Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA LANSIA”


Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Komunikasi Dalam Kinteks
Pelayanan Kesehatan Dan Praktek Keperawatan

Disusun oleh :

Angelica Revina Pelinda Sriayu


Elva Naomi Melvin Wattimena
Grescya Septiama Tania Sarinastiti
Oktri Surbakti Putri Adya Hutami
Jose Josantos Marchya Suarez
Krisnancia Mangolo

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


IMMANUEL
Jl. KH. Wahid Hasyim No.161, Situsaeur, Bojongloa Kidul, Kota
Bandung
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang


memungkinkan sesesorang untuk menetapkan, mempertahankan dan
meningkatkan kontrak dengan orang lain karena komunikasi dilakukan oleh
seseorang, setiap hari orang seringkali salah berfikir bahwa komunikasi
adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adlah proses yang kompleks
yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu
berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu
merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya
dipacu dan ditansmisi kan. Untuk memperbaiki interpretasi pasien terhadap
pesan perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi kebisingan dan
distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk
menyampaikan pesan karena arti suatu kata seringkali telah lupa atau ada
kesulitan dalam mengorganiasi dan mengekspresikan pikiran.

Komunikasi pada lansia membutuhkan perhatian khusus, perawat


harus waspada terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi dan social yang
mempengaruhi komunikasi. Perubahan yang berhubungan dengan umur
dalam sistem auditoris dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran.
Perubahan pada telinga bagian dalam dan telinga mengalami proses
pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran pada suara.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tata cara berkomunikasi dengan lansia ?


2. Apa itu komunikasi terapeutik pada lansia ?
3. Bagaimana karakteristik pada lansia ?
4. Apasaja tahap tahap komunikasi terapeutik?
5. Bagaimana prinsip komunikasi terapeutik pada lansia ?
6. Apasaja perubahan fisik dan mental pada lansia ?
7. Apasaja hambatan saat berkomunikasi pada lansia ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tata cara berkomunikasi pada lansia.


2. Dapat memberikan komunikasi terapeutik pada lansia.
3. Dapat membantu proses keperawatan pada lansia.
4. Agar mengetahui tahap dalam komunikasi terapeutik.
5. Agar mengetahui prinsip komunikai terapeutik pada lansia.
6. Untuk mengetahui perubahan fisik dan mental pada lansia.
7. Untuk mengetahui hambatan ketika komunikasi pada lansia.

1.4 Manfaat
Manfaat dari penyusunan makalah ini diharapakan memberikan informasi
dan pengetahuan Tentang cara berkomunukasi kepada pasien Lansia.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Komunikasi pada Lansia

Komunikasi merupakan suatau hubungan atau kegiatankegiatan yang


berkaitan dengan masalah hubungan atau dapat diartikan sebaagai saling tukar-
menukar pendapat serta dapat diartikan hubungan kontak antara manusia baik
individu maupun kelompok. (Widjaja, 1986 : 13) Komunikasi adalah elemen dasar
dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan,
mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan orang lain. (Potter & Perry, 2005
: 301) komunikasi yang biasa dilakukan pada lansia bukan hanya sebatas tukar-
menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman dan hubungan intim yang
terapeutik.

Lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam


ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu.
Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60
tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun
sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan
seseorang telah disebut lanjut usia.Kelompok lanjut usia ( LANSIA ) adalah
kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi,
1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya
secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam
tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut
penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan
episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4).
2.2 Karakteristik Lansia

Berdasarkan usianya, organisasi kesehatan dunia ( WHO )


mengelompokkan usia lanjut menjadi 4 macam, meliputi :
- usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun.
- usia lanjut (elderly), kelompok usia antara 60-70 tahun.
- usia lanjut usia (old), kelompok usia antara 75-90 tahun
- usia tua (very old), kelompok usia diatas 90 tahun

Meskipun batasan usia sangat beragam untuk menggolongkan usia namun


perubahan-perubahan akibat dari usia tersebut telah dapat di identifikasi, misalnya
perubahan pada aspek fisik berupa perubahan neurologis dan sensorik, perubahan
visual, perubahan pendengaran. Perubahan-perubahan tersebut dapat menghambat
proses penerimaan dan interpretasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini
juga menyebabkan klien lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Belum
lagi perubahan kognitif yang berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan
belajar, daya memori dan motivasi klien. 

