Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT SESSION (CRS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218108

**Pembimbing

PERITONITIS DIFFUSE ET CAUSA

APPENDISITIS PERFORASI

Anisa Rifkia. ZS* dr. Amran Sinaga, Sp.B**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN BEDAH


RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

i
ii

LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION

PERITONITIS DIFFUSE ET CAUSA

APPENDISTIS PERFORASI

Oleh:

Anisa Rifkia. ZS

G1A218108

Telah Disetujui dan Dipresentasikan sebagai Salah Satu Tugas

Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Bedah

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

2019

Jambi, Juni 2019

Pembimbing,

dr. Amran Sinaga, Sp. B

ii
iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala limpahan kasih dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
Case Report Session ini dengan judul “Peritonistis Diffuse et causa Appendisitis
Perforasi”. Laporan ini merupakan bagian dari tugas Kepaniteraan Klinik Senior
di bagian Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi.

Terwujudnya laporan ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan dorongan
dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Amran Sinaga, Sp. B, selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan sehingga laporan Case Report Session ini dapat terselesaikan dengan baik
dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan Case
Report Session ini.

Penulis menyadari laporan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis. Sebagai
penutup semoga kiranya laporan Case Report Session ini dapat bermanfaat bagi
kita khususnya dan bagi dunia kesehatan pada umumnya.

Jambi, Juni 2019

Penulis

iii
iv

DAFTAR ISI

Halaman Judul......................................................................................................... i

Halaman Pengesahan.............................................................................................. ii

Kata Pengantar....................................................................................................... iii

Daftar Isi................................................................................................................ iv

BAB I Pendahuluan................................................................................................ 1

BAB II Laporan Kasus............................................................................................ 2

BAB III Tinjauan Pustaka..................................................................................... 13

BAB IV Analisa Kasus..........................................................................................40

BAB V Kesimpulan...............................................................................................42

Daftar Pustaka........................................................................................................43

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Peritonitis merupakan suatu kejadian mengancam nyawa yang umumnya


disertai adanya bacteremia dan sindrom sepsis.1 Peritonitis sendiri di definisikan
sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik local atau difus (generalisata)
dari lokasinya, akut atau kronik dari natural history, dan infectious atau aseptic
dari patogenesisnya. Peritonitis akut umumnya bersifat infectious dan
berhubungan dengan perforasi holoviskus (disebutsebagai peritonitis sekunder).1,2
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, ataudari luka tembus abdomen. Pada keadaan
normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-
faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.2,3

Tingkat mortalitasdari peritonitis yang terasosiasi dengan perforasi ulkus,


appendiks, dan diverticulum dibawah 10% pada pasien tanpa riwayat penyakit
penyerta, namun tingkat mortalitas sampai 40% dilaporkan pada pasien geriatrik,
pasien dengan riwayat penyakit penyerta, dan apabila peritonitis sudah
berlangsung lebih dari 48 jam.1

1
2

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. PA
Umur : 28 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Klapa Lima RT 2 RW 3.
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Masuk RS : 28 Mei 2019

2.2 ANAMNESIS
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak ±3 hari
yang lalu SMRS.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri di seluruh bagian perut sejak
±3 hari yang lalu SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus, memberat dengan
aktivitas dan tidak berkurang saat pasien beristirahat. ±10 hari SMRS pasien
mengatakan nyeri dirasakan di perut kanan bawah, dirasakan hilang timbul dan
seperti tertusuk-tusuk. ±15 hari SMRS pasien mengatakan adanya nyeri pada ulu
hati yang hilang timbul. Saat ini nyeri dirasakan di seluruh perut. Nyeri dirasakan
semakin berat dan terus-menerus nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Demam
(+), Mual (+), muntah (+), lemas (+), nafsu makan menurun (+), BAB (+) cair,
BAK (+) dalam batas normal, sakit kepala (+).
3

Riwayat penyakit dahulu:


- Riwayat keluhan seperti ini : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat Hipertensi : Disangkal
- Riwayat DM : Disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


- RiwayatHipertensi (-)
- Riwayat DM (-)

2.3 Pemeriksaan Fisik


TANDA VITAL
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, VAS = 6
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37,8 ºC

STATUS GENERALISATA
Kulit
Warna : Sawo matang Turgor : Baik
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : Dalam batas normal
Jar. Parut : (-)
Edema : (-)
Ikterus : (-)

Kelenjar
Pembesaran Kel. Submandibula : (-)
Jugularis Superior : (-)
4

Submental : (-)
Jugularis Interna : (-)

Kepala
Bentuk kepala : Normocephal
Ekspresi muka : Tampak sakit sedang
Simetris muka : Simetris
Rambut : Tampak hitamtumbuh merata
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan syaraf : (-)

Mata
Exophthalmus/endopthalmus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Conjungtiva anemis : (-/-)
Sklera Ikterik : (-/-)
Pupil : Isokor (+/+)
Lensa : Tidak keruh
Reflek cahaya : (+/+)
Gerakan bola mata : Baik kesegala arah

Hidung
Bentuk : Normal Selaput lendir : normal
Septum : Deviasi (-) Penumbatan : (-)
Sekret : (-) Perdarahan : (-)

Mulut
Bibir : Sianosis (-)
Gigi geligi : Dbn
Gusi : Berdarah (-)
Lidah : Tremor (-)
5

Leher
Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Tekanan vena jugularis : (2-5) cm H2O

Thorax
Bentuk : Simetris
 Paru-paru
 Inspeksi : Pernafasan simetris
 Palpasi : Fremitus taktil normal, nyeritekan (-), krepitasi (-)
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
 Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di ICS V linea
midclavicula sinistra
 Perkusi batas jantung
Kanan : ICS III Linea parasternalis dekstra
Kiri : ICS V Linea midklavikularis sinistra
Atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Pinggang jantung : ICS III Linea parasternalis sinistra
 Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
 Inspeksi :
Cembung, distensi abdomen (+), sikatrik (-), massa (-), bekas
operasi (-)
 Palpasi :
Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen (+), nyeri lepas (+),
defans muscular (+), hepar dan lien tidak teraba, Mcburney sign
(+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+), obturator sign (+).
6

