Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

TONSILITIS KRONIK

Disusun oleh:
dr. CHYNTIA TIARA PUTRI

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD LUBUK BASUNG, AGAM
SUMATERA BARAT
2019/2020

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN..................................................................................2
Identifikasi..............................................................................................2
Anamnesis..............................................................................................2
Pemeriksaan Fisik..................................................................................3
Pemeriksaan Tambahan..........................................................................6
Diagnosis................................................................................................6
Prognosis................................................................................................6
Tatalaksana.............................................................................................6
Follow Up...............................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................8
Anatomi dan Fisiologi............................................................................8
Definisi..................................................................................................14
Epidemiologi ........................................................................................14
Etiologi..................................................................................................15
Patofisiologi..........................................................................................19
Diagnosis...............................................................................................19
Manifestasi klinis..................................................................................21
Tatalaksana............................................................................................23
Komplikasi............................................................................................29
Prognosis...............................................................................................30
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil merupakan salah satu pertahanan tubuh terdepan. Antigen yang


berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil
hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan di membran
mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika
daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan sebelumnya.1
Infeksi pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri yang disebut peradangan
lokal primer atau tonsilitis. Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman
kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan. Jika peradangan telah
ditatalaksana, kemungkinan tonsil kembali pulih seperti semula namun apabila
terjadi kegagalan terapi atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita
tonsilitis akut maka terjadi perubahan pada mikroflora tonsil sehingga struktur
pada kripta tonsil jadi berubah atau yang disebut dengan tonsilitis kronis.2,3
Menurut National Center of Health Statistics di United States prevalensi
penyakit tonsilitis pada anak yang berusia di bawah 18 tahun sebesar 24,9% dari
1000 orang anak. Di Indonesia, tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit
THT yang paling banyak dijumpai terutama pada anak, dengan prevalensi sebesar
3,8% setelah nasofaringitis akut sebesar 4,6%. Data morbiditas pada anak yang
menderita tonsilitis kronis menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) pada
umur 5-14 tahun menempati urutan kelima (10,5% laki-laki dan 13,7%
perempuan). Hasil pemeriksaan pada anak-anak dan dewasa menunjukan total
penyakit THT berjumlah 190-230 per 1000 penduduk dan di dapati 38,4%
diantaranya merupakan penderita penyakit tonsilitis kronis.2,3,4
Peradangan tonsil akan mengakibatkan pembesaran yang menyebabkan
kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok. Pada anak
biasanya keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur
karena pengaruh besarnya tonsil mengganggu pernafasan bahkan keluhan sesak
nafas juga dapat terjadi apabila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan.

1
Oleh karena itu, pentingnya dokter umum mengetahui dan mampu mentatalaksana
tonsilitis hingga tuntas.
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI
a. Nama : An. SA
b. Umur : 13 tahun
c. Alamat : Lubuk Basung
d. Suku : Minang
e. Bangsa : Indonesia
f. Agama : Islam
g. Pendidikan : SD
h. Pekerjaan : Pelajar
i. MRS : 10 Februari 2020 Pukul 13.30 WIB

II. ANAMNESIS
Keluhan utama
Nyeri saat menelan sejak ± 2 hari SMRS

Riwayat perjalanan penyakit


± 2 tahun yang lalu, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+). Nyeri
menelan dirasakan saat memakan makanan yang padat seperti nasi atau roti.
Pasien juga mengeluh adanya rasa mengganjal di tenggorokan (+), bau
mulut (+), mulut kering (+), gigi berlubang (+), ludah berlebihan (-), sulit
membuka mulut (-), suara menggumam (-), bengkak atau benjolan di rahang
bawah (-), batuk (+), pilek (-), nyeri telinga (-), nafsu makan menurun (+),
demam (+) tidak terlalu tinggi dan naik-turun, badan terasa lesu (-), nyeri
sendi (-). Pasien berobat ke dokter dan diberikan obat amoxicillin dan
paracetamol. Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh sering terbangun pada

