi balutan dengan mempertimbangkan :
33

 Dapat membatasi pergeseran atau gerak bagian tubuh yang memang


perlu difiksasi
 Sesedikit mungkin membatasi gerak bagian tubuh yang lain
 Usahakan posisi balutan yang paling nyaman untuk kegiatan pokok
penderita
 Tidak mengganggu peredaran darah, misalnya pada balutan berlapis,
lapis yang paling bawah letaknya disebelah distal (paling jauh dari
jantung).
 Tidak mudah kendor atau lepas

CARA MEMBALUT DENGAN MITELLA

a. Salah satu sisi mitella dilipat 3 - 4 cm sebanyak 1 - 3 kali


b. Pertengahan sisi yang telah terlipat diletakkan diluar bagian yang akan dibalut,
lalu ditarik secukupnya dan kedua ujung sisi itu diikatkan
c. Salah satu ujung yang bebas lainnya ditarik dan dapat diikatkan pada ikatan b,
atau diikatkan pada tempat lain maupun dapat dibiarkan bebas, hal ini tergantung
pada tempat dan kepentingannya

Mitella untuk Kepala


Digunakan untuk melindungi balutan luka pada kepala atau dahi.

Gambar 3.1 Balutan kepala menggunakan mitela

Mitella untuk Arm Sling


Digunakan pada tangan, lengan bawah atau pergelangan tangan yang cidera. Terdapat
dua teknik arm sling yang dapat dilihat pada gambar sebagai berikut:
34

Gambar 3.2 Balutan pada lengan menggunakan mitella model 1

Gambar 3.3 Balutan lengan menggunakan mitella model 2

Mitella untuk dada dan punggung


Digunakan ketika terjadi luka pada dada atau punggung atau untuk melindungi balutan
utama ketika terjadi luka bakar pada dada atau punggung.

Gambar 3.4 Balutan mitella pada punggung


35

Mitella untuk kaki

Gambar 3.5 Balutan Mitella untuk kaki

Mitella Tangan

Gambar 3.6 Balutan Mitella untuk tangan

CARA PEMBALUTAN DENGAN DASI


a. Pembalut mitella dilipat-lipat dari salah satu sisi sehingga berbentuk pita dengan
masing-masing ujung lancip
b. Bebatkan pada tempat yangakan dibalut sampai kedua ujungnya dapat diikatkan
c. Diusahakan agar balutan tidak mudah kendor dengan cara sebelum diikat arahnya
saling menarik
d. Kedua ujungnya diikatkan secukupnya
36

Dasi untuk Dagu


Digunakan untuk melindungi balutan utama pada luka di pipi, dagu atau kepala. Dapat
pula digunakan untuk immobilisasi sementara jika terjadi patah atau dislokasi tulang
rahang.

Gambar 3.7 Balutan dasi untuk dagu

Dasi untuk Mata


Digunakan untuk melindungi balutan utama jika terjadi luka Gambar 3.7 Balutan dasi
untuk dagu di mata.

Gambar 3.8 Balutan dasi untuk mata


37

Dasi untuk Ketiak


Digunakan untuk melindungi balutan utama jika terjadi luka di ketiak atau bahu.

Gambar 3.9 Balutan dasi untuk bahu dan ketiak

Dasi untuk Siku


Digunakan untuk melindungi balutan utama jika terjadi luka di siku.

Gambar 3.10 Balutan dasi untuk bahu dan ketiak

Dasi untuk Lutut


Digunakan untuk melindungi balutan utama jika terjadi luka di lutut.

Gambar 3.11 Balutan dasi untuk lutut


38

Dasi untuk kaki


Digunakan untuk melindungi balutan utama jika terjadi luka di kaki.