 Perkusi :
Hipertimpani (+), nyeri ketuk (+) di seluruh lapangan abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+) menurun

Genetalia Eksterna
Dalam batas normal

Ekstremitas atas
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)
Extremitas bawah
Gerakan : Dbn Nyeri sendi : (-)
Akral : Hangat, CRT < 2 detik Edema : (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (28-3-2019)
WBC : 34 109/L (4-10)
RBC : 5,71 1012/L (3,50- 5,50)
HGB : 16,7 g/dl (11,0-16,0)
HCT : 50,6 % (35-50)
PLT : 342 109/L (100-300)
MCV : 88,7fL (88-99)
MCH : 29,2 pg (26-32)
MCHC : 330 g/dl (320-360)
GDS : 128 mg/dl (<200)
Kimia Darah (28-3-2019)
Ureum : 33 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 1,2 mg/dl L (0,9-1,3), P (0,6-1,1)
7

Elektrolit (28-3-2019)
Na : 133,81 mmol/L (135-148)
K : 3,98 mmol/L (3,5-5,3)
Cl : 97,39 mmol/L (98-110)
Ca : 1,22 mmol/L (1,19-1,23)

PemberiksaanRadiologi
8

2.5 Diagnosa Kerja


Peritonitis diffuse ec apppendisitis perforasi

2.6 Diagnosis Banding


- Gastroenteritis
- Ulkus peptikum perforasi
- Kehamilan ektopik

2.7 Penatalaksanaan
- Acc rawat
- Inj. Bioxon 2gr
- Inj. Omeprazole/12 jam
- Rencana operasi CITO, 29 Mei 2019
9

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad santionam : dubia ad bonam
10

TGl S O A P
28/5/19 nyeri perut KU: sakit Abdomen Peritonitis - IVFD RL 1 kolfcor
(+) mual (+), sedang I: distensi (+) - Inj. Metronidazole if/s
diffuse ec
muntah (+) A: BU (+) - Pro Laparotomy
demam (+) Kesadaran: P: NT(+) apppendisitis eksplorasi tgl 29/5/2019,
CM seluruh lapang hasil USG menunjukkan
perforasi
TD:150/90 perut, mc adanya appendisitis.
Nadi: 84 x/m burney(+)
RR: 24 x/m P: hipertimpani
Suhu: 37,8 ºC

29/5/19 Nyeri seluruh KU lemas Abdomen Peritonitis -IVFD RL 20 tpm


lapang perut. I: distensi (+) -Metronidazole 3x1 flash
diffuse ec
Demam (-), GCS : A: BU (+) -Inj. Bioxone 1x2 gr
mual (+), E4V5M6 P: NT(+) apppendisitis -Inj. Omz 2x1 gr
muntah (-). TD : 120/70 seluruh lapang -Pro laparotomy eksplorasi
perforasi
RR : 24x /m perut, mc -Puasa 2-3 hari.
N : 83 /m burney(+)
T : 36,5 oC P: hipertimpani

30/5/18 Nyeri pada KU : tampak - Hb: 10,8 Post op -IVFD RL 20 tpm


bekas kesakitan - Jml drain: 580 -Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
operasi. Post cc (merah) -Metronidazole 3x1 flash
op hari GCS : - Jml urin: 2800 pertama -Inj. Bioxone 1x2 gr
pertama. E4V5M6 cc (kuning -Inj. Omz 2x1 gr
a/iPeritonitis
Skala nyeri TD : 140/60 keruh) -Pronalges supp
3. RR : 20x /m diffuse ec -Inj. Ranitidin 2 amp
N : 80 x /m
apppendisitis -Os masih puasa
T : 36,5 oC
perforasi

31/5/18 Nyeri pada KU : tampak - Jml drain: 410 Post op -IVFD RL 20 tpm
bekas kesakitan cc (merah) -Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
operasi. Post GCS : Jml urin: 1600 -Metronidazole 3x1 flash
op hari E4V5M6 cc (kuning kedua -Inj. Bioxone 1x2 gr
kedua. Skala TD : 150/80 keruh) -Inj. Omz 2x1 gr
a/iPeritonitis
nyeri 3. RR : 20x /m -Pronalges supp
N : 86 x /m diffuseecapppen -Inj. Ranitidin 2 amp
T : 37⁰C
disitis perforasi

01/6/19 Distensi KU : Tampak - Hb: Post op - IVFD RL 20 tpm


abdomen (+). sakit sedang 7,5 gr - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
Post op GCS 15 - Jml drain: 320 - Inj. Pronalges supp
hariketiga. TD : 150/80 cc (merah) tiga a/i - Inj. Omz 2x1 gr
11

RR : 20x /m Jml urin: 2100 Peritonitis - Inj. Bioxone 1x2 gr


N : 86x /m cc (kuning - Transfuse darah 2 kolf
diffuseec
T : 37 oC keruh)
apppendisitis
perforasi

02/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Hb: 9 Post op -IVFD RL 20 tpm


(+), post op sakit dan gr -Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari keempat lemah, - Jml drain: 110 -Inj. Pronalges supp
GCS 15 cc (merah) ke empat a/i -Inj. Bioxone 1x2 gr
TD : 120/80 - Jm -Inj. Omz 2x1 gr
Peritonitis
RR : 20x /m lurin: 3700 cc -Transfuse darah 2 kolf
N : 80x /m (kuning) diffuse ec
T : 36 oC
apppendisitis
perforasi

03/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Jml drain: 160 Post op - IVFD RL 20 tpm
(+), post op sakit dan cc (merah) - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari lima lemah, Jmlurin: 5800 - Inj. Bioxone 1x2 gr
(skala nyeri GCS 15 cc (kuning) ke lima a/i - Inj. Omz 2x1 gr
4) TD : 130/90
Peritonitis
RR : 20x /m
N : 88x /m diffuse ec
T : 36,9 oC
apppendisitis
perforasi
04/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Hb: 10,3 gr Post op - IVFD RL 20 tpm
(+), post op sakit dan - Jml drain: 5 - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari keenam lemah, cc (merah) - Inj. Bioxone 1x2 gr
(skalanyeri GCS 15 - Jml urin: 4800 kelima a/i
3) TD : 130/80 cc (kuning)
Peritonitis
RR : 18x /m
N : 80x /m diffuse ec
T : 36,9⁰C
apppendisitis
perforasi
05/6/19 Nyeri perut KU: Tampak - Jml drain: 60 Post op - IVFD RL 20 tpm
(+), post op sakit dan cc (merah) - Aminofluid 15tpm
laparatomy hari
hari ketujuh lemah, - Jmlurin: 300 - Inj. Bioxone 1x2 gr
(skalanyeri GCS 15 cc (kuning) ke lima a/i
3) TD : 130/80
Peritonitis
RR : 18x /m
N : 80x /m diffuse ec
12

