Anda di halaman 1dari 19

SESAK NAFAS SETELAH JATUH

STEP 1

STEP 2
1. Kenapa penderita tampak tidak sadar dan sesak nafas, sianosis?
2. Kenapa RR 40 x/menit TD 90/60, nadi 120 x/m, GCS 9?
3. Kenapa kondisi penderita semnagkin menurun setelah di beri oksigen dan perban
tekan ?
4. Mengapa pada pf pada dada di temukan asimetris, ada memar di hemi thorak kanan,
suara nafas hemi torak kanan menghilang, kira kira organ apa yang terganggu ?
5. Kenapa ada akral dingin dan pucat?
6. Apakah pada pasien ini mengalami shock? Alasan ?
7. Bagaimana pengaruh luka robet tungkai kiri serta terlihat tulang tibia kanan menonjol
keluar terhadapa kondisi pasien sekarang?
8. Bagaimana penatalksanaan trauma multiple?
9. Komplikasi trauma multiple?
STEP 3
1. Kenapa penderita tampak tidak sadar dan sesak nafas, sianosis?
Ada trauma kepala mengeluarkan darah segar trauma intraserebral krn jatuh,
ada kompresi ke dalam menggu di pusat kesadaranya.

Ada patah tulang terbuka perdarahan vasokontriksisianosis

Gcs di tentukan oleh intergritas dri difus ascenden retikular sistem, batang otak pada
ujung rostral bersambung dengan otak, ujung caudal bersmbung dengan medula
spinalis mudah terbentang dan tergang akselerasi, deselasi blokade- otak
tdk dapat input aferen kesadarrn menurun bisa smpe pingsan
Hilangnya blokade pada lintasan ascenden bisa pulih kesadaran.

Hipotensi, hipoksia bisa menyebabkan edema serebrei desak ruang tek.
Intrakranial meningkt--> herniasi otak ( penurunan kesdaran , pupil anisokor ipsi
lateral, hemi parese intraletral, deserebrasi)

Hipotensi penurun perfusi jaringan sistemikhipoksia penurunan perfusi otak
oedem otak

Trauma peningktan co2 bnyak d dlam HB (bisa dari luar dan dalam) batang otak
yang menghsilkan coo2 dan ion H o2 lepas kompensasinya Hipoventilasi di
paru kompensasi alkalosis metabolik cepat/hco meningkat karna perdarahan
kompensasinya tidak tercapai penurunan perfusi jaringan sistemik beban kerja
jantung berat penurunan perfusi otak

Hipoksi menyebabkan apa?
1. Penurunan perfusi sistemik : trauma multipel perdarahansyok ipovolemik--.
Hipotensi, hipoksicaridac otuput menurun
2. Kelainan paru : tension pneumothorak, hiperkarbia co2 >> o2 <<
Hipoksia :
a. GCS turun
b. sianosis
c. gangguan metabolisme sel jaringan GCS turun
d. hipkosia anemik, Hipoksi stagnan (aliran darah), H. Hipoksik H. Histotoksik
( cth :keracunan sianida)
e. trauma kapitis
Penyebab GCS ny yang turun?

2. Kenapa RR 40 x/menit TD 90/60, nadi 120 x/m, GCS 9?
3. Kenapa kondisi penderita semangkin menurun setelah di beri oksigen dan perban
tekan ?
4. Mengapa ada memar di hemi thorak kanan, suara nafas hemi torak kanan menghilang,
kira kira organ apa yang terganggu ?
5. Apakah pada pasien ini mengalami shock? Alasan ?
Syock hipovolemik perdarahan
Syock karna truma/ sianosis/ co2 tinggi