Gambar 3.12 Balutan dasi untuk lutut

CARA MEMBALUT DENGAN KASSA ATAU ELASTIC BANDAGE


a. Berdasar besar bagian tubuh yang akan dibalut maka dipilih pembalutan dengan
ukuran lebar yang sesuai
b. Balutan pita biasanya beberapa lapis, dimulai dari salaah satu ujung yang
diletakkan dari proksimal ke distal menutup sepanjang bagian tubuh , yang akan
dibalut kemudian dari distal ke proksimal dibebatkan dengan arah bebatan saling
menyilang dan tumpang tindih antara bebatan yang satu dengan bebatan
berikutnya
c. Kemudian ujung yang di dalam diikat dengan ujung yang lain secukupnya
d. Sebelum dan sesudah pemasangan wajib melakukan pemeriksaan sirkulasi darah
dan persarafan area yang paling jauh dari bagian yang akan dibalut. Pemeriksaan
sirkulasi dengan cara melakukan cek cappilary refile/denyut nadi/suhu
kulit/warna kulit. Pemeriksaan saraf dilakukan dengan cara perintahkan pasien
untuk menggerakan anggota tubuh terjauh dari bagian yang akan di balut atau
rangsang nyeri.
e. Pastikan pemasangan balutan tidak terlalu kencang atau longgar. Tanyakan
kepada pasien apakah terassa terlalu ketat atau longgar. Balutan seharusnya
terasa nyaman.
39

Balutan Spiral
Digunakan untuk membalut bagian tubuh berbentuk silindris seperti pada
lengan, kaki dan paha.

Gambar 3.13 Balutan spiral

Balutan Kepala
Digunakan untuk melindungi balutan utama pada kepala. Terdapat dua teknik
balutan yaitu dengan 1 rol balutan dan 2 rol balutan. Balutan dengan 2 rol
digunakan jika tidak terdapat asisten untuk membantu pemasangan balutan.
Metode 1 roll

Gambar 3.14 Balutan kepala model 1 roll


Metode 2 roll
40

Gambar 3.15 Balutan kepala model 2 roll

Balutan untuk Mata


Digunakan untuk melindungi balutan utama pada mata

Gambar 3.16 Balutan untuk mata


41

CARA MEMBALUT DENGAN PLESTER


a. Jika ada luka terbuka
- luka diberi obat antiseptik
- tutup luka dengan kassa
- baru lekatkan pembalut plester
b. Jika untuk fiksasi (misalnya pada patah tulang atau terkilir)
- Balutan plester dibuat "strapping" dengan membebat berlapis-lapis dari distal ke
proksimal, dan untuk membatasi gerakkan tertentu perlu masing-masing
ujungnya difiksasi dengan plester.

PENGGUNAAN PEMBALUT YANG STERIL


Biasanya dijual dalam bahan yang steril dan baru dibuka pada saat akan digunakan

B. PEMBIDAIAN
Semua ekstremitas yang mengalami trauma harus diimobilisasi dengan bidai Bidai
atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat, atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah
tidak bergerak (immobilisasi) memberikan istirahat, dan mengurangi rasa sakit.

1. Tujuan immobilisasi dengan pembidaian


 Mengurangi nyeri
 Mencegah gerakan fragmen tulang, sendi yang cedera dan jaringan lunak yang
cedera (ujung fragmen tulang yang tajam dapat mencederai syaraf, pembuluh
darah dan otot).
 Mencegah fraktur tertutup menjadi terbuka
 Memudahkan transportasi
 Mencegah gangguan sirkulasi pada bagian distal yang cedera
 Mencegah perdarahan akibat rusaknya pembuluh darah oleh fragmen tulang
 Mencegah kelumpuhan pada cedera tulang belakang.

2. Prinsip Pemasangan Bidai


 Sepatu, gelang, jam tangan, dan alat pengikat perlu dilepas
 Siapkan alat-alat selengkapnya
 Lepas pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera, periksa
adanya luka terbuka atau tanda-tanda patah dan distokasi
 Jika terdapat luka terbuka,tutup luka dengan kasa steril
42

 Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis pada bagian
distal yang mengalami cedera sebelum dan sesudah imobilisasi.
 Bidai harus meliputi dua sendi dari tulang yang patah atau dua tulang dari
sendi yang terganggu. Sebelum dipasang diukur lebih dulu pada anggota
badan korban yang tidak sakit
 Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku
 Lakukah tarikan secara perlahan sampai lurus sumbu tulang sehingga dapat
dipasang bidai yang benar. Tarikan /traksi segera dilepas bila saat diperiksa
tampak sianotik dan nadi lemah.
 Pada kecurigaaan trauma tulang belakang letakkan pada posisi satu garis.
 Ikatan jangan terlalu keras dan terlalu kendor
 Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tempat
yang patah
 Kalau memungkinkan, anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.
 Jangan memindahkan penderita sebelum imobilisasi selesai dilakukan kecuali
ada ditempat bahaya
3. Macam-Macam Bidai/Splint
 Rigid splint
 Pneumatic splint & gips
 Traction splint

