Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

“PRIMARY SURVEY”

Di RSUD PASAR MINGGU

Disusun Oleh :

Miftahul Jannah 1610711048

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2019
A. Penanganan Awal Kegawatdaruratan
1. Pengertian Penanganan Awal Kegawatdaruratan
Penanganan awal ataupun sering disebut pertolongan pertama merupakan
pertolongan secara cepat dan bersifat sementara waktu yang diberikan pada
seseorang yang menderita luka atau terserang penyakit mendadak. Pertolongan ini
menggunakan fasilitas dan peralatan yang tersedia pada saat itu di tempat
kejadian. (Nasution, 2009)

2. Tujuan Penanganan Awal Kegawatdaruratan


Tujuan yang penting dari penanganan awal kegawatdaruratan adalah
memberikan perawatan yang akan menguntungkan pada orang-orang tersebut
sebagai persiapan terhadap penanganan lebih lanjut. Dalam penanganan pasien-
pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka diperlukan suatu
cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus
diberikan sesegera mungkin dalam rangka menyelamatkan nyawa seseorang.
Terdapat suatu pendekatan yang dikenal dengan Initial Assesment (Penilaian
Awal) yang meliputi(Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors, 2015):

1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey, pemeriksaan head to toe dan anamnesis
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan
9. Penanganan definitif
Tahapan-tahapan penilaian awal ini merupakan suatu urutan kejadian
progresif yang berjalan secara linier ataupun longitudinal. Dalam situasi klinis
sesungguhnya, pelaksanaannya dapat berjalan secara paralel ataupun bersamaan.
Prinsip dasar dalam ATLS adalah membantu dalam penilaian dan pemberian
resusitasi pasien-pasien gawat darurat. Penilaian dibutuhkan untuk mengetahui
prosedur mana saja yang perlu dilakukan, karena tidak semua pasien
membutuhkan seluruh prosedur ini.

Primary Survey yang meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,


Disability, dan Exposure/Environmental) adalah bagian awal dari penanganan
suatu kegawatdaruratan. Dalam proses ini, fungsi vital pasien gawat harus dinilai
secara cepat dan segera diberikan perawatan untuk pertolongannya.

3. Primary Survey
Penanganan awal dalam Primary Survey membantu mengidentifikasi
keadaan-keadaan yang mengancam nyawa, yang terdiri dari tahapan-
tahapan sebagai berikut :

A : Airway, pemeliharaan airway dengan proteksi servikal

B : Breathing, pernapasan dengan ventilasi

C : Circulation, kontrol perdarahan

D : Disability, status neurologis

E : Exposure/Environmental control, membuka seluruh baju


penderita, tetapi cegah hipotermia

a) Airway
Keadaan kurangnya darah yang teroksigenasi ke otak dan organ vital lainnya
merupakan pembunuh pasien-pasien trauma yang paling cepat. Obstruksi airway
akan menyebabkan kematian dalam hitungan beberapa menit. Gangguan
pernapasan biasanya membutuhkan beberapa menit lebih lama untuk
menyebabkan kematian dan masalah sirkulasi biasanya lebih memakan waktu
yang lebih lama lagi. Maka dari itu, penilaian airway harus dilakukan dengan
cepat begitu memulai penilaian awal. (Greaves, I., Porter. K., Hodgetts, T.J.,
Woollard, 2006)
Menurut (Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors, 2015),
kematian-kematian dini yang disebabkan masalah airway, dan yang masih dapat
dicegah, sering disebabkan oleh :

1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway


2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Tecapainya patensi airway merupakan hal yang sangat esensial dalam
penanganan awal pasien-pasien gawat darurat. Penilaian tentang mampu atau
tidaknya seseorang bernapas secara spontan harus dilakukan secara cepat.
Menurut Bersten dan Soni (2009) dalam(Higginson, H., Parry, 2013), untuk
menilai patensi airway secara cepat dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan kepada pasien. Respon verbal yang normal menandakan dengan cepat
kepada penolong bahwa pasien memiliki airway yang paten, sudah bernapas, dan
otaknya sudah dalam keadaan diperfusi. Namun begitu, penilaian airway tetap
penting untuk dilakukan. Apabila pasien hanya dapat berbicara sepatah dua patah
kata ataupun tidak respon, pasien kemungkinan dalam keadaan distress nafas dan
membutuhkan pertolongan bantuan napas secara cepat.

