Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN RABIES

Oleh kelompok 1
Konsep dasar penyakit

Definisi rabies
Rabies dikenal dengan sebutan Lyssa, hygropobia atau
penyakit anjing gila adalah penyakit zoonosis berbahaya dan
dapat menimbulkan kematian pada hewan dan manusia
(Tagueha & Heru , 2002).
Rabies disebabkan oleh virus neurotropik yang merupakan
virus dengan sasaran akhirnya pusat susunan syaraf, otak dan
sumsum tulang belakang dari hewan berdarah panas dan
manusia (Subroto, 2006).
Menurut Soeharsono (2002) virus rabies dikeluarkan bersama
air hewan yang terinfeksi dan ditularkan melalui gigitan atau
jilatan Hewan Penular Rabies (HPR) terutama anjing, kucing
dan kera (Depkes, 2000).
Epidemologi rabies
Kasus rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan
oleh Esser tahun 1884 pada seekor kerbau,
kemudian oleh Pening tahun 1889 pada seekor
anjing dan oleh Eileris de Zhaan tahun 1894 pada
manusia. Semua kasus terjadi di Provinsi Jawa Barat
dan setelah itu rabies terus menyebar ke daerah
Indonesia lainnya.
Lanjutan...
Hingga saat ini 25 provinsi tertular rabies dan hanya 9
(Sembilan) provinsi di Indonesia yang masih tetap bebas
rabies yaitu Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat, Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Provinsi Kalimantan Barat sebenarnya telah
berhasil mencapai bebas Rabies berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian No. 885/Kpts/PD.620/8/2014 tentang
Pembebasan Rabies Provinsi Kalimantan Barat tanggal 14
Agustus 2014, namun pada tanggal 19 Oktober 2014
dilaporkan terjadi kasus kematian akibat rabies pada
manusia di Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang.
Berdasarkan data Kemenkes, dalam 5 (lima) tahun terakhir
(2011 – 2015) jumlah rata-rata kasus gigitan hewan penular
rabies per tahun adalah 78.413 kasus dan rata-rata sebanyak
63.534 kasus mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR).
Etiologi rabies
Agen penyebab rabies adalah virus dari genus lyssa
virusdan termasuk ke dalam family Rhabdoviridae.
Virus ini bersifat neurotropic, berbentuk menyerupai
peluru dengan panjang 130 – 300 nm dan diameter 70
nm. Virus ini terdiri dari inti RNA (Ribo Nucleic
Acid) rantai tunggal diselubungi lipoprotein. Pada
selubung luar terdapat tonjolan yang terdiri dari
glikoprotein G yang berperan penting dalam
timbulnya imunitas oleh induksi vaksin dan penting
dalam identifikasi serologi dari virus rabies.
Manifestasi klinis rabies pada manusia
 Tahap Prodromal
Pada tahap awal gejala yang timbul adalah demam,
lemas, lesu, tidak nafsu makan/anorexia, insomnia,
sakit kepala hebat, sakit tenggorokan dan sering
ditemukan nyeri.
Tahap Sensoris