6. Bagaimana pengaruh luka robek tungkai kiri serta terlihat tulang tibia kanan menonjol
keluar terhadap kondisi pasien sekarang?
Tulang tibia kanan menonjol dislokasi(nyeri penurunan kesadaran ) / fraktur (
perdarahan )
7. Bagaimana penatalksanaan trauma multiple?
Airway : buka jalan nafas dengan jaw trust, jaga stabilitas leher, in line im
mobilitations,
Breathing : di tangani pneumothorak dengan torakosintesis (nidle trokosintesis, WSD
=> water Sealed drainase) di sela ics 2 dan 3 kanan linea mid clavicula, di beri
oksigen dengan konsentrasi tinggi,
Criculation : penekanan langsung pada perdarahan yg eksternal, di nilai apakah ada
perdrhan internal tidak untuk intervnsi bedah dan konsltasi bedah, memasnag 2
kateter iv ukuran besar (nacl fisiologis, transfusi darah) sebelumnya uji smple darah.
Mengecek volume urin (kateter)
Disability : di monitor gcs nya menurun/ tidak
Ringan : 13-15
Sedang :9 -12
Berat : 3-8
Eksposure : bebaskan semua pakaian untuk mengetahui apakah ada trauma di tempat
lain .
Jika ada luka di beri povidon iodin tutp dengan kasa.
Algoritme ?

Penanganan A dulu apa C dulu?
TATALAKSANA AWAL MULTIPLE TRAUMA


Pendahuluan
Terapi untuk trauma yang serius membutuhkan pemeriksaan yang cepat, juga terapi awal yang
dapat menyelamatkan jiwa. Tindakan ini dikenal sebagai Initial assessment dan meliputi :
Persiapan
Triage
Primary survey (ABCDE)
Resusitasi terhadap fungsi vital
Riwayat kejadian
Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
Reevaluasi
Perawatan definitive
Catatan :
Kedua pemeriksaan yaitu primary dan secondary survey harus diulang secara berkala untuk
memastikan tidak adanya proses deteriorasi.
Pada bab ini tindakan yang dilakukan akan dipresentasikan secara longitudinal. Pada setting
klinik yang sebenarnya, banyak aktivitas ini terjadi secara simultan.
Serangan jantung yang terjadi pre hospital bisaanya akan berakibat fatal apabila terjadi lebih
dari 5 menit.

Persiapan Di Rumah sakit
Rencana tambahan bagi pasien trauma sangatlah penting. Tiap rumah sakit harus memiliki Protokol
Trauma.

Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat
dilakukan pada ED, jika :
Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani lebih
dulu.
Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan yang akan
ditangani lebih dulu.

Primary Survey (ABCDE) dan Resusitasi
Selama dilakukannya Primary Survey, kondisi yang mengancam jiwa harus diidentifikasi dan
ditangani secara simultan. Ingat bahwa tindakan lanjutan yang logis harus disesuaikan dengan
prioritas yang didasari oleh pemeriksaan pasien secara keseluruhan.
Catatan : Prioritas penanganan pasien pediatri dasarnya sama dengan penanganan pada dewasa,
walaupun kuantitas darah, cairan, dan obat-obatan mungkin berbeda. Lihat bab Trauma, Paediatric.


Pemeriksaan Jalan Nafas dengan kontrol Cervical Spine
Pemeriksaan : Jalan nafas dan cari adanya :
1. Benda asing
2. Fraktur mandibula/facial
3. Fraktur trakeal/laryngeal
Pemeriksaan singkat Untuk mencari Obstruksi jalan nafas
1. Stridor
2. Retraksi
3. Sianosis
Manajemen : Pertahankan jalan nafas yang paten
1. Lakukan manuver chin lift atau jaw thrust
2. bersihkan jalan nafas dari benda asing
3. Masukkan orofaringeal atau nasofaringeal airway
4. Pertahankan definitive airway
a. Intubasi orotracheal atau nasotrakeal
b. Needle cricothyrotomy dengan jet insufflation pada jalan nafas
c. Krikotirotomi dengan pembedahan

Perhatian
1. asumsikan bahwa trauma cervical spine merupakan trauma multisistem, terutama
dengan gangguan kesadaran atau trauma tumpul diatas clavicula.
2. Tidak adanya defisit neurologik bukan berarti kita dapat mengeksklusi trauma pada
servical spine.
3. jangan lumpuhkan pasien sebelum memeriksa jalan nafas untuk mencari difficult
airway
4. Penyebab cardiac arrest/serangan jantung selama atau sesaat setelah intubasi
endotrakeal :
a. Oksigenasi yang inadekuat sebelum intubasi
b. Intubasi esophageal
c. Intubasi bronchial pada bagian mainstem atau cabang utamanya.
d. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan memperlambat venous return.
e. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan tension pneumothorax.
f. Emboli udara
g. Respon vasovagal
h. Alkalosis respiratori yang berlebihan.