Dalam mengatasi obstruksi airway, terlebih dahulu dilakukan suctioning


untuk mengeluarkan cairan saliva berlebih yang mungkin timbul akibat pangkal
lidah yang terjatuh. (American College of Emergency Physicians, 2013)Tindakan
suctioning yang tepat dalam pemeliharaan airway dapat secara signifikan
menurunkan kejadian aspirasi dan lebih banyak lagi hasil positif yang didapatkan.
(Walter, 2002) Pada keadaan tidak sadarkan diri, penyebab tersering terhambatnya
airway adalah pangkal lidah yang jatuh. Selain itu, penolong juga harus
melakukan inspeksi tentang ada tidaknya benda-benda asing yang menghambat
airway ataupun kemungkinan terjadinya fraktur fasial, mandibular ataupun
trakeal/laringeal yang juga dapat menghambat bebasnya airway. Pasien-pasien
dalam keadaan penurunan kesadaran ataupun GCS (Glasgow Coma Score) yang
nilainya 8 ke bawah perlu diberikan pemasangan airway definitif. Adanya
gerakan-gerakan motorik tidak bertujuan juga biasanya mengindikasikan perlunya
pemasangan airway definitif. (Surgeons, 2012)
Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :

• Suara berkumur
• Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
• Pasien gelisah karena hipoksia
• Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
• Sianosis
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Berbagai bentuk sumbatan pada airway dapat dengan
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver) dan
memiringkan kepala (head tilt) maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah
ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Adanya suspek cedera pada spinal
mengindikasikan dilakukannya tindakan imobilisasi spinal (in-line
immobilization) (Haskell, G. H., Krause, 2006)

1) Teknik-teknik mempertahankan airway


a. Head-tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan airway dimana bahu dan kepala
pasien harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk
memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher
pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain
diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermitten. (Alkatri, J.,
Bakri, 2007)
b. Chin-lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang
kemudian secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke
arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir
bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan
hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma karena
tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah
tulang dengan cedera spinal. (Nasution, 2009)

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European Resusciation Council


Guidelines for Resuscitation 2010).

c. Jaw-thrust

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada


mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada
angulus mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada
ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada
mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012)

Gambar 2.2 Jaw-thrust maneuver dengan in-line immobilization (sumber :(Advanced Trauma
Life Support (ATLS) for Doctors, 2015))
d. Oropharyngeal Airway
Indikasi : Membebaskan sumbatan airway atas, mencegah pangkal
lidah menyumbat airway, dan berfungsi sebagai bite-block pada
penanganan jalan nafas yang lebih advance yakni proteksi pipa
endotrakeal dan memfasilitasi suctioning oral dan faringeal. (Gausche-
Hill, 2007)

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih


ukuran pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan
dengan cara menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak
telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan
kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu
masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 derajat. Kemudian dorong pipa
dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan
sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai
bagian yang keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah,
terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan pastikan jalan
nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester
sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

Gambar 2.3 : Oropharyngeal Airway (Sumber :(Advanced Trauma Life Support (ATLS)
for Doctors, 2015))
e. Nasopharyngeal Airway
Indikasi : Penggunaan nasopharyngeal airway optimal untuk
pemeliharaan airway pada pasien-pasien setengah sadar ataupun tidak
sadarkan diri. Alat ini lebih tidak mudah menyebabkan stimulasi gag
reflex dan juga muntah pada pasien dibandingkan dengan penggunan
oropharyngeal airway dan tepat digunakan pada pasien yang giginya
menggertak ataupun tidak mau membuka mulutunya. (Wilson, W.C.,
Grande, C.M., Hoyt, 2013)

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran


pipa nasofaring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa
naso-faring dari lubang hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa
nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang sudah
diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya
menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga
hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas
sudah bebas (lihat, dengar, rasa) (Arifin, 2012)