Pada tahap ini sering ditemukan rasa kesemutan atau


rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan
reaksi berlebih terhadap rangsang sensorik
Lanjutan...
 Tahap Sensoris
Pada tahap ini sering ditemukan rasa kesemutan atau rasa panas
(parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih terhadap
rangsang sensorik
 Eksitasi
Pada tahap ini penderita mengalami berbagai macam gangguan
neurologik, penderita tampak bingung, gelisah, mengalami halusinasi,
tampak ketakutan disertai perubahan perilaku menjadi agresif, serta
adanya bermacam-macam fobia yaitu hidrofobia, aerofobia, fotofobia.
Hidrofobia merupakan gejala khas penyakit rabies karena tidak
ditemukan pada penderita penyakit enchepalitislainnya. Gejala
lainnya yaitu spasme otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi, hiperhidrosis
dan dilatasi pupil. Setelah beberapa hari pasien meninggal karena
henti jantung dan pernafasan. Dari seluruh penderita rabies
sebanyak 80% akan mengalami tahap eksitasi dan lamanya sakit
untuk tahap ini adalah 7 hari dengan rata-rata 5 hari.
 Tahap Paralisis
Bentuk lainnya adalah rabies paralitik, bentuk ini
mencapai 30 % dari seluruh kasus rabies dan masa
sakit lebih lama dibandingkan dengan bentuk
furious.Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot
secara bertahap dimulai dari bagian bekas luka
gigitan/cakaran. Penurunan kesadaran berkembang
perlahan dan akhirnya mati karena paralitik otot
pernafasan dan jantung. Pada pasien
dengan gejala paralitik ini sering terjadi salah
diagnosa dan tidak terlaporkan. Lamanya sakit
untuk rabies tipe paralitik adalah 13 hari, lebih
lama bila dibandingkan dengan tipe furious.
Manifestasi klinis pada hewan (anjing)
Tahap Prodromal
Tahap ini merupakan tahap awal dari gejala klinis yang
berlangsung selama 2 – 3 hari. Terdapat perubahan
perilaku hewan yaitu hewan tidak mengenal
tuannya, sering menghindar dan tidak
mengacuhkan perintah tuannya. Mudah terkejut dan
cepat berontak bila ada provokasi. Terjadi kenaikan
suhu tubuh, dilatasi pupil dan refleks kornea menurun
terhadap rangsangan.
 Tahap Eksitasi
tahap eksitasi berlangsung selama 3 – 7 hari, mulai mengalami
fotofobi sehingga hewan akan bersembunyi di kolong tempat tidur,
dibawah meja atau kursi. Anjing terlihat gelisah, adanya gerakan
halusinasi dimana anjing bersikap seolah-olah akan mencaplok
serangga yang terbang di udara. Sering mengunyah benda di sekitarnya
seperti lidi, kawat, kerikil, jeruji kandang, dan benda lainnya yang
tidak sewajarnya atau yang dikenal dengan istilah pika. Bila
dikandangkan anjing akan berjalan mondar-mandir sambil menggeram.
Perilaku anjing akan berkembang semakin sensitif, beringas dan akan
menyerang semua obyek yang bergerak. Seringkali mulutnya berdarah
akibat giginya tanggal atau akibat mengunyah benda keras dan tajam.
Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot laring dan faring yang
menyebabkan perubahan suara menyalak anjing, suaranya akan
berubah menjadi parau. Juga terjadi kekejangan otot menelan sehingga
akan terjadi hipersalivasi, frekuensi nafas berubah cepat, air liur berbuih
kadang disertai darah dari luka di gusi atau mulutnya.
 Tahap Paralisis
Tahap ini berlangsung sangat singkat sehingga
gejalanya tidak diketahui, terjadi
kelumpuhan otot pengunyah sehingga rahang tampak
menggantung. Suaranya sering seperti tersedak akibat
kelumpuhan otot tenggorokan. Terjadi paralisis kaki
belakang sehingga saat jalan kaki belakang diseret.
komplikasi
pemeriksaan diagnostik

 Elektroensefalogram (EEG) : dipakai untuk membantu


menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
 Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih
sensitif dari biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan
jaringan.
 Magnetic resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan
dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang
radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah otak
yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT
 Pemindaian positron emission tomography (PET): untuk
mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu
menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann
darah dalam otak
Lanjutan...
 Uji laboratorium
 fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
 Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan
hematokrit
 Panel elektrolit
 Skrining toksik dari serum dan urin
 GDA à Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan
predisposisi kejang < 200 mq/dl)
 BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian
obat.
 Elektrolit : K, Na à Ketidakseimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang. (Kalium ( N 3,80 – 5,00
meq/dl ); Natrium ( N 135 – 144 meq/dl)).
penatalaksanaan
Tindakan pengobatan
 Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka
seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian
tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan
hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan
pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang
terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun,
rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena
hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.
 Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan
luka gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan
dengan sabun, tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun.
Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah
mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan
immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya
disuntikkan di tempat gigitan.
 Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin
rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3,
7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan
biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius,
kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani
vaksinasi.
 Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka risiko
menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap
dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).
 Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi
dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena
sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau
kelumpuhan total. Meskipun kematian karena rabies diduga tidak
dapat dihindarkan, tetapi beberapa orang penderita selamat.
Mereka dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk diawasi
terhadap gejala-gejala pada paru-paru, jantung, dan otak.
Pemberian vaksin maupun imunoglobulin rabies tampaknya
efektif jika suatu saat penderita menunjukkan gejala-gejala rabies.
pencegahan
Pencegahan penularan rabies pada manusia adalah
dengan memberikan tatalaksana luka gigitan hewan
penular rabies, sebagai berikut :
 Pencucian luka
 Pemberian Antiseptik
 Pemberian Vaksi Anti Rabies (VAR) Dan Serum Anti
Rabies (SAR)
Konsep asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Assesment pasien yang didiagnosa terjangkit Rabies
dilakukan secara Head to Toe, diantaranya:
Status Pernafasan
 Peningkatan tingkat pernapasan
 Takikardi
 Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
 Menggigil

