Anda di halaman 1dari 26

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

DENGAN GANGGUAN SISTEM PENDENGARAN

(OTITIS MEDIA “Akut dan Kronis)

DISUSUN OLEH :

Enjelina Marlina 241911001

Khoiriyah Dwi Agustin 241911004

Siska Rahayu 241911006

Yulia Puspitasari 241911010

AKADEMI KEPERAWATAN ANTARIKSA

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “Otitis Media” dengan baik meskipun banyak kekurangan di
dalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada ibu selaku Dosen mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna serta dapat menambah wawasan
dan pengetahuan kita mengenai “Keperawatan Medikal Bedah II”. Semoga
makalah yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya,
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Jakarta, 28 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media akut (OMA) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh adanya inflamasi yang terdapat pada sebagian atau seluruh mukosa
telinga bagian tengah, tuba eustachii dan sel-sel mastoid yang terletak di
belakang membran timpani. Peradangan yang terjadi bersifat akut pada
anak-anak akan mengeluhkan sakit telinga, telinga berdengung, keluar
cairan keruh dari telinga dan dapat disertai demam. Penderita OMA pada
anak sangat berhubungan dengan kejadian penyakit infeksi saluran
pernapasan atas akut (ISPA). Penyakit ISPA di Indonesia masih sangat
tinggi, terutama pada anak-anak. Kejadian ISPA pada anak dan dapat
menyebabkan peningkatan kejadian OMA pada anak (Priyono et al.,
2011). Otitis media akut stadium perforasi memiliki komplikasi yang
tersering yaitu mastoiditis. Kejadian mastoiditis yang kronis akan menjadi
masalah bagi anak yaitu adanya penurunan pendengaran, pada anak yang
mengalami penurunan pendengaran menyebabkan penurunan konsentrasi
dalam proses belajar di sekolah (Mattos et al., 2014). Kementrian
kesehatan Indonesia memiliki target kesehatan nasional di tahun 2030
akan menjamin semua penduduk di seluruh wilayah Indonesia akan
terbebas dari kejadian tuli (PGPKT, 2017).
Otitis media kronik merupakan masalah kesehatan global yang
berdampak pada kualitas hidup seseorang. Otitis media kronik sebagai
kelanjutan dari otitis media akut yang sering terjadi pada anak – anak,
sebagian disebabkan oleh perforasi membran timpani. Keadaan seperti ini
mengakibatkan nyeri telinga, otorrhea yang berhubungan dengan perforasi
membran timpani (Anggraini, 2013). Otitis media kronik dapat
menyebabkan morbiditas yang sangat erat hubungannya dengan gangguan
pendengaran. Terdapat berbagai macam faktor predisposisi kronisitas otitis
media salah satunya adalah riwayat rinitis alergi sebelumnya (Diana and
Haryuna, 2017).
peningkatan resiko kejadian OMA pada anak yang tinggal serumah
dengan perokok sebesar OR 1,62 serta indeks kepercayaan 95% (CI 1,33-
1,97), untuk peningkatan resiko kejadian OMA pada anak yang ibunya
merokok setelah melahirkan sebesar OR 1,37 (CI 1,25-1,50), peningkatan
resiko OMA pada anak yang ibunya merokok sebelum hamil sebesar OR
1,11 (CI 0,93-1,31) dan akan adanya peningkatan resiko OMA pada anak
yang ayahnya merokok sebesar OR 1,24 (CI 0,98-1,57) (Jones, 2012).
Penelitian yang dilakukan di Amerika dengan jumlah 412 anak yang
mederita OMA didapatkan bahwa ada 155 (37,6%) anak yang tinggal
dengan orang tua perokok aktif. Hasil penelitian yang didapatkan adanya
peningkatan resiko kejadian OMA pada anak yang tinggal dengan orang
tua perokok sebesar OR 2,19 dengan tingkat kepercayaan 95% (CI 1,17-
4,07) (Csákányi et al., 2012).
Menurut penelitian Budiman et al (2014) terdapat hubungan