2
malam hari, orang tua pasien mengeluh bahwa anaknya sering mendengkur
saat tidur.
± 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+). Nyeri
menelan dirasakan bahkan saat memakan makanan yang lunak seperti bubur
dan nyeri saat minum (+). Pasien juga mengeluh adanya rasa mengganjal di
tenggorokan (+), tenggorokkan kering (+), bau mulut (+), mulut kering (+),
gigi berlubang (+), ludah berlebihan (-), sulit membuka mulut (-), suara
menggumam (-), bengkak atau benjolan di rahang bawah (-), batuk (+) tidak
berdahak, pilek (-), hidung tersumbat (-), nyeri telinga (-), napsu makan
menurun (+), demam (-), badan terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Pasien
mengeluh sering terbangun pada malam hari, tidur lebih nyaman pada posisi
bantal tinggi, dan orang tua pasien mengeluh bahwa anaknya sering
mendengkur saat tidur. Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh keluhan ini
sering berulang dan pasien berobat ke dokter hanya diberikan obat yang
sama sehingga pasien disarankan untuk datang ke Poliklinik THT-KL
RSUD Lubuk Basung.

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat alergi (-), riwayat asma (-)

Riwayat penyakit keluarga


Riwayat penyakit yang sama (-), riwayat alergi (-), riwayat asma (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


1. Status interna
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 22 x/menit

3
Suhu Axila : 37,3 ⁰C

2. Status generalisata
Kepala : CA (-/-), SI (-/-)
Leher : pembesaran KGB (-), JVP 5-2 cm H2O

Thorax :
PARU
Inspeksi : Simetris kanan-kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi :Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler normal di kedua lapangan paru, ronkhi
(-/-), wheezing (-/-).
JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).

Abdomen : Soepel, Bising usus (+), Nyeri tekan (-)


Ekstremitas : oedem tidak ada, akral hangat.

4
3. Status Lokalis THT

Telinga Hidung Tenggorok

Pembengkakan: -/- Deformitas: - Palatum molle: Normal

Fistel auris kongen: -/- Hematoma: - Uvula: di tengah

CAE : Krepitasi: - Tonsil : T4 / T4, kripta


melebar (+/+)
Hiperemi: -/- Nyeri: -
Faring
Edema: -/- Rinoskopi anterior :
Edema: (+/+)
Membran timpani : Vestibulum
Hiperemi: (+/+)
Keadaan : Intak Edema: -/-
Granula: -
Warna:putih mutiara Sekret: -/-
Gb.
Massa: -/-

Kavum nasi :

Luas: luas/luas

Mukosa: licin

Hiperemi: -/-

5
IV. PEMERIKSAAN TAMBAHAN

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi

Hb 12,8 mg/dl 13-16 mg/dl

WBC 9700/ul 5000-10000 /ul

Ht 35% 35-45 %

Trombosit 287000 /ul 150000-450000/ul

V. Diagnosis kerja
Tonsilitis kronik

6
VI. Diagnosis banding
- Tonsilitis kronik
- Abses peritonsil

VII. Prognosis
Dubia ed bonam

VIII. Tatalaksana
- IVFD RL 8 jam/kolf
- Inj. Ceftriaxone 2x500 mg
- Pro tonsilektomi

IX. Follow up pasien di ruangan


Waktu S O A P

11 Dilakukan TD : 110/80 Tonsilitis - IVFD RL 8


Februari tonsilektomi mmHg Kronik jam/kolf
2020 HR : 84 x/i - Inj. Ceftriaxone
RR : 22 x/i 2x500 mg
Temp : 36,4⁰C - Paracetamol 3x1

12 Nyeri post TD : 110/70 Tonsilitis - IVFD RL 8


Februari op (+) mmHg Kronik jam/kolf
2020 HR : 80 x/i - Inj. Ceftriaxone
RR : 22 x/i 2x500 mg
Temp : 36,2⁰C - Paracetamol 3x1

13 Nyeri post TD : 120/70 Tonsilitis - IVFD RL 8


Februari op (+) mmHg Kronik jam/kolf
2020 sudah HR : 82 x/i - Paracetamol 3x1
berkurang
7
RR : 22 x/i - Pasien boleh
Temp : 36,4⁰C pulang

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila
faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil
sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1

8
Gambar 1. Cincin Waldeyer

Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral


rongga mulut. Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot
palatoglosus, dan dibelakang dari arkus faring posterior disusun oleh otot
palatofaringeus. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan
mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi.2

Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fossatonsilaris.