Bila tidak ada bidai bisa dicoba


 Lengan dapat diimobilisasi dengan dada
 Tungkai yang cedera diimobilisasi dengan tungkai yang sebelah
 Bahan-bahan lain bisa, dipakai seperti guling, majalah yang digulung, dll
4. Cara Meluruskan Deformitas
 Lengan atas
Pegang siku dan tarik ke bawah, setelah lurus bidai dipasang dan lengan
dipertahankan dengan sling dan ke dinding dada
 Lengan bawah :
Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai kontra
traksi. Bidai dipasang dilengan bawah dan dielevasi.
 Tungkai atas/paha
Luruskan tulang paha dengan melakukan tarikan didaerah pergelangan kaki
jika tulang tungkai bawah tidak patah.
 Tulang tibia/tulang kering
Lakukan tarikan didaerah pergelangan kaki dan kontra traksi diatas lutut,
dikerjakan bila tulang paha utuh, setelah lurus bidai dipasang.
43

5. Berbagai Macam Cara Pemasangan Bidai

Fraktur humerus (lengan atas)

Gambar 3.16 Bidai untuk humerus (lengan atas)

Pembidaian untuk fraktur Dekat Siku

Gambar 3.17 Bidai untuk fraktur dekat siku


Dada sebagai bidai pada fraktur humerus

Gambar 3.18 Dada sebagai bidai pada fraktur humerus


44

Fraktur pergelangan tangan

Gambar 3.19 Fraktur pergelangan tangan

Bidai wire ladder


Bidai ini terbuat dari kawat yang dikombinasikan dengan spalk dan balutan
sehingga bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan.

Gambar 3.20 Penggunaan bidai wire leader pada fraktur humerus

Bidai untuk fraktur Femur/Tulang Paha

Gambar 3.21 Bidai untuk femur


45

Bidai untuk Fraktur /dislokasi sendi Lutut

Gambar 3.22 Bidai untuk fraktur sendi lutut

Bidai untuk Fraktur Cruris/Kaki bagian bawah

Gambar 3.23 Bidai untuk fraktur sendi lutut


46

DASAR INTERPRETASI EKG


Oleh Sidik Awaludin

Elektokardiogram (EKG) merupakan suatu gambaran grafik hasil rekaman aktifitas


listrik jantung. Gambaran grafik ini dapat direkam dengan memasang elektroda – elektroda
pada beberapa bagian permukaan tubuh. EKG mempunyai fungsi diagnostik diantaranya :
1. Aritmia jantung
2. Hipertrofi atrium dan ventrikel
3. Iskemik dan infark miokard
4. Efek obat-obatan seperti digitalis, anti aritmia dan lain sebagainya
5. Gangguan keseimbangan elektrolit khususnya kalium
6. Penilaian fungsi pacu jantung
Kertas EKG merupakan kertas grafik yang merupakan garis horizontal dan vertikal
dengan jarak 1 mm ( kotak kecil ). Garis yang lebih tebal terdapat pada setiap 5 mm disebut (
kotak besar ). Garis horizontal menunjukan waktu, dimana 1 mm = 0,04 dtk sedangkan 5 mm
= 0,20 dtk. Sedangkan garis vertikal menggambarkan voltage, dimana 1 mm = 0,1 mv dan 5
mm = 0,5 mv.

Perekaman EKG sering dibuat dengan kecepatan 25 mm/detik, kalibrasi biasa dilakukan
dengan 1 milivolt yang menghasilkan defleksi setinggi 10 mm.

Keterangan gambar
1. Gelombang P
Merupakan depolarisasi atrium dengan nilai normal:
Tinggi : < 0,3 mvolt
Lebar : < 0,12 detik
Selalu positif di L II
Selalu negatif di aVR
Kepentingan
Mengetahui kelainan di Atrium
47

2. Interval PR
Menggambarkan waktu konduksi AV, diukur dari permulaan gelombang P sampai
permulaan gelombang QRS dengan nilai normal 0,12 - 0,20 detik.
Kepentingan :
Kelainan sistem konduksi/blok

3. Kompleks QRS
Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel dengan nilai normal:
Lebar : 0,06 - 0,12 detik
Tinggi : tergantung lead
Kompleks QRS terdiri dari gelombang Q, R dan S.
Kepentingan :
 Mengetahui adanya hipertrofi ventrikel
 Mengetahui adanya Bundle branch block
 Mengetahui adanya infark

4. Gelombang Q
Merupakan defleksi negatif pertama pada kompleks QRS dengan nilai normal:
Lebar : < 0,04 detik
Dalam : kurang dari 1/3 tinggi gelombang R
Gelombang Q yang abnormal disebut Q patologis

5. Gelombang R
Merupakan defleksi positif pertama pada kompleks QRS. Gel R umumnya positif di lead
I,II,V5 dan V6. Di lead aVR, V1,V2 biasanya hanya kecil atau tidak ada.

