Anda di halaman 1dari 16

Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

1. Apa saja model pengujian pada experiment farmakologi?

DEFINISI:
Bioassay (umum digunakan singkatan untuk uji biologis), atau standarisasi
biologis adalah jenis eksperimen ilmiah.
Bioassay biasanya dilakukan untuk mengukur dampak dari zat pada organisme
hidup dan sangat penting dalam pengembangan obat baru dan dalam
memantau polusi lingkungan. Keduanya prosedur dimana potensi atau sifat
suatu zat diperkirakan dengan mempelajari dampaknya pada materi hidup.
Bioassay adalah prosedur untuk penentuan konsentrasi konstitusi tertentu
campuran.
BIOASSSAY
PRINSIP BIOASSAY:
Prinsip aktif yang akan diuji harus menunjukkan respon pengukuran yang sama
pada semua spesies hewan
Tingkat respon farmakologis yang dihasilkan harus direproduksi dalam kondisi
yang sama [Misalnya Adrenaline menunjukkan kenaikan yang sama pada
tekanan darah dalam spesies yang sama di pengaruhi berdasar: berat, usia, jenis
kelamin, ketegangan dll]
Kegiatan diuji harus menjadi kegiatan yang menarik
Variasi individu harus diminimalkan
Bioassay mungkin mengukur aspek dif dari substansi yang sama dibandingkan
dengan uji kimia [Misalnya testosteron & metabolit

 adalah penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media kultur di
laboratorium; Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh
manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
 Murah dan cepat
 dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan
terkontrol, misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri
In vitro : primary  Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel
bioasssay eksperimental pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini
cenderung untuk memfokuskan pada organ , jaringan , sel , komponen
sel, protein , dan / atau biomolekul
 in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada
subjek hidup

uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau teranestesi).
In vivo : secondary Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas
harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat
bioassay
badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni
rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan
patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.

- Studi in silico adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk menemukan
In silico obat baru.
- Penemuan obat dengan skrining maya
- Diantaranya yaitu HKSA dan studi docking. Beberapa metode biasa
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

digunakan untuk simulasi docking, yaitu pengamatan visualisasi


berdasarkan interaksi ligand dan protein. Hal yang sering diamati
adalahbesarnya energi ikatan dan adanya ikatan hidrogen antara ligand dan
protein.
- Upaya telah dilakukan untuk membangun model komputer dari perilaku
selular . Sebagai contoh, pada tahun 2007 para peneliti mengembangkan
model silico tuberkulosis untuk membantu dalam penemuan obat , dengan
manfaat utama menjadi lebih cepat dari real time tingkat pertumbuhan
simulasi , memungkinkan fenomena yang menarik untuk diamati dalam
beberapa menit bukan bulan
- .

(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA), http://www.digilib.stikes-bth.ac.id ,
http://www.sciencedaily.com/releases/2007/06/070624135714.htm

2. Apa desain penelitian yg digunakan pada scenario dan desain penelitian lainnya
(eksperimen)?

Menurut Sugiyono (2011:73) terdapat beberapa bentuk desain eksperimen, yaitu:


(1) pre-experimental (nondesign), yang meliputi one-shot case studi, one group pretest- posttest,
intec-group comparison;
(2) true-experimental, meliputi posttest only control design, pretest-control group design;
(3) factorial experimental; dan
(4) Quasi experimental, meliputi time series design dan nonequivalent control group design.

1. Pre-experimental design
• Desain ini dikatakan sebagai pre-experimental design
karena belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh
karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh
terhadap terbentuknya variabel dependen. Rancangan ini
berguna untuk mendapatkan informasi awal terhadap
pertanyaan yang ada dalam penelitian. Bentuk Pre-
• Experimental Designs ini ada beberapa macam antara lain
:
a. One – Shoot Case Study (Studi Kasus Satu Tembakan)
• Dimana dalam desain penelitian ini terdapat suatu
kelompok diberi treatment (perlakuan) dan selanjutnya
diobservasi hasilnya (treatment adalah sebagai variabel
independen dan hasil adalah sebagai variabel dependen).
Dalam eksperimen ini subjek disajikan dengan beberapa
jenis perlakuan lalu diukur hasilnya.
b. One – Group Pretest-Posttest Design (Satu Kelompok
Prates-Postes)
• Kalau pada desain “a” tidak ada pretest, maka pada desain
ini terdapat pretest sebelum diberi perlakuan. Dengan
demikian hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat,
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum


diberi perlakuan.
c. Intact-Group Comparison
• Pada desain ini terdapat satu kelompok yang digunakan
untuk penelitian, tetapi dibagi dua yaitu; setengah
kelompok untuk eksperimen (yang diberi perlakuan) dan
setengah untuk kelompok kontrol (yang tidak diberi
perlakuan).

2. True Experimental Design


• Dikatakan true experimental (eksperimen yang
sebenarnya/betul-betul) karena dalam desain ini peneliti
dapat mengontrol semua variabel luar yang
mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian
validitas internal (kualitas pelaksanaan rancangan
penelitian) dapat menjadi tinggi. Ciri utama dari true
experimental adalah bahwa, sampel yang digunakan
untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol
diambil secara random (acak) dari populasi tertentu. Jadi
cirinya adalah adanya kelompok kontrol dan sampel yang
dipilih secara random. Desain true experimental terbagi
atas :

a. Posstest-Only Control Design


• Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang masing-
masing dipilih secara random (R). Kelompok pertama
diberi perlakuan (X) dan kelompok lain tidak. Kelompok
yang diberi perlakuan disebut kelompok eksperimen dan
kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelompok
kontrol.
b. Pretest-Posttest Control Group Design.
• Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih
secara acak/random, kemudian diberi pretest untuk
mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
c. The Solomon Four-Group Design.
• Dalam desain ini, dimana salah satu dari empat kelompok
dipilih secara random. Dua kelompok diberi pratest dan
dua kelompok tidak. Kemudian satu dari kelompok
pratest dan satu dari kelompok nonpratest diberi
perlakuan eksperimen, setelah itu keempat kelompok ini
diberi posttest.

3. Quasi Experimental Design


• Bentuk desain eksperimen ini merupakan pengembangan
dari true experimental design, yang sulit dilaksanakan.
Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak
dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-
variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen. Walaupun demikian, desain ini lebih baik
dari pre-experimental design. Quasi Experimental Design
digunakan karena pada kenyataannya sulit medapatkan
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

kelompok kontrol yang digunakan untuk penelitian.


Dalam suatu kegiatan administrasi atau manajemen
misalnya, sering tidak mungkin menggunakan sebagian
para karyawannya untuk eksperimen dan sebagian tidak.
Sebagian menggunakan prosedur kerja baru yang lain
tidak. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dalam
menentukan kelompok kontrol dalam penelitian, maka
dikembangkan desain Quasi Experimental. Desain
eksperimen model ini diantarnya sebagai berikut:

a. Time Series Design


• Dalam desain ini kelompok yang digunakan untuk
penelitian tidak dapat dipilih secara random. Sebelum
diberi perlakuan, kelompok diberi pretest sampai empat
kali dengan maksud untuk mengetahui kestabilan dan
kejelasan keadaan kelompok sebelum diberi perlakuan.
Bila hasil pretest selama empat kali ternyata nilainya
berbeda-beda, berarti kelompok tersebut keadaannya
labil, tidak menentu, dan tidak konsisten. Setelah
kestabilan keadaan kelompok dapay diketahui dengan
jelas, maka baru diberi treatment/perlakuan. Desain
penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok saja,
sehingga tidak memerlukan kelompok kontrol.
b. Nonequivalent Control Group Design
• Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control
group design, hanya pada desain ini kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara
random. Dalam desain ini, baik kelompok eksperimental
maupun kelompok kontrol dibandingkan, kendati
kelompok tersebut dipilih dan ditempatkan tanpa melalui
random. Dua kelompok yang ada diberi pretes, kemudian
diberikan perlakuan, dan terakhir diberikan postes.