Bernafas (Ventilasi dan pathway oksigenasi jalan nafas sendiri, tidak akan mendukung ventilasi yang
adekuat).
Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada yang
unilateral atau bilateral, penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk
mengetahui adanya dullness atau hiperresonan untuk menentukan adanya
hemotorak atau pneumothorax secara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
b. Flail chest dengan kontusio pulmonal
c. Pneumothorax terbuka
d. Hemothorax massive

Penatalaksanaan
1. Pasang pulse oksimetri pada pasien
2. Berikan oksigen konsentrasi tinggi
Catatan : FiO
2
> 0,85 tidak dapat dicapai dengan nasal prongs atau dengan face mask yang simple.
Non-rebreather mask dengan reservoir diperlukan untuk mencapai FiO
2
100%.
3. Ventilasi dengan bag-valve mask
4. Ringankan keadaan tension pneumothorax dengan memasukkan jarum ukuran besar
secara cepat kedalam ICS 2 pada midklavikular line dari sisi paru yang terkena, kemudian
diikuti dengan pemasangan chest tube pada ICS 5 anterior dari mid aksilari line.
5. Tutup penumothorax yang terbuka dengan pelekat kassa steril, cukup besar untuk
menutupi tepi luka, dan lekatkan pada tiga sisi untuk menciptakan efek flutter-valve.
Kemudian masukkan chest tube pada sisi sisanya.
6. pasang peralatan monitoring end tidal CO2 (jika tersedia) pada endotrakeal tube.

Perhatian
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit, karena
jika gangguan pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension pneumothorax
namun disalahartikan sebagai suatu masalah jalan nafas sehingga jika pasien diintubasi,
keadaan pasien akan semakin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR harus
dilakukan segera setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman untuk
bernafas pada posisi duduk.



Sirkulasi dengan Kontrol perdarahan
Hipotensi setelah terjadi injury harus dipertimbangkan sebagai akibat hipovolemik sampai
terbukti tidak. Identifikasi sumber perdarahannya.
Pemeriksaan cepat dan akurat terhadap status hemodinamik sangat penting. Elemen yang
penting a.l:
1. Tingkat kesadaran : Penurunan tekanan perfusi serebral dapat terjadi akibat hipovolemi.
Dapat mengganggu
pernafasan secara akut
2. Warna kulit : kulit kemerahan : jarang menandakan hipovolemia. wajah keabu-
abuan/kelabu, kulit ektremitas putih menunjukkan hipovolemi; bisaanya
mengindikasikan kehilangan volume darah setidaknya 30%.
3. Nadi
4. BP jika waktu mengijinkan
a. jika nadi pada radialis teraba, BP >80mmHg
b. Jika hanya ada di Carotid BP > 60 mmHg.
c. Periksa kualitas nadi; penuh dan cepat
d. Nadi irregular menandakan kemungkinan cardiac impairment
Penatalaksanaan
1. tekan langsung daerah perdarahan eksternal
2. pasang jalur IV dengan ukuran 14G atau 16G
3. Darah untuk : GXM 4-6 unit darah, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi dan
BGA jika diperlukan
Catatan : Jika darah gol. O negatif tidak tersedia, gunakan tipe darah yang spesifik
4. berikan terapi cairan IV dengan kristaloid hangat (NS atau Hartmanns) dan transfuse
darah.
5. pasang monitor EKG :
a. Disrritmia, pertimbangkan tamponade jantung
b. Pulseless electrical activity : pertimbangkan tamponade jantung, tension
pneumothorax, hipovolemia
c. Bradikardi, konduksi abberant, ventricular ektopik,: pertimbangkan hipoksia,
hipoperfusi
6. Pasang kateter urin dan NGT kecuali ada kontraindikasi.
Catatan : output urin adalah indicator sensitive untuk mengetahui status volume tubuh. Kateter
urin merupakan kontra indikasi jika ada kecurigaan injury pada urethra, misal:
a. darah pada meatus uretra
b. Henatom skrotum
c. Prostate tidak bisa dipalpasi
Gastric tube diindikasikan untuk mengurangi distensi lambung dan menurunkan
resiko aspirasi. Darah pada cairan aspirasi lambung mungkin berarti :
a. darah orofaring yang tertelan
b. akibat tauma pemasangan NGT
c. injury pada GIT bagian atas
Jika ada epistaksis atau serebrospinal fluid rhinorrhea yang mengindikasikan adanya
fraktur cribriform plate, pasang NGT per oral daripada melalui nasal.
7. cegah hipotermi

