Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan
peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian
pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut (Kurien M et Al, 2003).
Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis akut akan merubah
mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya infeksi
virus menjadi faktor predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis
kronis (Dias EP, 2009).
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari
seluruh radang tenggorok yang berulang. Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi
Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%).
Sedangkan pada penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April
sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronis atau
6,75% dari seluruh jumlah kunjungan (Undaya R, 1999 dalam Farokah,
2005). Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malaysia pada Poli THT
Rumah Sakit Sarawak selama 1 tahun dijumpai 8.118 pasien dalam jumlah
penderita penyakit tonsilitis kronis menempati urutan keempat yakni
sebanyak 657 (81%) penderita (Sing T, 2007).
Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan,
menghirup udara tetesan setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau
berbagi peralatan atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan
remaja berusia 5-15 tahun yang paling mungkin untuk mendapatkan
tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja (NHS, 2010).
Hanya sekitar 30 % dari tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang
tenggorokan dan hanya 10% dari tonsilitis pada orang dewasa disebabkan
oleh radang tenggorokan (Joseph Lauro, 2011).

1
Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5% pada laki-laki,
13,7% pada perempuan). Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak
yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka
pengetahuan yang memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna
penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan rasional.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Untuk memberi wawasan kepada penulis dan pembaca tentang
tonsilitis kronis hipertrofikan.
1.2.2 Untuk memenuhi salah satu tugas penulisan laporan kasus di SMF
Ilmu THT-KL.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An “A”
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 12 tahun
Alamat : Limbangan Losari Brebes, Jawa Tengah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum Kawin
No. RM : 17849066
Tanggal Pemeriksaan : 28 Desember 2017

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis diambil secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada
tanggal 28 Desember 2017 pukul 11.00 WIB di Poliklinik THT-KL RSUD
Waled.
2.2.1 Keluhan utama
Tenggorokan terasa mengganjal

2.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang diantar oleh keluarga ke poliklinik THT-KL
RSUD Waled dengan keluhan tenggorokan terasa mengganjal sejak 2
bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan rasa tidak nyaman saat
menelan. Rasa tidak nyaman saat menelan dirasakan hilang timbul
terutama saat pasien menelan makanan. Pasien juga mengeluh perasaan
tidak enak di tenggorokan. Terkadang keluhan disertai dengan demam,
batuk, dan hidung tersumbat. Ibu pasien mengatakan pasien mengorok

3
saat tidur. Pasien tidak mengeluh nyeri pada kedua telinga, tidak ada
kurang pendengaran dan tidak ada sakit kepala.

2.2.3 Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pengobatan


Pasien telah berobat ke puskesmas dan diberi obat. 2 minggu
SMRS, pasien pergi berobat ke dokter. Setelah diperiksa, pasien
diberitahukan bahwa amandelnya membesar dan disarankan untuk
dilakukan operasi pengangkatan amandel. Namun pasien belum mau
dioperasi dan lebih memilih untuk diberi pengobatan mengurangi
gejala. Seminggu yang lalu obatnya habis dan keluhan muncul lagi.

2.2.4 Riwayat penyakit keluarga dan Sosial


Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti ini.

2.2.5 Riwayat alergi


Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan
maupun obat-obatan.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


2.3.1 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat badan : 24 kg
Tinggi Badan : 125 cm
Status Gizi : Cukup

2.3.2 Tanda vital


Tekanan darah : Tidak dilakukan
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 36,5 °C

4
2.3.3 Status Lokalis
A. Pemeriksaan Telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
1. Preaurikula Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas Bentuk dan ukuran dalam batas
2. Aurikula normal, hematoma (-), tumor (-) normal, hematoma (-), tumor (-)
nyeri tarik aurikula (-) nyeri tarik aurikula (-)
Edema (-), hiperemis (-), nyeri Edema (-), hiperemis (-), nyeri
Retroaurikula tekan (-), sikatriks (-), fistula (-), tekan (-), sikatriks (-), fistula (-),
3.
fluktuasi (-) fluktuasi (-)
Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (+), hiperemis (-),
4. CAE furunkel (-), edema (-), otorhea furunkel (-), edema (-), otorhea
(-) (-)
Intak. Retraksi (-), bulging (-), Intak. Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+) perforasi (-), cone of light (+)
Membran
5.
timpani

