Anda di halaman 1dari 58

SGD LBM 2 KGD

STEP 1

1. Wheezing : suara mengi yang diakibatkan karena adanya udara yang keluar melewati saluran
pernafasan yang menyempit dan biasa lebih keras terdengar pada fase ekspirasi.
2. Somnolen : letargi( kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat namun kesadaran
dapat pulih apabila dirangsang, tapi stelah ada rangsangan tersebut selesai kesadaran menurun
kembali). GCS = 9-7

STEP 2

1. Mengapa pasien mengeluh sesak nafas setelah meminum antibiotik penisilin ?


2. Interpretasi dari Px vital sign ?
3. Mengapa kedua kelopak mata terdapat angioderma dan urtikaria di seluruh tubuh ?
4. Mengapa pada pasien didapatkan nafas cuping hidung , retraksi subcostal,stridor, wheezing ,
fase ekspirasi memenjang dan sianosis di wajah ?
5. Mengapa dikeluhkan adanya muntah dan nyeri abdomen ?
6. Bagaimana ABCDE dari reaksi anafilaktik ?
7. Bagaimana tanda tanda sesak nafas ?
8. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari sesak nafas?
9. Mengapa pasien disposisikan dengan tungkai dielevasikan ?
10. Bagaimana tanda dan gejala pasien yang mengalami syok ?
11. Macam macam syok dan derajat syok?
12. Bagaimana derajat dari syok anafilaktik ?
13. DD dari skenario ?
14. Bagaimana patofisiologi terjadinya reaksi anafilaktik?
15. Bagaimana farmakodinamik dari antibiotik shg menimbulkan reaksi anafilaktik ?
16. Pemeriksaan penunjang dari skenario?
17. Bagaimana tatacara pemasangan EKG dan monitoringnya ?
18. Bagaimana tatalaksana dari farmakoterapi dan non farmakoterapi dari kasus di skenario ?

STEP 3

1. Mengapa pasien mengeluh sesak nafas setelah meminum antibiotik penisilin ?


Penisilin  alergen  reaksi hipersentivitas  igE Histamin kontaksi otot bronkus 
seesak nafas
Konsumsi penisilin ( mgd cincin beta laktam yang dikenali igE sbg antigen  pengeluaran
bberapa mediator inflamasi setelah aktivasi sel imun cth : histamin, triptase, kinase, heparin,
TNF a secara akut. Setelah beberapa menit : PAF, PGE dan mediator inflamasi ini memberikan
efek bronkonstriksi dan sekresi mukus dan shg ada sesak nafs di pernafasan bagian bawah dan
menyebabkan wheezing . saluran nafas atas  angioedema dan urtikaria ( mis. di Faring)

2. Interpretasi dari Px vital sign dan mengapa didapatkan seperti itu? (TD,RR,Nadi, SpO2)
 TD  rendah ( hipotensi)
Apabila ada reaksi hipersensitivitas  histamin  aliran darah lambat dan dilatasi pemb
darah  hipotensi
Adanya ekstravasasi cairan ke jar. Ekstravaskular akibat dari pengeluaran med. Inflamasi
shg nanti vol. Darah menurun shg Cardiac Output menurun
 RR  40x/mnt ( tinggi) N: 24x/mnt
Akibat dari sesak nafas nya sehingga laju pernafasan meningkat tiap menitnya
 Nadi  130x/mnt (takikardia) n: 100
 SpO2  87% ( penurunan) N: 95-100%

3. Mengapa kedua kelopak mata terdapat angioderma dan urtikaria di seluruh tubuh ?Angiedema
-Sering terjadi akibat alergi dan biasanya tidak berbahaya tapi bisa bahaya apabila kasusnya
sampai penderita sesak nafas akibat pembengkakan di sal. Nafas
Utama : bengkak di bawah permukaan kulit akibat oenumoukan cairan di bag dalam dan bisa di
beberapa bag. Tubuh ( bibir, lidah, tangan kaki dan kelamin)
Apabila parah  pembengkakan bisa di dalam tenggorokan dan perut. Penyebab  tidak gatal
namun jika idiopatik dan alergic bisa disetrtai urtikaria : sensasi panas dan nyeri direa. Sesak
nafass di paru2 dan pembengkakan mata merah di konjungtiva.
- Alergic Angiedema  Angiedema akibat obat, makanan , Aspirin/ NSAID/ gigitan serangga
- Drug induced Angiedema  OAINS/Ace inhibitor/ARB
Urtikaria kronis  dpat timbulkan morbiditas dan penurunan kualitas hidup. Jika>72 jam 
rawat di rumah sakit
Skenario  penisilin sehingga ada reaksi IgE ( sel mast dan basofil) ada hipersensitivitas tipe I
dan sifatnya lokal shg di kulit bisa akibatkan gatal
Urtikaria  gatal terlebih dahulu , vasodilatasi pemb darah ( kemerahan) dan didalamnya lebih
pucat
Angioedema  dipermukaan dalam kulit. Meningkatkan permeabilitas cairan ( intracelluar ke
intersisil  edema

4. Mengapa pada pasien didapatkan nafas cuping hidung , retraksi subcostal,stridor, wheezing ,
fase ekspirasi memenjang dan sianosis di wajah ?
Adanya Hipersensitivitas  histamin  Bronkospasme adanya kontraksi  udara yang masuk /
keluar ada hambatan di airway pernafasan terganggu O2 turun dan Co2 terperangkap
 O2 turun  ekspirasi di bronkus mengalami gangguan fase ekspirasi memanjang
( adanya wheezing)
Tanda nya O2 turun : nafas cuping hidung dan retraksi subcostal
Metabolisme sel mengalami gangguan  akral dingin dan mengakibatkan sianosis
 Sianosis  jari, Kuku, bibir dan lidah
 Wheezing  bronkus menyempit dan adanya pembengkakan shg udara di bronkus kan
bergesekan
 Nafas cuping hidung dan retraksi subcostal  sesak nafas dan merupakan kompensasi
untuk peningkatan pernafasan
 Sianosis  hipoksia dan menyebabkan Hb turun shg sianosis
 Fase ekspirasi memanjang  akibat wheezing ( co2 tdk bisa dibuang cepat )

5. Mengapa dikeluhkan adanya muntah dan nyeri abdomen ?


H1  peningkatan kontaktilitas dari otot polos GIT  pengingkatan tekanan intra kranial 
muntah dan nyeri abdomen
Meminum penisilin dan ananya rekas anafilaksis  bisa 2 atau lebih shg organ targetnya
berbeda ( di abdomen ) edema pada intestinal dan spasme otot polos  nyeri dan muntah