Perhatian:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma bisaanya terjadi karena hipovolemi akibat
perdarahan yang terus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak adanya
respon terhadap hilangnya volume merupakan keadaan yang bisa terjadi. Lansia mungkin
tidak menunjukkan takikardi saat kehilangan darah, lebih parah lagi pada pasien pengguna
beta blocker. Pasien anak yang resah akan sering menunjukkan tanda hipovolemi yang
parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien trauma
dada. Jalur IV femoral dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk resusitasi harus
digunakan jarum ukuran besar (>8Fr)

Disabilitas (Evaluasi Neurologik)
Cek tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Metode AVPUP
A Alert
V respon terhadap rangsang Vokal
P respon terhadap rangsang Pain
U Unresponsif
P ukuran dan reaksi Pupil
Catatan : GCS lebihdetil namun termasuk pada secondary survey; kecuali jika akan
melakukan intubasi maka pemeriksaan GCS harus dilakukan lebih dulu.
1. tentukan tingkat kesadaran dengan metode AVPUP
2. Periksa pupil untuk ukurannya, equalitas dan reaksinya.
Perhatian
Jangan anggap AMS hanya terjadi akibat trauma kepala saja, pertimbangkan :
1. Hipoksia
2. Syok
3. intoksikasi alcohol/obat
4. hipoglikemi
5. sebaliknya jangan anggap AMS terjadi akibat intoksikasi alkohol atau obat, dokter harus
dapat mengeksklusi adanya cedera kepala.

Kontrol terhadap paparan/lingkungan
Lepas semua pakain pasien, cegah hipotermi dengan memakaikan selimut dan atau cairan IV yang
hangat, berikan cahaya hangat.
Monitoring nadi, BP, pulse oksimetri, EKG, dan output urin terus-menerus.
Lakukan X ray
1. Lateral cervical spine
2. Dada AP
3. Pelvis AP
Secodary Survey
Evaluasi keseluruhan termasuk tanda vital, BP, nadi, respirasi dan temperature
Dilakukan setelah primary survey, resusitasi, dan pemeriksaan ABC.
Dapat disingkat menjadi tubes and fingers in every orifice
Dimulai dengan anamnesa AMPLE :
A Alergi
M Medikasi yang dikonsumsi baru-baru ini
P Past illness (RPD)
L Last meal (makan terakhir)
E Event/environment yang terkait injury

Kepala dan Wajah
Pemeriksaan
1. inspeksi adanya laserasi, kontusio dan trauma panas
2. Palpasi adanya fraktur
3. Evaluasi ulang pupil
4. Fungsi nervus cranial
5. Mata : perdarahan, penetrating injury, dislokasi lensapemakaian contact lenses
6. Inspeksi telinga dan hidung untuk mencari CSF leakage
7. Inspeksi mulut untuk mencari perdarahan dan CSF
Penatalaksanaan
1. Pertahankan airway
2. Kontrol perdarahan
3. Hindari brain injury sekunder
4. Lepaskan lensa kontak

Leher
Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan
tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi trakea
3. Auskultasi : periksa bruit pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine
Penatalaksanaan
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat


Dada
Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan,
penyimpangan pernafasan bilateral.
2. Auskultasi : nafas dan suara jantung
3. Perkusi : dull atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Penatalaksanaan
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR
Catatan : tidak direkomendasikan untuk melakukan Perikardiocentesis. Torakotomi pada Emergency
Room lebih diperlukan pada pasien tamponade jantung. Rata-rata keberhasilan pasien dengan luka
penetrasi pada dada abdomen, serta pada pasien yang baru mengalami serangan jantung, juga pada
pasien dengan trauma tumpul. Sehingga prosedur ini secara umum tidak diindikasikan pada trauma
tumpul.