bermakna rinitis alergi terhadap otitis media supuratif kronik (p=0,032)
dan otitis media efusi (p=0,03). Pada hasil tes fungsi tuba didapatkan
gangguan fungsi tuba sebesar 89.2% (Budiman et al., 2014). Dalam studi
lain bahwa pasien rinitis alergi memiliki risiko 13 kali lebih besar untuk
menderita otitis media supuratif kronik (OMSK) dibanding dengan pasien
tanpa rinitis alergi, dimana probabilitas pasien rinits alergi untuk
menderita OMSK sebesar 92,9% (Rambe et al., 2017). Sedangkan
menurut studi (Heo, Kim and Lee, 2018) menunjukan bahwa tidak ada
hubungan antara rinitis alergi dengan kejadian otitis media kronik
Berdasarkan data di atas maka dari iti penulis tertarik untuk
membuat makalah berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
otitis media akut dan kronis”.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui tentang gambaran asuhan keperawatan pasien
dengan otitis media, serta mampu memberikan asuhan keperawatan
pada penderita otitis media.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahui Definisi Dari Otitis Media Akut Dan Kronik
2. Untuk Mengetahui Anatomi Telinga
3. Untuk Mengetahui Etiologi Dari Otitis Media Akut Dan Kronik
4. Untuk Mengetahui Pathway Dari Otitis Media Akut Dan Kronik
5. Untuk Mengetahui Patofisiologi Otitis Media Akut Dan Kronik
6. Untuk Mengetahui Manifestasi Otitis Media Akut Dan Kronik
7. Untuk Mengetahui Komplikasi Otitis Media Akut Dan Kronik
8. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Otitis Media
9. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Dari Otitis Media
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Otitis Media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis
media berdasarkan gejalanya dibagi menjadi dua antara lain otitis media
supuratif dan non supuratif, dari masing-masing golongan mempunyai
bentuk akut dan kronis. Selain itu terdapat juga otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media sifilitika. Otitis media
yang lain ialah otitis media adhesiva (Soepardi & Iskandar, 2001: 50).
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani
dapat menjadi otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih
dari 2 bulan. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK,
antara lain: terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat,
virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh pasien yang rendah (gizi
kurang), dan higiene yang buruk (Djaafar ZA, 2007) Otitis media adalah
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustakhius,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid (Djaafar ZA, 2007). Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) atau yang biasa disebut “congek” adalah radang
kronis telinga tengah dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang
telinga (membran timpani) dan riwayat keluarnya cairan (sekret) dari
telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul.
Sekret mungkin serous, mukous, atau purulent (WHO, 2004).
Otitis Media Akut merupakan peradangan tengah yang terjadi
secara cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai
dengan gejala lokal dan sistemik (Munilson dkk). Menurut Muscari (2005:
219) otitis media akut (OMA) merupakan inflamasi telinga bagian tengah
dan salah satu penyakit dengan prevalensi paling tinggi pada masa anak-
anak, dengan puncak insidensi terjadi pada usia antara 6 bulan sampai 2
tahun. Hampir 70% anak akan mengalami otitis media akut (OMA) paling
sedikit satu periode otitis media
2.2 Anatomi dan fisiologi
2.2.1 anatomi system pendengaran