6. Bagaimana ABCDE dari reaksi anafilaktik ?


- Onset akut yang melibatkan jaringan mukosa dan kulit
1. Ggn pernafasan
2. penurunan dari tekanan darah
- ada 2 atau lebih gejala setelah paparan alergen
1. melibatkan jar. Kulit dan mukosa
2. ggn respirasi
3. penurunan tekanan darah
4. gejala GIT
- kriteria penurunan tekanan darah
1. pada dewasa (<90mmHg/ menurun 30% dari TD normal pasien)
2. pada anak2 ( Sistol rendah menurun 30% dari TD normal pasien)
 Airway : adanya sumbatan / obstruksi ( angioedema di farring, mulut)
 Breathing : takipneu , penggunaan otot perfasan aksesoris( wheezing)
 Circulation : TD (hipotensi) dan Nadi( takikardia dan Bradikardia)
 Disability : penurunan kesadaran yg kaitannya dengan oksigenasi ( tergantung
GCS pasien )
 Eksposure : Kulit ( akral dingin dan sianosis)

Syok  mengakibatkan obs, jalan nafas total/ partial dan ditolong dgn obat2 an dan
bantuan nafas o2
Total  segera ditolong dgn intubasi dan cricotiroidotomi
Circulation  kalau nadi besar tdk teraba ( lakukan CPR)
Syok anafilatik  lansung lakukan pertolongan. Obat  kortikosteroid
TD rendah  lakukan pemasangan jalur intravena

7. Bagaimana tanda tanda sesak nafas ?


- Sp02 menurun
- Cuping hidung
- Retraksi otot2 subcostal
- Sianosis
- Gelisah

8. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari sesak nafas?


- Usia : bisa disemua usia tergantung etiologi
- Psikis : keadaan dari pasien
- Pekerjaan dan lingkungan : lebih sering terpapar akan meningkatkan FR sesak nafas
- Aktivitas fisik yg berat/ berlebih
- Riwayat alergi (obat2 an / asma)
- Peningkatan kerja pernafasan ( peningkatan ventilasi Hipoksia/ asisdosis metabolik)
Ketika sifat disik yg berubah ( tahanan elastis paru meningkat nanti tahanan bronkial dapat
meningkat dan jika kemampuan pengembangan menurun namun tahanan meningkat nanti
tenaga yag dibutuhkan oleh otot2 pernafasan untuk kerja pernafsaan akan bertambah dan
kebutuhn O2 akan meningkat. Dan ketika O2 tdk memenuhi kebutuhan O2 nanti sesak nafas
- Otot pernafasan yang abnormal  penyakit otot( kelumpuhan, fungsi mekanis otot yg
berkurang)
Sesak nafas :
- Akibat oksigenasi ke jaringan menurun
- Kebutuhan O2 yang meningkat
- Kerja pernafaan meningkat
- Perangsangan Sistem saraf pusat
- Penyakit neuromuskular
9. Mengapa pasien disposisikan dengan tungkai dielevasikan ?
Posisi tungkai ditinggikan supaya darah bisa mengalir ke jantung shg nanti mengurangi hipoksia
dan syok teratasi.
Tujuan  meningkatkan volume preload pada jantung terutama pada ventrikel.
Karena adanay dilatasi pemb, vena shg aliran darah ke jantung menurun shg sbg kompensasi dia
akan takikardia dan ritme nya cepat namun jml darah yang dikeluarkan minimal

Trendelenberg position : tungkai elevasi dan kepala lebih rendah dari tungkai

Untuk mengurangi empty ventrikel sindrom  u/ mengurangi volume preload pada jantung

10. Bagaimana tanda dan gejala pasien yang mengalami syok ?


- Kemerahan
- Gatal
- Utrikaria
- Pilor erection
- Eritem konjungtiva
- Gatal pada bibir
- Bengkak pada bibir, lidah dan uvula
- Gatal pada genital
- Respirasi  gatal hidung, bersin2, Kongesti, rhinorea, gatal tenggorokan, wheezing
- Sianosis
- RR meningkat
- GIT nyeri abdomen, mual, muntah, diare dan disfagia
- Takikardia, bradikardia, nyeri dada
- Perubahan EKG : t mendatar, aritmia supraventrikular, AV blok
- SSP  perubahan mood mendadak dan sakit kepala
11. Macam macam syok dan derajat syok?
Macam – macam syok
- Syok hipovolemik : volume intravaskular yang berkurang perdarah dan muntah berak)
- Syok kardiogenik : syok yang akibat dari gangguan kontraksi otot jantung
- Syok distributif : syok akibat gangguan penyebaran gangguan intravaskular ( syok sepsis dan
syok anafilaktik dan syok trauma medula spinalis)
- Syok obstruktif: syok akibat terganngunya aliran darah balik ke jantung atau
adanyaobstruksi ( syok tamponade jantung dan syok emboli paru, syok pneumothorak

Derajat syok

Ringan : penurunan perfusi yang hanya pada jaringan dan organ nonvital ( kuli, rangka) tdk ada
kesadaran terganggu, tdk ada asidosis metabolik, utun normal

Sedang : perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun ( gati, usus, ginjal)  tdk bisa
toleransi lama( oligouria dan kesadaran baik)
Berat : perfusi ke jantung dan otak sdh tidak kuat ( vaskonstriksi di semua pb darah) oligouria,
asisdodis berat, hipoksia jantung

Hipoksia jantung  EKG abnormal dan curah jantung yang menurun

12. Bagaimana derajat dari syok anafilaktik ?


13. DD dari skenario ?
Dx : syok anafilaktik ( hipotensi, oligouria)  berhunungan dengan vasodilatasi dan kebocoran
kapiler yang disebabkan oleh zat2 vasoaktif akibat reaksi imunologis
DD : dispnea , pneumothorax spontan, reakasi vasovagal (pada psien yg mendapat suntikan)
nadi lambat dan tidak ada sianosis
Infark miokard akut  nyeri dada dan perjalanan penyakit sebelumnya ( tdk ada kelainan kulit)

14. Bagaimana patofisiologi terjadinya reaksi anafilaktik?


Dibikin bagan
15. Bagaimana farmakodinamik dari antibiotik shg menimbulkan reaksi anafilaktik ?
16. Pemeriksaan penunjang dari skenario?
17. Bagaimana tatacara pemasangan EKG dan monitoringnya ?
18. Bagaimana tatalaksana dari farmakoterapi dan non farmakoterapi dari kasus di skenario ?

