STEP 1
1. Wheezing : suara mengi yang diakibatkan karena adanya udara yang keluar melewati saluran
pernafasan yang menyempit dan biasa lebih keras terdengar pada fase ekspirasi.
2. Somnolen : letargi( kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat namun kesadaran
dapat pulih apabila dirangsang, tapi stelah ada rangsangan tersebut selesai kesadaran menurun
kembali). GCS = 9-7
STEP 2
STEP 3
2. Interpretasi dari Px vital sign dan mengapa didapatkan seperti itu? (TD,RR,Nadi, SpO2)
TD rendah ( hipotensi)
Apabila ada reaksi hipersensitivitas histamin aliran darah lambat dan dilatasi pemb
darah hipotensi
Adanya ekstravasasi cairan ke jar. Ekstravaskular akibat dari pengeluaran med. Inflamasi
shg nanti vol. Darah menurun shg Cardiac Output menurun
RR 40x/mnt ( tinggi) N: 24x/mnt
Akibat dari sesak nafas nya sehingga laju pernafasan meningkat tiap menitnya
Nadi 130x/mnt (takikardia) n: 100
SpO2 87% ( penurunan) N: 95-100%
3. Mengapa kedua kelopak mata terdapat angioderma dan urtikaria di seluruh tubuh ?Angiedema
-Sering terjadi akibat alergi dan biasanya tidak berbahaya tapi bisa bahaya apabila kasusnya
sampai penderita sesak nafas akibat pembengkakan di sal. Nafas
Utama : bengkak di bawah permukaan kulit akibat oenumoukan cairan di bag dalam dan bisa di
beberapa bag. Tubuh ( bibir, lidah, tangan kaki dan kelamin)
Apabila parah pembengkakan bisa di dalam tenggorokan dan perut. Penyebab tidak gatal
namun jika idiopatik dan alergic bisa disetrtai urtikaria : sensasi panas dan nyeri direa. Sesak
nafass di paru2 dan pembengkakan mata merah di konjungtiva.
- Alergic Angiedema Angiedema akibat obat, makanan , Aspirin/ NSAID/ gigitan serangga
- Drug induced Angiedema OAINS/Ace inhibitor/ARB
Urtikaria kronis dpat timbulkan morbiditas dan penurunan kualitas hidup. Jika>72 jam
rawat di rumah sakit
Skenario penisilin sehingga ada reaksi IgE ( sel mast dan basofil) ada hipersensitivitas tipe I
dan sifatnya lokal shg di kulit bisa akibatkan gatal
Urtikaria gatal terlebih dahulu , vasodilatasi pemb darah ( kemerahan) dan didalamnya lebih
pucat
Angioedema dipermukaan dalam kulit. Meningkatkan permeabilitas cairan ( intracelluar ke
intersisil edema
4. Mengapa pada pasien didapatkan nafas cuping hidung , retraksi subcostal,stridor, wheezing ,
fase ekspirasi memenjang dan sianosis di wajah ?
Adanya Hipersensitivitas histamin Bronkospasme adanya kontraksi udara yang masuk /
keluar ada hambatan di airway pernafasan terganggu O2 turun dan Co2 terperangkap
O2 turun ekspirasi di bronkus mengalami gangguan fase ekspirasi memanjang
( adanya wheezing)
Tanda nya O2 turun : nafas cuping hidung dan retraksi subcostal
Metabolisme sel mengalami gangguan akral dingin dan mengakibatkan sianosis
Sianosis jari, Kuku, bibir dan lidah
Wheezing bronkus menyempit dan adanya pembengkakan shg udara di bronkus kan
bergesekan
Nafas cuping hidung dan retraksi subcostal sesak nafas dan merupakan kompensasi
untuk peningkatan pernafasan
Sianosis hipoksia dan menyebabkan Hb turun shg sianosis
Fase ekspirasi memanjang akibat wheezing ( co2 tdk bisa dibuang cepat )
Syok mengakibatkan obs, jalan nafas total/ partial dan ditolong dgn obat2 an dan
bantuan nafas o2
Total segera ditolong dgn intubasi dan cricotiroidotomi
Circulation kalau nadi besar tdk teraba ( lakukan CPR)
Syok anafilatik lansung lakukan pertolongan. Obat kortikosteroid
TD rendah lakukan pemasangan jalur intravena
Trendelenberg position : tungkai elevasi dan kepala lebih rendah dari tungkai
Untuk mengurangi empty ventrikel sindrom u/ mengurangi volume preload pada jantung
Derajat syok
Ringan : penurunan perfusi yang hanya pada jaringan dan organ nonvital ( kuli, rangka) tdk ada
kesadaran terganggu, tdk ada asidosis metabolik, utun normal
Sedang : perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun ( gati, usus, ginjal) tdk bisa
toleransi lama( oligouria dan kesadaran baik)
Berat : perfusi ke jantung dan otak sdh tidak kuat ( vaskonstriksi di semua pb darah) oligouria,
asisdodis berat, hipoksia jantung
Alergen
tanda gejala
evaluasi ABCDE
PF dan PP
Tatalaksana
STEP 7
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem
pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan
IgE spesifik terhadap alergen tertentu.IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor
permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige
spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya
mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen
antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan
degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan
prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit.Efek histamin,
leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus
menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. Efek biologis histamin terutama
melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi.
Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme
bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2
menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada
jaringan menentukan efek akhirnya.
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.
Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator
dan granula kedalam cairan ekstraselluler.Sebaliknya penurunan cGMP justru
menghambat pelepasan mediator.Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP
intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain
adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya
aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini
menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari
netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai
perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat
meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena
dapat merangsang terlepasnya mediator.
Proses alergi (imunologik) terjadi dalan 2 fase, dengan waktu di antara kedua fase tersebut
yang disebut fase latent :
a. Fase sensitisasi
Pada fase ini terjadi pembentukan IgE (sesudah alergen/antigen masuk tubuh pertama
kali), den IgE ini melekat pada permukaan sel mast/basofil pada lumen bronkus,
submukosa,dsb. Hal seperti ini hanya terjadi pada individu yang mempunyai bakat
genetik atopik. IgE yang terjadi sifatnya spesifik terhadap alergen khusus yang
memaparnya tadi. Sel plasma atau sel mast/basofil yang telah dilekati IgE di pernukaan-
nya tadi disebut sel yang telah tersensitisasi.
b. Fase alergi :
Pelepasan mediator kimiawi dari granul dalam sitoplasma dinenaaruhi oleh siklik
AMP dan siklik GMP,sehingga pengaturan kontraksi otot polos bronkus diatur oleh
- kadar cAMP,
- kadar cGMP,
- dan besarnya rasio, kadar cGMP/caMP.
a. Siklik AMP.
b. Siklik GMP.
Di dalam sel, kadar cGMP yang tinggi akan merangsang pelepasan mediator
kimiawi (dari granul sitoplasma), sedangkan kadar cAMP yang tinggi akan
menghambat pelepasan mediator kimiawi tadi.
Timbulnya reaksi 4-6 jam sesudah terpapar alergen. Sesudah alergen masuk tubuh
dan diikat oleh IgG atau IgM (kompleks imun), kompleks imun ini akan mengaktifkan
sistem komplemen, terjadilah komponen komplemen aktif : C3a dan C5a, yang bersifat
anafilatoksin. Anafilatoksin ini dapat menyebabkan sel mast/basofil mengalami degra-
nulasi dan mengeluarkan vasoaktif amin (mediator kimiawi) seperti pada reaksi
hipersensitivitas tipe I.