Abdomen
Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dantajam
2. Auskultasi : Bising usus
3. Perkusi : nyeri tekan
4. Palpasi
5. X ray Pelvis
Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple bisaanya sering menghasilkan pemeriksaan
abdomen yang kurang terperinci. Sehingga diindikasikan pemeriksaan FAST (Focuses
Assessment using Sonography in Trauma), CT scan abdomen atau peritoneal lavage.
Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.

Pemeriksaan Perineal dan Rektum
Evaluasi
1. Tonus sphincter ani
2. Darah pada rectal
3. Integritas dinding usus
4. Posisi prostate
5. Darah pada meatus urinary
6. Hematoma scrotum
Pemeriksaan Perineal
1. kontusio, hematom
2. Laserasi
Pemeriksaan Vagina
1. adanya perdarahan pada vaginma
2. Laserasi vagina
Pemeriksaan Rektum
1. Perdarahan rectum
2. Tonus sphincter ani
3. integritas dinding usus
4. bony fragments
5. Posisi prostate

Punggung
Logroll pasien untuk mengevaluasi :
1. Deformitas tulang
2. adanya trauma tajam atau tumpul

Ekstremitas
Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal


Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus

Neurologik
Pemeriksaan : reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran, skor GCS
1. Evaluasi Sensorimotor
2. Paralise
3. Parese
Manajemen
Imobilisasi pasien secara adekuat

Perawatan Definitif/Pemindahan
Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien
secepatnya.



8. Komplikasi trauma multiple?
1. Paru gagal nafas
2. Sepsis karana ada luka robek jika tidak segera di atasi, berapa lama dari
terjadisepsis dari kejadian? ERMANDO+CONITA
Kumanya apa?
3. Hiperglikemia katekolamin meningkat dari nilai normalnya menggangu
aktivitas gula darah naik ELSYE, AFIFAH, CONITA
4. Gagal ginjal retensi air di tubulus akut

STEP 7
MULTIPEL TRAUMA
I. Pendahuluan

Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk,
tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai
trauma benda tumpul ( trauma multiple). Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam
peristiwa ini, yaitu cedera kepala, trauma thorax ( dada) dan fraktur ( patah tulang).
1
Trauma pertama yaitu trauma kepala, terutama jenis berat, merupakan trauma yang
memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala
merupakan pusat kehidupan seseorang. Di dalam kepala terdapat otak yang mengatur seluruh
aktivitas manusia, mulai dari kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar, mencium
bau, dan banyak lagi fungsinya. Jika otak terganggu, maka sebagian atau seluruh fungsi
tersebut akan terganggu. Gangguan utama yang paling sering terlihat adalah fungsi
kesadaran. Itulah sebabnya, trauma kepala sering diklasifikasikan berdasarkan derajat
kesadaran, yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. Makin rendah kesadaran seseorang
makin berat derajat trauma kepala.
1

Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur
(patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu
jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan fraktur
tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
1

Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya tulang yang
menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan. Adapun fraktur tertutup, bisa
diketahui dengan melihat bagian yang dicurigai mengalami pembengkakan, terdapat kelainan
bentuk berupa sudut yang bisa mengarah ke samping, depan, atau belakang. Selain itu,
ditemukan nyeri gerak, nyeri tekan dan perpendekan tulang.
1

Dalam kenyataan sehari-hari, fraktur yang sering terjadi adalah fraktur ekstremitas
dan fraktur vertebra. Fraktur ekstremitas mencakup fraktur pada tulang lengan atas, lengan
bawah, tangan, tungkai atas, tungkai bawah, dan kaki. Dari semua jenis fraktur, fraktur
tungkai atas atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang cukup
tinggi.
1

Trauma yang ketiga, yang sering terjadi pada kecelakaan adalah trauma dada atau
toraks. Tercatat, seperempat kematian akibat trauma disebabkan oleh trauma toraks.
Di dalam toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-
paru dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa
darah. Jika terjadi benturan alias trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami
gangguan atau bahkan kerusakan.
1

