Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH MANAJEMEN OBSTRUKSI JALAN NAFAS

Untuk Memenuhi Persyaratan

Mengikuti Semester Pendek Mata Kuliah Anastesi

Oleh:

RIZKY HERNA PUTRA

NIM: 155070107111001

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Masalah obstruksi jalan nafas masih menjadi tantangan untuk ahli anestesi,

selain menghadapi beraneka ragam komplikasi yang akan dihadapi saat

menangani masalah, keterbatasan penyediaan alat untuk mengatasi manajemen

henti nafas atau henti jantung juga ikut menjadi masalah yang dihadapi oleh ahli

anastesi tersebut. (Lippincott Williams & Wilkins, 2014)

Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung

dari kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pertolongan. Semakin cepat

pasien ditemukan maka semakin cepat pula pasien tersebut mendapat

pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.

Kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat.

Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat

sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan

oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga

memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit

akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan

menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian pernafasan pada penderita

gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dibuat rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan obstruksi jalan nafas ?

2. Bagaimana manajemen obstruksi jalan nafas ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apakah

yang dimaksud dengan obstruksi jalan nafas dan bagaimana tatalaksana obstruksi

jalan nafas itu sendiri.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Henti Jalan Napas

Henti jalan napas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan

sirkulasi yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan

udara dan masuk keluar paru (Hood Alsagaff, 2014).

Henti napas merupakan keadaan ketidakmampuan tubuh untuk menjaga

pertukaran gas seimbang dengan kebutuhan tubuh sehingga mengakibatkan

hipoksemia dana tau hiperkapnia. Dikatakan gagal napas apabila PaCO2 > 45

mmHg atau PaO2 < 55 mmHg (Boedi Swidarmoko, 2010).

2.1.1 Penyebab Henti Jalan Nafas

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai

risiko tinggi untuk terkena henti jalan nafas dengan kondisi:

a) Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu

b) Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy)

c) Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung

d) Kelistrikan jantung yang tidak normal

e) Pembuluh darah yang tidak normal

f) Penyalahgunaan obat
2.2 Obstruksi Jalan Nafas

2.2.1 Definisi obstruksi jalan nafas

Obstruksi jalan nafas, baik total atau parsial disebabkan oleh lidah yang

menyumbat hipofaring. Hal ini terjadi karena kelumpuhan tonus pada saat

terlentang, yaitu:

1. Otot jalan nafas atas, dan

2. Otot genioglossus

Terjadi pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesi. Bisa juga karena

spasme laring. Tanda-tanda obstruksi jalan nafas atas:

1. Stridor (mendengkur, snoring)

2. Napas cuping hidung (flaring of the nostrils)

3. Retraksi trakea

4. Retraksi torak

5. Tak terasa ada udara ekspirasi

2.3 Bantuan Hidup Dasar (Basuc life support)

Bantuan Hidup Dasar adalah Serangkaian usaha awal untuk

mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada seseorang yang

mengalami henti nafas dan atau henti jantung (cardiac arrest).


Tujuan bantuan hidup dasar untuk oksigenasi darurat secara efektif pada

organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan

sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri

secara normal (Latief, 2009).

2.4 Penanganan Obstruksi Jalan Nafas

2.4.1 Definisi manajemen jalan napas

Manajemen jalan napas merupakan salah satu ketrampilan khusus yang

harus dimiliki oleh dokter atau petugas kesehatan yang bekerja di Unit Gawat

Darurat. Manajemen jalan napas memerlukan penilaian, mempertahankan dan

melindungi jalan napas dengan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang efektif.

Penyebab kematian adalah hipoksia, organ tubuh yang paling rentan terhadap

hipoksia adalah otak jadi tujuan resusitasi yang utama adalah menjaga oksigenasi

otak tetap terjaga. Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan

jalan napas yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan.

Dalam kasus ini lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada bagian

faring. Pada keadaan tersebut harus dilakukan sesegera mungkin penanganan

obstruksi jalan nafas.


2.4.2 Tindakan Penanganan tanpa Alat bantu

Algoritma Bantuan Hidup Dasar (sumber: European Resuscitation Council

Guidelines for Resuscitation 2010).

PERTOLONGAN PADA ORANG DEWASA

1. UNRESPONSIVE?

2. Shout for help

3. Open airway

4. Not Breathing Normally?

5. Call 119

6. 2 rescue breaths 30 compression

Untuk melakukan pembebasan jalan nafas dapat dilakukan dengan bebrapa

teknik atau cara, yaitu sebagai berikut :

1. Periksa Respon dan Layanan Kedaruratan Medis

Berteriak didekat kuping Pemeriksaan kesadaran dilakukan untuk

menentukan pasien sadar atau tidak dengan cara memanggil, menepuk bahu

atau wajah korban. Jika pasien sadar, biarkan pasien dengan posisi yang

membuatnya merasa nyaman, dan bila perlu lakukan kembali penilaian

kesadaran setelah beberapa menit. Jika pasien tidak sadar segera meminta

bantuan dengan cara berteriak “TOLONG!” atau dengan menggunakan

alat komunikasi dan beritahukan dimana posisi anda (penolong) (ERC

Guidelines, 2010).