c. Conterbalanced Design
• Desain ini semua kelompok menerima semua perlakuan,
hanya dalam urutan perlakuan yang berbeda-beda, dan
dilakukan secara random.
4. Factorial Design
• Desain Faktorial selalu melibatkan dua atau lebih variabel
bebas (sekurang-kurangnya satu yang dimanipulasi).
Desain faktorial secara mendasar menghasilkan ketelitian
desain true-eksperimental dan membolehkan penyelidikan
terhadap dua atau lebih variabel, secara individual dan
dalam interaksi satu sama lain. Tujuan dari desain ini
adalah untuk menentukan apakah efek suatu variabel
eksperimental dapat digeneralisasikan lewat semua level
dari suatu variabel kontrol atau apakah efek suatu variabel
eksperimen tersebut khusus untuk level khusus dari
variabel kontrol, selain itu juga dapat digunakan untuk
menunjukkan hubungan yang tidak dapat dilakukan oleh
desain eksperimental variabel tunggal.
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

• Sugiyono, Dr. 2010. Metode penelitian Kuantitatif Kualitatif dan


R&D, Penerbit Alfabeta
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

3. Apa perbedaan metode in vitro dan in vivo?

In vivo : In vitro :

 Terletak di dalam tubuh manusia   Terletak di dalam suatu system tetapi di


digunakan hewan utuh dan kondisi hidup luar tubuh manusia
 dilakukan mikroorganisme pada tidak
(baik sadar atau teranestesi) hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol,
 dalam lingkungan yang terkendali misalnya di dalam tabung reaksi atau
 Syarat hewan yg digunakan sangat cawan Petri.
banyak tgt jenis obatnya, missal yang  Jenis penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan pengaruh dari variabel
jelas harus dilakukan control terhadap
eksperimental dari bagian pokok suatu
galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat organisme. Memfokuskan pada organ ,
badan (mempengaruhi dosis) jaringan , sel , komponen sel, protein ,
o harus dilakukan pada minimal 2 dan / atau biomolekul
spesies yakni rodent/hewan  tingkat penyederhanaan sistem yang
diteliti lebih besar , sehingga peneliti
mengerat dan non rodent. dapat fokus pada sejumlah komponen.
Alasannya krn system fisiologi Sebagai contoh , identitas protein dari
dan patologi pada manusia sistem kekebalan tubuh (misalnya
antibodi)  mekanisme yang mengenali
merupakan perpaduan antara
dan mengikat antigen, mengidentifikasi
rodent dan non rodent. sel-sel dan gen yang memproduksi
mereka , mempelajari fisik sifat interaksi
mereka dengan antigen , dan
mengidentifikasi bagaimana interaksi
mereka menyebabkan sinyal seluler yang
mengaktifkan komponen lain dari sistem
kekebalantubuh

Vignais, Paulette M.; Pierre Vignais (2010). Discovering Life, Manufacturing Life: How the experimental
method shaped life sciences. Berlin: Springer. ISBN 90-481-3766-7

4. Apa saja contoh uji in vitro dan invivo?

Invivo invitro
- utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat  uji pada mikroba jika antibiotic;
galur Sprague Dowley/SD bukan Wistar atau jenis  pada sel kanker dari hewan utk obat anti
tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak kanker;
shg pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg  pada plasmodium utk obat anti malaria;
banyak.  pada jamur missal candida pada obat anti
keputihan/candidiasis;
- Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk  pada cacing utk obat cacing;
menilai nyeri ringan yakni dengan penyuntikan asam  pada virus utk obat antivirus;
asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika  pada bagian organ tertentu dari hewan
sasarannya nyeri tekanan digunakan tikus bias
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

Wistar atau SD, karena tikus akan dijepit ekornya contoh obat asma bronkodilator diuji pada
atau telapak jarinya dengan alat tertentu, sementara otot polos trachea marmot;
kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit  pada jantung hewan dalam chamber utk
atau tikus krn hewan akan diletakkan di hot plate.
obat angina dan aritmia; dll.

- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau


sapi yg pankreasnya banyak kemiripan dg manusia,
namun dengan tikus sudah cukup dengan adanya
keterbatasan subyek uji

- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung


merpati, krn bisa dirangsang utk muntah berkali-kali
sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya
muntah sekali.

- Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau


anjing teranestesi, krn system kardiovaskulernya
paling mirip dg manusia

- Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang


disuntik karagenan di bawah kulitnya shg melepuh
atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki
tikus sering dipotong utk menimbang udem yg
terbentuk

- utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci


utk diukur suhu duburnya setelah disuntik pyrogen

- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih


makan jus hati ayam (ayam makan ayam) krn
metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg
terjadi dg biokimiawi di keluarga burung.

- Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn


tubuhnya kuat dan tahan di dalam air, hewan diuji
dg berenang dan lari di treadmill.

- Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan


estrus/siap menerima pejantan.

- Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg


diimplan dg sel kanker, atau paru-paru tikus setelah
dipejankan benzo(a)pirena

Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi


ED50=dosis yang menghasilkan 50% efek
maksimum.

Vignais, Paulette M.; Pierre Vignais (2010). Discovering Life, Manufacturing Life: How the experimental
method shaped life sciences. Berlin: Springer. ISBN 90-481-3766-7
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

5. Apa kelebihan dan kekurangan dari in vivo dan in vitro?

INVIVO

KELEBIHAN KEKURANGAN

 kondisi pengujian sesuai dengan kondisi  Kebutuhan sample yang digunakan lebih
di dalam organisme, banyak
 hasil penelitian lebih bisa diterima  Mahal dan waktu lama
daripada yang invitro

INVITRO

KELEBIHAN KEKURANGAN

 bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari  percobaan biologi seluler dilakukan di


variabel eksperimental pada subset dari luar organisme atau sel ; karena kondisi
bagian pokok suatu organisme. cenderung pengujian mungkin tidak sesuai dengan
untuk memfokuskan pada organ, jaringan, kondisi di dalam organisme,
sel, komponen sel, protein, dan / atau  hasil yang tidak sesuai dengan situasi
biomolekul
yang muncul dalam organisme hidup.
 tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti
 hasil eksperimen tersebut sering
lebih besar, sehingga peneliti dapat fokus
bertentangan dengan in vivo.
pada sejumlah komponen.
 dapat memberikan hasil yang
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih
sedikit menyesatkan. Oleh karena itu, dalam
 Biaya Murah dan waktu cepat studi in vitro biasanya diikuti oleh studi
 Dalam penelitian in vitro yang lebih cocok vivo.
dibandingkan in vivo untuk menyimpulkan
tindakan mekanisme biologis. Dengan
variabel yang lebih sedikit dan perseptual
diperkuat menyebabkan reaksi halus, hasil
yang umumnya lebih jelas.

Vignais, Paulette M.; Pierre Vignais (2010). Discovering Life, Manufacturing Life: How the experimental
method shaped life sciences. Berlin: Springer. ISBN 90-481-3766-7

6. Bagaimana prosedur pengujian in vitro dan invivo?


Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

tahapan dari uji invivo

PRINSIP

Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis bertingkat menggunakan metode fixed doses
antara lain: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg (dosis dapat ditambah hingga 5000 mg/kg). Dosis awal dipilih berdasarkan uji
pendahuluan sebagai dosis yang dapat menimbulkan gejala toksisitas ringan tetapi tidak menimbulkan efek toksik
yang berat atau kematian. Prosedur ini dilanjutkan hingga mencapai dosis yang menimbulkan efek toksik atau
ditemukan tidak lebih dari 1 kematian, atau tidak tampak efek toksik hingga dosis yang tertinggi atau adanya
kematian pada dosis yang lebih rendah.

PROSEDUR

3.b.2.1. Penyiapan Hewan Uji

Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau
BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya digunakan tikus betina karena sedikit lebih sensitif dibandingkan tikus jantan.
Namun bila bahan uji (menurut literatur) secara toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

lebih sensitif, maka jenis kelamin jantan harus digunakan untuk uji. Secara prinsip jika hewan jantan digunakan maka
diperlukan alasan yang kuat. Hewan diseleksi secara acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-tiap hewan, dan
dilakukan aklimatisasi sekurang-kurangnya 5 hari sebelum diberi perlakuan.

3.b.2.2. Penyiapan Sediaan Uji

Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata, minyak nabati). Tergantung dari
formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan
suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka
karakteristik toksisitas cairan pembawa sudah harus diketahui.