Gangguan yang biasa terjadi pada paru-paru pasca kecelakaan adalah fraktur iga,
kontusio (memar) paru, dan hematotoraks. Fraktur iga merupakan cedera toraks yang
terbanyak. Fraktur iga tidak termasuk ke dalam fraktur yang dijelaskan sebelumnya karena
efek dari fraktur ini lebih kompleks daripada fraktur di daerah lain yaitu bisa mengganggu
paru-paru dan jantung. Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru, sedangkan
hematotoraks adalah terdapatnya darah di dalam selaput paru.
1

1.1 Cedera Kepala
Definisi dan Epidemiologi
Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan
yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu
sendiri.
2
Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Jika
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).
Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelekaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan
rekreasi.
3,4


I.I.2 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:
4

1. Cedera kepala tumpul
Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak
di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.
2. Cedera tembus
Biasanya disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:
4

1. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur dapat berupa
garis/linear, multipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen
tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak
memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk
memperbaiki tulang tengkorak.
Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi
sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah Battle sign
(warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), ekimosis daerah kedua
periorbital (racoon eyes), Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung), Otorrhoe ( liquor keluar
dari telinga) , paresis nervus facialis dan kehilangan pendengaran. pemulihan peresis nervus
facialis lebih baik daripada paresis nervus VIII. Fraktur dasar tengkorak yang menyilang
kanalis karotikus dapat merusak arteri carotis.
4

2. Lesi intrakranial
4

a. Dapat berbentuk lesi fokal
i. Perdarahan epidural
Disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tengkorak.
Perdarahan epidural 0,5% dari cedera otak. Dari CT scan didapatkan gambaran
bikonveks atau menyerupai lensa cembung.
ii. Perdarahan subdural
Disebabkan robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri. Perdarahan
ini biasanyanya menutup seluruh permukaan hemisfer otak. Prognosis perdarahan
subdural lebih buruk daripada perdarahan epidural.
iii. Kontusio dan peradarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi (20-30% dari cedera kepala berat). Area tersering
adalah frontal dan temporal. Dalam beberapa jam atau hari kontusio dapat berubah
menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan operasi.
b. lesi difus
cedera otak difus yang erat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemia dari otak akibat
syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma. Hasil
CT scan dapat menunjukkan hasil yang normal, edema otak dengan dengan batas area
putih dan abu abu yang kabur. Pada beberapa kasus yang jarang ditemukan bercak
bercak perdarahan diseluruh hemisfer otak yang dikenal dengan cedera akson difus
yang memberikan prognosis yang buruk.
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon
verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Sedangkan pada anak yang
tidak dapat bicara deskripsi beratnya penderita cedera kepala digunakan Children Coma Scale
(CCS). Dalam penilaian GCS jika terdapat asimetri ekstremitas, maka yang digunakan adalah
respon motorik yang terbaik.
4











1.2 Trauma Toraks
Trauma adalah penyebab kematian terbanyak diseluruh kota besar didunia dan
diperkirakan 16.000 kasus kematian akibat trauma per tahun yang disebabkan oleh trauma
toraks. Insiden penderita trauma toraks di Amerika Serikat diperkirakan 12 penderita per
seribu populasi per hari dan menyebabkan kematian sebesar 20-25% . Canadian Study dalam
laporan penelitiannya selama 5 tahun pada "Urban Trauma Unit" menyatakan bahwa insiden
trauma tumpul toraks sebanyak 96.3% dari seluruh trauma toraks, sedangkan sisanya
sebanyak 3,7% adalah trauma tajam. Penyebab terbanyak dari trauma tumpul toraks masih
didominasi oleh korban kecelakaan lalu lintas (70%).
5
Trauma toraks harus ditangani secepatnya karena dapat menyebabkan hipoksia otak
dan jantung yang berakibat fatal. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit,
dan banyak diantara kematian ini dapat dicegah.
6
Hanya 10-15% penderita trauma tumpul
toraks yang memerlukan tindakan operasi, jadi sebagian besar hanya memerlukan tindakan
sederhana untuk menolong korban dari ancaman kematian. Kematian sering disebabkan oleh
obstruksi jalan nafas, flail chest, pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, tension
pnemothorax dan tamponade jantung.
6
PATOFISIOLOGI
Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul. Pada trauma tajam,
terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai jaringan otot ataupun
lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau perikardium parietalis. Dapat juga
menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru, menembus dinding jantung atau
pembuluh darah besar di mediastinum.
8