T : 36,9 oC apppendisitis
perforasi
06/6/19 Nyeri perut KU: Tampak Abdomen Post op - Aff drain, NGT
(+), post op sakit dan I: datar, supel - IVFD RL 15 tpm
laparatomy hari
hari ketujuh lemah, A: BU (+) - Opimer 3x1gr
(skala nyeri GCS 15 normal ke lima a/i
3) TD : 130/80 P: nyeri post
Peritonitis
RR : 18x /m op (+)
N : 80x /m P: timpani diffuse ec
T : 36,9⁰C
apppendisitis
perforasi
07/6/19 Nyeri perut KU: Tampak Abdomen Post op - Inj. Ketorolac drip
(+), post op sakit dan I: datar, supel - PCT tablet
laparatomy hari
hari ke lemah, A: BU (+)
delapan GCS 15 normal ke lima a/i - Pulang
(skalan yeri TD : 130/70 P: nyeri post
Peritonitis
3) RR : 20x /m op (+)
N : 80x /m P: timpani diffuse ec
T : 36 oC
apppendisitis
perforasi
13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Peritonitis
3.1.1 Definisi

Peritonitis didefinisikan sebagai adanya peradangan pada peritoneum baik


lokal atau difus (generalisata) dari lokasinya, akut atau kronik dari natural
history, dan infectious atau aseptik dari patogenesisnya.1

3.1.2. Klasifikasi
Peritonitis umumnya dikategorikan menjadi primary peritonitis (primer),
secondary peritonitis (sekunder) , dan tertiary peritonitis (tersier).1,2,3

1. Peritonitis primer merupakan peradangan pada peritoneum yang


penyebabnya berasal dari ekstraperitoneal dan umumnya dari
hematogenous dissemination.4
2. Peritonitis sekunder adalah peritonitis akibat hilangnya integritas dari
traktus gastrointestinal yang umumnya disebabkan perforasi traktus
gastrointestinal karena organ intra-abdomen yang terinfeksi.3,4
3. Adanya peritonitis persisten atau rekuren setelah penanganan yang adekuat
terhadap peritonitis primer atau sekunder dinamakan dengan istilah
peritonitis tersier.4

Pembahasan mengenai peritonitis seringkali tidak terlepas dari istilah yang


disebut sebagai intra-abdominal infections (IAI) dan abdominal sepsis.4 Intra-
abdominal infections dibagi menjadi dua bagian besar, antara lain
uncomplicated IAI yang didefinisikan sebagai proses infeksi hanya mengenai
organ tunggal (organ viscera) dan complicated IAI yang adalah proses infeksi
yang lebih lanjut, tidak hanya melibatkan organ tunggal tersebut dan
menyebabkan peradangan peritoneum lokal maupun difus,3 sedangkan
abdominal sepsis didefinisikan sebagai manifestasi sistemik (tanda sepsis)
akibat dari peradangan peritonitis yang berat.4
15

3.1.3. Anatomi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam


tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal yang melapisi bagian internal dari dinding
abdominopelvis dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ
abdomen.5,6 Hubungan peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra
abdomen dikelompokkan menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang
terlapisi seluruhnya dengan peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon
asendens, colon desendens, dan rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi
hanya sebagian peritonum. Peritoneum visceral yang membungkus atau
menunjang organ-organ bersama-sama dengan jaringan ikat disekitarnya
dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan istilah ligamen peritoneum,
omentum atau mesenterium.6 Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum
yang terjadi akibat invaginasi peritoneum karena suatu organ dan berfungsi
melekatkan organ tersebut dengan dinding posterior abdomen (mesenterium
dari usus halus dan transverse mesokolon).5,6 Ligamen peritoneum terdiri dari
dua lapis peritoneum yang menghubungkan organ satu dengan lainnya atau
dengan dinding abdomen (falciform ligament yang menghubungkan liver
dengan dinding abdomen anterior).5 Berbeda dengan ligamen peritoneum dan
mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum (karena
peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan
adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament,
gastrosplenic ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum
terdiri dari hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.5,6
16

Gambar 3.1. Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan


peritoneum parietal dan visceral6

Gambar 3.2. Ligamen peritoneum dan omentum5


17

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen
yang mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomenn, 6 sedangkan
peritoneum visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga
memberikan suplai saraf otonom pada organ visceral tersebut (Gambar 5).7
Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau
parietal. Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau
kimiawi pada reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri
umumnya terjadi di satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi
peritoneum parietal yang terstimulasi. Saraf somatis tersebut selain
menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga menghantarkan refleks
kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum. Refleks inilah
yang menyebabkan localizedhypercontractility (muscle guarding) dan perut
papan (rigidity of abdominal wall).6 Di sisi lain, iritasi dari peritoneum
visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan refleks otot yang serupa seperti
pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral peritoneum visceral
terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari tiga lokasi,
antara lain lokasi epigastrium (struktur foregut), periumbilikal (struktur
midgut), dan suprapubik (struktur hindgut).6,7
18