Perubahan emosi yang sering nampak adalah berupa reaksi penolakan


terhadap kondisi yang terjadi. Gejala-gejala penolakan tersebut misalnya : 
- tidak percaya terhadap diagnosa, gejala, perkembangan serta keterangan yang
diberikan petugas kesehatan
- mengubah keterangan yang diberikan sedemikian rupa, sehingga diterima keliru
- menolak membicarakan perawatannya di rumah sakit
- menolak ikut serta dalam perawatan dirinya secara umum, khususnya tindakan
yang langsung mengikutsertakan dirinya.
- menolak nasehat-nasehat misalnya, istirahat baring, berganti posisi tidur,
terutama bila nasehat tersebut demi kenyamanan klien.
2.3 Tahap – tahap Komunikasi Terapeutik

2.3.1 Tahap Persiapan (Prainteraksi)

Tahap Persiapan atau prainteraksi sangat penting dilakukan sebelum


berinteraksi dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada tahap ini perawat menggali
perasaan dan mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Pada tahap ini
perawat juga mencari informasi tentang klien. Kemudian perawat merancang
strategi untuk pertemuan pertama dengan klien. Tahap ini harus dilakukan oleh
seorang perawat untuk memahami dirinya, mengatasi kecemasannya, dan
meyakinkan dirinya bahwa dia siap untuk berinteraksi dengan klien (Suryani,
2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
a. Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan. Sebelum berinteraksi
dengan klien, perawat perlu mengkaji perasaannya sendiri (Stuart, G.W dalam
Suryani, 2005). Perasaan apa yang muncul sehubungan dengan interaksi yang
akan dilakukan. Apakah ada perasaan cemas? Apa yang dicemaskan? (Suryani,
2005).
b. Menganalisis kekuatan dan kelemanhan sendiri. Kegiatan ini sangat penting
dilakukan agar perawat mampu mengatasi kelemahannya secara maksimal pada
saat berinteraksi dengan klien. Misalnya seorang perawat mungkin mempunyai
kekuatan mampu memulai pembicaraan dan sensitif terhadap perasaan orang
lain, keadaan ini mungkin bisa dimanfaatkan perawat untuk memudahkannya
dalam membuka pembicaraan dengan klien dan membina hubungan saling
percaya (Suryani, 2005).
c. Mengumpulkan data tentang klien. Kegiatan ini juga sangat penting karena
dengan mengetahui informasi tentang klien perawat bisa memahami klien.
Paling tidak perawat bisa mengetahui identitas klien yang bisa digunakan pada
saat memulai interaksi (Suryani, 2005).
d. Merencanakan pertemuan yang pertama dengan klien. Perawat perlu
merencanakan pertemuan pertama dengan klien. Hal yang direncanakan
mencakup kapan, dimana, dan strategi apa yang akan dilakukan untuk
pertemuan pertama tersebut (Suryani, 2005).