Trauma tajam yang menembus pleura parietalis akan menyebabkan kolaps paru,
akibat masuknya udara atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralis pun
tertembus, kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar, sehingga selain
terjadi penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho udara luar melalui luka tajam,
mungkin terjadi pula Hemoptoe massif dengan akibat akibatnya.
8

Trauma tajam yang melukai perikardium parietalis dapat menimbulkan tamponade
jantung dengan tertimbunya darah dalam rongga pericardium, yang akan mampu meredam
aktivitas Diastolik jantung. Eksanguinasi akibat tembusnya dinding jantung atau pembuluh
darah besar di mediasternum, mampu menimbulkan henti jantung dalam waktu 2 5 menit,
tergantung derajat perdarahannya.
8
Satu jenis lain dari trauma tajam, yaitu trauma tertembus peluru. Fatalitas akibat
trauma peluru ini lebih besar dari jenis trauma dari pleura, berakibat luka tembus keluar yang
relatif lebih besar dari luka tembus masuk.
8

Trauma tumpul toraks, bila kekuatan trauma tajam lainnya, karena faktor kerusakan
jaringan yang lebih besar akibat rotasi berkecepatan tinggi tidak cukup besar, hanya akan
menimbulkan desakan terhadap kerangka dada, yang karena kelenturannya akan mengambil
bentuk semula bila desakan hilang. Trauma tumpul demikian, secara tampak dari luar
mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik, namun mampu menimbulkan kontusi
terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan perdarahan in situ dan pembentukan
hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas, sehingga berakibat nyeri pada
respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.
8

Trauma tumpul dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah tulang iga,
mungkin hanya satu iga, dapat pula beberapa iga sekaligus, dapat hanya satu lokasi fraktur
pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi
unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.
8

Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi
trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misalnya : akibat dorongan kemudi
atau setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian mendadak mobil berkecepatan
sangat tinggi yang menabrak kendaraan atau bangunan didepannya. Desakan setir mobil
tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat perdarahan rongga pericardium
ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam gerakan sistolik dan diastolik.
8

Meskipun secara morfologis hanya di dapat fraktur sederhana dan tertutup dari iga
dalam kedudukan baik, namun mampu menimbulkan hematotoraks atau pneumotoraks,
bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadi Tension Pneumotorax, karena terjadi keadaan
dimana alveoli terbuka, pleura viseralis dengan luka yang berfungsi Pentil dan luka pleura
parietalis yang menutup akibat desakan udara yang makin meningkat di rongga pleura.
Tension pneumotoraks selanjutnya akan mendesak paru unilateral, sehingga terjadi
penurunan ventilasi antara 15 20 %. Bila desakan berlanjut, terjadi penggeseran
mediastinum kearah kontralateral dan selanjutnya bahkan akan mendesak paru kontralateral
yang berakibat sangat menurunnya kapasitas ventilasi.
8
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling
sering dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma
toraks didapati adanya darah pada rongga pleura.
2
Penyebab utama dari hemotoraks adalah
laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang
disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul.
2,4
Dislokasi fraktur dari vertebra torakal
juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan
tidak memerlukan intervensi operasi.
7
Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya
diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah
dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura,
dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Sebagai patokan bila darah
yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang
keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi
darah terus menerus, torakotomi harus dipertimbangkan.
9,7,8



Gambar 1. Hematotoraks
8


1.3 Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Terjadinya fraktur akibat adanya trauma yang mengenai tulang yang kekuatannya
melebihi kekuatan tulang.
10

A. Etiologi Terjadinya Fraktur
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita harus
mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang
patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan tekanan
memuntir. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan terutama
tekanan membengkok, memutar dan tarikan.
11,12

Trauma dapat bersifat:
Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan.
Trauma tidak langsung
Disebut trauma tidak langsung bila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih
jauh dari daerah fraktur misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat
menyebabkan fraktur pada klavikula.

Anda mungkin juga menyukai