Alergen

Reaksi hipersensitivitas tipe 1

organ yang diserang

tanda gejala

evaluasi ABCDE

PF dan PP

Tatalaksana
STEP 7

1. Mengapa pasien mengeluh sesak nafas setelah meminum antibiotik penisilin ?

Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem
pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan
IgE spesifik terhadap alergen tertentu.IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor
permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige
spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya
mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen
antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan
degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan
prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit.Efek histamin,
leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus
menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. Efek biologis histamin terutama
melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi.
Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme
bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2
menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada
jaringan menentukan efek akhirnya.
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.
Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator
dan granula kedalam cairan ekstraselluler.Sebaliknya penurunan cGMP justru
menghambat pelepasan mediator.Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP
intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain
adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya
aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini
menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari
netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai
perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat
meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena
dapat merangsang terlepasnya mediator.
Proses alergi (imunologik) terjadi dalan 2 fase, dengan waktu di antara kedua fase tersebut
yang disebut fase latent :

(1). Pada hipersensitivitas tipe I :

a. Fase sensitisasi

Pada fase ini terjadi pembentukan IgE (sesudah alergen/antigen masuk tubuh pertama
kali), den IgE ini melekat pada permukaan sel mast/basofil pada lumen bronkus,
submukosa,dsb. Hal seperti ini hanya terjadi pada individu yang mempunyai bakat
genetik atopik. IgE yang terjadi sifatnya spesifik terhadap alergen khusus yang
memaparnya tadi. Sel plasma atau sel mast/basofil yang telah dilekati IgE di pernukaan-
nya tadi disebut sel yang telah tersensitisasi.

b. Fase alergi :

Pada pemaparan ulang berikutnya dengan alergen/antigen yang sam sesudah


melewati fase laten, akan terjadi pengikatan alergen oleh IgE (spesifik) yang melekat
pada permukaan.

Sel mast/basofil tadi, kemudian terjadi reaksi-reaksi berikutnya dan menimbulkan


reaksi hipersensitivitas tipe I.

i. Ikatan alergen-IgE pada permukaan sel mast/basofil, akan


merangsang/menyebabkan proses penbentukan granul-granul dalam sitoplasma
proses degranulasi  dikeluarkan mediator kiniawi : histamin, serotonin, SRSA,
ECFA, bradikinin, NCFA, dsb. Efek utama dari mediator kiniawi yang dikeluarkan
tadi adalah terjadi :(1) spasme bronkus, (2) peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan (3) sekresi mukus berlebihan (sifatnya lengket).
Semua efek mediator tadi akan nengakibatkan penyempitan saluran nafas dan
nenimbulkan gejala asma bronkial. Mediator kimiawi ini telah diproduksi sebelumnya
(dalam granul) disebut "preformed chemical mediators"

Pelepasan mediator kimiawi dari granul dalam sitoplasma dinenaaruhi oleh siklik
AMP dan siklik GMP,sehingga pengaturan kontraksi otot polos bronkus diatur oleh

- kadar cAMP,
- kadar cGMP,
- dan besarnya rasio, kadar cGMP/caMP.
a. Siklik AMP.

Ikatan alergen-IgG, dipermukaan sel mast/basofil yang tersensitisasi akan


mengaktifkan enzim adenil siklase di membran sel. Enzim adenil siklase yang telah
aktif akan mengubah ATP  cAMP, cAMP yang terbentuk mengadakan difusi ke
dalam sitoplasma sel mast/basofil, kemudian cAMP diubah men jadi 5-AMP oleh
pengaruh enzim fosfodiesterase, sehingga peranan cAMP hilang. Aktivitas enzim
fosfodiesterase dapat dihambat oleh methylxantine.

Fungsi cAMP terhadap sel otot polos bronkus adalah mengaktifkan


mekanisme yang mencegah kontraksi sel-sel otot polos tersebut atau
mempertahankan mekanisme yang menimbulkan relaksasi sel-sel otot polos bronkus
(bronkodilatasi ) .

b. Siklik GMP.

Mekanisme pembentukan cGMP belum jelas, diperkirakan seperti pada


cAMP. Fungsi cGMP berlawanaan terhadap aksi dari cAMP, dan dalam keadaan
normal kekuatan cGMP terhadap cAMP adalah berimbang.

Di dalam sel, kadar cGMP yang tinggi akan merangsang pelepasan mediator
kimiawi (dari granul sitoplasma), sedangkan kadar cAMP yang tinggi akan
menghambat pelepasan mediator kimiawi tadi.

Sebenarnya pengaturan kontraksi otot polos bronkus tergantung antara lain


oleh (a) kadar cAMP, (b) kadar cGMP, dan (c) besarnya kadar cGMP/cAMP. Yang
paling penting adalah peran rasio kadar cGMP/cAMP dalam pengaturan aktivitas
kontraksi otot-otot polos bronkus tersebut. Bila dalam tubuh terjadi reaksi alergi,
maka kadar cAMP meningkat, cGMP juga meningkat, tetapi rasio kadar cGMP/
cAMP juga meningkat. Efek akhir tergantung resultante rasio akhir cGMP/cAMP
tadi.
ii. Pelepasan mediator kimiawi lainnya
Sebagai konsekuensi dari reaksi-reaksi akibat pengikatan alergen-IgE di
permukaan sel mast/basofil (diuraikan sebelumnya), terjadilah perubahan
pcrmeabilitas membran sel terhadap Ca yang menyebabkan ion-ion tersebut masuk ke
dalam sel mast/basofil.

Bertambah banyaknya Ca++ masuk ke dalam sel mast/basofil berakibat/


berpengaruh pada

- Menambah aktifnya proses degranulasi dalam sitoplasma karena meningkatkan


produksi energi, sehingga aktivitas pengeluaranmediator kimiawi juga meningkat.
- Sebagian kecil Ca lainnnya sewaktu masuk melewati membran sel,
selanjutnya akan mengaktifan enzim fosfolipase A2 dalam dinding sel. Dengan
pengaktivan enzim ini selanjutnya akan terbentuk asam arakidonat dari
fosfatidilkolin yang ada di membran sel.
Asam arakidonat melalui 2 macam reaksi enzimatik, terpecah/terbentuk mediator
kimiawi (newly generated chemical mediator):

- Reaksi enzimatik: lipoksigenase, menghasilkan mediator jenis leukotrien : LTA4,


LTB4, LT-C4, LTD4, LTE4. Dulu LTC4, LTD4 dab LTE4 dikenal dengan name
SRS-A (slow reacting substance of anaphylaxis),
- Reaksi enzimatik siklo-oksigenase, menghasilkan mediator jenis prostaglandin :
PGD2, PGE2, PGF2a, tromboksan (TXA2) dan prostasiklin (PGI2.).
Selain terbentuk asam arakidonat, dari foafatidilkolin yang ada di membran sel
mast,jugadibentuk PAF (platelet activating factors).

(2). Hipersensitivitas tipe III

Timbulnya reaksi 4-6 jam sesudah terpapar alergen. Sesudah alergen masuk tubuh
dan diikat oleh IgG atau IgM (kompleks imun), kompleks imun ini akan mengaktifkan
sistem komplemen, terjadilah komponen komplemen aktif : C3a dan C5a, yang bersifat
anafilatoksin. Anafilatoksin ini dapat menyebabkan sel mast/basofil mengalami degra-
nulasi dan mengeluarkan vasoaktif amin (mediator kimiawi) seperti pada reaksi
hipersensitivitas tipe I.