2.3.2 Tahap Orientasi


Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali
bertemu atau kontak dengan klien (Christina, dkk, 2002). Pada saat berkenalan,
perawat harus memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepada klien (Brammer
dalam Suryani, 2005). Dengan memperkenalkan dirinya berarti perawat telah
bersikap terbuka pada klien dan ini diharapkan akan mendorong klien untuk
membuka dirinya (Suryani, 2005). Tujuan tahap ini adalah untuk memvalidasi
keakuratan data dan rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini,
serta mengevaluasi hasil tindakan yang lalu (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Tugas perawat pada tahap ini antara lain:
a. Membina rasa saling percaya, menunjukkan penerimaan, dan komunikasi
terbuka. Hubungan saling percaya merupakan kunci dari keberhasilan
hubungan terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005), karena tanpa
adanya rasa saling percaya tidak mungkin akan terjadi keterbukaan antara
kedua belah pihak. Hubungan yang dibina tidak bersifat statis, bisa berubah
tergantung pada situasi dan kondisi (Rahmat, J dalam Suryani 2005).
Karena itu, untuk mempertahankan atau membina hubungan saling percaya
perawat harus bersikap terbuka, jujur, ikhlas, menerima klien apa adanya,
menepati janji, dan menghargai klien (Suryani, 2005).
b. Merumuskan kontrak pada klien (Christina, dkk, 2002). Kontrak ini sangat
penting untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi (Barammer dalam
Suryani, 2005). Pada saat merumuskan kontrak perawat juga perlu
menjelaskan atau mengklarifikasi peran-peran perawat dan klien agar tidak
terjadi kesalah pahaman klien terhadap kehadiran perawat. Disamping itu
juga untuk menghindari adanya harapan yang terlalu tinggi dari klien
terhadap perawat karena karena klien menganggap perawat seperti dewa
penolong yang serba bisa dan serba tahu (Gerald, D dalam Suryani, 2005).
Perawat perlu menekankan bahwa perawat hanya membantu, sedangkan
kekuatan dan keinginan untuk berubah ada pada diri klien sendiri (Suryani,
2005).
c. Menggali pikiran dan perasaan serta mengidentifikasi masalah klien. Pada
tahap ini perawat mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya.
Dengan memberikan pertanyaan terbuka, diharapkan perawat dapat
mendorong klien untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya sehingga
dapat mengidentifikasi masalah klien.
d. merumuskan tujuan dengan klien. Perawat perlu merumuskan tujuan
interaksi bersama klien karena tanpa keterlibatan klien mungkin tujuan sulit
dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah klien diidentifikasi.
Fase orientasi, fase ini dilaksanakan pada awal setiap pertemuan kedua
dan seterusnya, tujuan fase ini adalah memvalidasi keakuratan data, rencana
yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini, dan mengevaluasi hasil
tindakan yang lalu. Umumnya dikaitkan dengan hal yang telah dilakukan
bersama klien (Cristina, dkk, 2002).

     3. Tahap Kerja


Tahap kerja ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi
terapeutik (Stuart, G.W dalam Suryani, 2005). Pada tahap ini perawat dan klien
bekerja bersama-sama untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien. Pada tahap
kerja ini dituntut kemampuan perawat dalam mendorong klien mengungkap perasaan
dan pikirannya. Perawat juga dituntut untuk mempunyai kepekaan dan tingkat
analisis yang tinggi terhadap adanya perubahan dalam respons verbal maupun
nonverbal klien.
Pada tahap ini perawat perlu melakukan active listening karena tugas perawat
pada tahap kerja ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah klien. Melalui active
listening, perawat membantu klien untuk mendefinisikan masalah yang dihadapi,
bagaimana cara mengatasi masalahnya, dan mengevaluasi cara atau alternatif
pemecahan masalah yang telah dipilih.
Perawat juga diharapkan mampu menyimpulkan percakapannya dengan klien.
Tehnik menyimpulkan ini merupakan usaha untuk memadukan dan menegaskan hal-
hal penting dalam percakapan, dan membantu perawat-klien memiliki pikiran dan ide
yang sama (Murray, B & Judth dalam Suryani, 2005). Tujuan tehnik menyimpulkan
adalah membantu klien menggali hal-hal dan tema emosional yang penting (Fontaine
& Fletcner dalam Suryani, 2005)
4.  Tahap Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dengan klien (Christina,
dkk, 2002). Tahap ini dibagi dua yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir
(Stuart, G.W dalam Suryani, 2005).
Terminasi sementara adalah akhir dari tiap pertemuan perawat-klien, setelah
terminasi sementara, perawat akan bertemu kembali dengan klien pada waktu yang
telah ditentukan.Terminasi akhir terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses
keperawatan secara keseluruhan.