Tonsil berbentuk oval dengan ukuran dewasa panjang 20-25 mm, lebar 15-20 mm,
tebal 15 mm dan berat sekitar 1,5 gram. Jaringan limfoid yang berkembang pada
faring dengan baik dikenal dengan nama cincin Waldeyer yang merupakan
lingkaran berkesinambungan yang mengelilingi saluran pernapasan dan saluran
pencernaan bagian atas. 5

Bagian terpenting tonsil adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal /adenoid.
Unsur yang lain adalah tonsil lingual & gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-

9
kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller dan di bawah mukosa
dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius. Pembagian tonsil
terdiri atas: 5

a. Tonsil faringealis atau adenoid


b. Tonsil lingual atau tonsil pangkal lidah, epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
c. Tonsil palatina atau faucial, dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk.
d. Tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/ geriach’s tonsil).
Gambar 2. Anatomi Tonsil

Tonsil berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruhtubuh


dengan cara menahan kuman memasuki tubuh melalui mulut, hidung, dan
kerongkongan, oleh karena itu tidak jarang tonsil mengalami peradangan.

Perbatasan tonsil dibagi menjadi :


 Anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus
 Posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus
 Medial oleh ruang orofaring
 Superior oleh palatum mole
 Inferior oleh tonsil lingual

10
 Lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil
ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang
dikenal dengan kripta. 5
Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil. 5

Vaskularisasi Tonsil

Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu : 5

a. Postero inferiorA.PalatinaAsendens, cabang A. Fasialis


b. Antero inferior A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis
c. Antero media A.LingualisDorsalis, cabang A.MaksilarisInterna
d. Postero superior A.FaringealAsendens, cabang A.KarotisEksterna
e. Antero superior A.PalatinaDesendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor
dan Minor
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosusperikapsular ke V. Lingualis dan
pleksus venosusfaringeal, yang kemudian bermuara ke V. JugularisInterna.

11
Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum, menyilang bagian lateral kapsula dan
selanjutnya menembus dinding faring. 5

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil

Fisiologi Tonsil

Berdasarkan penelitian, ternyata tonsil mempunyai peranan penting dalam


fase-fase awal kehidupan, terhadap infeksi mukosa nasofaring dari udara
pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bagian bawah. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa parenkim tonsil mampu menghasilkan antibodi. Tonsil
memegang peranan dalam menghasilkan Ig-A, yang menyebabkan jaringan lokal
resisten terhadap organisme patogen. 5

Sewaktu baru lahir, tonsil secara histologis tidak mempunyai


centrumgerminativum, biasanya ukurannya kecil. Setelah antibodi dari ibu habis,
barulah mulai terjadi pembesaran tonsil dan adenoid, yang pada permulaan
kehidupan masa anak-anak dianggap normal dan dapat dipakai sebagai indeks
aktifitas sistem imun. Pada waktu pubertas atau sbelum masa pubertas, terjadi
kemunduran fungsi tonsil yang disertai proses involusi. 5

Terdapat dua mekanisme pertahanan, yaitu spesifik dan non spesifik

Mekanisme Pertahanan Non-Spesifik

Mekanisme pertahanan spesifik berupa lapisan mukosa tonsil dan


kemampuan limfoid untuk menghancurkan mikroorganisme. Pada beberapa
tempat lapisan mukosa ini sangat tipis, sehingga menjadi tempat yang lemah
dalam pertahanan dari masuknya kuman ke dalam jaringan tonsil. Jika kuman
dapat masuk ke dalam lapisan mukosa, maka kuman ini dapat ditangkap oleh sel
fagosit. Sebelumnya kuman akan mengalami opsonisasi sehingga menimbulkan
kepekaan bakteri terhadap fagosit. 5

Setelah terjadi proses opsonisasi maka sel fagosit akan bergerak


mengelilingi bakteri dan memakannya dengan cara memasukkannya dalam suatu

12
kantong yang disebut fagosom. Proses selanjutnya adalah digesti dan mematikan
bakteri. Mekanismenya belum diketahui pasti, tetapi diduga terjadi peningkatan
konsumsi oksigen yang diperlukan untuk pembentukan superoksidase yang akan
membentuk H2O2, yang bersifat bakterisidal. H2O2 yang terbentuk akan masuk ke
dalam fagosom atau berdifusi di sekitarnya, kemudian membunuh bakteri dengan
proses oksidasi. 5