Gambar 2.4 : Nasopharyngeal Airway (Sumber : The McGraw-Hill Companies, Inc. 2006)

B. Airway definitif

Terdapat tiga macam airway definitif, yaitu : pipa orotrakeal, pipa


nasotrakeal, dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau trakeostomi).
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-
penemuan klinis antara lain (Surgeons, 2012) :

■Masalah-masalah Airway - Ketidakmampuan untuk


memelihara patensi jalan napas dengan cara lain, dengan
bahaya yang potensial terjadi pada airway (mis : setelah cedera
inhalasi, fraktur fasial, atau hematoma retrofaringeal).
■Masalah-masalah Pernapasan –Ketidakmampuan untuk
memperthanakan oksigenasi yang adekuat dengan dukungan
sungkup oksigen, dan adanya apnea.

■ Masalah-masalah Disabilitas – Adanya cedera kepala tertutup


yang membutuhkan ventilasi bantuan (Skala Koma Glasgow
bernilai 8 atau kurang), perlu melindungi bagian bawah airway
dari terjadinya aspirasi darah ataupun muntahan, atau adanya
aktivitas kejang yang menetap.
Penilaian dari status klinis pasien dan penggunaan pulse oxymeter dapat
membantu menentukan perlu atau tidaknya tindakan airway definitif. Dalam
memberi tindakan orotrakeal ataupun nasotrakeal, harus selalu diperkirakan
adanya cedera pada c-spine maka in-line mobilisation harus tetap dikerjakan saat
memberikan tindakan. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan
indikator jelas untuk melakukan airway surgical.

b) Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
baik terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. (American College of Surgeons, 2009)
Ventilasi adalah pergerakan dari udara yang dihirup kedalam dengan yang
dihembuskan ke luar dari paru. Pada awalnya, dalam keadaan gawat darurat,
apabila teknik-teknik sederhana seperti head-tilt maneuver dan chin-lift maneuver
tidak berhasil mengembalikan ventilasi yang spontan, maka penggunaan bag-
valve mask adalah yang paling efektif untuk membantu ventilasi (Higginson, H.,
Parry, 2013).

Teknik ini efektif apabila dilakukan oleh dua orang dimana kedua tangan
dari salah satu penolong dapat digunakan untuk menjamin kerapatan yang
baik(American College of Surgeons, 2009). Berikut adalah cara melakukan
pemasangan bag-valve mask (Arifin, 2012):

1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh

2.Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila
sungkup muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada
kebocoran)

3.Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)


4.Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus
mandibula, jari manis dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari
dan telunjuk memegang dan memfiksasi sungkup muka.

5.Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala


pasien

6.Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah


dipasangkan

7.Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan


kanan dan kiri memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)

8.Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)

9.Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi


sungkup muka, sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag
(kantong) reservoir sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag).

Penilaian ventilasi yang adekuat atau tidak dapat dilakukan dengan melakukan
metode berikut (American College of Surgeons, 2009) :

- Look : Lihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat. Asimeteri menunjukkan pembelatan (splinting)
atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah
(labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman
terhadap oksigenasi penderita.
- Listen : Dengar adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara nafas pada satu atau kedua
hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernafasan yang cepat – takipnea mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen.
- Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak
memastikan adanya ventilasi yang adekuat.
Pada saat penilaian sebelumnya dilakukan, penolong harus mengetahui dan
mengenal ciri-ciri gejala dari keadaan-keadaan yang sering muncul dalam masalah
ventilasi pasien gawat darurat seperti tension pneumothorax, massive hemothorax,
dan open pneumothorax (Arifin, 2012).
Tabel 2.1. Ciri-ciri Gejala yang sering muncul pada Pemeriksaan Masalah

Ventilasi Pasien

Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

1.Tension -ICR flat Stem Hipersonor Suara


pneumothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
-Dilatasi vena menurun menurun
jugularis
-Deviasi trakea

2.Massive -ICR flat Stem Beda Suara


hemothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
-Pucat meningkat menurun

