Disusun Oleh :
Muhammad Farhan
ii
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan.......................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Tujuan..................................................................................................... 2
1.3 Manfaat................................................................................................... 2
BAB II : LAPORAN KASUS............................................................................ 3
BAB III : TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 9
3.1 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring......................................................... 9
3.2 Karsinoma Nasofaring............................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
per 100.000 penduduk, di Malaysia 9,1 per 100.000 penduduk dan di
Singapura 15 per 100.000 penduduk (Adham et al, 2012).
Diteksi dini pada kasus KNF, dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang, diharapkan dapat sesegera mungkin memberikan pengobatan
yang cepat, tepat dan efektif, sehingga dapat memperbaiki ketahanan
hidup akan kanker.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui,
mengerti dan memahami kasus Karsinoma Nasofaring.
1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini memiliki manfaat untuk mengetahui
dan memahami maupun sebagai sarana edukasi terkait penyakit
Karsinoma Nasofaring.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Tn.
2. Usia : tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Alamat :
6. Pekerjaan :
7. Suku : Jawa
8. No. RM :
Dextra Sinistra
Daun Telinga Normotia Normotia
Canalis auricularis Lapang, Lapang, hiperemis
hiperemis (-), (-), edema (-)
edema (-)
2. Hidung
Dextra Sinistra
Hidung luar Bentuk Bentuk (normal),
(normal), hiperemi (-), nyeri
hiperemis (-), tekan (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
deformitas (-)
Cavum nasi Normal, Normal, mukosa
mukosa pucat pucat (-), hiperemis
(-), hiperemis (-)
(-)
Discharge (-) (-)
Concha inferior Hipertrofi (-), Hipertrofi (-),
mukosa mukosa hiperemis
hiperemis (-) (-)
Meatus Nasi Mukosa Mukosa hiperemis,
Media hiperemis, sekret (-), massa
sekret (-), berwarna putih
massa mengkilat (-).
berwarna putih
mengkilat (-).
Septum nasi Deviasi (-), Deviasi (-),
perdarahan (-) perdarahan (-)
5
Nyeri pada daerah
Sinus (-) (-)
frontalis
Sinus (-) (-)
maksillaris
Sinus (-) (-)
sphenoidalis
Sinus
ethmoidalis (-) (-)
3. Mulut
a. Bibir : dalam batas normal
b. Ginggiva : dalam batas normal
c. Gigi : dalam batas normal
d. Lidah : dalam batas normal
e. KGB : ditemukan massa pada colli sinistra, dengan karakteristik:
Ukuran: sinistra: 4 x 3 x 1,5 cm
Batas: tegas
Mobilisasi: mobile
Permukaan: licin, tidak rata
Nyeri tekan: (-)
4. Tenggorokan
Dextra Sinistra
Tonsil T1 T1
Faring Hiperemis
Laring Tidak dievaluasi
Nasofaring Tidak dievaluasi
Lain-lain (-)
CT-Scan
Biopsi massa nasofaring hasilnya adalah massa nasofaring
malignant sesuai dengan undifferentiated carsinoma.
6
X. RESUME
Pasien datang ke RSUD Dr. Soeselo dengan keluhan nyeri kepala
sejak 1 bulan yang lalu, namun keluhan pasien semakin memberat sejak 2
minggu, keluhan sakit kepala dirasakan dibagian belakang kepala dan
terasa hilang timbul. Keluhan pasien disertai dengan adanya sakit pada
telinga kanan dan terasa penuh sejak 1 bulan. Pasien mengaku tidak ada
penurunan pendengaran. Pasien juga mengaku muncul benjolan pada
leher kiri yang muncul sejak ± 2 bulan lalu. benjolan awalnya berukuran
kecil namun lama kelamaan semakin membesar, namun benjolan ini
dikatakan tidak nyeri apabila diberikan penekanan disertai dengan nyeri
untuk menelan, hidung rasa tersumbat pada malam hari. Keluhan sering
mimisan, ingus bercampur darah disangkal. Riwayat penyakit dahulu dan
keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan THT, telinga kanan MT tampak bulging, hidung
dalam batas normal, tenggorok faring hiperemis, dan terdapat pembesaran
pada KGB servikal. Pemeriksaan penunjang biopsi menunjukkan hasil
adalah massa nasofaring malignant sesuai dengan undifferentiated
carsinoma.
