Anda di halaman 1dari 11

PENGKAJIAN PRIMARY SURVEY DALAM

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DISUSUN OLEH :

DINAR EKA PRAMESTI

200203090

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JENJANG

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

2021
PRIMARY SURVEY
A. Definisi
Survei primer atau biasa disebut primary survey adalah suatu proses
melakukan penilaian keadaan korban gawat darurat dengan menggunakan
prioritas ABCDE untuk menentukan kondisi patofisiologis korban dan
pertolongan yang dibutuhkan dalam waktu emasnya. Penilaian keadaan
korban gawat darurat dan prioritas terapi dilakukan berdasarkaan jenis
perlukaan, stabilitas tanda - tanda vital.

B. Prioritas
1. Airway ,menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan
membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan
keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai
adalah kelancaran jalan nafas. Menurut ATLS (Advanced Trauma Life
Support) 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway
seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
a. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
b. Ketidakmampuan untuk membuka airway
c. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
d. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
e. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
f. Aspirasi isi lambung
Teknik-teknik mempertahankan airway :
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu
dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral
untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda
asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan
di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas.
Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong
/ menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha
dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena
(Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa
dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan
menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift
tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini
berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan
penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher atau
mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada
pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada
pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas
melewati molar pada maxila (Arifin, 2012)

d. Oropharingeal Airway (OPA)


Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas
pada pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene,
davis, 2007).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien
lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa orofaring yang
sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga)
sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong
pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-
hati sampai bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas
dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan
pastikan jalan nafas bebas. Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012).

e. Nasopharingeal Airway
Pada penderita yang masih memberikan respon, airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena
lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang
muntah (ATLS, 2004).
Teknik yang dapat dilakukan adalah : Posisikan kepala pasien
lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring yang sesuai
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi
pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY
jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam
rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa.
Patikan jalan nafas sudah bebas.

f. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau
trakeostomi). Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan
pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas
dengan cara-cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari
aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas
(GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang
adekuat dengan Pemberian oksigen tambahan lewat masker
wajah
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang
paling sering digunakan. Adanya kemungkinan cedera
servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada
pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang
paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal
atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik
tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat.
Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan
indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap
terbuka dan periksa dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
 Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris
dan pergerakan dinding dada yang adekuat.
 Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan
pada kedua sisi dada.
 Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

2. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi


Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan
pasokan konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi
penghasil energi, yang menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan
secara terus-menerus (Sherwood, 2001).. Pada keadaan normal, oksigen
diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh
tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien
dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk
pemberian oksigen.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan
teknik bag-valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini
lebih efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan dari
salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang
baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin,
2012):
a. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
b. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai
bila sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien,
tidak ada kebocoran)
c. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
d. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula,
ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka
e. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit
kepala pasien
f. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah
dipasangkan
g. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama
(tangan kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka
bersama-sama)
h. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
i. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi
sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk
memegang bag (kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu
(squeeze-bag)

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan


terbukanya airway, penyebab lain harus dicari. Penilaian harus
dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi pada toraks.

3. Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)


Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,
2008). Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status
hemodinamik dari pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran,
warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat
merupakan tanda hipovolemia.
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti
femoralis dan karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan
dan irama.

Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara


cepat kita dapat memperkirakan tekanan darah dengan meraba
pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
a. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah
minimal 80 mmHg sistol
b. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah
minimal 70 mmHg sistol
c. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah
minimal 70 mmHg sistol
d. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah
minimal 60 mmHg sistol
4. Disability, status neurologis
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan
neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level)
cedera spina. Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu
dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status
neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder.
Adapun AVPU adalah :
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana
untuk menilai tingkat kesadaran pasien.
a. Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
 Membuka mata spontan
 Membuka mata jika dipanggil,diperintah atau dibangunkan
 Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan
menekan ujung kuku jari tangan)
 Tidak memberikan respon
b. Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
 Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
 Disorientasi atau bingung
 Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
 Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas
artinya)
 Tidak memberikan respon
c. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
 Melakukan gerakan sesuai perintah
 Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
 Menghindar terhadap rangsangan nyeri
 Fleksi abnormal (decorticated)
 Ektensi abnormal (decerebrate)Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran). Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat
kemungkinan penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee
2002) :
a. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak
b. Trauma pada sentral nervus sistem
c. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
d. Gangguan atau kelainan metabolik

5. Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah


hipotermia
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian
tubuh. Periksa punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log
roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut kering dan hangat,
ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

Anda mungkin juga menyukai