PROSES IMUNOLOGIK (ASMA BRONKIAL EKSTRINSIK)


HIPERSENSITIVITAS TIPE I
1. Fase sensitisasi
Antigen  sel B  membentuk IgE dengan bantuan sel Th  IgE diikat oleh sel
mastosit/basofil melalui reseptor Fc
2. Fase alergi
Paparan ulang  sel tersensitisasi  membentuk granul di sitoplasma 
degranulasi  pengeluaran mediator kimiawi.
Mediator kimiawi mempunyai efek:
 Spasme bronkus
 Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
 Peningkatan sekresi mucus

Antigen

APC Fc

Sel Th2 Sel B IgE Sel mast


Mast Pelepasan
IL-4 mediator kimiawi

IL-3
IL-5
IL-3
IL-5
GM-CSF Recruitment Aktivasi Melepaskan
eosinofil granula

Pelepasan mediator kimiawi dipengaruhi oleh:


1. Kadar cAMP
2. Kadar cGMP
3. Ratio cGMP/cAMP

Siklus AMP (cAMP)

Sel tersensitisasi

Aktivasi enzim adenil siklase

ATP cAMP

Enzim fosfodiesterase

5’-AMP
cAMP : meningkatkan pencegahan kontraksi sel otot polos dan mempertahankan
bronkodilatasi (menghambat pelepasan mediator kimiawi)

5’-AMP : mengurangi kerja cAMP

Siklus cGMP
Fungsi cGMP : berlawanan dengan fungsi cAMP, yaitu merangsang pengeluaran
mediator kimiawi
PENGELUARAN MEDIATOR KIMIAWI YANG LAINNYA

Sel tersensitisasi

Perubahan permeabilitas membrane sel


terhadap Ca

Ca masuk ke sel mast

Pengaktivan fosfolipase A2 dinding sel


↑ degranulasi

Asam arakidonat
↑ produksi energi

Rx enzimatik Rx enzimatik
↑ mediator kimiawi
lipooksigenase siklo-oksigenase

Leukotrien Prostaglandin

HIPERSENSITIVITAS TIPE III

Allergen + IgG/IgM
(Kompleks Imun)

Pengaktivan komplemen
(C3a & C5a)
Anafilatoksin

Degranulasi
GANGGUAN KESEIMBANGAN SARAF OTONOM
Kolinergik dan adrenergic α : mengkontraksi otot polos bronkus
Adrenergic β : relaksasi ototVasoaktif
polos bronkus
amin
(mediator kimiawi)

Reseptor adrenergic β-2

Aktivasi enzim adenilsiklase

↑ kolinergik

Enzim guanil siklase

↑ cGMP & GTP

PROSES INFLAMASI BRONKUS


 Edema mukosa & dinding bronkus  infiltrate sel radang (eosinofil)  epitel
bersilia lepas  saluran nafas terhambat

Mediator kimiawi fase awal:


1. Leukotrien : brinkokonstriksi, ↑ permeabilitas vascular dan ↑ sekresi musin
2. Prostaglandin : bronkokonstriksi dan vasodilatasi
3. Histamine : bronkospasme dan vasodilatasi
4. PAF (Platelet Activating Factor) : agregasi trombosit dan pembebasan histamine
5. Triptase sel mast : inaktif peptide yang sebabkan bronkodilatasi normal

Mediataor untuk recruitment sel radang:


1. Kator kemotaktik eosinofilik dan neutrofilik
2. IL-4 dan IL-5 : memperkuat Th2 sel CD4+ (↑IgE dan proliferasi serta kemotaksis
eosinofilik)
3. PAF : kemotaktik eosinofilik jika ada IL-6
4. Factor nekrosis tumor : ↑ adhesi molekul di endotel vascular dan sel radang
Sumber :
 Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
 Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
 Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas. Edisi
Kelima, ELSEVIER.

2. Interpretasi dari Px vital sign ?


Vital Sign:
 RR: 40 kali/menit
 TD: 60/80 mmHg
Minum obat penisilin  di sekenario tanda2 syok,termasuk TD turun
Syok analfilatik  Sindroma terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan penyempitan bronkus secara
mendadak.
Pada saat syok  pembuluh darah yang menuju jantung vasodilatasi 
pasokan darah menuju jantung menurun  ditambah pengumpulan darah
dibagian tubuh
bawah karena selain pembuluh dekat jantung vasodilatasi, ternyata
dibagiaan arteriola (pembuluh darah kecil vasokonstriksi) yang
mengahambat pasokan darah balik ke jantung  sehingga cardiac out put
turun.
Padahal TD = CO x Tahanan perifer  bila salah satu atau keduanya
turun bisa menyebabkan TD turun

 N: 130 kali permenit, isi dan tegangan kurang


 Akral dingin (+) SpO2 87%.
a) Abnormalitas nadi : Frekuensi nadi, irama denyut nadi, isi nadi
a. Frekuensi Nadi
o Tachycardia : Irama sinus yang lebih cepat dari 100 kali per menit
o Bradicardia : Irama sinus yang kurang dari 60 kali per menit
- Sumber : IPD edisi VI jilid II

b. Irama Denyut Nadi


o Sinus Aritmia (Disritmia) : kelainan irama jantung dimana irama sinus lebih cepat
pada waktu inspirasi dan menjadi lambat pada waktu ekspirasi
Sumber : IPD edisi VI jilid II
o Pulsus Defisit : kelainan dimana denyut nadi kurang dari denyut jantung
o Pulsus Alternans : ketidakteraturan denyut nadi, dimana nadi dirasakan cepat
setelah itu lambat.
o Pulsus bigeminus : kelainan denyut nadi dimana nadi dirasakan berurutan 2 kali
detakan kemudian muncul jeda, setelah itu muncul detakan kembali.
o Pulsus trigeminus : kelainan denyut nadi dimana nadi dirasakan berurutan 3 kali
detakan kemudian muncul jeda, setelah itu muncul detakan kembali.
c. Isi Nadi
o Pulsus Magnus : yaitu kelainan denyut nadi dimana denyut nadi terasa besar atau
banyak.
o Pulsus Parvus : yaitu kelainan denyut dimana denyut nadi terasa sedikit
o Pulsus Paradoksus : yaitu kelainan denyut nadi dimana saat inspirasi, denyut nadi
lebih lemah jika dibandingkan dengan waktu ekspirasi. Kelainan ini dapat di deteksi
melalui penurunan amplitudo denyut nadi yang dapat diraba saat inspirasi tenang.
Sumber : Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi FK Unissula, Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat
Kesehatan Bates
a) Keadaan normal dan abnormal pernapasan
- Eupnea : Pernafasan normal
- Polipnea : Pernafasan dipercepat
- Tachypnea : Pernafasan dipercepat melebihi batasan normal
- Hiperpnea : Meningkatnya kedalaman pernafasan/pernafasan yang dalam
- Dyspnea : Kesulitan bernafas
- Orthopnea : Pernafasan meningkat atau butuh bantuan pada saat tidur.
- Apneu : Henti nafas, tidak ada inspirasi atau ekspirasi
- Apneustik : Henti nafas dalam waktu lama
Sumber : Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi FK Unissula
Cheyne-Stokes : Periode pernafasan dalam yang diselingi dengan periode apnea, penyebab
biasanya gagal jantung.Pola dapat diprediksi
Biots : Iregularitas yang tidak dapat diramalkan.Kadang pernafasanya dapat dalam atau dangkal
dan berhenti sejenak, penyebab karena kerusakan pada medula oblongata atau depresi
pernapasan
Sumber : BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Riwayat Kesehatan