Gambar 3.3. Jalur medulla spinalis untuk sensasi visceral7

3.1.4. Mekanisme pertahanan peritoneum

Peritoneum terdiri dari selapis sel-sel mesothelium yang berdiri dibawah


membran basalis, dan sekumpulan jaringan ikat yang dibentuk dari sel
adiposa, makrofag, fibroblast, limfosit, dan jaringan ikat elastik kollagen. 4
Total luas permukaan peritoneum sekitar 1,7 m 2. Dalam kondisi normal,
peritoneum sifatnya steril dan berisi sekitar 50 mL cairan kekuningan yang
berisikan makrofag, sel mesotelium, dan limfosit. Membran peritoneum
memiliki sifat difusi semipermeabel untuk air dan zat-zat terlarut tertentu
sehingga terjadi difusi secara terus-menerus dari cairan peritoneum dengan
cairan interselullar. Tidak seperti cairan dan zat-zat terlarut lainnya, partikel
yang lebih besar dieliminasi lewat orifisum yang dibentuk oleh sel-sel
mesotelium terspesialisasi yang terletak di permukaan subdiafragma dalam
rongga peritoneum menuju sirkulasi limfatik. 4 Eliminasi ini difasilitasi oleh
pergerakan diafragman dan tekanan thorako-abdominal. Proses eliminasi ini
merupakan salah mekanisme pertahanan tubuh untuk menjaga peritoneum
tetap steril.
19

Mekanisme pertahanan peritoneum lainnya adalah adanya makrofag pada


rongga peritoneum.4 Pada fase inisial hanya makrofag yang berperan
terjadinya inflamasi, namun adanya rangsangan sitokin akan memanggil
neutrophil dalam 2-4 jam dan sel-sel PMN (Polymorphonuclear) tersebut akan
mendominasi dalam 48-72 jam pertama. Sel-sel PMN akan mengeluarkan
sitokin, antara lain interleukin (IL)-1, IL-6, TNF (tumor necrosis factor),
leukotriene, platelet activating factor, C3A, dan C5A yang akan membentuk
terjadinya inflamasi lokal pada daerah tersebut. Reaksi peradangan ini
mengakibatkan pembentukan fibrinogen pada fokus septik dan benang-benang
fibrin membentuk sebuah mesh yang secara temporer menurunkan dan menge-
blok reabsorpsi cairan dari rongga peritoneum serta menjerat bakteri dalam
sebuah “perangkap”.4 Mekanisme pertahanan inilah yang menyebabkan
pembentukan sebuah abses. Selain itu, omentum juga bermigrasi pada daerah
peradangan untuk memfasilitasi pembentukan abses lebih lanjut. Daerah yang
paling umum adalah daerah subphrenic.

Kedua mekanisme pertahanan ini (eliminasi mekanik dan pembentukan


eksudat) memiliki efek paradoks.4 Eliminasi mekanik pada mekanisme
pertahanan yang pertama sebenarnya menyebabkan bakteremia, dan apabila
masif dapat mengakibatkan shok septik dan berakhir dengan kematian.
Pembentukan eksudat dan reaksi peradangan yang kaya akan sel fagositik dan
opsonin dapat menyebabkan migrasi cairan dan protein pada “rongga ketiga”,
hal ini dapat mengakibatkan terjadinya hipovolemia dan shok karena albumin
berpindah pada rongga abdomen.

3.1.5. Etiologi
Sesuai dengan definisinya, peritonitis secara prinsip merupakan
peradangan yang terjadi pada peritoneum akibat adanya kerusakan pada
peritoneum. Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi
yang berbeda dalam patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi
terjadinya peritonitis tidak berasal dari traktus gastrointestinal (infeksi yang
nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan gangguan organ
20

gastrointestinal),3,8 sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan


integritas traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat
infeksi.3 Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum
yang steril terhadap mikroorganisme yang berasal dari traktus
gastrointestinal.8

3.1.6. Patofisiologi

Dalam keadaan fisiologis tidak ada hubungan langsung antara lumen


gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila terjadi kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti
appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum),
perforasi gallbladder, perforasi colon (sigmoid) karena diverticulitis, sampai
volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau
obturator).2 Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia
coli dan Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik
lainnya) masuk dalam rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder
secara tipikal bersifat polimikrobial (gram negatif aerob dan anaerob).

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang
bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga menimbulkan
obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus, atau generalisata.

Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya daya tahan tubuh yang
kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis
dengan omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir dapat
terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi
perlengketan organ-organ intra abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
21

usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada


keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh
darah. Proses inflamasi akut dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya
aktivasi saraf simpatis dan supresi dari peristalsis (ileus). Absorbsi cairan
dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya terdapat pada rongga
peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik
menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.8

3.1.7. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dibagi berdasarkan manifestasi lokal dan sistemik sesuai


patofisiologi terjadinya peritonitis. Pada manifestasi lokal ditemukan adanya
nyeri perut hebat, nyeri tekan seluruh lapang abdomen (pada peritonitis
umum), nyeritersebut konstan dan intens, dan diperburuk dengan
gerakan. Sebagian besar pasien berbaring diam, dengan lutut ditekuk dan
kepala diangkat; manuver ini mengurangi ketegangan dinding perut dan
mengurangi rasa sakit. rebound tenderness, adanya muscle guarding atau
rigidity (perut papan), dan manifestasi klinis akibat ileus paralitik (distensi
abdomen, penurunan bising usus).4

Anoreksia, mual, dan muntah adalah gejala yang sering. Namun demikian,


tergantung pada etiologi peritonitis dan waktu evolusi mereka, gejalanya dapat
bervariasi. Sebagian besar pasien terlihat dalam kondisi umum yang
buruk.Suhu biasanya di atas 38 ° Celcius, tetapi pasien yang memiliki syok
septik mungkin mengalami hipotermia.  sedangkan pada tanda klinis sistemik
dapat ditemukan adanya demam, takikardia, takipnea, dehidrasi, oliguria,
disorientasi, dan syok (manifestasi SIRS). Takikardia dan penurunan
amplitudo denyut nadi merupakan indikasi hipovolemia, dan mereka sering
terjadi pada sebagian besar pasien. Pasien datang dengan curah jantung tinggi
dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Mereka mungkin mengalami
peningkatan tekanan nadi.4
22