6. Gelombang S
Merupakan defleksi negatif setelah gelombang R. Di lead aVR dan V1 gelombang S terlihat
dalam. Dari V2 ke V6 akan terlihat makin lama makin menghilang

7. Gelombang T
Merupakan gambaran repolarisasi ventrikel dengan nilai normal :
Tinggi :  1 mV di lead dada
 0,5 mV di lead ekstrimitas
Minimal ada 0,1 mV
Kepentingan :
 Mengetahui adanya iskemia/infark
 Kelainan elektrolit

8. Gelombang U
Merupakan defleksi positif setelah gelombang T dan sebelum gelombang P berikutnya.

9. Segment ST
Diukur dari akhir gelombang QRS sampai permulaan gelombang T. Segment T ini
normalnya isoelektris. Jika segment ST diatas garis isoelektris disebut ST elevasi dan yang
dibawah garis isoelektris disebut ST depresi.
48

Gbr. ST depresi Gbr. ST elevasi

Kriteria EKG normal atau irama sinus (SR) adalah sebagai berikut :
 Irama teratur.
 Frekwensi jantung (HR) antara 60-100 x/menit.
 Gel P normal, setiap gel P diikuti gel QRS dan T.
 Interval PR normal ( 0,12 – 0,20 detik ).
 Gel QRS normal ( 0,06 – 0,12 detik ).
 Semua gelombang sama.
 Irama EKG yg tidak mempunyai kriteria tersebut disebut disritmia atau aritmia

Contoh Gambaran Irama Sinus

Gbr. Irama Sinus


49

SANDAPAN EKG

Elektokardiogram (EKG) merupakan suatu gambaran grafik hasil rekaman aktifitas


listrik jantung. Gambaran grafik ini dapat direkam dengan memasang elektroda – elektroda
pada beberapa bagian permukaan tubuh. Pada perekaman EKG terdapat dua jenis sadapan,
yaitu:
a. Sandapan Bipolar
Yaitu merekam perbedaan potensial dari dua elektroda. Sandapan ini ditandai dengan
angka romawi ( Lead I, II,dan III ).
I

II III

 Lead I : selisih potensial antara lengan kiri dan lengan kanan


 Lead II : selisih potensial antara tungkai kiri dan lengan kanan
 Lead III : selisih potensial antara tungkai kiri dan lengan kiri

Elektroda diletakkan di sisi dalam pergelangan tangan dan kaki. Apabila ekstremitas
diamputasi maka elektroda diletakkan dapat diletakkan pada puntung ekstremitas.
Sedangkan pada pasien tremor, elektroda dapat diletakkan di bagian atas ekstremitas guna
mendapatkan hasil rekaman yang lebih baik.

b. Sandapan Unipolar
 Sandapan Unipolar Ektremitas yang diperkuat (augmented)
Merekam besar potensial listrik pada satu ektremitas, elektroda diletakkan pada
ektremitas yg akan diukur. Gabungan elektroda-elektroda pada ektremitas yg lain
membentuk elektroda indiferen (aVR, aVL, aVF).

 Sandapan Unipolar Prekordial


Merekam besar potensial listrik jantung dengan bantuan elektroda yang ditempatkan
di beberapa dinding dada. Adapun letak prekordial adalah sebagai berikut:
V1 : Ruang intercosta IV, pada garis parasternal kanan
V2 : Ruang intercosta IV, pada garis parasternal kiri
V3 : Pertengahan/diagonal antara V2 dan V4
V4 : Ruang intercosta V, pada garis midklavikula kiri
50

V5 : Ruang intercosta V, pada garis aksilaris anterior kiri


V6 : Ruang intercosta V, pada garis mid-aksilaris kiri
V7 : Ruang intercosta V, pada garis aksilaris posterior kiri
V8 : Ruang intercosta V, pada garis mid skapularis kiri
V9 : Ruang intercosta V, pada garis para vertebralis kiri

Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika akan melakukan perekaman EKG, yaitu:
1. Pasien sebaiknya berbaring pada tempat tidur yang nyaman atau meja yang cukup luas
untuk menyokong seluruh tubuh
2. Pasien dianjurkan untuk istirahat total karena gerakan pasien dapat merubah hasil
rekaman.
3. Sebelum melakukan perekaman hendaknya pasien terlebih dahulu diberikan penjelasan
terkait prosedur tindakan supaya menurunkan/menghilangkan ketakutan.
4. Kulit dan elektroda harus kontak dengan baik. Untuk mendapatkan hasil yang optimal
dapat menggunakan gel.
5. Alat EKG harus distandarisasi dengan cermat sehingga 1 milivolt akan menimbulkan
defleksi 1 cm.
6. Pasien dan alat harus di arde dengan baik untuk menghindari gangguan arus bolak – balik.
51

Langkah-langkah Interpretasi EKG

Berdasarkan jumlah sadapan yang dianalisis, EKG dibedakan menjadi EKG strip dan
EKG lengkap 12 lead. Analisa EKG strip merupakan analisa yang dilakukan pada salah satu
lead saja. Gambar 23 berikut ini salah satu contoh dari EKG strip

Gambar 23. EKG Strip

Sedangkan EKG lengkap 12 lead dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. EKG lengkap 12 lead

Interpretasi EKG Strip


Interpretasi EKG strip terdiri dari 7 langkah yaitu: (1) menentukan irama; (2) menentukan
frekuensi denyut jantung (HR); (3) menentukan gelombang P; (4) menentukan kompleks QRS;
(5) menentukan interval PR; dan (6) menentukan kesamaan bentuk gelombang; dan (7)
interpretasi
1. Menetukan irama
Apakah iramanya regular ?
Hitung jarak R-R, bandingkan dengan yang lain !
Regular, jika jarak antara gelombang R ke R atau gelombang P ke P sama
Irregular, jika jarak antara gelombang R ke R tidak sama

Gambar 25. EKG strip dengan irama regular

Gambar 26. EKG strip dengan irama irregular

2. Tentukan frekuensi denyut jantung/ Heart Rate (HR)


Cara menghitung HR tergantung pada irama EKG tersebut, apakah regular atau irregular.
Jika irama EKG regular, maka dapat HR dapat dihitung menggunakan 2 rumus antara
lain:
a. HR = 300 : jumlah kotak besar jarak antara R-R
52

b. HR = 1500 : jumlah kotak kecil jarak antara R-R


Sedangkan untuk irama EKG irregular, maka rumus yang digunakan adalah :
HR = Jumlah gelombang R dalam 30 kotak besar (6 detik) x 10
Contoh soal

Gambar 27. EKG strip


Berapakah HR rekaman EKG pada Gambar 27 ?
Jawaban:
Karena iramanya regular, maka HR nya adalah:
a. HR = 300 : jumlah kotak besar R-R
= 300 : 3,6
= 83,3 = 83 x/menit
b. HR = 1500 / jumah kotak kecil R-R
= 1500/19
= 78,9 = 79 x/menit
Catatan: disarankan untuk menggunakan metode penghitungan yang kedua
(menggunakan kotak kecil) karena hasilnya lebih akurat

Gambar 28. EKG Strip


Berapakah jumlah HR pada Gambar 28 tersebut ?
Jawaban:
Karena iramanya irregular, maka rumus yang digunakan adalah:
HR = jumlah gel R pada 30 kotak besar x 10
= 6 x 10
= 60 x/menit
Catatan : metode penghitungan HR ini hanya untuk irama irregular dan tidak bisa
digunakan untuk irama EKG regular.
Kesimpulan:
 Normal = 60 – 100 x/menit
 Takikardi = >100 x/menit
 Bradikardi = < 60 x/menit
3. Tentukan gelombang P
Kaji kemungkinan adanya kelainan pada bentuk gelombang P. Beberapa bentuk
gelombang P abnormal antara lain :
a. Gelombang P pulmonal
Gelombang P ini memiliki amplitudo > 0,3 mV
Bentuk gelombang P ini merupakan salah satu petunjuk adanya hipertropi atrium
kanan
53

P Pulmonal

Gambar 29. Gelombang P Pulmonal

b. Gelombang P mitral
Gelombang P ini memiliki lebar > 0,12 detik dan membentuk huruf M.
Bentuk gelombang P ini juga merupakan salah satu petunjuk adanya hipertropi atrium
kiri.

Gambar 30. Gelombang P mitral

c. Irama Junctional
Irama junctional berasal dari sel di luar nodus SA sehingga menghasilkan
bentuk gelombang P yang aneh atau tidak ada sama sekali. Hal ini seperti terlihat pada
Gambar 31.