3. Mengapa kedua kelopak mata terdapat angioderma dan urtikaria di seluruh tubuh ?
Hipersensitivitas tipe I, merupakan suatu reaksi tipe cepat (immediate immune reaction)
terhadap suatu antigen tertentu. Sel mast dan basopil sangat berperan pada reaksi tipe ini.
Setelah terekspose antigen, sel mast dan basopil melakukan proses degranulasi, kemudian
mengeluarkan substan tertentu yang akan memicu terjadinya inflamasi (Gambar 1A).
Antigen akan berinteraksi dengan molekul IgE yang terikat dengan afinitas tinggi dengan
suatu reseptor pada permukaan sel mast, disebut sebagai crystallizable reseptor (Fc). Hal
inilah yang akan memicu terjadinya degranulasi. Sel mast yang tergranulasi akan
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi diantaranya histamine, proteoglycans,
protease serine, dan leukotrine. Pelepasan mediator inflamasi secara cepat akan
bermanifestasi klinis berupa urtikaria, kemerahan, hay fever, dan angioedema (bengkak
pada bibir, kelopak mata, tenggorokan, dan lidah). Semua manifestasi tersebut sering
dikenal dengan istilah reaksi anaphilaksis atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi alergi
atau anaphilaksis ini, bermanifestasi berat, sehingga dapat menghalangi jalan nafas
(airway) atau menyebabkan terjadinya aritmia jantung.

http://www.idijembrana.or.id/index.php?module=artikel&kode=15
4. Mengapa pada pasien didapatkan nafas cuping hidung , retraksi subcostal,stridor, wheezing ,
fase ekspirasi memenjang dan sianosis di wajah ?

- Kesadaran : somnolen
- Vital Sign:

 RR: 40 kali/menit
 TD: 60/80 mmHg
Disuntik ketorolac  di sekenario tanda2 syok,termasuk TD turun
Syok analfilatik  Sindroma terjadi karena adanya peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan penyempitan bronkus secara
mendadak.
Pada saat syok  pembuluh darah yang menuju jantung vasodilatasi 
pasokan darah menuju jantung menurun  ditambah pengumpulan darah
dibagian tubuh
bawah karena selain pembuluh dekat jantung vasodilatasi, ternyata
dibagiaan arteriola (pembuluh darah kecil vasokonstriksi) yang
mengahambat pasokan darah balik ke jantung  sehingga cardiac out put
turun.
Padahal TD = CO x Tahanan perifer  bila salah satu atau keduanya
turun bisa menyebabkan TD turun

 N: 130 kali permenit, isi dan tegangan kurang


 Akral dingin (+) SpO2 87%.
b) Abnormalitas nadi : Frekuensi nadi, irama denyut nadi, isi nadi
a. Frekuensi Nadi
o Tachycardia : Irama sinus yang lebih cepat dari 100 kali per menit
o Bradicardia : Irama sinus yang kurang dari 60 kali per menit
- Sumber : IPD edisi VI jilid II

b. Irama Denyut Nadi


o Sinus Aritmia (Disritmia) : kelainan irama jantung dimana irama sinus lebih cepat
pada waktu inspirasi dan menjadi lambat pada waktu ekspirasi
Sumber : IPD edisi VI jilid II
o Pulsus Defisit : kelainan dimana denyut nadi kurang dari denyut jantung
o Pulsus Alternans : ketidakteraturan denyut nadi, dimana nadi dirasakan cepat
setelah itu lambat.
o Pulsus bigeminus : kelainan denyut nadi dimana nadi dirasakan berurutan 2 kali
detakan kemudian muncul jeda, setelah itu muncul detakan kembali.
o Pulsus trigeminus : kelainan denyut nadi dimana nadi dirasakan berurutan 3 kali
detakan kemudian muncul jeda, setelah itu muncul detakan kembali.
c. Isi Nadi
o Pulsus Magnus : yaitu kelainan denyut nadi dimana denyut nadi terasa besar atau
banyak.
o Pulsus Parvus : yaitu kelainan denyut dimana denyut nadi terasa sedikit
o Pulsus Paradoksus : yaitu kelainan denyut nadi dimana saat inspirasi, denyut nadi
lebih lemah jika dibandingkan dengan waktu ekspirasi. Kelainan ini dapat di deteksi
melalui penurunan amplitudo denyut nadi yang dapat diraba saat inspirasi tenang.
Sumber : Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi FK Unissula, Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat
Kesehatan Bates
b) Keadaan normal dan abnormal pernapasan
- Eupnea : Pernafasan normal
- Polipnea : Pernafasan dipercepat
- Tachypnea : Pernafasan dipercepat melebihi batasan normal
- Hiperpnea : Meningkatnya kedalaman pernafasan/pernafasan yang dalam
- Dyspnea : Kesulitan bernafas
- Orthopnea : Pernafasan meningkat atau butuh bantuan pada saat tidur.
- Apneu : Henti nafas, tidak ada inspirasi atau ekspirasi
- Apneustik : Henti nafas dalam waktu lama
Sumber : Buku Petunjuk Praktikum Fisiologi FK Unissula
Cheyne-Stokes : Periode pernafasan dalam yang diselingi dengan periode apnea, penyebab
biasanya gagal jantung.Pola dapat diprediksi
Biots : Iregularitas yang tidak dapat diramalkan.Kadang pernafasanya dapat dalam atau dangkal
dan berhenti sejenak, penyebab karena kerusakan pada medula oblongata atau depresi
pernapasan
Sumber : BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Riwayat Kesehatan

- Napas cuping hidung (+), retraksi subcostal, stridor (+), wheezing (+), fase
ekspirasi memanjang dan muka kebiru-biruan.
- Pada kedua kelopak mata terdapat angioedema dan urtikaria di seluruh tubuh.
Sumber :
 Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta : EGC.
 Baratawidjaya K G. Imunologi Dasar. 2006.Edisi ke 7. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
 Emergency medical treatment of anaphylactic reactions. Project Team of The
Resuscitation Council (UK). Resuscitation 1999;41(2):93-9.