3.1.8. Diagnosis
Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik.2,4 Anamnesis harus mencari kemungkinan
sumber etiologi dari peritonitis sekunder sehingga harus ditanyakan mengenai
riwayat penyakit sekarang (riwayat dyspepsia kronis mengarahkan ke
perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel disease atau
divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis, riwayat
demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis khas
untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah
inguinal (inguinalis atau femoralis) harus disuspek kemungkinan adanya
strangulasi, sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit
apapun mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen
sebelumnya.2 Berbeda dengan peritonitis sekunder, peritonitis primer patut
dicurigai pada pasien-pasien dengan tanda klinis asites dan riwayat penyakit
liver kronis (terutama sirosis hepatis).4,8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan pasien sakit berat, dengan


temuan tanda-tanda SIRS (tanda sistemik), dan tanda-tanda lokal seperti
dijelaskan pada manifestasi klinis. Nyeri pada palpasi adalah tanda peritonitis
yang paling khas, baik untuk sentuhan yang dalam maupun superfisial. 
selanjutnya dinding otot mengalami kejang secara involunter dan terjadi
spasme. Suara usus mungkin ada atau tidak ada, dan mereka mungkin
menyerupai ileus awal. Peritonitis lokal menghasilkan rasa sakit yang
terlokalisasi terhadap organ penyebab terjadinya peritonitis. Perkusi perut
dapat membantu melokalkan tempat iritasi peritoneum maksimum secara
akurat dengan mencari point of maximal tenderness (daerah dimana terjadi
iritasi maksimal dari peritoneum) untuk menentukan lokasi proses patologis
awal (etiologi dari peritonitis).2,4

Pemeriksaan dubur, meskipun sangat diperlukan dalam pemeriksaan


fisik, jarang berorientasi pada asal peritonitis. Pada jam-jam pertama iritasi
23

peritoneum, rasa sakitnya mungkin hebat, tetapi sejauh waktu berlalu, rasa
sakit menjadi lebih berbahaya dan lebih sulit untuk dinilai.4

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah


lengkap dengan hitung jenis (ditemukan leukositosis>11.000sel/ml, dengan
shift to the left yaitu peningkatan sel batang PMN), jika pasien mengalami
leukopenia, hal ini menunjukkan sepsis menyeluruh dan dikaitkan dengan
prognosis yang buruk.4

. Kimia darah mungkin normal, tetapi pada kasus yang serius dapat
menunjukkan dehidrasi parah, seperti peningkatan nitrogen ureum darah
(BUN) dan hipernatremia.dan pemeriksaan ABG (arterial blood gas) dapat
menunjukan adanya asidosis metabolik, Asidosis metabolik membantu dalam
konfirmasi diagnosis. Urinalisis sangat diperlukan untuk menyingkirkan
infeksi saluran kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis.4

Selain pemeriksaan darah, pemeriksaan radiologis seperti x-ray dapat


berguna (free air under diaphragm yang terlihat pada posisi upright pada
perforasi ulkus peptikum,12 tetapi jarang pada etiologi lainnya). Pemeriksaan
CT-scan umumnya tidak diperlukan dan hanya akan menunda penanganan
pembedahan (apabila peritonitis dapat ditegakkan berdasarkan klinis).4

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) adalah metode yang dapat dipercaya


dan aman untuk diagnosis peritonitis umum, khususnya pada pasien yang
tidak memiliki tanda-tanda konklusif pada pemeriksaan fisik, yang memiliki
riwayat medis yang buruk, atau yang memiliki sedasi atau cedera otak, usia
lanjut, atau cedera sumsum tulang belakang. Pasien yang menggunakan
steroid atau pasien yang mengalami gangguan kekebalan mungkin atau
mungkin tidak memberikan hasil konklusif dalam DPL. DPL positif (lebih
besar dari 500 leukosit / mL) menunjukkan peritonitis.2,4
24

Gambar 3.4. Pneumoperitoneum (free air under diaphragm)1

3.1.9. Tatalaksana
Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad
spectrum, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram
atau ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor
(piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi
ginjal normal). 1 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada
pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBPatau SBP). Pasien peritonitis
primer umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian
antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu
(tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif). Hal yang perlu
diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70%
25

pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis


dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan
pada pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain ciprofloxacin 750
mg/minggu, norfloxacin 400mg/hari, atau trimethoprim-sulfamethoxazole.1

Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi


etiologi (source control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian
antibiotik sistemik, dan terapi suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan
peritonitis primer yang secara prinsip adalah tindakan non-pembedahan, sine
qua non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan pembedahan dan
bersifat life-saving.1 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and
definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder,
tetapi juga dapat mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga
abdomen.9 Keterlambatan dan tidak adekuatnya tindakan pembedahan dapat
memperburuk prognosis.

Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi


cairan (resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk
mencegah terjadinya syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah
disfungsi organ.2,12 Pemberian antibiotik mencakup bakteri gram positif dan
negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara umum perforasi upper GI tract
lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus distal dan colon
lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan
regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari
golongan penicillin/ β-lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram
intravena), atau golongan fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena),
atau sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan
metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang masuk Intensive Care
Unit dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem 3x
1gram intravena).Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris
dengan leukosit normal dan hitung jenis batang < 3%. 9 Resusitasi cairan dan
monitoring hemodinamik perlu untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain
26

mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila
dipasang central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).4 Tindakan lainnya,
meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan
distensi perut dan mual-muntah yang dominan. 9 Pada pasien penurunan
kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan
intubasi.

Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari


kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri,
dan mencegah sepsis.4,12 Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline
dengan tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit
tercapai.9 Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang
mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi
ulkus).4,9 Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara
sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari
(beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik). 9 Pembilasan
(peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat
dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial
load dan mengeluarkan pus(mencegah sepsis dan re-akumulasi dari
pus).Tidak direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau
agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali.
Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan
terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam. Apabila tidak
terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary
closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada
laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-
abdomen).4,9

3.1.10. Prognosis
Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah
10%-40% pada perforasi kolon (Tabel 1).11 Faktor yang mempengaruhi
tingkat mortalitias yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi
27

penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan


keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada
pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda,
kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks
fisiologis yang buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat
penyakit jantung, dan tingkat serum albumin preoperatif yang rendah
merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif
(ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.