Di dalam sel fagosit terdapat granula lisosom. Bila fagosit kontak dengan
bakteri maka membran lisosom akan mengalami ruptur dan enzim hidrolitiknya
mengalir dalam fagosom membentuk rongga digestif, yang selanjutnya akan
menghancurkan bakteri dengan proses digestif. 5

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Merupakan mekanisme pertahanan yang terpenting dalam pertahanan


tubuh terhadap udara pernafasan sebelum masuk ke dalam saluran nafas bawah.
Tonsil dapat memproduksi Ig-A yang akan menyebabkan resistensi jaringan lokal
terhadap organisme patogen. Disamping itu tonsil dan adenoid juga dapat
menghasilkan Ig-E yang berfungsi untuk mengikat sel basofil dan sel mastosit,
dimana sel-sel tersebut mengandung granula yang berisi mediator vasoaktif, yaitu
histamin. 4,5

Bila ada alergen maka alergen itu akan bereaksi dengan Ig-E, sehingga
permukaan sel membrannya akan terangsang dan terjadilah proses degranulasi.
Proses ini menyebabkan keluarnya histamin, sehingga timbul reaksi
hipersensitifitas tipe I, yaitu atopi, anafilaksis, urtikaria, dan angioedema. 4,5

Dengan teknik immunoperoksidase, dapat diketahui bahwa Ig-E dihasilkan


dari plasma sel, terutama dari epitel yang menutupi permukaan tonsil, adenoid,
dan kripta tonsil. Mekanisme kerja Ig-A adalah mencegah substansi masuk ke
dalam proses immunologi, sehingga dalam proses netralisasi dari infeksi virus, Ig-
A mencegah terjadinya penyakit autoimun. Oleh karena itu Ig-A merupakan barier
untuk mencegah reaksi imunologi serta untuk menghambat proses bakteriolisis.

13
Jaringan Limfoid Hipofaringtersebar di seluruh permukaan mukosa hipofaring
sebagai kumpulan massa yang kecil-kecil (folikel limfoid), dan tidak ada jaringan
limfoid spesifik pada daerah ini. Jaringan Limfoid Laring memegang peranan
yang sangat penting dalam klinik terutama hubungannya dengan proses
keganasan. 4,5

a. Daerah Glotik, terdiri dari serabut-serabut elastik, sehingga tidak memiliki


jaringan limfoid
b. Daerah Supraglotik, memiliki jaringan limfoid yang banyak terutama pada
plikaventrikularis. Aliran limfatiknya berawal dari insersi anterior
plikaarieloglotika dan berakhir sebagai pembuluh yang lebih kecil sepanjang
bundleneurovascularlaryng. Jaringan limfoid supraglotik ini bertanggung
jawab terhadap metastase karsinoma bilateral dan kontralateral.
c. Jaringan limfoid Infraglotik, tidak sebanyak di supraglotik tetapi dapat terjadi
invasi karsinoma bilateral dan kontralateral melalui jaringan limfoid pre dan
paratrakeal.
Seluruh jaringan limfoid daerah laring seluruhnya bermuara ke jaringan
limfoid servikal superior dan inferior dalam.

3.2. Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada
tonsila palatine yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan. Tonsilitis kronik timbul karena
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut
yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat.2,6

14
3.3. Epidemiologi
Tonsilitis akut dapat terjadi pada usia berapapun tetapi paling sering pada
anak usia di bawah 9 tahun. Pada bayi di bawah usia 3 tahun dengan tonsilitis
akut, 15% dari kasus yang ditemukan disebabkan oleh bakteri streptokokus,
sisanya itu biasanya virus. Pada anak-anak yang lebih tua, sampai dengan 50%
dari kasus disebabkan streptococus pyogenes. Tonsilitis akut juga dapat terjadi
pada laki-laki dan perempuan dengan jumlah insiden yang sama rata.1,2