5. Mengapa dikeluhkan adanya muntah dan nyeri abdomen ?

Hipersensitivitas tipe I, merupakan suatu reaksi tipe cepat (immediate immune reaction)

terhadap suatu antigen tertentu. Sel mast dan basopil sangat berperan pada reaksi tipe ini.
Setelah terekspose antigen, sel mast dan basopil melakukan proses degranulasi, kemudian
mengeluarkan substan tertentu yang akan memicu terjadinya inflamasi (Gambar 1A).
Antigen akan berinteraksi dengan molekul IgE yang terikat dengan afinitas tinggi dengan
suatu reseptor pada permukaan sel mast, disebut sebagai crystallizable reseptor (Fc). Hal
inilah yang akan memicu terjadinya degranulasi. Sel mast yang tergranulasi akan
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi diantaranya histamine, proteoglycans,
protease serine, dan leukotrine. Pelepasan mediator inflamasi secara cepat akan
bermanifestasi klinis berupa urtikaria, kemerahan, hay fever, dan angioedema (bengkak
pada bibir, kelopak mata, tenggorokan, dan lidah). Semua manifestasi tersebut sering
dikenal dengan istilah reaksi anaphilaksis atau alergi. Pada beberapa kasus, reaksi alergi
atau anaphilaksis ini, bermanifestasi berat, sehingga dapat menghalangi jalan nafas
(airway) atau menyebabkan terjadinya aritmia jantung.

Sumber :
 Baratawidjaya K G. Imunologi Dasar. 2006.Edisi ke 7. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
 Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas. Edisi
Kelima, ELSEVIER.
 Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

6. Bagaimana ABCDE dari reaksi anafilaktik ?


7. Bagaimana tanda tanda sesak nafas ?
8. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari sesak nafas?

Hal-hal yang bisa menyebabkan sesak napas antara lain :

1. Faktor psikis.
Keadaan emosi tertentu; menangis terisak-isak, tertawa terbahak-bahak, mengeluh
dengan menarik napas panjang dan merintih atau mengerang karena sesuatu penyakit.
Semua ini dapat mempengaruhi irama pernapasan. Perubahan emosi yang sering
menimbulkan keluhan sesak napas ialah rasa takut, kagum atau berteriak yang disertai rasa
gembira. Sesak napas yang disebabkan oleh foktor psikis seperti emosi, sering timbul pada
waktu istirahat, sedangkan sesak napas yang mempunyai latar belakang penyakit paru
obstruktif  menahun sering dijumpai pada waktu penderita melakukan aktifitas.

Sesak napas yang berhubungan dengan faktor emosi, terjadi melalui mekanisme
hiperventilasi. Dalam penelitian Dudley ditemukan bahwa pengaruh emosi seperti depresi,
kecemasan dapat menimbulkan sensasi sesak napas melalui mekanisme hiperventilasi.
Kedua mekanisme tersebut yang sama-sama dapat dipakai oleh faktor psikis dalam
menampilkan sensasi sesak napas, mungkin dapat dipergunakan sebagai suatu bukti bahwa
foktor emosi khusus berperan atau tidak. Kesukaran bernapas yang timbul, semata-mata
hanyalah merupakan reaksi somatik yang bersifat individu terhadap pengaruh emosi tadi.

2. Peningkatan kerja pernapasan.

2.1 Peningkatan ventilasi (Latihan jasmani, hiperkapnia, hipoksia, asidosis metabolik).

2.2    Sifat fisik yang berubah ( Tahanan elastis paru meningkat, tahanan elastis
dinding toraks meningkat, peningkatan tahanan bronkial).

Jika kemampuan mengembang dinding toraks atau paru menurun sedang tahanan
saluran napas meningkat, maka tenaga yang diperlukan oleh otot pernapasan guna
memberikan perubahan volume serta tenaga yang diperlukan kerja pernapasan akan
bertambah. Hal ini berakibat kebutuhan oksigen juga bertambah atau meningkat. Jika paru
tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen, akhirnya akan menimbulkan sesak napas.
Mekanisme sesak napas seperti yang dijelaskan tersebut sebenarnya berasal dari dua teori
yaitu pertama, teori kerja pernapasan dari Marshall yang menekankan pada peningkatan
energi jika kerja pernapasan bertambah dan selanjutnya menyebabkan sesak napas dan
kedua, teori oxygen cost of breathing yang dikemukakan oleh Harrison pada tahun 1950.
menurut Harrison, gangguan mekanik dari alat pernapasan yang disebabkan oleh beberapa
penyakit paru akan meningkatkan kerja otot pernapasan yang melebihi pemasokan energi
aliran darah dengan akibat terjadi penumpukan bahan-bahan metabolik. Bahan metabolik
merangsang reseptor sensoris yang terdapat di dalam otot dan akan menimbulkan sensasi
sesak napas.

3. Otot pernapasan yang abnormal.

            3.1 Penyakit otot ( Kelemahan otot, kelumpuhan otot, distrofi).

            3.2 Fungsi mekanis otot berkurang.


Kelainan otot pernapasan dapat berupa kelelahan, kelemahan dan kelumpuhan.monod
Scherrer melakukan penelitian pada otot diagfragma yang mengalami kelelahan. Simpulnya,
bahwa kelelahan yang terjadi dan berkembang pada otot tergantung dari jumlah energi yang
tersimpan di dalam otot serta kecepatan pemasokan energi, pemakaian otot yang tepat guna,
serta kecepatan kerja otot. Otot-otot yang lelah ini tidak mampu memenuhi kebutuhan
ventilasi dalam jangka panjang, akibatnya timbul sesak napas. Kelemahan dan kelumpuhan
seperti yang terjadi pada penyakit miastenia gravis, tirotoksikosis, poliomelitis dan sindroma
guillain barre dapat menyebabkan sesak napas.

Dahulu mekanisme yang dapat menimbulkan sesak napas ini diduga melalui hipoksia dan
hiperkapnia yang terjadi sebagai akibat dinding toraks dan paru tidak dapat mengenbang
maupun mengepis dengan baik. Hal ini disebabkan otot-otot diagfragma dan otot-otot
interkostalis mengalami kelemahan atau kelumpuhan. Tetapi penelitian Patterson dan kawan-
kawan (1962) menunjukkan bahwa sensasi sesak napas telah timbul pada  lebih dari 20 mmHg,
malahan Noble (1970) pada penderita poliomelitis yang memakai ventilator, sensasi sesak
napas tidak terjadi walaupun  telah dinaikkan dari 36 hingga 64 mmHg.

Percobaan yang dilakukan oleh Douglas & Haldane yang kemudian diulang dengan cara yang
sama oleh Godfrey & Cambell membuktikan bahwa perasaan tidak menyenangkan sewaktu
bernapas akan bertambah sesuai dengan lama menahan napas serta perubahan  dan  yang
terjadi. Dengan kata lain, hipoksia dan hiperkapnia ikut berperan dalam hal timbulnya sensasi
sesak napas. Jadi, rangsang terhadap kemoreseptor sentral maupun perifer akan meningkatkan
aktivitas eferen neuron medula. Aktivitas ini akan diteruskan ke pusat yang lebih tinggi sehingga
menimbulkan sensasi sesak napas. Karena itu mereka menyimpulkan bahwa perubahan
oksigenasi,  dan konsentrasi ion H sendiri tidak langsung menyebabkan sensasi sesak napas.