3.b.2.3. Pemberian Sediaan uji dan Volume Pemberian

Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama 14-18 jam, namun air minum
boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan). Setelah dipuasakan, hewan
ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada
keadaan yang tidak memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat diberikan
beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam. Setelah diberikan perlakuan, pakan
boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa
kali, maka pakan boleh diberikan setelah perlakuan tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji tersebut.
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada rodensia, jumlah normalnya
tidak melampaui 1 mL/100 g berat badan, namun bila pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2 mL/100 g
berat badan. Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda),
akan tetapi jika bahan uji berupa cairan atau campuran cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan
(konsentrasi tetap).

3.b.2.4. Uji Pendahuluan

Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama. Dosis awal pada uji
pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg BB sebagai dosis yang diharapkan
dapat menimbulkan efek toksik (Lampiran 1, 2). Pemeriksaan menggunakan dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila
benar-benardiperlukan. Diperlukan informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari zat-zat
yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan struktur. Jika informasi tersebut tidak ada, maka dosis awalnya
ditentukan sebesar 300 mg/kg BB. Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam pada setiap dosis dan
semua hewan harus diamati sekurang-kurangnya selama 14 hari. Bila kematian terjadi pada dosis 5 mg/kg BB,
sehingga nilai cutt-of LD50 adalah 5mg/kg BB (masuk kategori 1 GHS) maka penelitian sudah harus dihentikan tanpa
perlu melakukan uji utama. Namun, jika diperlukan penegasan nilai LD50 maka prosedur tambahan dapat dilakukan
sbb: Pada hewan uji kedua diberikan dosis 5 mg/kg. Jika hewan kedua ini mati, maka kategori 1 GHS terkonfirmasi
dan percobaan dihentikan. Jika hewan ini hidup, maka pemberian bahan uji dosis 5 mg/kg BB secara berurutan
dilanjutkan kepada 3 hewan uji lainnya. Interval waktu pemberian antara satu hewan dengan hewan berikutnya
harus cukup agar dapat dilakukan penilaian apakah hewan tersebut akan tetap hidup atau tidak. Jika hewan ke-3
mati (jika dihitung dari awal merupakan kematian kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji dihentikan dan tidak
diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5. Berdasarkan Lampiran 2, maka bahan uji masuk kelompok A (kematian 2
atau lebih), dan berlaku klasifikasi pada dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau Kategori 2
jika hanya ada 1 kematian).

3.b.2.5. Uji Utama

Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian pada uji pendahuluan. Penentuan
dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada waktu terjadinya gejala toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis
selanjutnya sampai diketahui apakah hewan masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara umum terdapat
3 pilihan yang akan diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan uji
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

dengan dosis yang lebih rendah. Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan pada dosis awal dan
uji selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor hewan uji untuk tiap tahapan dosis uji.
Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1 ekor hewan dari uji pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval
waktu antara dosis uji ditentukan oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan pemberian bahan uji pada
tahap dosis berikutnya harus ditunda sampai diperoleh petunjuk bahwa hewan uji tersebut bertahan hidup.
Umumnya diperlukan interval waktu peralihan selama 3-4 hari, namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak
meragukan. Sehubungan dengan animal welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan
bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan kepentingan untuk melindungi manusia, hewan atau lingkungan.

3.b.2.6. Uji Batas

Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan pada uji utama hanya 1 ekor atau
tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis 2000 mg/kg, maka tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.

3.b.2.7. Pengamatan

Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama setelah pemberian sediaan uji,
dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam pertama dan sehari sekali setelah itu selama 14 hari. Namun durasi
pengamatan dapat bervariasi dan diperpanjang tergantung dari reaksi toksik dan waktu onset serta lama waktu
kesembuhan. Waktu timbul dan hilangnya gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda toksik
yang tertunda) harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap hewan.

Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas secara terus-menerus. Pengamatan
yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata, membran mukosa dan juga sistem pernafasan, sistem syaraf
otonom, sistem syaraf pusat, aktivitas somatomotor serta tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan pada
kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan koma. Hewan dalam kondisi sekarat dan hewan yang
menunjukkan gejala nyeri yang berat atau tampak menderita harus dikorbankan. Hewan uji yang dikorbankan atau
ditemukan mati, waktu kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus diamati dalam periode observasi adalah:

a. Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut

b. Berat Badan

Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan sediaan uji dan sekurang-kurangnya
seminggu setelahnya. Perubahan berat badan harus dianalisis. Pada akhir penelitian, hewan yang masih bertahan
hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan.

c. Pemeriksaan Patologi

Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus dinekropsi. Semua perubahan
gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji. Pemeriksaan mikroskopik dari organ yang menunjukkan adanya
perubahan secara gross patologi pada hewan yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah pemberian
dosis awal dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna.

3.b.2.8. Pengumpulan dan Analisis Data

Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk tabel yang menunjukkan
dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan gejala toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati
selama uji dan yang mati karena dikorbankan; waktu kematian masing-masing hewan; gambaran dampak toksik dan
waktu dampak toksik; waktu terjadinya reaksi kesembuhan; dan penemuan nekropsi.

(PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG
PEDOMAN UJI TOKSISITAS NONKLINIK SECARA IN VIVO, http://jdih.pom.go.id/showpdf.php?u=816)
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

7. Apa saja factor-faktor yg mempengaruhi penelitian in vitro dan invivo?

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan diantaranya:


1. Faktor internal
Meliputi variasi biologik, yaitu usia (berpengaruh pada dosis yang harus diberikan) dan jenis kelamin
(ada obat-obat yang lebih peka untuk jantan dan untuk betina). Kemudian ras dan sifat genetic,
faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap hewan yang akan di jadikan percobaan karena
akan memepengaruhi hasil dari percobaan disebabkan oleh pengaruh dosis dan cairan tubuh hewan
tersebut sehingga hasil dari pengamatan akan berbeda-beda, sehingga memepengaruhi efek
farmakologinya. Selain itu, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh serta luas permukaan tubuh
akan berpengaruh pada dosis yang harus diberikan.

2. Faktor eksternal
Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau
baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu,
kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), pemilihan keutuhan struktur
ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi
hasil percobaan, dan mempengaruhi efek farmakologinya, apabila hewan yang sudah biasa di beri
obat maka akan terlihat lebih rilex dan santai berbeda dengan hewan percobaan yang masih baru dan
masih asing makan akan lebih berontak dan agresif, sehingga kita membutuhkan penelitian dan
perawatan yang baik terhadap hewan percobaan sebelum melakukan percobaan.
Vignais, Paulette M.; Pierre Vignais (2010). Discovering Life, Manufacturing Life: How the experimental
method shaped life sciences. Berlin: Springer. ISBN 90-481-3766-7

8. Bagaimana menentukan metode uji pada penelitian in vivo dan in vitro

9. Apa saja yg harus dipertimbangkan dlm subjek uji dan parameter yg akan
diukur serta uji analisa nya?

Menggunakan hewan utuh


(Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping. Jakarta: Elex Media Komputindo)

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press)

Prosedur pengujian dapat dibagi menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan hewan uji, pemberian perlakuan,
pengamatan dan pelaporan.
1. Pemilihan Hewan Uji.
Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
a. species dan strain hewan yang akan digunakan,
b. usia,
c. jenis kelamin dan
d. jumlahnya.
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

 Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci. Untuk unggas digunakan
embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan teknik laboratorium yang ada sekarang dan reaksi dari
pemerhati hak binatang telah membuka kemungkinan penggunaan hanya organ, jaringan atau sel saja
menggantikan hewan uji (kultur organ atau kultur sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat
penting terutama dalam upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di Indonesa hewan
uji yang populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu tulisan ini selanjutnya akan
membicarakan pengujian dengan menggunakan hewan uji tersebut.
 Hewan betina yang digunakan adalah betina dara sedangkan untuk jantan dipilih pejantan yang sudah
terbukti baik fertilitasnya. Hewan dikawinkan di malam hari dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3
betina dalam satu kandang. Jika keesokan harinya ditemukan adanya sumbat vagina (vaginal plug) atau
adanya sperma di vagina yang dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, maka itu
pertanda perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan sebagai hari ke nol kebuntingan.
 Jumlah hewan uji yang digunakan paling tidak sebanyak 20 ekor betina bunting untuk tiap kelompok
perlakuan. Karena kelompok perlakuan biasanya terdiri atas paling tidak 3 taraf dan 1 kelompok kontrol,
maka jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah 80 ekor.
2. Pemberian Perlakuan.
 Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan sebaiknya tidak > 1000 mg/kg berat
badan per hari dengan pemberian per oral atau subkutan, sedangkan untuk agensia lain disesuaikan
dengan besaran paparan yang mungkin diterima dari lingkungan.
 Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka LD-50 dan 2 kelompok dosis berikutnya ditata dengan
interval sama di bawah dosis tertinggi tadi (misalnya LD-50, 2/3 LD-50, 1/3 LD-50, dan kontrol).
 Kelompok kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum digunakan adalah apabila agensia
dilarutkan dengan suatu pelarut maka kepada kelompok kontrol diberikan pelarut saja dengan cara
pemberian yang persis sama dengan cara pemberian pada kelompok perlakuan. Untuk kontrol positif
dapat dipilih agensia-agensia yang sudah dikenali memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip
adalah untuk menilai kepekaan strain yang digunakan.
 Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah pemberian per oral (pencekokan). Cara lain dapat
dipilih dengan pertimbangan khusus, seperti inhalasi, subkutan, intraperitoneal atau intramuskuler.
Pertimbangan utama dalam pemilihan cara-cara itu adalah kemiripannya dengan cara masuk agensia
toksis tadi ke dalam tubuh.
 Durasi perlakuan disesuaikan dengan tujuan pengujian. Untuk pengujian toksisitas perkembangan umum
perlakuan dapat diberikan selama masa kebuntingan. Dapat juga diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja
pada titik waktu spesifik jika yang akan diamati adalah efek suatu agensia terhadap perkembangan organ
tertentu.
 Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam beberapa hari saja, yaitu selama masa
organogenesis (hari ke 6 hingga hari ke 15).
3. Pengamatan.
 Meskipun pengujian ini disebut uji tokskologi perkembangan ruang lingkup pengamatan tidaklah terbatas
pada embrio yang sedang berkembang itu saja melainkan juga mencakup beberapa bagian pengamatan
terhadap induk.
 Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal khusus seperti adanya gejala
keracunan atau kematian dicatat. Berat badan ditimbang paling tidak sekali 3 hari. Data berat badan
selain sebagai petunjuk efek toksik terhadap induk juga digunakan untuk menentukan jumlah pemberian
perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan coba dipelihara dengan baik selama kebuntingan dan selanjutnya
dikurbankan 1 hari sebelum melahirkan (tikus hari ke-20/21; mencit hari ke-19). Betina tidak dibiarkan
sampai melahirkan karena jika itu terjadi ia akan memakan anak-anaknya yang cacat. Hewan uji dibedah
caesar dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai dari area bukaan genitalia hingga ke
leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka dan organ dalam tubuh diamati. Uterus diangkat dan
ditimbang bersama-sama dengan embrio di dalamnya. Selanjutnya uterus ditempatkan di dalam cairan
fisiologis, lalu dibelah dan embrionya dilepas.
 Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang berkembang penuh dan merespon sentuhan
dikategorikan fetus hidup; fetus yang berkembang penuh dan tidak ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak
merespon sentuhan dikategorikan fetus mati; implantasi yang menunjukkan adanya ciri-ciri fetus tetapi
mengalami autolisis digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada tingkat lanjut (late resorption);
implantasi yang tidak menunjukkan adanya karakteristik fetus digolongkan pada fetus yang mengalami
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