Di Indonesia, tonsilitis kronis juga menjadi salah satu peyakit THT yang
paling banyak dijumpai terutama pada anak. Penelitian Sapitri tentang
karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi di RSUD
Raden Mattaher Jambi, dari 30 sampel didapatkan distribusi terbanyak usia 5-14
tahun (50%), jenis kelamin perempuan (56,7%) dan memiliki keluhan nyeri pada
tenggorok/sakit menelan (100%). 1,2

Menurut data dari RSUD Raden Mattaher Jambi diketahui jumlah penderita
tonsilitis kronis pada tahun 2010 berjumlah 978 dari 1365 jumlah kunjungan dan
pada tahun 2011 berjumlah 789 dari 1144 jumlah kunjungan, sedangkan tonsilitis
yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010 berjumlah 44 orang dan data
pada tahun 2011 berjumlah 58 orang. Ada peningkatan jumlah penderita tonsilitis
kronis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010-2011 di RSUD Raden
Mattaher Jambi. Berdasarkan data rekam medis tahun 2010 di RSUP dr. M.
Djamil Padang bagian Poliklinik THT-KL subbagian laring faring ditemukan
tonsilitis sebanyak 465 dari 1110 kunjungan.1,6

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan


penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis adalah
penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika Serikat mengalami
setidaknya satu episode tonsilitis. Pada penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit
Serawak di Malaysia diperoleh 657 data penderita Tonsilitis Kronis dan
didapatkan pada pria 342 (52%) dan wanita 315 (48%). Sebaliknya penelitian
yang dilakukan di Rumah Sakit Pravara di India dari 203 penderita Tonsilitis

15
Kronis, sebanyak 98 (48%) berjenis kelamin pria dan 105 (52%) berjenis kelamin
wanita.4

Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10
tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi
karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang
dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut
penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis
adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 %. Sedangkan Kisve pada
penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294
(62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.4

3.4. Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya
secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung
kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui
mulut masuk bersama makanan. Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh
serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen
pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis
jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A
(SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan
nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.2,7

Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan yang
khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab penting
dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada
remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan coxackievirus A,
yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang

16
menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil
secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut. 7

Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan


bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised

Tonsilitis Akut

a. Tonsilitisviral
Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-
luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Gejala
tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok.Pada kasus pasien diedukasi untuk beristirahat dan minum yang
cukup. Analgetika dan antivirus diberikan jika gejala berat.2
b. Tonsilitisbakterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus B
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, Streptokokus
viridan dan Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel
jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit
polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis
detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.2
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang luas disebut tonsilitis
folikularis. Bila bercak- bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur
maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar
sehinggaterbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang
menutupi tonsil. 2
Tonsilitis Membranosa

Penyakit yang termasuk dalam golongan tonsilitis membranosa ialah


a. Tonsilitis difteri

17
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Coryne bacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran napas bagian atas
yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin
dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai
pada tes Schick. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang
dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2 -5 tahun walaupun pada
orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.2
b. Tonsilitis septik (septic sore throat)
Penyebab dari tonsilitis septik ialah Streptokokus hemolitikus yang
terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. 2
c. Angina Plaut Vincent
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema yang
didapatkan pada penderita dengan higiene mulut yang kurang dan defisiensi
vitamin C. 2
d. Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa
dan arsen. Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta
di sekitar ulkus tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan
genitalia dan saluran cerna. 2
e. Infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral.
Membran semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul
perdarahan. Terdapat pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak dan
regioinguinal. Gambaran darah khas yaitu terdapat leukosit mononukleus
dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan serum pasien
untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (reaksi Paul Bunnel). 2

f. Proses spesifik luas dan tuberculosis

18
g. Penyakit kelainan darah (leukemia akut, anemia pernisiosa, neutropenia
maligna, infeksi mononucleosis)
h. Infeksi virus morbili, pertusis skarlatina.