Antigen
APC Fc
IL-3
IL-5
IL-3
IL-5
GM-CSF Recruitment Aktivasi Melepaskan
eosinofil granula
Sel tersensitisasi
ATP cAMP
Enzim fosfodiesterase
5’-AMP
cAMP : meningkatkan pencegahan kontraksi sel otot polos dan mempertahankan
bronkodilatasi (menghambat pelepasan mediator kimiawi)
Siklus cGMP
Fungsi cGMP : berlawanan dengan fungsi cAMP, yaitu merangsang pengeluaran
mediator kimiawi
PENGELUARAN MEDIATOR KIMIAWI YANG LAINNYA
Sel tersensitisasi
Asam arakidonat
↑ produksi energi
Rx enzimatik Rx enzimatik
↑ mediator kimiawi
lipooksigenase siklo-oksigenase
Leukotrien Prostaglandin
Allergen + IgG/IgM
(Kompleks Imun)
Pengaktivan komplemen
(C3a & C5a)
Anafilatoksin
Degranulasi
GANGGUAN KESEIMBANGAN SARAF OTONOM
Kolinergik dan adrenergic α : mengkontraksi otot polos bronkus
Adrenergic β : relaksasi ototVasoaktif
polos bronkus
amin
(mediator kimiawi)
↑ kolinergik
3. Mengapa kedua kelopak mata terdapat angioderma dan urtikaria di seluruh tubuh ?
Hipersensitivitas tipe I, merupakan suatu reaksi tipe cepat (immediate immune reaction)
terhadap suatu antigen tertentu. Sel mast dan basopil sangat berperan pada reaksi tipe ini.
Setelah terekspose antigen, sel mast dan basopil melakukan proses degranulasi, kemudian
mengeluarkan substan tertentu yang akan memicu terjadinya inflamasi (Gambar 1A).
Antigen akan berinteraksi dengan molekul IgE yang terikat dengan afinitas tinggi dengan
suatu reseptor pada permukaan sel mast, disebut sebagai crystallizable reseptor (Fc). Hal
inilah yang akan memicu terjadinya degranulasi. Sel mast yang tergranulasi akan
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi diantaranya histamine, proteoglycans,
protease serine, dan leukotrine. Pelepasan mediator inflamasi secara cepat akan
bermanifestasi klinis berupa urtikaria, kemerahan, hay fever, dan angioedema (bengkak
pada bibir, kelopak mata, tenggorokan, dan lidah). Semua manifestasi tersebut sering
dikenal dengan istilah reaksi anaphilaksis atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi alergi
atau anaphilaksis ini, bermanifestasi berat, sehingga dapat menghalangi jalan nafas
(airway) atau menyebabkan terjadinya aritmia jantung.
http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=15
4. Mengapa pada pasien didapatkan nafas cuping hidung , retraksi subcostal,stridor, wheezing ,
fase ekspirasi memenjang dan sianosis di wajah ?
- Kesadaran : somnolen
- Vital Sign:
RR: 40 kali/menit
TD: 60/80 mmHg
Disuntik ketorolac di sekenario tanda2 syok,termasuk TD turun
Syok analfilatik Sindroma terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan penyempitan bronkus secara
mendadak.
Pada saat syok pembuluh darah yang menuju jantung vasodilatasi
pasokan darah menuju jantung menurun ditambah pengumpulan darah
dibagian tubuh
bawah karena selain pembuluh dekat jantung vasodilatasi, ternyata
dibagiaan arteriola (pembuluh darah kecil vasokonstriksi) yang
mengahambat pasokan darah balik ke jantung sehingga cardiac out put
turun.
Padahal TD = CO x Tahanan perifer bila salah satu atau keduanya
turun bisa menyebabkan TD turun
- Napas cuping hidung (+), retraksi subcostal, stridor (+), wheezing (+), fase
ekspirasi memanjang dan muka kebiru-biruan.
- Pada kedua kelopak mata terdapat angioedema dan urtikaria di seluruh tubuh.
Sumber :
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC.
Baratawidjaya K G. Imunologi Dasar. 2006.Edisi ke 7. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Emergency medical treatment of anaphylactic reactions. Project Team of The
Resuscitation Council (UK). Resuscitation 1999;41(2):93-9.
Hipersensitivitas tipe I, merupakan suatu reaksi tipe cepat (immediate immune reaction)
terhadap suatu antigen tertentu. Sel mast dan basopil sangat berperan pada reaksi tipe ini.
Setelah terekspose antigen, sel mast dan basopil melakukan proses degranulasi, kemudian
mengeluarkan substan tertentu yang akan memicu terjadinya inflamasi (Gambar 1A).