2. Sirkulasi (Circulation Support) Terdiri dari 2 tahap, yaitu:


1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban

dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga

teraba trakea, kemudian digeser kea rah penolong kira-kira 1-

2 cm, raba dengan lembut selama 5-10 detik. Bila teraba penolong harus

memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12

kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway pasien/korban.

2. Memberikan bantuan sirkulasi

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau

kompresi jantung luar dengan cara:

- Tiga jari penolong (telunjuk, tengah dan manis) menelusuri tulang iga

pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang dada

(sternum).

- Dari tulang dada (sternum) diukur 2-3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan

tempat untuk meletakkan tangan penolong.

- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak

tangan yang lain. Hindari jari-jari menyentuh dinding dada pasien/korban.

- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban

dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebnyak 30 kali dengan

kedalaman penekanan 1,5- 2 inchi (3,8-5 cm).


- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang kembali

ke posis semula setiap kali kompresi. Waktu penekanan dan melepaskan

kompresi harus sama ( 50% duty cycle).

- Tangan tidak boleh berubah posisi.

- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong

maupun dua penolong. Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit. Dilakukan

selama 5 siklus.

Tindakan kompresi yang benar akan menghasilkan tekanna sistolik 60-80

mmHg dan diastolic yang sangat rendah. Selang waktu mulai dari menemukan

pasien/ korabn sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari

30 detik.

3. Pembebasan Jalan Napas (Airway Support)

Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total,

perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang (ATLS, 2018).

Penyebab utama obstruksi jalan napas bagian atas adalah lidah yang jatuh
kebelakang dan menutup nasofaring. Selain itu bekuan darah, muntahan,

edema, atau trauma dapat juga menyebabkan obstruksi tersebut. Oleh karena

itu, pembebasan jalan napas dan menjaga agar jalan napas tetap terbuka

dan bersih merupakan hal yang sangat penting dalam BLS.

Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah

mungkin jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti

ini dapat segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin-lift maneuver)

atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw- thrust maneuver).

Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan

atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan

prosedur-prosedur ini harus dilakukan immobilisasi segaris (in-line immobilization)

dan pasien/korban harus diletakkan di atas alas/permukaan yang rata dan keras

(IKABI, 2004). Teknik-teknik mempertahankan jalan napas (airway), yaitu :

a. Tindakan kepala tengadah (head tilt)

Tindakan ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan

penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah (Latief dkk,

2009).

b. Tindakan dagu diangkat (chin lift)

Jari-jemari satu tangan diletakkan dibawah rahang, yang kemudian

secara hati-hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari

dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan secara bersamaan

dagu dengan hati-hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan

hiperekstensi leher (IKABI, 2016).


c. Tindakan mendorong rahang bawah (jaw-thrust)

pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong

kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. (Latief dkk, 2009).

4. Bantuan Napas dan Ventilasi (Breathing Support)

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Pada keadaan normal, oksigen

diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh

(Smith, 2007). Breathing support merupakan usaha ventilasi buatan dan

oksigenasi dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan

menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, atau

dari mulut ke alat (S-tube masker atau bag valve mask).

Breathing support terdiri dari 2 tahap :

1. Penilaian Pernapasan

Menilai pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada

pasien dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding dada,

mendengar (listen) udara yang keluar saat ekshalasi, dan merasakan (feel)

aliran udara yang menghembus dipipi penolong (Mansjoer, 2009).

2. Memberikan bantuan napas

Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut (mouth-to-

mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau

mulut ke mulut via sungkup (Latief dkk, 2009).


a. Pada bantuan napas mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth)

Jika tanpa alat, maka penolong menarik napas dalam, kemudian bibir

penolong ditempelkan ke bibir pasien yang terbuka dengan erat supaya tidak

bocor dan udara ekspirasi dihembuskan ke mulut pasien sambil menutup

kedua lubang hidung pasien dengan cara memencetnya.

b. Pada bantuan napas mulut-ke-hidung (mouth-to-nose)

Maka udara ekpsirasi penolong dihembuskan ke hidung pasien sambil

menutup mulut pasien. Tindakan ini dilakukan kalau mulut pasien sulit dibuka

(trismus) atau pada trauma maksilo-fasial.

c. Pada bantuan napas mulut-ke-sungkup

Pada dasarnya sama dengan mulutke-mulut. Bantuan napas dapat pula

dilakukan dari mulut-ke-stoma atau lubang trakeostomi pada pasien pasca bedah

laringektomi. Frekuensi dan besar hembusan sesuai dengan usia pasien

apakah korban bayi, anak atau dewasa. Pada pasien dewasa, hembusan

sebanyak 10-12 kali per menit dengan tenggang waktu antaranya kira-kira 2 detik.

Hembusan penolong dapat menghasilkan volum tidal antara 800-1200 ml (Latief

dkk, 2009).