resorpsi dini (early resorption). Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah corpora lutea dihitung. Jumlah
corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah implantasi karena corpora lutea adalah petunjuk
folikel yang berovulasi dan berubah menjadi badan hormonal yang berperan dalam mempertahankan
kebuntingan. Kehilangan sebelum implantasi dapat dihitung berdasarkan selisih antara jumlah corpora
lutea dengan jumlah implantasi.
 Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral. Kelenjar timus diamati ukuran, warna
dan adanya tanda-tanda hemoragi. Pulmo diamati ukuran, warna dan jumlah lobusnya, demikian juga
hepar diamati ukuran, warna, tekstur dan jumlah lobusnya. Lambung dibuka dengan sayatan sepanjang
curvatura besar dan permukaan mukosalnya diamati. Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna dan kelainan
yang mungkin terlihat dari luar, dan selanjutnya dibelah untuk mengamati struktur internalnya. Tiap-tiap
kelainan dicatat dan sedapat mungkin didokumentasikan dengan fotografi dan jaringan yang mengalami
kelainan tersebut difiksasi dengan formalin atau larutan Bouin dan diproses melalui metode parafin
untuk pembuatan sediaan bagi pengamatan histologis.
 Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan. Penimbangan hendaknya dilakukan ketika
fetus masih segar (segera setelah uterus dibuka, sebelum fetus difiksasi). Pengamatan malformasi
dimulai dari daerah kepala. Pertama-tama diperhatikan bentuk dan ukuran kepala serta adanya tanda-
tanda gangguan penutupan (closure defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata (masih tertutup), 2
nares, 5 papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati ukuran, betuk dan adanya gangguan
perkembangan. Mulut dibuka untuk mengamati dan memastikan ada tidaknya celah di langit-langit
mulut (cleft palate). Kemudian aspek ventral dan dorsal tubuh diamati apakah ada closure defect, dan
dilanjutkan dengan pengamatan tungkai. Pada tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan arah
rotasi / fleksi bahu, siku, telapak dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5 depan dan 5 belakang)
dihitung dan adanya kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati
keberadaan, ukuran dan pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara bukaan anus
dengan genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak tersebut sangat dekat pada betina
dan jauh pada jantan). Selanjutnya kira-kira setengah bagian dari jumlah fetus yang diperoleh difiksasi
dengan alkohol 95 % dan setelah beberapa hari dieviserasi dan dikuliti. Fiksasi dipertahankan hingga 2
mnggu, kemudian fetus diwarnai dengan Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat
transparan dalam gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen tulang (merah)
dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan rangka meliputi adanya hambatan atau
percepatan penulangan, kelainan bentuk dan jumlah komponen rangka. Rangka diamati mulai dari
cranium, sternum, columna vertebralis, os pectoralis, os pelvis, tulang-tulang tungkai dan terutama
jemari. Jumlah komponen tulang telapak dan jemari yang telah mengalami penulangan dihitung.
Kelainan struktur komponen rangka yang sering teramati adalah hambatan osifikasi, penambahan atau
pengurangan jumlah costae, centrum vertebra berbentuk kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk,
fusi vertebra, tungkai pekuk dan lain-lain

Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi terhadap toksisitas akut dan
kemampuan karsinogenik, maka hewan yang paling sesuai untuk itu adalah mencit. Kekurangannya adalah
kesulitan memperoleh darah dalam jumlah yang cukup untuk rangkaian pemeriksaan hematologi.

Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat badannya dapat mencapai 500 gram
sehingga lebih mudah dipegang, dikendalikan atau dapt diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.

Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki :


berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek
dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodensia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan
lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus
ke dalam lambung sehingga mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan
tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian badan yang paling
penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak
ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang biasa digunakan sebagai hewan
percobaan yaitu (Malole dan Pramono 1989) :
- galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya,
- galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan
- galur Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh
bagian depan.

Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang
lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang
sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang
berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja 2005). Tikus putih galur ini mempunyai daya tahan
terhadap penyakit dan cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner 1983).

Anjing
Desy Kurniawati_LBM 3 OT 30101407162

Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji toksikologi. Umur paling baik dipakai
adalah 14-16 minggu, sementara dibutuhkan 4 minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-hewan lain, terutama dalam hal berat
badan dan postur tubuhnya yang menyerupai manusia. Postur seperti ini memungkinkan untuk mencatat
observasi penting terutama bila neurophaty perifer merupakan manifestasi toksik. Kerugiannya perlu banyak
hewan yang dibutuhkan untuk uji fertilitas karena produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press) dan
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4

Anda mungkin juga menyukai