Telinga merupakan alat penerima gelombang suara atau gelombang


udara kemudian gelombang mekanik ini diubah menjadi impuls pulsa
listrik dan diteruskan ke korteks pendengaran melalui saraf pendengaran.
Telinga merupakan organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga
manusia menerima dan mentransmisikan gelombang bunyi ke otak di
mana bunyi tersebut akan dianalisa dan diintrepetasikan. Telinga dibagi
menjadi 3 bagian seperti pada gambar 2.1 (Saladin, 2014).

2.2.2 anatomi telinga luar


Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga
(meatus acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun
telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit.
Kearah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi
hampir sepertiga 8 lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh
tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan
membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan
cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5
cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz.
Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak mengandung
kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga bagian dalam terdiri
dari tulang dengan sedikit serumen (Pearce, 2016).

2.2.3 anatomi telinga tengah


Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana
timpani, cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian
atas membran timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang
terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit
liang telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian
bawah membran timpani disebut pars tensa (membran propria) yang
memiliki satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin (Saladin, 2014).
Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus (landasan),
dan stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar kedalam seperti rantai yang
bersambung dari membrana timpani menuju rongga telinga dalam.
Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat
pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap
lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang
pendengaran 9 merupakan persendian. Tuba eustachius menghubungkan
daerah nasofaring dengan telinga tengah (Saladin, 2014). Prosessus
mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di belakang
telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum
mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat
menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang
dapat menyebabkan mastoiditis (Saladin, 2014).

2.2.4 anatomi telinga dalam


Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan
labirin membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan
kanalis semi sirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari
utrikulus, sakulus, duktus koklearis, dan duktus semi sirkularis. Rongga
labirin tulang dilapisi oleh lapisan tipis periosteum internal atau
endosteum, dan sebagian besar diisi oleh trabekula (susunannya
menyerupai spons) (Pearce, 2016).

2.2.5 fisiologi pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga
kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis
(Sherwood, 2014).

2.3 Klasifikasi Otitis media


OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium
oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium presupurasi,
stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).
Membran timpani normal
1) Stadium Oklusi Tuba Eustachius Pada stadium ini, terdapat
sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran
timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam
telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran
timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks
cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius
juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani
kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya
berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak
dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari
otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak
terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2) Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi Pada stadium ini,
terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema
mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat.
Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan
sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses
inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi
kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan
demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan
ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi
karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani.
Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu
hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Membran Timpani Hiperemis


3) Stadium Supurasi Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret
eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin
hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang
purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol
atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.
Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi
demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang
berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia
membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa
membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung
di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga
tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan
atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan
melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan
menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar
dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur,
lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani
mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen


4) Stadium Perforasi Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran
timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya
virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih
tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret
atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut
tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan,
maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

Membran Timpani Peforasi


5) Stadium Resolusi Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA
yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium
resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga
perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen
akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi
kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan
berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium
ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007)
2.4 Etiologi
Menurut Adams (1997: 96) penyebab otitis media akut antara lain :
1) Faktor pertahanan tubuh terganggu Telinga tengah biasanya steril,
meskipun terdapat mikroba dinasofaring dan faring. Secara fisiologik
terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim penghasil mukus
(misalnya muramidase) dan antibodi.
2) Obstruksi tuba eusthachius Merupakan suatu faktor penyebab dasar
pada otitis media akut, karena fungsi tuba eustachius terganggu,
pencegahan invasi kuman ke telinga tengah juga terganggu, sehingga
kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi peradangan. Pada bayi
terjadinya otitis media akut dipermudah karena tuba eustachiusnya
pendek, lebar, dan agak horisontal letaknya.
3) Infeksi saluran pernafasan atas Terutama disebabkan oleh virus, pada
anak makin sering terserang infeksi saluran pernafasan atas makin besar
kemungkinan terjadinya otitis media akut.
4) Bakteri piogeik Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisma
penyebab adalah streptococcus pneumoniae, hemophylus influenzae,
streptococcus betahemolitikus dan moraxella catarrhalis.
OMSK umumnya diawali dengan otitis media berulang pada anak,
hanyasedikit yang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal
dari peradangan nasofaring, mencapai telinga tengah melalui tuba
eustakhius. Faktor-faktor yang menyebabkan otitis media supuratif
menjadi kronik sangat majemuk, beberapa diantaranya :
1) Gangguan fungsi tuba eustakhius yang kronik akibat :
a Infeksi hidung dan tenggorok yang kronik atau berulang.
b Obstruksi anatomik tuba eustakhius parsial atau total.
2) Perforasi membrana timpani yang menetap.
3) Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologis menetap
pada telinga tengah.
4) Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid.
5) Terdapat daerah-daerah dengan skuesterisasi atau osteomielitis
persisten di mastoid.
6) Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau
perubahan mekanisme pertahanan tubuh.