Tugas perawat pada tahap ini antara lain:


a.       Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan. Evaluasi
ini juga disebut evaluasi objektif. Dalam mengevaluasi, perawat tidak boleh terkesan
menguji kemampuan klien, akan tetapi sebaiknya terkesan sekedar mengulang atau
menyimpulkan.
b.      Melakukan evaluasi subjektif. Evaluasi subjektif dilakukan dengan menanyakan
perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Perawat perlu mengetahui
bagaimana perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat. Apakah klien merasa
bahwa interaksi itu dapat menurunkan kecemasannya? Apakah klien merasa bahwa
interaksi itu ada gunanya? Atau apakah interaksi itu justru menimbulkan masalah
baru bagi klien.
c.       Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Tindakan ini
juga disebut sebagai pekerjaan rumah untuk klien. Tindak lanjut yang diberikan harus
relevan dengan interaksi yang akan dilakukan berikutnya. Misalnya pada akhir
interaksi klien sudah memahami tentang beberapa alternative mengatasi marah. Maka
untuk tindak lanjut perawat mungkin bisa meminta klien untuk mencoba salah satu
dari alternative tersebut.
d.      Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya. Kontrak ini penting dibuat agar
terdapat kesepakatan antara perawat dan klien untuk pertemuan berikutnya. Kontrak
yang dibuat termasuk tempat, waktu, dan tujuan interaksi.
Stuart G.W. (1998) dalam Suryani (2005), menyatakan bahwa proses
terminasi perawat-klien merupakan aspek penting dalam asuhan keperawatan,
sehingga jika hal tersebut tidak dilakukan dengan baik oleh perawat, maka regresi dan
kecemasan dapat terjadi lagi pada klien. Timbulnya respon tersebut sangat
dipengaruhi oleh kemampuan perawat untuk terbuka, empati dan responsif terhadap
kebutuhan klien pada pelaksanaan tahap sebelumnya.

2.4 Prinsip Kumunikasi Pada Lansia


1. Menjaga Agar tingkat kebisingan minimum
2. Menjadi pendengar yang setia
3. Jangan berbicara keras atau berteriak
4. menggunakan kalimat pendek dan sederhana
5. beri kesempatan klien untuk mengenang masa lalu
6. selalu menanyakan respon

2.5 Perubahan Fisik dan Mental pada Lansia


2.5.1 Sistem Kardiovaskuler
Sistem kardiovaskuler merupakan organ sirkulsi darah yang terdiri dari
jantung, komponen darah dan pembuluh darah yang berfungsi memberikan
dan mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi keseluruh jaringan tubuh yang di
perlukan dalam proses metabolisme tubuh.

2.5.2 Sistem Pernapasan

Perubahan yang terjadi adalah peningkatan volume residus dan penurunan kapasitas
vital, pernurunan pertukaran gas dan kapasitas dan penurunan efisiensi batuk.
Biasanya lansia akan mengalami sesak nafas setelah beraktifitas, gangguan
penyembuhan jantung akibat penurunan oksigen serta kesulitan membatukkan
sekresi.

2.5.3 Sistem Integumen

Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan,


melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem
ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit,
rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir).

2.5.4 Sistem Reproduksi

 Pada wanita perubahan yang terjadi adalah penyempitan dan penurunan


elastisitas vagina serta penurunan sekresi vagina sehingga menyebabkan nyeri
saat berhubungan kelamin bahkan bisa terjadi pendarahan di vagina setelah
berhubungan seksual, gatal, dan iritasi vagina serta organ melambat.
 Pada pria perubahan yang terjadi adalah penurunan penis dan testis. Ereksi
dan pencapaian orgasme melambat
2.5.5 Sistem Muskuloskletal
Perubahan yang terjadi adalah kehilangan kepadatan tulang, kehilangan ukuran dan
kekurangan otot serta degenerasi tulang rawan sendi.