XII. DIAGNOSIS
Karsinoma Nasofaring
XIII. TATALAKSANA
15 Juli 2019:
- Cefadroxil tab 500mg
- Paracetamol tab 500mg
- Metilprednisolon tab 4mg
- Cuci hidung NaCl 0,9% 500cc
24 Juli 2019:
7
- Operasi biopsi massa nasofaring
25 Juli 2019:
- Cefixim tab 250mg
- Paracetamol tab 500mg
5 Agustus 2019:
- Rujuk ke RSUP Dr. Kariadi untuk melaksanakan program
Kemoterapi, Radioterapi.
XIV. PLAN
- Istirahat
- Jika hasil Patologi Anatomi keluar segera untuk program terapi di
RSUP Dr. Kariadi untuk kemoterapi dan radioterapi.
XV. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
8
3.1 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang, dan lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus
sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan
palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah
inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius
terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka
inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu
penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius ( Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ
penting (Adams dalam Adams et al, 1997):
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah
kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan
limfoid yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian
kartilagi tuba eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti
penonjolan ibu jari ke dinding lateral nasofaring di atas perlekatan
palatum mole.
Koana posterior rongga hidung.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat
perluasan penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui
nervus glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen
hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah
sinus petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang
meningeal dari oksipital dan arteri faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya
dekat dengan bagian lateral atap nasofaring.
9
Gambar 1. Anatomi Nasofaring
10
Gambar 2. Nasofaring Potongan Mid-sagital
Nasofaring banyak memiliki jaringan aliran getah bening yang
berasal dari beberapa kelompok kelenjar getah bening (KGB) di
daerah kepala hingga leher, dimana metastasis yang terjadi melalui
sistem limfatik. Terdapat 7 level kelompok metastase menurut
Memorial Sloan Kettering Cancer Center, yaitu (Hendrik dan
Prabowo, 2017):
1. Level I, mencakup daerah segitiga bagian dasar mulut (submental)
dan sub mandibula. Dimana level 1 A dibatasi oleh m.
Submentalis, m. Digastrikus dextra et sinistra, dan os. Hyoid.
Sedangkan level 1 B dibatasi oleh daerah menyudut (angulus)
mandibula, m. Digastrikus, dan os. Hyoid. Dapat menjadi indikasi
dari beberapa kanker yang terjadi pada daerah sub mandibula,
sinus paranasal, dan rongga mulut.
2. Level II, mencakup daerah-daerah jugularis superior yang meluas
dari basis cranii hingga os. Hyoid. Dengan batas atas yaitu
processus transversus/vertebrae cervical 1. Batas bawah os. Hyoid.
Batas depan arteri carotis. Bagian belakang adalah tepi dari m.
Sternokleidomastoideus. Pada level ini dapat merupakan indikasi
dari kanker yang terjadi pada nasofaring, orofaring posterior, dan
sinus maxillaris.
3. Level III, mencakup daerah jugularis medialis dengan batas
atasnya adalah tepi bawah os. Hyoid hingga os. Cricoid. Bagian
11
depan, belakang dan sisi luarnya adalah m.
Sternokleidomastoideus. Dan bagian tengah adalah m. Longus
colli/capitis. Indikasi kanker pada daerah laring, hipofaring, dan
thyroid.
4. Level IV, mencakup daerah jugularis inferior dengan batas
bawah adalah os. Cricoid sampai 2 cm di atas sterno-clavicula
joint. Merupakan indikasi kanker pada daerah laring (subglotis),
thyroid, esofagus, dan infra clavicula
5. Level V, dengan batas atas adalah tepi atas os. Hyoid, bagian
bawahnya adalah cervicales transversus, bagian depan adalah
bagian tepi belakang m. Sternokleidomastoideus, dan bagian
belakangnya adalah bagian sisi depan m. Trapezius. Beberapa
kanker yang terjadi meliputi thyroid, esofagus, cervical, dan infra
clavicula.
6. Level VI, mencakup daerah tempat kelompok kompartemen
anterior dari os. Hyoid sampai supra sternal. Dengan batas sisi
luarnya adalah pembatas bagian tengah kelenjar ludah (sheath of
parotis). Merupakan indikasi dari kanker laring dan thyroid.
7. Level VII, mencakup daerah kelompok KGB inferior dan supra-
sternal notch, sampai rongga dada bagian atas (mediastinum
superior). Merupakan indikasi dari kanker pada daerah thyroid dan
esofagus.
d. Patogenesis
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi
laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua
tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV
memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor
virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein
15
CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian
yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B
dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara
itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada
dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel
epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin
Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat
menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila
terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi,
atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan
kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel yaitu interaksi
antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat
sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk
sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen
laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein
EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.
Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus.
Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam
transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas
368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6
segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino
pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi
perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat
respon imun lokal.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan
minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr,
16
predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan ada
peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara
umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan
dengan bukan perokok.
e. Patofisiologi
Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa
tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding
nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan
sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya
karsinoma nasofaring adalah pada fossa Rossenmuller. Penyebaran ke
jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan,
seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya
Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior
nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul.
Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius
sehingga akan menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan
cairan di telinga tengah. Di bagian posterior dinding nasofaring
melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah korpus os
sphenoid dan bagian basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan
mungkin timbul di tempat-tempat tersebut. Di supero-posterior torus
tubarius terdapat resesus faring atau fossa Rosenmuleri dan tepat di
ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.
Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang
masing-masing menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan
langsung melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fossa
cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan
kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar
selubung karotis/jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan
gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII.
17
Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama
mengalir ke lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause
(kelenjar Rouviere). Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening
diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu
Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan
berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai
benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri
karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di
bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi yaitu
Limfadenopati servikalis (Ballenger, 1997).
f. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2
macam berdasarkan metastasenya, yaitu (Averdi Roezin, 2001):
1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat
timbul di waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas
nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh;
epistaksis berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali
bercampur dengan lendir hidung sehinga berwarna merah
jambu; lendir hidung seperti nanah, encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii
oleh tumor, sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan
penurunan tekanan dalam kavum timpani), penurunan
pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di telinga sampai
otalgia.
2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor,
dapat berupa:
a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat
perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
18
menimbulkan gangguan N. IV (N. Trochlearis) dan N. VI
(N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan
menimbulkan kebutaan.
b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher,
merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara
limfogen dari karsinoma nasofaring.
c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan
mencapai saraf-saraf kranialis, antara lain:
- Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini
merupakan metastase secara hematogen.
- Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
- Sindrom Jugular Jackson atau sindrom
retroparotidean mengenai N.IX N.X N.XI (N.
Accessorius), N.XII (N. Hypoglossus). Dengan tanda-
tanda kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring atau
laring, M. Sternocleidomastoideus, M. Trapezius. Pada
sindrom ini akan terjadi keluhan trismus, afoni
dikarenakan paralisis pita suara, gangguan menelan,
dan kelumpuhan nervus simpatikus servicalis (Horner
Sindrom) (Yueniwati, 2016).
g. Pemeriksaan Fisik
Menurut panduan penatalaksanaan kanker nasofaring dari
kementerian kesehatan Indonesia pemeriksaan fisik yang dilakukan
menyangkut:
- Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
- Pemeriksaan nasofaring berupa rinoskopi posterior,
nasofaringoskop (fiber/rigit), dan laringoskopi
- Pemeriksaan nasoendoskopi.
Adapun kriteria Digby, dimana menggunakan skoring untuk setiap
gejala mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat
menentukan KNF.
19
-
Jika jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma
nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas
karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan,
selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan
subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan
prognosis.
h. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang (Hendrik dan Prabowo, 2017 ;
KEMENKES-RI ; Yueniwati, 2016):
1. Pemeriksaan Serologi
Dapat dilakukan sebagai tumor marker pada tempat-tempat
yang dicurigai berhubugan dengan terjadinya KNF. Pemeriksaan
tersebut antara lain pemeriksaan teknik-teknik insitu hibridisasi,
imunohistokimia, atau polymerase chain reaction, yakni pada
material yang diperoleh dari aspirasi jarum halus pada metastase
KGB leher
2. Pemeriksaan histopatologi (biopsi) Atau sering pula disebut
dengan pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan pada daerah
nasofaring.
3. Pemeriksaan Radiologi
20
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan
pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama
pemeriksaan radiologik tersebut adalah:
- Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan
adanya tumor pada daerah nasofaring
- Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
- Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya
- Menentukan ukuran tumor
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF dapat dilakukan
dengan mengambil foto polos atau CT-Scan.
Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto
polos pada umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar,
sedangkan bula kecil mungkin tidak terdeteksi. Perluasan
tumor yang terjadi pada submukosa, atau penyebaran yang
belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari
kemungkian tumor pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden,
2001)
- Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
- Posisi basis cranii atau submentoforteks
- Tomogram lateral daerah nasofaring
- Tomogram anteroposterior daerah nasofaring
21
Gambar 4. Foto Polos Nasofaring lateral
CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos
adalah kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada
daerah nasofaring. CT Scan mampu membedakan berbagai
densitas pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan
pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan
tumor ke jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran
intracranial (Wolden, 2001).