Status Nutrisi
 kesulitan dalam menelan makanan
 berapa berat badan pasien
 mual dan muntah
 porsi makanan dihabiskan
 status gizi
Lanjutan...
Status Neurosensori
 Adanya tanda-tanda inflamasi

Keamanan
• Kejang
• Kelemahan
Integritas Ego
 Klien merasa cemas
 Klien kurang paham tentang penyakitnya

Tanda – tanda vital:


 Suhu
 Pernapasan
 Denyut jantung
 Tekanan darah
 Tekanan nadi
 Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
 menonjol, rata, cekung
 Bentuk Umum Kepala
 Reaksi pupil
 Ukuran
 Reaksi terhadap cahaya
 Kesamaan respon

 Tingkat kesadaran Kewaspadaan :


 respon terhadap panggilan
 Iritabilitas
 Letargi dan rasa mengantuk
 Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain

 Afek
 Alam perasaan
 Labilitas

 Aktivitas kejang
 Jenis
 Lamanya
 Fungsi sensoris
 Reaksi terhadap nyeri
 Reaksi terhadap suhu

 Refleks
 Refleks tendo superficial
 Reflek patologi

2. Diagnosa Keperawatan
 Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia.
 Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan penurunan
refleks menelan.
 Demam berhubungan dengan viremia.
 Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan
informasi.
 Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan
kelemahan.
 Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka.
Intervensi keperawatan
Gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
Intervensi :
Obsevasi tanda-tanda vital pasien terutama respirasi.
Beri pasien alat bantu pernafasan seperti O2.
Beri posisi yang nyaman
Gangguan pola nutrisi berhubungn dengan penurunan refleks menelan
Intervensi :
Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Kaloborasi pemberian obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
Demam berhubungan dengan viremia
Intervensi :
 Kaji saat timbulnya demam.
 Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan)
setiap 3 jam
 Berikan kompres hangat
 Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai
program dokter.
Cemas (keluarga) berhubungan kurang terpajan
informasi tentang penyakit
Intervensi :
 Kaji tingkat kecemasan keluarga.
 Jelaskan kepada keluarga tentang penyakit dan kondisi
pasien.
 Informasi yang benar tentang kondisi pasien akan
mengurangi kecemasan keluarga.
 Berikan dukungan dan support kepada keluarga
pasien.
Resiko cedera berhubungan dengan kejang dan
kelemahan
Intervensi :
 Identifikasi dan hindari faktor pencetus
 Tempatkan klien pada tempat tidur yang memakai
pengaman di ruang yang tenang dan nyaman
 Anjurkan klien istirahat
 Lindungi klien pada saat kejang dengan melonggarakn
pakaian, posisi miring ke satu sisi, jauhkan klien dari
alat yang dapat melukainya, kencangkan pengaman
tempat tidur, dan lakukan suction bila banyak secret.
 Observasi efek samping dan keefektifan obat.
 Observasi adanya depresi pernafasan dan gangguan
irama jantung.
Resiko infeksi berhubungan dengan luka terbuka
Intervensi :
 Kaji tanda – tanda infeksi
 Pantau TTV,terutama suhu tubuh
 Ajarkan teknik aseptik pada pasien
Lanjutan...
 Cuci tangan sebelum memberi asuhan keperawatan ke
pasien.
 Lakukan perawatan luka yang steril.
implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana
tindakan keperawatan yang telah disusun/ ditemukan,
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuha pasien
secara optimal dapat terlaksana dengan baik
dilakukan oleh pasien itu sendiri ataupun perawat
secara mandiri dan juga dapat bekerjasama dengan
anggota tim kesehatan lainnya seperti ahli gizi dan