2.5 Pathway
Gambar 1. Diagram Patofisiologi OMSK.
2.6 Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi OMA
Penyebab terjadi OMA salah satunya penggunaan dot saat minum
susu dengan posisi kepala horizontal dengan badan yang dimana terdapat 3
bakteri patogen yang paling sering pada otitis media akut (streptococcus
pneumoniae, haemophilus influenzae, moraxella catarrahalis) yang
berkolonisasi pada nasofaring mulai dari saat masa bayi dan dianggap
sebagai flora normal pada tubuh manusia. Bakteri patogen ini tidak
menimbulkan gejala atau keluhan sampai terjadi perubahan pada
lingkungan pada nasofaring. Virus pada infeksi saluran pernafasan atas
(upper tract infection) memiliki peran penting pada patogenesis dari otitis
media akut ini dimana virus ini menyebabkan inflamasi pada nasofaring,
yang menyebabkan perubahan pada sifat kepatuhan bakteri dan kolonisasi,
dan gangguan fungsi dari tuba Eusthacius. Tuba Eusthacius adalah
pelindung alami yang mencegah kolonisasi dari nasofaring ke telinga
tengah. Anakanak biasanya rentan terhadap otitis media akut karena
imunitas sistemik yang tidak matang dan imunitas anatomi yang tidak
matang (Maron dkk., 2012).
2.5.2 Patofisiologi OMSK
Otitis media supuratif kronik sebagian besar merupakan sequele
atau komplikasi otitis media akut (OMA) yang mengalami perforasi.
infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok
dapat menyebabkan gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat otorea
terus-menerus atau hilang timbul. Peradangan pada membran timpani
menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah
iskemi, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning,
yang bila disertai tekanan akibat penumpukan discaj dalam rongga timpani
dapat mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi
yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan
dengan dunia luar, sehingga kuman dari kanalis auditorius eksternus dan
dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani,
menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-
menerus. Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium
daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran
patologi ini disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap,
efek dari kerusakan jaringan,serta pembentukan jaringan parut.
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi
mukosa sekretorik dengan sel goblet yang mengeksresi sekret mukoid atau
mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung
lama menyebabkan mukosa mengalami proses pembentukan jaringan
granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran
timpani, sehingga menghalangi drainase,menyebabkan penyakit menjadi
persisten
2.7 Manifestasi Klinis
Gejala otitis media akut dapat bervariasi antara lain :
1) nyeri telinga (otalgia)
2) keluarnya cairan dari telinga
3) demam
4) kehilangan pendengaran
5) tinitus
6) membran timpani tampak merah dan menggelembung (Smeltzer &
Bare, 2001: 2051).
Gejala otitis media kronik dapat bervariasi antara lain :
1) Telinga berair (otorrhoe) Sekret bersifat purulen atau mukoid
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh
aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK
tipe jinak, cairan yang keluar mukopurulen yang tidak berbau busuk
yang sering kali sebagai reaksi inflamasi mukosa telinga tengah oleh
perforasi membran timpani. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul.
Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas
atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau
berenang
2) Gangguan pendengaran Gangguan pendengaran tergantung dari
derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya dijumpai tuli
konduktif namun ada juga bersifat tuli campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat,
karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma dapat menghambat
bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis
3) Otalgia ( nyeri telinga) Pada OMSK, keluhan nyeri dapat karena
terbendungnya drainase sekret. Nyeri dapat menandakan adanya
ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak
4) Vertigo
5) Kurang Pendengaran

2.8 Komplikasi
Komplikasi otitis media adalah sebagai berikut:

1) Tuli konduktif persisten atau fluktuatif (berkurang ±25 dB) pada


pasien dengan efusi telinga tengah
2) Anak dengan otitis media efusi kronis memiliki gangguan pada
kemampuan berbicara, bahasa, dan kognitif.