22
Gambar 5. CT-Scan Axial nasofaring normal
i. Stadium
Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma
nasofaring dibagi menjadi: (Adham, 2007)
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan
perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
23
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga
nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
j. Diagnosis Banding
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa,
pada anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang.
Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap
24
nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta
struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti
tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan
biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa
pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas
seperti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan
destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor.
Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang
sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini
kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat
diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang
sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung
pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenoidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang
dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu
pasien datang untuk pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral
sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara
C.T-Scan, pendesakan ruang para faring kearah medial dapat
membantu membedakan kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjarr parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang
terletak agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol
kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat
pendesakan ruang parafaring kearah medial yang tampak pada
pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
25
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang,
tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang,
maka sering timbul kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto
polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah
clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran
kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF
sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-
kadang menyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah
basis kranii. Gambaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu
sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan
menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.
k. Penatalaksanaan
1. Sinar Radiasi (radioterapi)
Merupakan gold standart dalam penatalaksanaan KNF. Pada
prinsipnya adalah pemberian sinar radiasi pegnion berenergi tinggi
untuk menghancurkan massa tumor primer berserta seluruh KGB
yang ikut terlibat, baitu bertujuan kuratif (stadium dini) pada aspek
T1-2 dan N1, maupun paliatif. Pada kasus N2 radioterapi tidak
memberikan respon maksimal, dan pada N3 pula, selain radioterapi
direkomendasikan diberikan kemoterapi ajuvant, maupun
kombinasi keduanya. Pemberian radioterapi pada KNF dapat
diberikan dengan teknik konvensional atau mutakhir, yaitu dengan
teknik konformal 3 dimensi atau teknik intensity modulated
radiotherapy (IMRT).
Pemberian radioterapi dengan teknik konvensional adalah
pemberian sinar radiasi pada daerah target (nasofaring).
Sedangkan radioterapi dengan menggunakan teknik mutakhir
26
adalah pemberian sinar radiasi yang meliputi gross tumor volume
(GTV) dan clinical target volume (CTV) pada daerah target.
Dimana perbedaan keduanya adalah toksisitas pada jaringan sehat
lebih rendah pada teknik mutakhir (Hendrik dan Prabowo, 2017).
2. Kemoterapi
Kementrian kesehatan menganjurkan kemoterapi adjuvan yaitu
cisplatin+radioterapi diikuti dengan cisplatin/5-FU atau
carboplatin/5-FU, dengan dosis preparat platinum based 30-40
mg/m2 sebanyak 6 kali setiap seminggu sekali (KEMENKES-RI)
3. Penatalaksanaan Nutrisi dan Rehabilitasi Medik
Nutrisi yang adekuat dibutuhkan oleh pasien yang mendapat
terapi kanker, dan suatu pengobatan suportif guna memaksimalkan
penggunaan obat- obat utamanya. Sedangkan rehabilitasi medik
bertujuan adalah antara lain pengontrolan nyeri, pengembalian dan
pemeliharaan gerak leher dan sekitarnya, pemeliharaan kebersihan
mulut, pengembalian fungsi menelan, mengembalikan kemampuan
mobilisasi dan lain sebagainya (KEMENKES-RI).
27
l. Prognosis
Prognosis pasien dengan KNF berbeda antara satu dengan yang lain.
Kebanyakan faktor prognosis bersifat genetik ataupun molekuler, klinik
(pemeriksaan fisik dan penunjang). Namun dapat disimpulkan dengan
kesintasan relatif 5 tahun, pada stadium I hingga IV yaitu sebesar 72%,
64%, 62% dan 38% (KEMENKES-RI).
DAFTAR PUSTAKA
28
5. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam:
Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
6. Ballenger J. Jacob. 1997. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
7. Chang ET., 2006. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. Diambil pada 12 September 2017:
Https//www.ncbi,nlm,nih,gov/pubmed/17035381
8. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam:
Evans P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and
Practice of Head and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz.
Hal. 473-81.
9. Hendrik., Prabowo, I., 2017. Kanker(carcinoma) Nasofaring. Surakarta:
UNS Press
10. KEMENKES-RI. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring. Jakarta
11. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal.
89- 92
12. Yueniwati, Y., 2016. Tumor Extension and Tumor Staging of
Nasopharyngeal Carcinoma. Proceeding Book: Indonesian Society of
Radiology, ASM XI. Kalimantan Timur.
29