Semua penyebab sesak napas kembalinya adalah kepada lima hal antara lain :

1. Oksigenasi jaringan menurun.

2. Kebutuhan oksigen meningkat.

3. Kerja pernapasan meningkat.

4. Rangsangan pada sistem saraf pusat.

5. Penyakit neuromuskuler.

Oksigenasi Jaringan Menurun

Penyakit atau keadaan tertentu secara akut dapat menyebabkan kecepatan pengiriman oksigen
ke seluruh jaringan menurun. Penurunan oksigenasi jaringan ini akan meningkatkan sesak
napas. Karena transportasi oksigentergantung dari sirkulasi darah dan kadar hemoglobin, maka
beberapa keadaan seperti perdarahan, animea (hemolisis), perubahan hemoglobin
(sulfhemoglobin, methemoglobin, karboksihemoglobin) dapat menyebabkan sesak napas.

Penyakit perenkim paru yang menimbulkan intrapulmonal shunt, gangguan ventilasi juga
mengakibatkan sesak napas. Jadi, sesak napas dapat disebabkan penyakit-penyakit asma
bronkial, bronkitis dan kelompok penyakit pembulu darah paru seperti emboli, veskulitis dan
hipertensi pulmonal primer.

Kebutuhan Oksigen Meningkat

Penyakit atau keadaan yang sekonyong-konyong meningkat kebutuhan oksigen akan memberi
sensasi sesak napas. Misalnya, infeksi akut akan membutuhkan oksigen lebih banyak karena
peningkatan metabolisme. Peningkatan suhu tubuh karena bahan pirogen atau rangsang pada
saraf sentral yang menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan akhirnya menimbulkan
sesak napas. Begitupun dengan penyakit tirotoksikosis, basal metabolic rate meningkat
sehingga kebutuhan oksigen juga meningkat. Aktivitas jasmani juga membutuhkan oksigen yang
lebih banyak sehingga menimbulkan sesak napas.

Kerja Pernapasan Meningkat

Panyakit perenkim paru seperti pneumonia, sembab paru yang menyebabkan elastisitas paru
berkurang serta penyakit yang menyebabkan penyempitan saluran napas seperti asma bronkial,
bronkitis dan bronkiolitis dapat menyebabkan ventilasi paru menurun. Untuk mengimbangi
keadaan ini dan supaya kebutuhan oksigen juga tetap dapat dipenuhi, otot pernapasan dipaksa
bekerja lebih keras atau dengan perkataan lain kerja pernapasan ditingkatkan. Keadaan ini
menimbulkan metabolisme bertambah dan akhirnya metabolit-metabolit yang berada di dalam
aliran darah juga meningkat. Metabolit yang terdiri dari asam laktat dan asam piruvat ini akan
merangsang susunan saraf pusat. Kebutuhan oksigen yang meningkat pada obesitas juga
menyebabkan kerja pernapasan meningkat.

Rangsang Pada Sistem Saraf Pusat

Penyakit yang menyerang sistem saraf pusat dapat menimbulkan serangan sesak napas secara
tiba-tiba. Bagaimana terjadinya serangan ini, sampai sekarang belum jelas, seperti pada
meningitis, cerebrovascular accident dan lain-lain. Hiperventilasi idiopatik juga dijumpai,
walaupun mekanismenya belum jelas.

Penyakit Neuromuskuler

Cukup banyak penyakit yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan terutama
jika penyakit tadi mengenai diagfragma, seperti miastenia gravis dan amiotropik leteral
sklerosis. Mekanisme yang menyebabkan terjadinya sesak napas karena penyakit
neuromuskuler ini sampai sekarang belum jelas.

(Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009).
(Price, Sylvia Anderson dan Lorraine MW. Patofisiologi Vol 1. ed 6. Jakarta : EGC.
2005)

9. Mengapa pasien disposisikan dengan tungkai dielevasikan ?

Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki.
Tujuan posisi Tendelenburg :
a.       Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak pada pasien shock dan
pada pasien yang dipasang skintraksi pada kakinya.

Cara Pelaksanaan :
b.      Jelaskan pada klien mengenai prosedur yang akan dilakukan
c.       Pasien dalam keadaan berbaring terlentang. Letakkan bantal di antara kepala dan
ujung tempat tidur pasien, serta berikan bantal di bawah lipatan lutut.
d.      Pada bagian kaki tempat tidur, berikan balok penopang atau atur tempat tidur
secara khusus dengan meninggikan bagian kaki si pasien.
POSISI TRENDELENBURG
Friedrich Trendelenburg mempopulerkan posisi operasi dengan head down 45o
sekitar tahun 1870an dengan tujuan meningkatkan akses menuju pelvis
disebabkan isi abdomen akan bergeser ke arah cephal mengikuti gravitasi. Istilah
“ Trendelenburg ”sekarang ini mencakup setiap derajat head down, tanpa
memperhitungkan apakah pasien berbaring supine, lateral atau prone. Semua
posisi head down sekarang dikenal, meskipun , secara potensial berbahaya pada
penyakit jantung, paru, okular, dan penyakit susunan saraf pusat, dan secara
esensial tidak berguna untuk resusitasi volume vaskuler.

Fisiologi Posisi Trendelenburg


Walter Cannon menegaskan manfaat dari posisi Trendelenburg pada penanganan
syok pada awal tahun 1900-an. Kepercayaan itu menyatakan bahwa setiap posisi
head-down meningkatkan venous return dan memperbaiki aliran darah
serebral.