Tonsilitis Kronik

Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang


menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang
kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif akibat proses radang
berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut
yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti
ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula. 2,4,7

Hipertrofi Adenoid
Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada
dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara
fisiologik adenoidini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan
mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi
saluran napas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibat dari
hipertrof ini akan timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba Eustachius. 2,4,7

Akibat sumbatan koana pasien akan bemapas melalui mulut sehingga terjadi
a. Fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen),
arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti
orang bodoh
b. Faringitis dan bronkitis

19
c. Gangguan ventilasi dan dreinase sinus paranasal sehingga menimbulkan
sinusitis kronik.
Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media akut berulang,
otitis media kronik dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik.
Akibat hipertrofi adenoid juga akan menimbulkan gangguan tidur, tidur
ngorok, retardasi mental dan pertumbuhan fisik berkurang.

3.5. Patofisiologi
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan
limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus
tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan
kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan
detritus disebut tonsillitis lakunaris, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakonaris. 2,4

Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu
(pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang
berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada
proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan
mengkerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi
oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlengkapan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini
disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula. 2,4

3.6. Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan
anamnesis secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara
menyeluruh untuk menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan
yang dapat membingungkan diagnosis. Pada anamnesis, penderita biasanya datang
dengan keluhan tonsillitis berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau
menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok,

20
napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan
saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-
gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada
anak dapat ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular. 2,4

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak


rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya
terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam
kategori tonsillitis kronik. Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya
menunjukkan beberapa organisme yang virulensinya relative rendah dan pada
kenyataannya jarang menunjukkan streptokokus beta hemolitikus.2

Pemeriksaan Penunjang

a. Inflammatory parameter
Pemeriksaan darah menunjukkan leukositosis, dan erhytrocyte
sedimentation rate (ESR) dan C-reactive protein (CRP) meningkat.
b. Pemeriksaan bakteri
Sebuah kultur bakteri jarang diambil dari apus tenggorok karena biasanya
membutuhkan 2-3 hari untuk mendapatkan hasil yang definitif, dimana waktu
pengobatan sudah harus dimulai. Itu sbaiknya dilakukan sebuah rapid
immunoassay, yang dapat mengidentifikasi organisme penyebab seperti

2
Streptococcus grup A hanya dalam waktu 10 menit.

c. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk menghilangkan
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
menghilangkan organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard
pemeriksaan lab pada tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan
swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap

21
flora bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman
terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus di ikuti
Staflokokus aureus.2,4
d. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil,
menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Abses dan infitrasi limfosit yang
difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya
dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.5

3.7. Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan
saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun
tidak mencolok. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada
yang mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang
berbau.

a. Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul
servikal
b. Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa
- Pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan
sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent.
- Tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam
dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan
diatasnya tampak eksudat yang purulent.2
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :10,18,19

22
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa

T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 4. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C)
Grade-III tonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

23
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinik, pemeriksaan
rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum mole pada
waktu fonasi, pemeriksaan rinoskop posterior (pada anak biasanya sulit),
pemeriksaan digital untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan radiologik
dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini lebih sering dilakukan
pada anak).

3.8. Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa
dan operatif.

a. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi
atau oral. Pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang
bermanfaat pada penderita tonsillitis kronis yaitu antibiotik golongan
penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar kasus karena
efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak dibawah 12 tahun,
golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap
streptococcus. Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat
alergi terhadap penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan
golongan makrolida lebih banyak. Jika penyebabnya adalah bakteri,
diberikan antibiotik per oral selama 10 hari. Jika anak mengalami kesulitan
menelan bisa diberikan dalam bentuk suntikan. 2,4
- Penisilin 500 mg 3 x sehari.
- Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg 3 x sehari atau amoksisilin 500
mg 3 x sehari yang diberikan selama 5 hari.
Dosis pada anak : eritromisin 40 mg/kgBB/ hari, amoksisilin 30 – 50
mg/kgBB/hari.2

Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 1 – 3 hari tidak


meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit. Antibiotik

24
hanya sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko demam
rematik. Bila suhu badan tinggi, penderita harus tirah baring dan dianjurkan
untuk banyak minum. Makanan lunak diberikan selama penderita masih
nyeri menelan. Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling
aman) lebih efektif daripada antibiotik dalam menghilangkan gejala. Nyeri
faring bahkan dapat diterapi dengan spray lidokain. Bila dicurigai adanya
tonsilitis difteri, penderita harus segera diberi serum anti difteri (ADS),
tetapi bila ada gejala sumbatan nafas, segera rujuk ke rumah sakit.4

Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan edukasi agar


menjauhi rangsangan yang dapat menimbulkan serangan tonsilitis akut,
misalnya rokok, minuman/makanan yang merangsang, higiene mulut yang
buruk, atau penggunaan obat kumur yang mengandung desinfektan.4

b. Operatif
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh
tonsil palatina dengan eksisi surgikal tonsil palatina untuk mencegah
tonsilitis rekuren. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis
dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi
minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari
operator dalam pelaksanaannya.2,7

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun


terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi
pada saat ini.Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik
dan berulang.Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil. Indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah
seperti berikut:7

a. Indikasi Absolut 7

- Tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal


- Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam

25
- Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
- Difteri career
- Upper Respiratory Obstruction and Swallowing disorders (OSAS)
- Kecurigaan pada keganasan

b. Indikasi Relatif 7

- Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
- Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
- Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
- Rhinitis kronis
- Infeksi saluran pernapasan atas yang berulang
- Otalgia yang berulang
- Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-
head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah:

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat


terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor
pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan

26
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus
beta hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Kontraindikasi Tonsilektomi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,


namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan
tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut
adalah:7

a. Gangguan perdarahan
b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
c. Anemia
d. Infeksi akut yang berat

Komplikasi Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan


anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya
merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar
1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat
perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi. 7

Komplikasi Tonsilektomi

Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma


akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada
keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih
banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut

27
seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih
berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan
kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit.
Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang
robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah
yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi.
Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan
tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila
masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna. Komplikasi
pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.7,8

Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat


berupa perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi.
Perdarahan segera atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan
yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup
berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas
menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan. perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah
dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan
minuman dingin.

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate


complication) dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula,
infeksi, komplikasi paru dan otalgia. Perdarahan sekunder adalah
perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada
hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta
trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas,
jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum
luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi

28
perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari
pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan
primer. Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat
kerusakan bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang
terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ
lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala
otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang
merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba
Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena
secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan
kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya
akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 7,8

Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di


palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan
rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit
umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 8

Persiapan Pasien Tonsilektomi

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus


disadari bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan
yang pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan
pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap
adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan
terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin
mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab
seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit,
pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain
itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui
tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin

29
meningkat pada minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu
ketiga sampai keenam setelah infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila
konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200 IU/ml. Selain itu
pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya dilakukan
sebelum pembedahan.2,7,8

3.9. Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Risiko penularan dapat diturunkan dengan
mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit
menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak
dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang
bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya
diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan
karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain.

3.10. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.1 Beberapa literature menyebutkan komplikasi
tonsillitis kronis antara lain:2,4,7

a. Abses peritonsil

30
Gambar 7. Abses Peritonsil

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan


sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-
otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada
penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang
bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan
melakukan aspirasi abses.

b. Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.2,7

c. Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai
nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika
diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.2,7
d. Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh
sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian
tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar
secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith

31
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau
foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan
palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.2,4
e. Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat
dengan mudah didrainasi.2,4
f. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya
mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang
merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan
kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit
Glomerulonefritis.4

3.10 Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan


pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu
yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi
pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi
sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.7,8

32
BAB IV

ANALISIS KASUS

An. SA, 13 tahun, perempuan datang ke poli THT-KL RSUD


Lubuk Basung dengan keluhan sejak ± 2 tahun yang lalu, pasien mengeluh
nyeri saat menelan (+). Nyeri menelan dirasakan saat memakan makanan
yang padat seperti nasi atau roti. Pasien juga mengeluh adanya rasa
mengganjal di tenggorokan (+), bau mulut (+), mulut kering (+), gigi