Gambar 31. Irama junctional

4. Tentukan kompleks QRS


Kaji lebar gelombang QRS apakah sempit atau lebar. Irama ventrikular salah satunya
ditandai dengan kompleks QRS yang lebar ( > 0,12 detik). Hal ini seperti terlihat pada
Gambar 32.

Gambar 32. Irama Idioventrikular

5. Tentukan interval PR
Beberapa kondisi yang menyebabkan adanya kelainan bentuk pada interval PR antara lain:
a. Blokade sistem konduksi
54

Blokade nodus AV dengan berbagai derajatnya menyebabkan gambaran interval PR


yang abnormal, dimana lebarnya > 0,12 detik.
Hal ini seperti terlihat pada Gambar 33.

Gambar 33. AV blok derajat 2


b. Sindrome preeksitasi
Sindrome preeksitasi ini menyebabkan pemendekan interval PR < 0,12 detik. Ada dua
jenis gangguan preeksitasi yaitu Wolf Parkonson White (WPW) dan Lown Ganong
Levine (LGL)
Selain pemendekan interval PR, pada WPW disertai dengan terbentuknya gelombang
delta pada gelombang QRS
Gel Delta

Gambar 34. Wolf Parkinson White

Gambar 35. Lown Ganong Levine

6. Tentukan kesamaan bentuk gelombang


Gambaran EKG strip memiliki bentuk gelombang yang sama atau seragam. Dengan
demikian, variasi gambaran gelombang EKG dalam satu lead merupakan pertanda bahwa
EKG tersebut tidak normal.

Gambar 36. Bentuk gelombang EKG sama

Gambar 37. Bentuk gelombang EKG bervariasi

7. Interpretasi
55

Interpretasi EKG strip ditegakan berdasarkan 6 komponen, seperti terlihat pada Gambar
38.

Gambar 38. Komponen interpretasi EKG strip

Irama EKG normal dikenal sebagai irama sinus yang memenuhi beberapa kriteria
antara lain
 Irama : regular
 Frekuensi : 60 – 100 x/menit
 Gel P : normal
 Interval PR : 0,12 – 0,2 detik
 Kompleks QRS : Sempit (< 0,12 detik)
 Bentuk gelombang : seragam
Sedangkan untuk EKG strp yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, dinamakan
sebagai disritmia. Adapun jenis-jenis disritmia yang bisa ditegakan melalui EKG strip ini
antara lain:
• Sinus takikardi
• Sinus bradikardi
• Irama junctional (accelerated, bradikardi, & takikardi)
• Irama ventrikular (accelerated, takikardi)
• Atrial flutter
• Atrial fibrilation
• AV blok
• VT/VF
Interpretasi EKG Lengkap 12 Lead
Interpretasi EKG lengkap 12 lead memiliki 7 langkah, antara lain:
1. Menentukan irama
Kaji apakah iramanya regullar atau iregullar ?
Caranya sama seperti dalam menentukan irama pada EKG strip
Kaji apakah termasuk irama sinus ?
Irama sinus ditandai dengan adanya gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS.
Hal ini bisa dilihat pada Gambar 39 dan 40

Gambar 39. Irama sinus


56

Gambar 40. Irama Ventrikular (abnormal)

2. Menentukan HR
Cara yang digunakan sama dengan yang dilakukan paa EKG strip. Sedangkan lead yang
dipilih adalah yang memiliki gambaran gelombang paling jelas.

Gambar 41. Gambaran EKG lengkap 12 lead

Berdasarkan Gambar 41, maka lead yang bisa dipilih adalah Lead II karena memiliki
bentuk gelombang R yang paling jelas.
3. Menentukan aksis jantung
Aksis jantung merupakan arah rata-rata kelistrikan miokardium. Aksis normal jantung
berada pada rentang -300 hingga +1100.