3.Open -ICR normal Suara Hipersonor Suara


pneumothorax -Sesak nafas fremitus pernafasan
-Luka menurun menurun
Berlubang
dinding toraks
(sucking chest
wound)
Penanganan yang dapat dilakukan adalah :

a. Memberi oksigen dengan kecepatan 10-12 liter/menit


b. Tension pneumothorax : Needle Insertion (IV Cath No.14) di ICR II-
Linea midclavicularis
c. Massive haemothorax : Pemasangan Chest Tube

d. Open pneumothorax : Luka ditutup dengan kain kasa yang


diplester pada tiga sisi (flutter-type voice effect)

c) Circulation
Masalah sirkulasi pada pasien-pasien trauma dapat diakibatkan oleh
banyak jenis perlukaan. Volume darah, cardiac outptut, dan perdarahan adalah
masalah sirkulasi utama yang perlu dipertimbangkan. (American College of
Surgeons, 2009)

Dalam menilai status hemodinamik, ada 3 penemuan klinis yang dalam


hitungan detik dapat memberikan informasi tentang ini :

a. Tingkat Kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan
mengakibatkan penurunan kesadaran (jangan dibalik, penderita yang sadar
belum tentu normovolemik).

b. Warna Kulit
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma
yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang
yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan
dan kulit ekstremitas yang pucat, merupakan tanda hipovolemia.

c.Nadi

Periksalah pada nadi yang besar seperti a. Femoralis atau a. Karotis


(kiri-kanan) untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Nadi yang tidak
cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda normovolemia (bila
penderita tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil
merupakan tanda hipovolemia, walaupun dapat disebabkan keadaan yang
lain. Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan bahwa normovolemia.
Nadi yang tidak teratur biasanya merupakan tanda gangguan jantung. Tidak
ditemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan tanda diperlukannya
resusitasi segera.
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila
ditemukan dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara
manual maupun dengan menggunakan perban elastis. Bila terdapat
gangguan sirkulasi harus dipasang sedikitnya dua IV line, yang berukuran
besar. Kemudian lakukan pemberian larutan Ringer laktat sebanyak 2 L
sesegera mungkin (American College of Surgeons, 2009).

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan Darah Sampai 750 750 - 1500 1500 - 2000 >2000


(mL)
Kehilangan Darah Sampai 15% 15% – 30% 30% – 40% >40%
(% volume darah)
Denyut Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan Nadi Normal atau Naik Menurun Menurun Menurun
(mmHg)
Frekuensi 14–20 20-30 30-40 >35
Pernafasan
Produksi Urin >30 20-30 5 -15 Tidak berarti
(mL/jam)
CNS/Status Mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lesu
(lethargic)
Penggantian
Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan
darah darah
Tabel 2.2. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan
Presentase Penderita Semula
d) Disability
Menjelang akhir dari primary survey, dilakukan suatu pemeriksaan neurologis
yang cepat. Pemeriksaan neurologis ini terdiri dari pemeriksaan tingkat kesadaran
pasien, ukuran dan respon pupil, tanda-tanda lateralisasi, dan tingkat cedera korda
spinalis. (American College of Surgeons, 2009)

Tingkat kesadaran yang abnormal dapat menggambarkan suatau spektrum


keadaan yang luas mulai dari letargi sampai status koma. Perubahan apapun yang
mengganggu jaras asending sistem aktivasi retikular dan sambungannya yang sangat
banyak dapat menyebabkan gangguan tingkat kesadaran. (Smith, 2010)

Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan


AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci
dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey
sekunder. AVPU, yaitu:

A : Alert

V : Respon to verbal

P : Respon to pain

U : Unrespon

GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.