2.5.6 Sistem Genitourinarius


Pada pria dan wanita perubahan yang terjadi adalah kapasitas kandung kemih
menurun dan keterlambatan ingin berkemih. Biasanya terjadi refensi urine, kesulitan
berkemih, urgensi, frekuensi, dan inkotinesia urine.

2.5.7 Sistem Gastrointestinal


Terjadinya penurunan salifasi kesulitan menelan makan, perlambatan pengasongan
esofagus dan lambung serta penurunan motilitas gastrointestinal. Keluhan yang
biasanya muncul adalah mulut kering, sesak, nyeri ulu hati dan gangguan pencernaan.

2.5.8 Sistem Saraf


Perubahan yang terjadi adalah penurunan kecepatan konduksi saraf, cepat bingung
saat sakit fisik dan kehilangan orientasi lingkungan, penurunan sirkulasi serebraf,
respond dan reaksi melambat.

2.6 Hambatan Komunikasi pada Lansia


Saat perawat berkomunikasi dengan lansia tidak sedikit hambatan yang terjadi saat
melakukan komunikasi. Apabila hal ini dibiarkan terus akan menghambatb kemajuan
komunikasi. Hambatan tersebut antara lain:
1. Internal Distraksi
Gangguan yang terjadi pada lansia saat melakukan komunikasi misalnya:
lansia mengatuk, menguap atau mengatakan lapar saat melakukan komunikasi
dengan perawat.
2. Gangguan Neurologi
3. Hambatan Verbal
4. Setting yang tidak tepat
5. Perbedaan Budaya

2.7 Gangguan Komunikasi Terapeutik Pada lansia Dengan Gangguan Pendengaran


1. Berdiri dekat menghadap klien
2. Bertanya diarahkan pada telinga klien
3. Berikan perhatian dan tunjukan wajah saudara
4. Tegurlah Nama sebelum memulai pembicaraan
5. Gunakan pembicaraan yang keras, jelas dan di arahkan langsung
6. Hindari Memalingkan kepala , tidak berbalik atau berjalan saat bicara
7. Jika klien belum memahami , ulangi dengan kata – kata yang berbeda
8. Membatasi kegaduhan lingkungan
9. Gunakan Bahasa tubuh yang sesuai dengan isi komunikasi

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan
seseorang untuk menetapkan, mempertaankan dan meningkatkan kontrak dengan
oran lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali
salah berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah.
Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingka laku dan
hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi denan orang lain dan dengan
lingkungan sekitarnya. Hal itu merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara
dinamis yan maknanya dipacu dan ditransmisikan.
 Komunikasi pada lansia tidaklah begitu sulit dibutuhkan teknik-teknik tersendiri
untuk melakukan komunikasi pada lansia banyak hal-hal yang harus diperhatikan
diantaranya :
1. Teknik komunikasi dengan penggunaan bahasa yang baik.
2. Tehknik untuk wawancara.
3. Kendala dan hambatan dalam komunikasi.
4. Mood dan privasi
5. Aspek-aspek yang harus diperhatikan.

3.2 Saran
Komunikasi pada lansia baiknya dilakukan secara bertahap supaya mudah
dalam pemahamannya. Lansia merupakan kelompok yang sensitive dalam
perasaannya oleh sebab itu, saat komunikasi harus berhati-hati agar tidak
menyinggung perasaannya.

DAFTAR PUSTAKA

www.academia.edu
damayantimukripah.2010.KomunikasiTerapeutikDalamPraktikKeperawatan.PT.Refi
kaaditama:Bandung
http//komunikasi pada lansia.com
http//konsep komunikasi .co.id

Anda mungkin juga menyukai