Gambar 42. Aksis Jantung

Sedangkan letak aksis di luar area normal dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu:
 Left Axis Deviation
Axis jantung berada pada rentang -300 sampai dengan -900
 Right Axis Deviation
Axis jantung berada pada rentang +1100 sampai dengan +1800.
 Undetermined Axis Deviation
Sering dikenal pula sebagai extreme RAD dan adapula yang menyatakan sebagai
Northwest axis.
Letak aksis jantung ditentukan melalui beberapa langkah berikut ini, antara lain:
57

a. Buat bentuk dua garis menyilang kemudian namai lead I (untuk horisontal) dan aVF
untuk vertikal, seperti pada Gambar 43
Gambar 43. Garis menyilang

b. Lihat lead I dan aVF, tentukan apakah negative atau positive


Gambar 44. Lead I dan aVF
Berdasarkan gambar 44, maka hasilnya didapatkan hasil sebagai berikut:
 Lead I = + 8
Hasil tersebut berasal dari selisih amplitudo gelombang R dan gelombang S.
Besarnya amplitudo itu sendiri dihitung dari garis isoelektris (base line), dimana
gelombang R= 10 mm, sedangkan gelombang S = - 2 mm.
 Lead aVF
Sebagaimana pada lead I, nilai (– 6) berasal dari selisih gelombang R (+4) dengan
gelombang S (- 10).
c. Kemudian masukan hasilnya dengan membuat skala pada diagram garis Gambar 39,
dengan ketentuan sebagai berikut:
 Jika nilai (+) buat skala ke arah positive, kalau lead I ke kanan maka aVF ke bawah
 Jika nilai (-) buat skala ke arah negative, kalau lead I ke kiri, maka aVF ke atas
Gambar 45. Penentuan skala

d. Buat garis lurus pada melalui kedua titik (a & b) tersebut hingga terbentuk titik
potong (c). Kemudian tarik garis dari pusat diagram (e) menuju titik pertemuan
garis tersebut.
Gambar 46. Tarik garis lurus dari sumbu grafik ke titik pertemuan.

Berdasarkan Gambar 46, maka dapat disimpulkan bahwa aksis jantungnya


termasuk LAD.
4. Mengkaji tanda-tanda iskemi, injuri, dan infark miokardium
58

Pengkajian yang dilakukan meliputi identifikasi gambaran iskemi, injuri, atau infark pada
sadapan atau lead EKG. Selanjutnya tentukan dimana lokasi miokard yang terkena
berdasarkan gambaran leadnya.
Gambar 46. Gambaran Iskemi, Injuri dan Infark

5. Mengkaji tanda-tanda hipertropi miokardium


Hipertropi miokardium ditandai dengan adanya perubahan gambaran EKG pada V1 dan
V6. Selain itu, hipertropi ini ditandai juga dengan perubahan aksis
Gambar 47. Gambaran Hipertropi Miokard

Gambar 47 menunjukan tanda-tanda adanya hipertropi miokard, yaitu antara lain:


 Lead V1
Normalnya gelombang R di V1 itu rendah dan kecil. Namun pada rekaman EKG
ini, gelombang R di V1 tampak tinggi
 Lead V6
Normalnya gelombang R di lead V6 itu tinggi. Namun pada rekaman EKG ini,
gelombang R tampak rendah dan lebih kecil dibandingkan dengan gelombang S
nya.
 Lead aVF
Kompleks QRS pada lead ini bernilai negative karena gelombang R lebih kecil
(pendek) dibandingkan dengan gelombang S. Hal ini menunjukan nilainya
negative.
Berdasarkan perubahan pada ketiga lead tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa
Gambar 47 menunjukan hipertropi ventrikal kanan.
6. Mengkaji tanda-tanda gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit yang biasanya terjadi adalah hipokalemi, hiperkalemi, hipokalsemi,
dan hiperkalsemi.
Hiperkalemi ditandai dengan terbentuknya gelombang T yang tinggi (T tall). Sedangkan
pada hipokalemi ditandai denga terbentuknya gelombang U.
59