3) Perforasi sentral membran timpani dapat menyebabkan infeksi kronik


pada telinga tengah dan rongga mastoid

4) Mastoiditis akut dapat menginvasi tulang dan membentuk abses


subkutan (Bezold’s abscess)
5) Penyebaran secara lokal maupun hematogen dapat menyebabkan
infeksi pada telinga bagian dalam, tulang temporal, otak, bahkan
meningitis. Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang paling
serius

6) OMSK yang dapat mengakibatkan gangguan pendengaran ringan


hingga sedang, dan dapat menyebabkan komplikasi intrakranial dan
ekstrakranial

2.9 Penatalaksanaan Medis


1) Pengobatan Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium
penyakitnya. Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan
untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif
di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin
0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun
atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang
berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007). Pada stadium
hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan
analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau
eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi
dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di
dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan
ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat dosis,
amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang
terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus
dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar,
2007).
2) Pembedahan Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat
menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba
timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003). a.
Miringotomi Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa
membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi
ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan
sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika
terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi
miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan
terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap
dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu
tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap
anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi
second-line, untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur
(Kerschner, 2007). b. Timpanosintesis Menurut Bluestone (1996)
dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada
membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan
sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah
terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah.
Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun
morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam
tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3) Adenoidektomi Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko
terjadi otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak
yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak
kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan
insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi
obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).

2.10 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik Otitis Media
Menurut Corrwin (2009), pemeriksaan diagnostic untuk otitis
media ialah :

1) Pemeriksaan otoskopi memberikan informasi tentang gendang


telinga yang dapat digunakan untuk mendiagnosis otitis media.
Otitis media akut ditandai dengan penonjolan gendang telinga yang
merah pada pemeriksaan otoskopi. Penanda tulang dan reflek
cahaya mungkin kabur.
2) Pemeriksaan memakai alat pneumonik dengan otoskop fotoshop
pneumatic lebih lanjut membantu mendiagnosis otitis media.
Dengan menekan balon berisi udara yang dihubungkan ke otoskop,
bolus kecil udara dapat diinjeksikan kedalam telinga luar. Pada
otitis media akut dan otitis media dengan efusi, mobilitas
membrane timpani akan berkurang.
3) Timpanogram, suatu pemeriksaan yang mencangkup pemasangan
sonde kecil pada telinga luar dan pengukuran gerakan membrane
timpani (gendang telinga) setelah adanya tonus yang terfiksasi,
juga dapat digunakan untuk mengevaluasi mobilotas membrane
timpani.
4) Pemeriksaan audiologi memperlihatkan deficit pendengaran, yang
meruapakan indikasi penimbunan cairan (infeksi atau alergi).
Menurut Betz dan Sowden (2009) pemeriksaan diagnostic otitis
media, yaitu :

A. Otoskopi pneumatik-untuk melihat membran timpani dan


uji mobilitas membran timpani
B. Timpanogram-untuk mengukur kelenturan dan kekakuan
membrane timpani
C. Kultur dan sensitivitas-disiapkan hanya bila dilakukan
timpanosentesis (aspirasi jarum pada telinga tengah melalui
membran timpani)
2.11

BAB III
PEMBAHASAN

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Pearce, Evelyn C. 2016. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. Halaman: 56-70.

Saladin, Kenneth S. 2014. Anatomy and Physiology: The unity of Form and
Function. 7th Edition. McGraw Hill, New York. Halaman 134-150.

Sherwood, LZ., 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC,
595-677.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Acute Otitis
Media. Brunner & Suddarth's Textbook of Medical-surgical Nursing (1st ed., p.
1813). Lippincott Williams & Wilkins.

Maron dkk., 2012. Patofisiologi OtitiS Media Kronik. Jakarta: EGC

World Health Organization. (2014, February). Deaf and Hearing Loss. Retrieved
October 6, 2014, from World Health Organization:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs300/en/

Anda mungkin juga menyukai