5. Posisi Pemulihan (Recovery Position)

Recovery position dilakukan setelah pasien ROSC (Return of Spontaneous

Circulation). Urutan tindakan recovery position meliputi:

a. Tangan pasien yang berada pada sisi penolong diluruskan ke atas.


b. Tangan lainnya disilangkan di leher pasien dengan telapak tangan pada

pipi pasien.

c. Kaki pada sisi yang berlawanan dengan penolong ditekuk dan ditarik ke

arah penolong, sekaligus memiringkan tubuh korban ke arah

penolong. Dengan posisi ini jalan napas diharapkan dapat tetap bebas

(secure airway) dan mencegah aspirasi jika terjadi muntah.

Selanjutnya, lakukan pemeriksasn pernapasan secara berkala

(Resuscitation Council UK, 2010).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak

untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan

oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk

berkontraksi secara efektif.

Penyebab sumbatan jalan nafas yang sering kita jumpai adalah dasar

lidah, palatum mole, darah atau benda asing yang lain. Dasar lidah sering

menyumbat jalan nafas pada penderita koma, karena otot lidah dan leher

lemas sehingga tidak mampu mengangkat dasar lidah dari dinding belakang

farings. Hal ini sering terjadi bila kepala penderita dalam posisi fleksi. Benda

asing, seperti tumpahan atau darah di jalan nafas atas yang tidak dapat ditelan

atau dibatukkan oleh penderita yang tidak sadar dapat menyumbat jalan nafas.

Sumbatan jalan nafas dapat juga terjadi pada jalan nafas bagian bawah, dan ini

terjadi sebagai akibat bronkospasme, sembab mukosa, sekresi bronkus,

masuknya isi lambung atau benda asing ke dalam paru.

Pada sumbatan jalan nafas total tidak terdengar suara nafas atau tidak

terasa adanya aliran udara lewat hidung atau mulut. Terdapat pula tanda

tambahan yaitu adanya retraksi pada daerah supraklavikula dan sela iga bila

penderita masih bisa bernafas spontan dan dada tidak mengembang pada waktu

inspirasi. Pada sumbatan jalan nafas total bila dilakukan inflasi paru biasanya

mengalami kesulitan walaupun dengan tehnik yang benar. Pada sumbatan


jalan nafas partial terdengar aliran udara yang berisik dan kadang-kadang disertai

retraksi. Bunyi lengking menandakan adanya laringospasme, dan bunyi

seperti orang kumur menandakan adanya sumbatan oleh benda asing.

Penanganan jalan nafas terutama ditujukan pada penderita tidak

sadar, memerlukan tindakan cepat sampai sumbatan teratasi. Sambil

meminta pertolongan orang lain dengan cara berteriak kita harus tetap

disamping penderita. Pertama, kita lakukan ekstensi kepala karena gerakan

ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan

terangkat dari dinding belakang faring. Disamping ekstensi kepala kadang-

kadang masih diperlukan pendorongan mandibula ke depan untuk membuka

mulut karena kemungkinan adanya sumbatan pada hidung. Kombinasi

ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut

disebut gerak jalan nafas tripel (Safar). Orang yang tidak sadar rongga

hidung dapat tersumbat selama ekspirasi, karena palatum mole bertindak

sebagai katup.

Pada penderita sadar, sebaiknya penderita ditelentangkan dan

muka menghadap keatas, kemudian kepala diekstensikan dengan cara leher

diangkat keatas. Hati-hati pada penderita dengan kecelakaan karena

kemungkinan adanya patah tulang leher, sehingga mengangkat leher sering tidak

dilakukan

Teknik ekstensi kepala ialah tangan penolong mengangkat leher korban

dan tangan yang lain diletakkan pada dahinya. Teknik ini menyebabkan mulut

sedikit terbuka. Jika mulutnya tertutup atau dagunya terjatuh, maka dagu harus

ditopang, dengan cara memindahkan tangan yang dibawah leher untuk


menopang dagu ke depan, sambil membuka mulutnya sedikit, tanpa menekan

bagian leher di bawah dagu karena dapat menyebabkan sumbatan.

Kalau penderita mempunyai gigi palsu yang terpasang baik, jangan

dilepas, karena gigi palsu dapat mempertahankan bentuk mulut, sehingga

memudahkan ventilasi buatan. Jika dengan cara mengangkat leher keatas dan

menekan dahi masih saja jalan nafas tidak lancar maka segera mendorong

mandibula ke depan dan membuka mulut. Hati-hati pada penderita trauma,

kepala-leher-dada harus dipertahankan dalam posisi garis lurus, karena

ditakutkan menambah cedera pada tulang belakang bila tidak pada posisi

tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Jesse, Richard. dkk. 2010. Anesthesia Student Survival Guide. London. Springer

Science+Business Media, LLC.

Lestari, Mei. 2012. Bantuan hidup dasar. http://www.inaheart.or.id/bantuan-

hidup-dasar/. Diakses pada 26/07/201

Roshana, Shrestha. 2012. Basic life support: knowledge and attitude of

medical/paramedical proffesionals.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4129799/ . Diakses pada

26/07/2018.

Rushkin, Keith. 2011. Anesthesia Emergencies. New York. Oxford University

Press, Inc.

Anda mungkin juga menyukai