Antigen akan berinteraksi dengan molekul IgE yang terikat dengan afinitas tinggi dengan
suatu reseptor pada permukaan sel mast, disebut sebagai crystallizable reseptor (Fc). Hal
inilah yang akan memicu terjadinya degranulasi. Sel mast yang tergranulasi akan
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi diantaranya histamine, proteoglycans,
protease serine, dan leukotrine. Pelepasan mediator inflamasi secara cepat akan
bermanifestasi klinis berupa urtikaria, kemerahan, hay fever, dan angioedema (bengkak
pada bibir, kelopak mata, tenggorokan, dan lidah). Semua manifestasi tersebut sering
dikenal dengan istilah reaksi anaphilaksis atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi alergi
atau anaphilaksis ini, bermanifestasi berat, sehingga dapat menghalangi jalan nafas
(airway) atau menyebabkan terjadinya aritmia jantung.
Sumber :
Baratawidjaya K G. Imunologi Dasar. 2006.Edisi ke 7. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas. Edisi
Kelima, ELSEVIER.
Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
1. Faktor psikis.
Keadaan emosi tertentu; menangis terisak-isak, tertawa terbahak-bahak, mengeluh
dengan menarik napas panjang dan merintih atau mengerang karena sesuatu penyakit.
Semua ini dapat mempengaruhi irama pernapasan. Perubahan emosi yang sering
menimbulkan keluhan sesak napas ialah rasa takut, kagum atau berteriak yang disertai rasa
gembira. Sesak napas yang disebabkan oleh foktor psikis seperti emosi, sering timbul pada
waktu istirahat, sedangkan sesak napas yang mempunyai latar belakang penyakit paru
obstruktif menahun sering dijumpai pada waktu penderita melakukan aktifitas.
Sesak napas yang berhubungan dengan faktor emosi, terjadi melalui mekanisme
hiperventilasi. Dalam penelitian Dudley ditemukan bahwa pengaruh emosi seperti depresi,
kecemasan dapat menimbulkan sensasi sesak napas melalui mekanisme hiperventilasi.
Kedua mekanisme tersebut yang sama-sama dapat dipakai oleh faktor psikis dalam
menampilkan sensasi sesak napas, mungkin dapat dipergunakan sebagai suatu bukti bahwa
foktor emosi khusus berperan atau tidak. Kesukaran bernapas yang timbul, semata-mata
hanyalah merupakan reaksi somatik yang bersifat individu terhadap pengaruh emosi tadi.
2.2 Sifat fisik yang berubah ( Tahanan elastis paru meningkat, tahanan elastis
dinding toraks meningkat, peningkatan tahanan bronkial).
Jika kemampuan mengembang dinding toraks atau paru menurun sedang tahanan
saluran napas meningkat, maka tenaga yang diperlukan oleh otot pernapasan guna
memberikan perubahan volume serta tenaga yang diperlukan kerja pernapasan akan
bertambah. Hal ini berakibat kebutuhan oksigen juga bertambah atau meningkat. Jika paru
tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen, akhirnya akan menimbulkan sesak napas.
Mekanisme sesak napas seperti yang dijelaskan tersebut sebenarnya berasal dari dua teori
yaitu pertama, teori kerja pernapasan dari Marshall yang menekankan pada peningkatan
energi jika kerja pernapasan bertambah dan selanjutnya menyebabkan sesak napas dan
kedua, teori oxygen cost of breathing yang dikemukakan oleh Harrison pada tahun 1950.
menurut Harrison, gangguan mekanik dari alat pernapasan yang disebabkan oleh beberapa
penyakit paru akan meningkatkan kerja otot pernapasan yang melebihi pemasokan energi
aliran darah dengan akibat terjadi penumpukan bahan-bahan metabolik. Bahan metabolik
merangsang reseptor sensoris yang terdapat di dalam otot dan akan menimbulkan sensasi
sesak napas.
Dahulu mekanisme yang dapat menimbulkan sesak napas ini diduga melalui hipoksia dan
hiperkapnia yang terjadi sebagai akibat dinding toraks dan paru tidak dapat mengenbang
maupun mengepis dengan baik. Hal ini disebabkan otot-otot diagfragma dan otot-otot
interkostalis mengalami kelemahan atau kelumpuhan. Tetapi penelitian Patterson dan kawan-
kawan (1962) menunjukkan bahwa sensasi sesak napas telah timbul pada lebih dari 20 mmHg,
malahan Noble (1970) pada penderita poliomelitis yang memakai ventilator, sensasi sesak
napas tidak terjadi walaupun telah dinaikkan dari 36 hingga 64 mmHg.