Tabel 1. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi9

3.2. Appendisitis
3.2.1. Anatomi dan Fisiologi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
dan berpangkal di sekum. Lumennya menyempit di bagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Namun demikian pada bayi apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.6
Apendiks terletak di ileosekum dan merupakan pertemuan ketiga tinea
koli. Untuk mencarinya cukup dicari pertemuan 2 tinea tersebut. Didekatnya
28

terdapat valvula Bauhini. Apendiks juga dapat terbentang retrocaecal,


retroileal, dan pelvic. Apendiks menerima aliran darah dari cabang
apendikuler dari a.ileocoelica. Arteri ini berasal dari ileum terminalis superior
memasuki mesoapendiks dekat dasar apendiks. Cabang arteri kecil berjalan
melalui a. caecal. Sistem limfe apendiks berjalan menuju nodus limfatik yang
terbentang sepanjang ileocoelica.6
Persarafan apendiks berasal dari persarafan simpatis yang berasal dari
plexus mesenterikal superior (T10-L1), dan parasimpatis yang aferennya
berasal dari n.vagus. Meskipun fungsi apendiks sampai saat ini tidak jelas,
tetapi mukosa apendiks seperti mukosa lainnya mampu menghasilkan sekresi
cairan, musin, dan enzim proteolitik.10
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated
Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun karena jumlah kelenjar limfe disini sedikit sekali
jika dibandingkan jumlahnya di saluran cerna atau di seluruh tubuh.10

Gambar 3.5 Anatomi Abdomen


29

Ujung appendiks vermivormis mudah bergerak dan mungkin ditemukan


pada tempat-tempat dibawah ini :
a. Posisi pelvika : Ujung appendiks terletak agak kekaudal kedalam pelvis
berhadapan dengan dinding pelvis dekstra, pada kedudukan ini appendiks
mungkin melekat pada tuba atau ovarium kanan.
b. Posisi retrosekal : Appendiks terletak retroperitoneal dibelakang caecum,
appendiks pada letak ini tidak menimbulkan keluhan atau tanda yang
disebabkan oleh rangsangan peritoneum setempat.
c. Posisi subsekal : Appendiks terletak dibawak caecum.
d. Posisi Preileal : Berada didepan pars terminalis ileum
e. Posisi Postileal : Berada dibelakang pars terminalis ileum6

Gambar 3.6 LetakAppendisitis

3.2.2. Etiologi dan Epidemiologi11


Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Faktor-faktor yang dapat menjadi
pencetus apendisitis:
1. Obsruksi lumen apendiks : Obstruksi ini akan menyebabkan distensi pada
apendiks karena terkumpulnya cairan intraluminal. Obstruksi ini dapat
disebabkan oleh :
- Masuknya fekalit
- Kerusakan mukosa dan adanya tumor
- Terdapat bekuan darah
- Sumbatan oleh cacing ascaris
30

- Pengendapan barium di pemeriksaan x-ray sebelumnya.


2. Anatomi apendiks
1- Apendiks merupakan bagian dari sekum secara embriologis.
Karena itu ada hubungan mikroorganisme antar keduanya.
2- Sirkulasi dari cabang ileocoelica saja (satu arah) sehingga bila ada
bagian yang buntu maka begian yang terletak dibawahnya akan
mati.
3- Apendiks merupakan tabung yang ujungnya buntu pada satu
tempat dan satu tempat lagi ada valvula atau klep dan lumennya
relatif kecil, tapi memproduksi mucus. Kalau ada obstruksi →
mucus tetap diproduksi → Tekanan akan meningkat → pecah→
nekrosis.
4- Ras dan makanan. Lebih banyak pada orang barat, makan daging
→ kemungkinannya lebih besar.
3. Konstipasi dan pemakaian laksatif
Flora usus normal apatogen menjadi patogen.
4. Fokal infeksi dari tempat lain yang manjalar secara hematogen.

Insiden appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara


berkembang, namun dalam dekade tiga-empat dasawarsa terakhir menurun
secara bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Pria lebih banyak
daripada wanita, sedang bayi dan anak sampai berumur 2 tahun terdapat 1%
atau kurang.

3.2.3. Patofisiologi12
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
31

appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang


diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks
normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan
tekanan intalumen sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari
sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang
cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi
dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena
ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan appendiks supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-
48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi
32

proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 1 Proses
inflamasi lambat laun melibatkan serosa appendiks dan peritoneum parietale
pada regio tersebut sehingga nyeri dirasa berpindah ke kanan bawah. Pada
distensi yang hebat, daerah dengan suplai darah terburuk akan lebih menderita
sehingga akan terjadi infark. Distensi, invasi bakteri, kelainan vaksular dan
infark dapat menyebabkan terjadinya perforasi. Akan tetapi, proses tersebut
tidak selalu terjadi, pada beberapa kasus dapat sembuh spontan.

Infeksi di mukosa

Infeksi ke seluruh lapisan apendiks


(24-48 jam pertama)

Pertahanan tubuh baik Pertahanan tubuh


jelek

Omentum, usus halus, adneksa


bergerak menutupi appendiks

Apendisitis infiltrat Abses

Pertahanan tubuh baik Pertahanan tubuh jelek Nekrosis

Sembuh Peritonitis Perforasi


33

3.2.4. Diagnosis11
 Anamnesis

Gejala klasik dari appendisitis adalah nyeri samar-samar atau tumpul yang
merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan
sering disertai dengan mual muntah, penurunan nafsu makan. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah titik McBurney.

 Pemeriksaan Fisik

Tanda vital tidak berubah terlalu mencolok pada appendisitis. Kenaikan


suhu jarang lebih dari 1°C, tetapi perbedaan suhu rektal dan aksilar lebih dari
1°C, nadi normal atau naik sedikit. Perubahan tanda vital yang mencolok
menunjukkan terjadinya komplikasi atau diagnosa lain.
Pasien lebih memilih tidur terlentang atau miring ke kanan, dan
pergerakan sangat minim karena dapat mencetuskan nyeri. Kadang sudah
terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut kanan
bawah. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
appendikuler.
Pada palpasi didapatkan nyeri terbatas pada iliaka kanan, bisa disertai
nyeri lepas. Defence muscular menunjukan adanya tanda rangsangan
peritoneum parietal, hal ini berarti proses peradangan sudah mengenai
peritoneum. Palpasi dimulai dari kuadran kiri bawah yang dilanjutkan ke
kuadran kiri atas, kuadran kanan atau dan diakhiri dengan pemeriksaan
kuadran kanan bawah.
Beberapa test yang dapat dilakukan untuk pasien yang dicurigai
appendisitis, tetapi perlu diingat bahwa uji-uji tersebut tidak selalu positif
pada semua kasus karena seringkali tergantung dari letak appendiks.
34