Komplikasi Posisi Head-Down

 Regurgutasi atau muntah, dan aspirasi isi lambung, merupakan penyebab


morbiditas dan mortalitas yang penting pada anestesi. Secara umum dapat
diterima bahwa sfingter bawah esofagus merupakan mekanisme proteksi
utama dalam pencegahan regurgitasi. Kecenderungan untuk mengalami
regurgitasi dilawan oleh barier tekanan antara esofagus bagian bawah dan
tekanan lambung. Efek head-down 15o dan 30o pada pasien sehat yang
berada di bawah pengaruh anestesi umum menunjukkan peningkatan
tekanan lambung dan esofagus bagian bawah sehingga barier tekanan
tidak mengalami perubahan yang berarti. Penggunaan posisi
Trendelenburg tidak menpredisposisi untuk terjadi regurgitasi
gastroesofageal. Meskipun demikian, pasien dengan riwayar refluks
gastroesofageal memiliki resiko tinggi untuk regurgitasi ketika diposisikan
Trendelenburg. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa babi dengan
tekanan sfingter esofagus bawah yang rendah sebelum induksi anestesi
mengalami regurgitasi jika diposisikan head-down dengan
pneumopeitoneum 15 mmHg.
 Trauma pleksus brakhialis ( tingkat insidens 0,16% ) dilaporkan terjadi
pada penggunaan penyanggah bahu ketika lengan pasien diekstensikan
90o. Peregangan atau kompresi bundle neurovaskuler retrolavikular
dipercaya bertanggungjawab terhadap terjadinya defist neurologis.
Sanggahan oleh kaki selama posisi head-down ditambah posisi litotomi
dibuat seadekuat mungkin untuk mencegah penekanan pada nervus
peroneal komunis.
 Jika posisi ini akan diakhiri, posisi ETT sebaiknya dikonfirmasi untuk
menghindari intubasi bronkhial yang disebabkan oleh pergeseran
mediastinum kearah cephal dan pergeseran carina. Resiko malposisi
trakea pada pasien pediatrik biasanya lebih tinggi karena jarak antara
korda vokalis dan carina lebih pendek. Bahkan fleksi dan ekstensi leher
sederhana dapat menyebabkan pergeseran ETT yang berarti, yang dapat
menuju ke intubasi bronkhial atau ekstubasi yang tidak disengaja.
 Peningkatan tekanan vena serebral dan tekanan intraokular dan
intrakranial dapat dipresipitasi oleh posisi Trendelenburg.

10. Bagaimana tanda dan gejala pasien yang mengalami syok ?

Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 190-2

11. Macam macam syok dan derajat syok?


12. Bagaimana derajat dari syok anafilaktik ?
13. DD dari skenario ?
Diagnosis
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1.      Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak
pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada
reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya
turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2.    Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda
obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3.    Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4.    Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau
sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-
tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5.    Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma.
6.    Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit
setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa
menyebabkan asma.Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak
berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7.    Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang
berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas
fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8.    Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu, terutama
di udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA.

Sumber :
 Circulation : Journal of The American Heart Association Part 10.6 :
Anaphylaxis;112;IV143-IV-145; originally published online Nov 28,
2005;Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR. ABC of Resuscitation 5th edition.
BMJ Publishing Group 2004. 2.
 Emergency medical treatment of anaphylactic reactions. Project Team of The
Resuscitation Council (UK). Resuscitation 1999;41(2):93-9. 3.
 World Allergy Organization: Guidelines for Assessment and Management of
Anaphylaxis. Estelle F, Gamal YM, etc. WAO Journal 2011; 4:13-37.

14. Bagaimana patofisiologi terjadinya reaksi anafilaktik?

PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi
dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan
fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap
oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B
berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik
untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan
basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi
pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed
mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang
akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu
setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu
terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas
mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin
memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot
polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik
menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan
bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun
anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.

Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis


 

Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik

 Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu
 reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan
alergen;
 reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen;
serta
 reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
 Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat.
 Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan
berat.
 Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa
sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai
dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
 Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
 Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan
gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan
yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.
Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal
napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
 Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu
atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata,
susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
 Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut,
gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing,
lemas dan sakit perut.
 Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
 Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners,  yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang
alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan
telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal
dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung
hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan
kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa,
jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum.
 Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin,
lembab/basah, dan diaphoresis.
 Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume
tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema
terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling
sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah
terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk,
hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
 Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi
koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat.
 Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-
tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia.
 pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine
(oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai
dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.
 Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos,
berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan
rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.
 Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi
trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
 gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal,
resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok
terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan
asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak,
disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

Sumber :
 Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura: Elsevier Saunders.
 Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
 Abbas, A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S., 2016, Imunologi Dasar Abbas. Edisi
Kelima, ELSEVIER.
 Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update
on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga
Surabaya.

15. Bagaimana farmakodinamik dari antibiotik shg menimbulkan reaksi anafilaktik ?


16. Pemeriksaan penunjang dari skenario?
17. Bagaimana tatacara pemasangan EKG dan monitoringnya ?

Rengganis I., Sundaru H., Sukmana N., Mahdi D. 2007. Renjatan Anafilaktik. Dalam: Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp: 190-2

18. Bagaimana tatalaksana dari farmakoterapi dan non farmakoterapi dari kasus di skenario ?
Penanganan syok anafilaktik 
I. Terapi medikamentosa 
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan
pengelolaannya.
1. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor
yaitu :
 Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat
terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.
 Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat
sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.
 Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP
sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.
Dosis dan cara pemberiannya.
 0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat
diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja
adrenalin cukup singkat.
 Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara
intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl
fisiologis diberikan perlahan-lahan.
 Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya
lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi
obat tidak terjadi.
2.Aminofilin
 Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan
pemberian adrenalin.
 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat
dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.


 Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada
tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators
yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik
mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau
prolonged effect.
 Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk
golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocortison
100 – 250 mg IV.
Obat obat yang dibutuhkan :
 Adrenalin

 Aminofilin

 Antihistamin

 Kortikosteroid

II. Terapi supportif


Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan
sebaiknya dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)
1. Pemberian Oksigen
 Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit
harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau
krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
2. Posisi Trendelenburg
 Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan
kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut
meningkat.
3.Pemasangan infus.
 Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah
maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan.
 Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi
volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau
NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus
sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.

4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)


 Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner
segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya.
 Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada,
maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat
emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit )
untuk memudahkan tindakan secepatnya.
Perangkat yang dibutuhkan :
 Oksigen

 Posisi Trendelenburg (kursi)

 Infus set dan cairannya

 Resusitation kit
Pencegahan
1. Kewaspadaan
 Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat
antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya
reaksi anfilaktik.
 Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-
penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat
yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya
mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.
2. Test kulit
 Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi
penderita yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko
tapi minimal kita dapat terlindung dari sanksi hukum.
 Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth test dengan
kewaspadaan dan persiapan yang prima.
3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .
 Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman,
selain itu hasilnyapun dapat diandalkan.
4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.
 Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan
beserta perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok
anafilaktik yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.
Sumber :
a. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care.
Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders
companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56
b. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill
New York-Toronto.pp 242-6
c. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on
Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.
d. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam.
Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.
e. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.
f. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.
g. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran
Anesthesiology 25: 2, 1964.
h. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British
Medical Journal June 1966.
i. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.
j. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia :
Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.
1. Reaksi Tipe I (reaksi hipersensitivitas cepat ) melibatkan imunoglobulin E (IgE) merilis
histamin dan mediator lain dari sel mast dan basofil.
2. Reaksi Tipe II (reaksi hipersensitivitas sitotoksik) melibatkan imunoglobulin G atau
immunoglobulin antibodi M terikat pada permukaan sel antigen dengan memfiksasi
komplemen berikutnya.
3. Reaksi Tipe III (reaksi kompleks imun) melibatkan sirkulasi kompleks imun antigen-
antibodi yang tersimpan dalam venula postcapillary dengan memfiksasi komplemen
berikutnya.
4. Reaksi Tipe IV (reaksi hipersensitivitas lambat) dimediasi oleh sel T.

Anda mungkin juga menyukai