33
berlubang (+), ludah berlebihan (-), sulit membuka mulut (-), suara
menggumam (-), bengkak atau benjolan di rahang bawah (-), batuk (+),
pilek (-), nyeri telinga (-), nafsu makan menurun (+), demam (+) tidak
terlalu tinggi dan naik-turun, badan terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Pasien
berobat ke dokter dan diberikan obat amoxicillin dan paracetamol. Sejak 2
tahun SMRS pasien mengeluh sering terbangun pada malam hari, orang tua
pasien mengeluh bahwa anaknya sering mendengkur saat tidur.
± 2 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri saat menelan (+). Nyeri
menelan dirasakan bahkan saat memakan makanan yang lunak seperti bubur
dan nyeri saat minum (+). Pasien juga mengeluh adanya rasa mengganjal di
tenggorokan (+), tenggorokkan kering (+), bau mulut (+), mulut kering (+),
gigi berlubang (+), ludah berlebihan (-), sulit membuka mulut (-), suara
menggumam (-), bengkak atau benjolan di rahang bawah (-), batuk (+) tidak
berdahak, pilek (-), hidung tersumbat (-), nyeri telinga (-), napsu makan
menurun (+), demam (-), badan terasa lesu (-), nyeri sendi (-). Pasien
mengeluh sering terbangun pada malam hari, tidur lebih nyaman pada posisi
bantal tinggi, dan orang tua pasien mengeluh bahwa anaknya sering
mendengkur saat tidur. Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh keluhan ini
sering berulang dan pasien berobat ke dokter hanya diberikan obat yang
sama sehingga pasien disarankan untuk datang ke Poliklinik THT-KL
RSUD Lubuk Basung.
Hingga saat ini, keluhan sudah berulang, sehingga mengarah pada
infeksi kronis pada tonsil. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta
tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam
kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan
bakteri masuk ke parenkim tonsil. Parenkim tonsil yang normal jarang
ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa
ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang menetap dalam kripta
tonsil menjadi sumber infeksi berulang terhadap tonsil sehingga pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman dan kemudian tonsil
menjadi sarang kuman.

34
Saat dilakukan pemeriksaan terdapat tonsil palatina bilateral membesar
dengan ukuran T4-T4 dengan permukaan tidak rata, konsistensi kenyal, tidak
tampak detritus, kripta melebar, hiperemis dan oedem dan tidak tampak ulkus
pada tonsil kanan dan kiri. . Tidak terdapat hipersalivasi, trismus, hot chewing
potato, dan benjolan di rahang bawah sehingga kemungkinan abses peritonsil
dapat disingkirkan. Pemeriksaan fisik lainnya dari telinga, hidung, faring, dan
laring dalam batas normal.
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penegakan
diagnosis mengarah ke tonsilitis kronik, setelah melihat keadaan tonsil
terdapat tanda-tanda radang yaitu tonsil yang oedem, hiperemis, nyeri
tonsilitis kronis, dan kripta yang melebar. Untuk saat ini tidak dilakukan
pemeriksaan penunjang pada kasus, karena kemungkinan abses peritonsil
dapat disingkirkan. Sehingga pasien An. SA, 13 tahun datang dengan keluhan
nyeri menelan didiagnosis sebagai tonsilitis kronis.
Pasien direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi karena sudah terjadi
beberapa kali infeksi tonsil dengan terapi antibiotik yang adekuat dan halitosis
sehingga diambil terapi definitif berupa tonsilektomi agar keluhan tidak
berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fakhi, Ivan M, Novialdi dan Elmatris. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis


pada Anak di Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2016; 5(2):436-442.

35
2. Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Dalam: Iskandar N, Efiaty J, Jenny B, Ratna D,Editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. Hlm.195-203.
3. Skevas T, Christoph K, Serkan S, Peter K, Plinkert, Ingo B. Measuring
quality of life in adult patients with chronic tonsillitis. The Open
Otorhinolaryngology Journal.2010;(4):34-46.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
5. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik ed. 6. EGC : Jakarta.
6. Pengurus Pusat PERHATI-KL. 2015. Panduan Praktis Klinis Prosedur
Tindakan (Clinical Pathways) di Bidang Telinga Hidung Tenggorok – Kepala
Leher. Volume 1. Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung
Tenggorokan - Kepala Leher Indonesia 2013-2016
7. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In:
Current Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.
8. American Academy of Otolaryngology— Head and Neck Surgery 2011
Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children. Available from:
http://www. entnet.org/content/tonsillectomy-children American Academy Of
Otolaryngology – Head and Neck Surgery 2011. Tonsils and Adenoids.

36

Anda mungkin juga menyukai