a. Mc. Burney’s Sign


Dengan penekanan ujung jari pada regio iliaka kanan didapatkan nyeri tekan
positif, maksimum pada titik Mc. Burney.
b. Blumbeg’s Sign
Dengan menekan pelan-pelan sisi kiri abdomen kemudian dilepaskan secara
tiba-tiba, penderita merasa nyeri di daerah appendiks.
c. Rovsing’s Sign
Nyeri dijalarkan ke bagian kuadran kanan bawah sewaktu dilakukan
penekanan di daerah kuadran kiri bawah.
d. Tenhorn Sign
Pada penderita laki-laki bila testis ditarik pelan-pelan maka akan timbul nyeri
sebab testis ada hubungan dengan peritoneum.
e. Psoas Sign (untuk appendisitis retroperitoneal)
Bila appendiks berdekatan dengan M. psoas, gerakan M. psoas akan
menimbulkan nyeri. Tes dilakukan dengan rangsangan M. psoas lewat
hiperekstensi atau fleksi aktif.
f. Obturator Sign
Biasanya positif pada appendisistis dengan appendiks letak pelvika dilakukan
dengan cara penderita tidur terlentang, tungkai kanan difleksi ke atas,
pemeriksa mamutar sendi panggul ke dalam (endorotasi) untuk meregangkan
M. obturator internus, jika terasa nyeri daerah apendiks berarti positif.

Perkusi abdomen pada appendisitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada


peritonitis umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang.
Pada appendisitis retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang
kanan atau angulus kostovertebralis punggung.
Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik
dapat tidak ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
appendisitis perforata.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologi. Sistem skoring
35

digunakan untuk meningkatkan akurasi dari diagnostik appendicitis akut.


Sistem scoring yang banyak dilakukan adalah sistem Alvarado score dan
Ohman Score.Berikut ini adalah beberapa kriteria dalam Alvarado score untuk
menegakkan diagnosis Appendicitis:

Yang dinilai Skor


Gejala Nyeri fossa iliaca dextra 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1

Tanda Nyeri tekan iliaca dextra 2


Nyeri lepas iliaca dextra 1
Kenaikan suhu 1

Laboratorium Leukositosis 2
Neutrofil bergeser ke kiri 1

Interpretasi:
Skor 1-4 : Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
Skor 5-6 : Dipertimbangkan apendisitis akut, tapi tidak perlu operasi segera
Skor 7-8 : Dipertimbangkan mengalami apendistis akut
Skor 9-10 : Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan dibutuhkan
tindakan bedah

Berikut ini adalah beberapa kriteria dalam Ohman score untuk


menegakkan diagnosis Appendicitis:
Variabel yang dinilai Skor yang dinilai
Nyeri tekan kuadran kanan bawah 4.5
Nyeri lepas 2.5
Tidak ada kesulitan berkemih 2.0
Nyeri menetap 2.0
Leukosit > 10.000/mm3 1.5
Usia < 50 tahun 1.5
Relokasi nyeri ke kuadran kanan bawah 1.0
36

Ketegangan dinding abdomen 1.0


Skor total 16

Interpretasi:
Skor < 6 : Jarang appendicitis
Skor 6-11.5 : Kemungkinan appendicitis (Monitoring)
Skor > 11.5 : Appendisitis sangat sering

 Pemeriksaan Penunjang12
a. Laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut
terutama pada kasus dengan komplikasi. Leukositosis sedang (10000-
18000/mm3) dan disertai predominan polimorfonuklear sel yang terdapat
pada kasus apendisitis akut. Tetapi jika jumlah leukosit lebih dari 18000 /
mm, atau pergeseran ke kiri sangat mencolok, appendisitis perforasi atau
proses peradangan organ visceral yang lebih besar mungkin terjadi. Pada
appendikular infiltrat, LED akan meningkat.
2. Pemeriksaan urin
Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. Urinalisa ditemukan
BJ tinggi karena dehidrasi. Jika letak appendiks dekat vesika urinaria akan
ditemukan eritrosit dan leukosit dalam urinalisa.

b. Radiologis
1. Abdominal X-Ray
37

Digunakan untuk melihat adanya fekalit sebagai penyebab appendisitis.


Gambaran appendikolit pada foto polos abdomen, caecum yang distensi
merupakan kunci diagnosa appendisitis. Selainitu, dapatdilihattanda-tanda
peritonitis. Kebanyakan kasus appendisitis akut didiagnosa tanpa
memperlihatkan kelainan radiologi. Foto polos bisa memperlihatkan
densitas jaringan lunak dalam kuadran kanan bawah, bayangan psoas
kanan abnormal, gas dalam lumen appendiks dan ileus lebih menonjol.
Foto pada keadaan berbaring bermanfaat dalam mengevaluasi keadaan-
keadaan patologi yang meniru appendisitis akut. Contohnya udara bebas
intraperitoneum yang mendokumentasi perforasi berongga seperti duo
denum atau kolon. Kelainan berupa radio opaque, benda asing serta batas
udara cairan di dalam usus yang menunjukkan obstruksi usus. Sebaiknya
dilakukan BNO dalam 3 posisi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada
anak-anak.