fisioterapis. Perawat memilih intervensi keperawatan
yang akan diberikan kepada pasien.
evaluasi
Evaluasi adalah stadium pada prose keperawatan
dimana taraf keberhasilan dalam pencapaian tujuan
keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk
memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan
ditetapkan. Evaluasi yang diharapkan pada pasien
dengan rabies adalah sebagai berikut:
Dx 1: gangguan pola nafas berhubungan dengan afiksia
• Pasien tidak mengalami gangguan dalam bernafas
• Pasien tidak menggunakan alat bantu dalam bernafas
Dx 2: gangguan pola nutrisi berhubungan dengan
penurunan refleks menelan
• Pasien tidak mengalami gangguan dalam makan dan
minum
• Pasien bisa menelan dengan baik
• Pasien tidak mengalami penurunan berat badan.
Dx 3:demam berhubungan dengan viremia
• Suhu pasien normal (36-370C)
• Pasien tidak mengeluh demam
Dx 4: cemas (keluarga) berhubungan kurang informasi
tentang penyakit
• Keluarga pasien tidak cemas lagi.
• Keluarga pasien bisa memahami kondisi pasien dan
ikut membantu dalam pemberian pengobatan.
Dx 5: resiko cedera berhubungan dengan kejang dan
kelemahan
• Pasien tidak mengalami cedera.
• Pasien tidak mengalami kejang
Dx 6: resiko infeksi berhubungan luka terbuka
• Tidak ada tanda – tanda infeksi
• Luka pasien terjaga dan terawat
Dokumentasi keperawatan
Dokumentasi keperawatan adalah suatu catatan yang memuat seluruh data yang
dibutuhkan untuk menentukan diagnosis keperawatan, perencanaan
keperawatan, tindakan keperawatan, dan penilaian keperawatan yang disusun
secara sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum
(Ali, 2009).
Tujuan dokumentasi asuhan keperawatan
 Berdasarkan penjelasan Ali (2010) menjelaskan tujuan dokumentasi asuhan
keperawatan keperawatan yaitu :
 Menghindari kesalahan, tumpang tindih, dan ketidaklengkapan informasi dalam
asuhan keperawatan.
 Terbinanya koordinasi yang baik dan dinamis antara sesama atau dengan pihak lain
melalui dokumentasi keperawatan yang efektif.
 Meningkatkan efisiensi dan efektivitas tenaga keperawatan.
 Terjaminnya kualitas asuhan keperawatan.
 Tersedianya perawat dari suatu keadaan yang memerlukan penanganan secara
hukum.
Lanjutan...
• Tersedianya data-data dalam penyelenggaraan penelitian
karya ilmiah, pendidikan, dan penyusun/penyempurnaan
standar asuhan keperawatan.
• Melindungi klien dari tindakan malpraktek.
Model Dokumentasi Keperawatan
• Dokumentasi keperawatan harus memenuhi standar yang
telah ditentukan, yang meliputi :
• Pengkajian awal dan pengkajian ulang.
• Diagnosis keperawatan dan kebutuhan asuhan keperawatan
klien.
• Rencana tindakan asuhan keperawatan.
• Tindakan asuhan keperawatan yang diberikan atas respon klien.
• Hasil dari asuhan keperawatan dan kemampuan untuk tindak
lanjut asuhan keperawatan setelah klien dipulangkan.
Daftar pustaka
Mading, Majematang & Fridolina Mau. (2014). Situasi Rabies dan
Upaya Penanganan di Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT). Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 13 No 2, Juni 2014 : 137 –145
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Buku Saku
Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
Di Indonesia.
Sylvia, A. Price. (2015). Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2. Jakarta:
Anonim. (2018). Asuhan Keperawatan pada Penderita Penyakit Rabies.
Jakarta: EGC
Suharso Darto. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya: F.K.
Airlangga

Anda mungkin juga menyukai