Gambar 48. Gangguan elektrolit pada rekaman EKG

7. Interpretasi
Komponen yang digunakan dalam menegakan kesimpulan dalam interpretasi EKG dapat
dlihat pada Gambar 49

Gambar 49. Interpretasi EKG Lengkap


60

PEMBAGIAN KELOMPOK PRAKTIKUM KELAS A

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V

FITRAH KURNIA WIDYA MELA TRINUR AMANDA LILI AMELIA


TULRRIZQIAH NINGSIH KHOERIYAH CANDRANING KRISTIANI GOMBO
PRATIWI
TAMI DIAH MAULINA DWI YONDA RIZKI MERLIN IMELDA
WIDIATUL SULISTIAWATI ASTUTI PUSPITA ARUM EMAURY
AZAHRA
MELINA DWI LUTFIA NADA OSYITA ACHMAD ZAKY WINDA KARUNIA
RESTIANI KHOERUNNISA FAJRIN ALFAN OKTAVIANA
BACHTIYAR
RISMA INDAH SEKAR NOVIA NIKEN AFAF NAJIBAH FITRI NURCAHYANI
FITRIANI TANJI DWIPAYANA
VALENTINA
FITRI NASIWI YULIAR GARNISH TULUS DWI MEYLISA AMMATUL RIZKIA
AL QOR'IAH MAULANA ASADANIA TOYYIBAH
ALIFAH ADE CHANTUN LISMA NUR TESYA MARISA BRENDY ORMENS
NUARY MUWURI UTAMI APRIONANDO
GUNAWAN
NABILA NURUL AFIFAH RIZKY VERA DWI WIN ASMO
PARAMASARI MUTIASIH NURAMALIA APRILIA DEWANTI
LUTHFIAH
AHMAD ASIKIN SITI AISAH YUANA KARTIKA ARLINA EKA LAELA FAJRIN
SAPTARENA AGUSTIN RAMADHANI
MERYTA CHRISTIN AMANDA KHAULAH
AFRIDA SILITONGA CANDRANING FINURILLAH
PRATIWI

PEMBAGIAN KELOMPOK PRAKTIKUM KELAS B

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V

ANGGI REGINA AZ ZAHRA EKA TITI SETIANI MELA ANTENG WAHYU


FEBIOLA TRESNAWATI FITRIANI
YUSI DELIA USWATUN RIZQIYA NUR ISNAINI WAHYU ZENITA
ELSANI HASANAH KARTIKA AMALINA HIDAYAH RACHMAWATI
SARI
ARNASYA SHERINA INDAH DHEA AISAH TILAR SOFIANTI PUTRI
ADELLIA FEBRILIANI PRADASTYA PINANTI NURJANAH
AS'ARI SUGADANG
ITA YUNIATI ATIKA SHABA SILVI KARENINA RAISA AULIA
MAULIDIYAH ZHAFIRA ATURROHMAH NURAINI MAISARAH
DEWI YUSTIKA
ENOK NINA SAMSUL HIDAYAT SASKIA INTAN SRI ASRI LUTFI MAULID
NURAENI PRADANI KHUMAIRA NABILA
NINGTYAS
SITI NUR AGIL FAHIRA DESSY AYU VERA NIKA RISNA DEVI
AFIFFAH MAHARESMI YUNIASTI
HERLINDA KURNIA DEWI
SURIE TRESNA FISHI CHELLA NUR HIDAYATI FIAN AYU KUSTIARA ALYA
LESTARI AISYAH FITRIANA JUNIANTI OKTAVIANI
YUSUF KURNIAWATI
RESTI FAUZIE ULIS FIQNA SEPTIANA IRMA
SHIYANATILMAULA KHOZANATUHA KHOIRUNNISA RACHMAWATI
CASEY PETRY
DAISIU
61

JADWAL SKILL LAB


Hari : Kelas A hari Jum’at jam 13.00, Kelas B Kamis jam 07.30 WIB
Ruang : LAB GADAR GAWAT DARURAT

MATERI BLS & AED Airway and Initial Balut Interpretasi Keterangan
(Fasilitator) (RK) Breathing Assesment Bidai & EKG (SA)
Management (AIH) Transpor
(IP) tasi
(GNA)
Pertemuan I 1 2 3 4 5 Pendampingan
penuh
Pertemuan II 2 3 4 5 1 Pendampingan
penuh
Pertemuan III 3 4 5 1 2 Pendampingan
penuh
Pertemuan 4 5 1 2 3 Pendampingan
IV penuh
Pertemuan V 5 1 2 3 4 Pendampingan
penuh
Pertemuan 1 2 3 4 4 Supervisi
VI
Pertemuan 2 3 4 5 1 Supervisi
VII
Pertemuan 3 4 5 1 2 Supervisi
VIII
Pertemuan 4 5 1 2 3 Supervisi
IX
Pertemuan X 5 1 2 3 4 Supervisi
Pertemuan Mandiri
XI
Pertemuan 1 2 3 4 4 Ujian
XII
Pertemuan 2 3 4 5 1 Ujian
XIII
Pertemuan 3 4 5 1 2 Ujian
XIV
Pertemuan 4 5 1 2 3 Ujian
XV
Pertemuan 5 1 2 3 4 Ujian
XVI

Keterangan:
Jadwal latihan mandiri bisa digunakan untuk melakukan ujian tergantung kesiapan
dosen penguji dan kelompok
62

Anda mungkin juga menyukai