1.Menilai “eye opening” penderita (skor 4-1) Perhatikan apakah penderita :

a. Membuka mata spontan

b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan

c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku
jari tangan)

d. Tidak memberikan respon


2.Menilai “best verbal response” penderita (skor 5-1) Perhatikan apakah
penderita :

a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi

b. Disorientasi atau bingung

c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat


d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3. Menilai “best motor respon” penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah

b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri

c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri

d. Fleksi abnormal (decorticated)


e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran)
e) Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka
keseluruhan pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa
punggung dengan memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti
penderita dengan selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan
diberikan cairan intra-vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien
tidak hipotermi. (Nasution, 2009)

4. Peran Perawat dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan


Berdasarkan data dalam daftar dan unit kodifikasi mengenai standar
kompetensi seorang perawat di dalam Standar Kompetensi Perawat Indonesia,
dikatakan bahwa seorang perawat baik perawat vokasional, ners, ners spesialis,
maupun ners konsultan, semuanya harus mampu mengidentifikasi dan melaporkan
situasi perubahan ayng tidak diharapkan, meminta bantuan cepat dan tepat dalam
situasi gawat darurat/bencana dan menerapkan keterampilan bantuan hidup dasar
sampai bantuan tiba. Tambahan lain bagi seorang ners spesialis adalah
berkemampuan mengambil peran kepemimpinan dalam triage dan koordinasi asuhan
klien sesuai kebutuhan asuhan khusus. Sedangkan untuk sseorang ners konsultan
harus juga mampu memobilisasi dan mengkoordinasikan sumber daya dan
mengambil peran kepemimpinan dalam situasi gawat darurat dan/atau bencana.

5. Aspek Hukum dan Medikolegal dalam Penanganan Awal Kegawatdaruratan


Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan
kelangsungan hidup seseorang. Dipandang dari segi hukum dan medikolegal,
pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena
memiliki karakteristik khusus. Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa
masalah utama yaitu:

- Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat


- Perubahan klinis yang mendadak
- Mobilitas petugas yang tinggi
Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki
risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Situasi emosional dari
pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di bawah
tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak pemberi
pelayanan kesehatan. (Herkutanto, 2007)

Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang


Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa
“pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu”. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat
merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya
tindakan medis yang mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan
dalam melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan yang merumuskan bahwa “tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan
atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau
kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan”.

Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah


sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan
berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat.
Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang
bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat)
saat itu.
DAFTAR PUSTAKA

Advanced Trauma Life Support (ATLS) for Doctors (8th ed.). (2015). USA.

Alkatri, J., Bakri, S. (2007). Resusitasi Kardio-pulmoner In: Sudoyo, et al. Ed. Buku Ajar
Penyakit Dalam Jilid 1 (IV). Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Universitas Indonesia.

American College of Emergency Physicians. (2013). Emergency Medical Treatment and Labor
(EMTALA). Retrieved from www.acep.org/News-media-top-banner/EMTALA/ [Accessed
09 April%0A2014]

Arifin, H. (2012). Airway Management. In: Hakim, A.A., et al. Modul Sumatera, Keterampilan
klinik. medan.

Greaves, I., Porter. K., Hodgetts, T.J., Woollard, M. (2006). Emergency Care : A Textbook for
Paramedics. Elsevier Health Sciences.

Haskell, G. H., Krause, R. C. (2006). EMT-Basic Pearls of Wisdom. Retrieved from


http://books.google.co.id/books?id=cJRQGEi2mMAC&printsec=frontco
%0AVer&dq=haskel+guy+robert+c+krause+emt+basic&hl=en&sa=X&ei=_h
%0AYnU9_UG5WhugSa04LoBg&ved=0CBkQ6AEwAA#v=onepage&q=has%0AKel guy
robert c krause emt basic&f=false

Herkutanto. (2007). Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat. Majelis Kedokteran


Indonesia, 57, 37–40.

Higginson, H., Parry, A. (2013). Emergency Airway Management : Common Ventilation


Techniques. British Journal of Nursing, vol.22, no.

Nasution. (2009). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Surgeons, A. C. of. (2012). Advanced Trauma Life Support (Student Ed).

Wilson, W.C., Grande, C.M., Hoyt, D. B. (2013). trauma emergency resuscitation perioperative
anesthesia. vol.1. Retrieved from http://books.google.co.id/books?
id=seGQITiSx6UC&pg=PA137&dq=tra
%0AUma+emergency+resuscitation+perioperative+anesthesia.+vol.1+137&hl
%0A=en&sa=X&ei=X82MU6H5PNjd8AX844GoBg&ved=0CC4Q6AEwAQ
%0A#v=onepage&q&f=false

Anda mungkin juga menyukai