Percobaan yang dilakukan oleh Douglas & Haldane yang kemudian diulang dengan cara yang
sama oleh Godfrey & Cambell membuktikan bahwa perasaan tidak menyenangkan sewaktu
bernapas akan bertambah sesuai dengan lama menahan napas serta perubahan dan yang
terjadi. Dengan kata lain, hipoksia dan hiperkapnia ikut berperan dalam hal timbulnya sensasi
sesak napas. Jadi, rangsang terhadap kemoreseptor sentral maupun perifer akan meningkatkan
aktivitas eferen neuron medula. Aktivitas ini akan diteruskan ke pusat yang lebih tinggi sehingga
menimbulkan sensasi sesak napas. Karena itu mereka menyimpulkan bahwa perubahan
oksigenasi, dan konsentrasi ion H sendiri tidak langsung menyebabkan sensasi sesak napas.
Semua penyebab sesak napas kembalinya adalah kepada lima hal antara lain :
5. Penyakit neuromuskuler.
Penyakit atau keadaan tertentu secara akut dapat menyebabkan kecepatan pengiriman oksigen
ke seluruh jaringan menurun. Penurunan oksigenasi jaringan ini akan meningkatkan sesak
napas. Karena transportasi oksigentergantung dari sirkulasi darah dan kadar hemoglobin, maka
beberapa keadaan seperti perdarahan, animea (hemolisis), perubahan hemoglobin
(sulfhemoglobin, methemoglobin, karboksihemoglobin) dapat menyebabkan sesak napas.
Penyakit perenkim paru yang menimbulkan intrapulmonal shunt, gangguan ventilasi juga
mengakibatkan sesak napas. Jadi, sesak napas dapat disebabkan penyakit-penyakit asma
bronkial, bronkitis dan kelompok penyakit pembulu darah paru seperti emboli, veskulitis dan
hipertensi pulmonal primer.
Penyakit atau keadaan yang sekonyong-konyong meningkat kebutuhan oksigen akan memberi
sensasi sesak napas. Misalnya, infeksi akut akan membutuhkan oksigen lebih banyak karena
peningkatan metabolisme. Peningkatan suhu tubuh karena bahan pirogen atau rangsang pada
saraf sentral yang menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan akhirnya menimbulkan
sesak napas. Begitupun dengan penyakit tirotoksikosis, basal metabolic rate meningkat
sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat. Aktivitas jasmani juga membutuhkan oksigen yang
lebih banyak sehingga menimbulkan sesak napas.
Panyakit perenkim paru seperti pneumonia, sembab paru yang menyebabkan elastisitas paru
berkurang serta penyakit yang menyebabkan penyempitan saluran napas seperti asma bronkial,
bronkitis dan bronkiolitis dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk mengimbangi
keadaan ini dan supaya kebutuhan oksigen juga tetap dapat dipenuhi, otot pernapasan dipaksa
bekerja lebih keras atau dengan perkataan lain kerja pernapasan ditingkatkan. Keadaan ini
menimbulkan metabolisme bertambah dan akhirnya metabolit-metabolit yang berada di dalam
aliran darah juga meningkat. Metabolit yang terdiri dari asam laktat dan asam piruvat ini akan
merangsang susunan saraf pusat. Kebutuhan oksigen yang meningkat pada obesitas juga
menyebabkan kerja pernapasan meningkat.
Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan sesak napas secara
tiba-tiba. Bagaimana terjadinya serangan ini, sampai sekarang belum jelas, seperti pada
meningitis, cerebrovascular accident dan lain-lain. Hiperventilasi idiopatik juga dijumpai,
walaupun mekanismenya belum jelas.
Penyakit Neuromuskuler
Cukup banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan terutama
jika penyakit tadi mengenai diagfragma, seperti miastenia gravis dan amiotropik leteral
sklerosis. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya sesak napas karena penyakit
neuromuskuler ini sampai sekarang belum jelas.
(Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009).
(Price, Sylvia Anderson dan Lorraine MW. Patofisiologi Vol 1. ed 6. Jakarta : EGC.
2005)
Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki.
Tujuan posisi Tendelenburg :
a. Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak pada pasien shock dan
pada pasien yang dipasang skintraksi pada kakinya.
Cara Pelaksanaan :
b. Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan
c. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang. Letakkan bantal di antara kepala dan
ujung tempat tidur pasien, serta berikan bantal di bawah lipatan lutut.
d. Pada bagian kaki tempat tidur, berikan balok penopang atau atur tempat tidur
secara khusus dengan meninggikan bagian kaki si pasien.
POSISI TRENDELENBURG
Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o
sekitar tahun 1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis
disebabkan isi abdomen akan bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Istilah
“ Trendelenburg ”sekarang ini mencakup setiap derajat head down, tanpa
memperhitungkan apakah pasien berbaring supine, lateral atau prone. Semua
posisi head down sekarang dikenal, meskipun , secara potensial berbahaya pada
penyakit jantung, paru, okular, dan penyakit susunan saraf pusat, dan secara
esensial tidak berguna untuk resusitasi volume vaskuler.
Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 190-2
Sumber :
Circulation : Journal of The American Heart Association Part 10.6 :
Anaphylaxis;112;IV143-IV-145; originally published online Nov 28,
2005;Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation 5th edition.
BMJ Publishing Group 2004. 2.
Emergency medical treatment of anaphylactic reactions. Project Team of The
Resuscitation Council (UK). Resuscitation 1999;41(2):93-9. 3.
World Allergy Organization: Guidelines for Assessment and Management of
Anaphylaxis. Estelle F, Gamal YM, etc. WAO Journal 2011; 4:13-37.
PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu
reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen;
reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen;
serta
reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat.
Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan
berat.
Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa
sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai
dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan
yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.
Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal
napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata,
susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut,
gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing,
lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang
alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan
telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal
dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung
hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan
kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa,
jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum.
Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin,
lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume
tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema
terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling
sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah
terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk,
hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat.
Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-
tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia.
pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine
(oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai
dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan
rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal,
resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok
terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan
asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak,
disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.
Sumber :
Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas. Edisi
Kelima, ELSEVIER.
Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update
on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga
Surabaya.
Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 190-2
18. Bagaimana tatalaksana dari farmakoterapi dan non farmakoterapi dari kasus di skenario ?
Penanganan syok anafilaktik
I. Terapi medikamentosa
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor
yaitu :
Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat
terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat
sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP
sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat
diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja
adrenalin cukup singkat.
Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl
fisiologis diberikan perlahan-lahan.
Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi
obat tidak terjadi.
2.Aminofilin
Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan
pemberian adrenalin.
250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.
Aminofilin
Antihistamin
Kortikosteroid
Resusitation kit
Pencegahan
1. Kewaspadaan
Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya
reaksi anfilaktik.
Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-
penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat
yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya
mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi
penderita yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko
tapi minimal kita dapat terlindung dari sanksi hukum.
Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth test dengan
kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman,
selain itu hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan
beserta perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok
anafilaktik yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
Sumber :
a. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care.
Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders
companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
b. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill
New York-Toronto.pp 242-6
c. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
d. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam.
Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
e. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
f. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
g. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
h. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British
Medical Journal June 1966.
i. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
j. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia :
Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.
1. Reaksi Tipe I (reaksi hipersensitivitas cepat ) melibatkan imunoglobulin E (IgE) merilis
histamin dan mediator lain dari sel mast dan basofil.
2. Reaksi Tipe II (reaksi hipersensitivitas sitotoksik) melibatkan imunoglobulin G atau
immunoglobulin antibodi M terikat pada permukaan sel antigen dengan memfiksasi
komplemen berikutnya.
3. Reaksi Tipe III (reaksi kompleks imun) melibatkan sirkulasi kompleks imun antigen-
antibodi yang tersimpan dalam venula postcapillary dengan memfiksasi komplemen
berikutnya.
4. Reaksi Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat) dimediasi oleh sel T.