2. Barium enema
Suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan
diagnosis banding. Enema barium mungkin membantu dalam diagnosa
appendisitis pada beberapa pasien, terutama pada anak-anak dimana
38

diagnosa berdasarkan pemeriksaan fisik tidak jelas dan operasi bisa sangat
merugikan. Pengisian penuh pada appendiks dan tidak terdapat perubahan
pada mukosa lumen appendiks bisa menyingkirkan kemungkinan
appendisitis. Tetapi jika terdapat tanda patognomonik appendisitis pada
barium enema seperti appendiks yang tidak terisi, adanya massa di medial
dan bawah lumen caecum yang mempengaruhi irregularitas lumen
appendiks maka diagnosa bisa ditegakkan.
3. Appendikogram
Untuk lihat apendisitis kronis.
4. USG abdomen
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses.
Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding
seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya

(Tampak atas) ultrasound pada bagian kanan bawah perut (tampak kiri,
noncompress/tidak ada kepadatan; tampak kanan, compresses/adanya
kepadatan) menunjukan dinding yang tebal, struktur noncompresibel
tubular (inflamasi apendiks) dengan bayangan apendikolith (tanda panah)
39

(Tampak bawah) gambar longitudinal ultrasound yang menunjukan


dinding yang tebal dari inflamasi apendiks dan apendikolith (tanda panah)
serta pengumpulan cairan periappendiceal.

5. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses. CT-
Scan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100%
dan 96-97%, serta akurasi 94-100%. CT-Scan sangat baik untuk
mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon.

Computed tomographic scan showing cross-section of inflamed


appendix (A) with appendicolith (a)6

3.2.5. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Pada appendicitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada
appendicitis gangrenosa atau appendicitis perforata.
Apendektomi bisa dilakukan seacra terbuka atau laparoskopi. Bila
apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah.
Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi
40

terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat dilakukan


bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera
menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.1

3.2.6. Komplikasi11
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami
perdindingan sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks,
sekum, dan lekuk usus halus.2
Komplikasi apendisitis akut diantaranya :
1- Apendisitis abses
2- Apendisitis perforata
3- Apendisitis kronis

3.2.7. Prognosis12
Prognosis untuk appendisitis adalah bonam. Angka kematian akibat
appendisitis di Amerika Serikat telah menurun dari 9,9 per 100.000 pada
tahun 1939 menjadi 0,2 per 100.000 pada tahun 1986. Hal ini disebabkan oleh
karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang baik, adanya antibiotik yang
baik, cairan intravena, tersedianya darah dan terapi yang tepat sebelum
terjadinya perforasi. Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka
kematian akibat appendisitis adalah umur pasien dan terjadinya perforasi.
Pada orang tua dengan komplikasi perforasi maka angka kematiannya menjadi
jauh lebih tinggi dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi.12
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan nyeri padaseluruh bagian perut. Setelah


dilakukan anamnesis lebih lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka pasien ini di diagnosis peritonitis et causa appendisitis perforasi.
Diagnosa itu sendiri bisa ditegakkan berdasarkan hasil temuan klinis yang
didapat pada anamnesis pasien, lalu temuan yang ditemukan pada pemeriksaan
fisik serta hasil lain yang mendukung dari pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis gejala yang didapatkan pada pasien ini adalah nyeri
pada seluruh lapang perut, nyeri terasa tertusuk-tusuk, terus-menerus dan pasien
mengeluhkan mual (+), muntah (+) perut terlihat kembung dan keras. Demam
(+),lemas (+), nafsu makan menurun (+), BAB cair, BAK (+), sakit kepala (+).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik status lokalis di region abdomen terlihat distensi
abdomen, ketika di palpasi terdapat nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) pada
seluruh bagian perut, defans muscular (+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+),
obturator sign (+), pada aukustasi bunyi bising usus menurun, saat di perkusi
terdapat suara hipertimpani di bagian perut, nyeri ketuk (+).

PemeriksaanPenunjang
Terjadi peningkatan dari WBC yaitu 34 109/L,pada pemeriksaan foto polos
menunjukkan tanda-tanda peritoneum.

Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini adalah peritonitis et causa appendisitis perforasi
42

Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah tindakan bedah. Pada penderita yang
diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi atau rontgen appendicogram dan CT
Scan abdomen dapat dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan.
Penangan pada pasien ini selama observasi yaitu dipasang NGT, kateter, rehidrasi
dengan Ringer Lactat dan pemberian antibiotik.

1. Pre Op
- IVFD RL 1 kolfcor
- Inj. Metronidazole if/s
- Pasang kateter dan NGT
- Ajukan USG Abdomen
2. Operasi
- Laparotomi eksplorasi
- Appendektomi
3. Post Op
- IVFD RL 20 tpm
- Aminofluid 15tpm
- Metronidazole 3x1 flash
- Inj. Bioxone 1x2 gr
- Inj. Omz 2x1 gr
- Pronalges supp
- Inj. Ranitidin 2 amp
BAB V

KESIMPULAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal
yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang
khas, yang merupakan gejala klasik appendisitis adalah nyeri samar (nyeri
tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikalis. Dalam
pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda peritonitis lokal pada titik McBurney,
dan rangsangan kontralateral; blumberg dan rovsing sign. Pemeriksaan lain yang
dapat mendukung diagnosis yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri tekan pada
rectal toucher. Upaya mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain
dengan menggunakan sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin,
CRP), foto polos abdomen, pemeriksaan barium-enema, USG, Rontgen
Appendicogram dan CT Scan abdomen. Diagnosis jugadapat dibantu dengan
skoring Alvarado, Ohmann, dan skoring appendisitis pada anak.
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendektomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic
appendectomy.
44

DAFTAR PUSTAKA
1. Silen W. Chapter 300. Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci
AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 18 edition. The McGraw Hill Companies. 2012
2. Daley BJ, Katz J. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Emedicine Medscape
2013. Accessed in: http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
3. Chris tanto, et al. KapitaSelektaKedokteran. Ed IV. Jakarta : Media
Aeskulapius; 2014
4. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient. Surg Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
5. Moore KL, Agur AMR. Chapter 2. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR.
Essential Clinical Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. 2007.
p. 118-204
6. Standring S. Chapter 64. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition.
Churchill Livingstone El Sevier. 2008.
7. Neurobiology of Visceral Pain. International Association for the Study of Pain
2012.
8. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on
Pathophysiology, Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis
1997;24:1035-47
9. Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
Accessed November 11, 2013.
10. Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar FisiologiKedokteran. Edisi 9.
Jakarta: EGC
11. Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2012. Buku Ajar IlmuBedahEdisi 3.
Jakarta: EGC: 2012.
12. Sabiston, et al. Sabiston texbook of surgery the biological basis of modern
surgical practice. Edisike 18; 2007.

Anda mungkin juga menyukai