B. Pemeriksaan Hidung (Rhinoskopi Anterior) Dan Sinus


Paranasal

No. Pemeriksaan hidung Dextra Sinistra


1. Hidung Bentuk normal Bentuk normal

5
2. Sekret Mukoserous Mukoserous
3. Mukosa konka media Hiperemis (-), hipertrofi (-) Hiperemis (-), hipertrofi(-)
4. Mukosa konka Hiperemis (-), hipertrofi (-) Hiperemis (-), hipertrofi(-)
5. Meatus media Hiperemis (-), hipertrofi (-) Hiperemis (-), hipertrofi(-)
6. Meatus inferior Hiperemis (-), hipertrofi (-) Hiperemis (-), hipertrofi(-)
7. Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
8. Massa (-) (-)

C. Pemeriksaan Mulut Dan Faring


No. Pemeriksaan Kelainannya
1. Bibir dan Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
2. Geligi Warna kuning gading, caries (-), gangren(-)
3. Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
4. Lidah Ulkus (-), pseudomembrane (-)
5. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-)
6. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
7. Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)
8. Tonsila palatine

Kanan Kiri
Ukuran T3 T3
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Permukaan Tidak rata Tidak rata
Kripte Melebar Melebar
Detritus (+) (+)
Peri Tonsil Abses (-) Abses (-)

6
Fossa Tonsillaris Hiperemis (-) Hiperemis (-)
dan Arkus
Faringeus

D. Pemeriksaan Leher
No. Pemeriksaan Kelainan
1. Inspeksi Tanda radang (-), edema (-), nodul (-)
Palpasi
a. Trakea Simetris ruang antar trakea, pergerakan saat menelan
2. tidak ada pergeseran
b. Kelenjar limfe Pembesaran KBG (-), nyeri tekan (-)
c. Kelenjar tiroid Nyeri tekan (-)

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium: Darah lengkap, bleeding time, cloting time.
b. ASTO
c. Radiologi

2.5. DIAGNOSIS BANDING


a. Tonsilitis kronis hipertrofikan
b. Tonsilofaringitis

2.6. DIAGNOSIS KERJA


Tonsilitis Kronis Hipertrofikan

2.7. RENCANA TERAPI


2.7.1 Farmakoterapi
a. Amoxicillin (sirup kering 250mg/5ml) selama 5-7 hari
b. Paracetamol sirup (120mg/5ml)
c. Obat kumur + desinfektan

7
2.7.2 Pembedahan
Tonsilektomi.

2.8. EDUKASI
2.8.1. Untuk sementara hindari makanan yang berminyak, manis,
pedas, dan lainnya yang dapat mengiritasi tenggorokan. Begitu
pula dengan minuman dingin.
2.8.2. Menjaga higiene mulut.
2.8.3. Datang kembali untuk kontrol setelah 5 hari, untuk
melihat perkembangan penyembuhan.
2.8.4. Sarankan keluarga untuk menjaga kesehatan pasien
dan mempertimbangkan untuk melakukan operasi pengangkatan
amandel atau tonsilektomi. Jelaskan indikasi, dan komplikasinya.

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Tonsil


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsil mulai berkembang di
awal bulan ketiga kehidupan janin. Mereka berasal dari lapisan endoderm,
kantong faring kedua, dan mesoderm membran faring kedua dan daerah yang
berdekatan dari lengkungan pertama dan kedua. Epitel dari kantong kedua
berkembang biak membentuk tunas endodermal padat, tumbuh menjadi
mesoderm yang mendasarinya; Kuncup ini menimbulkan stroma tonsillar.
Sel-sel pusat tunas kemudian mati dan mengelupas, mengubah kuncup padat
menjadi kripta tonsil yang berongga, yang disusupi oleh jaringan limfoid.
(Viswanatha, 2015)

Gambar 1. Anatomi Tonsil (Paulsen dan Washcke, 2013)


Terdapat tiga macam tonsil, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina dan tonsil lingual.
3.1.1 Tonsila Faringeal

9
Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa
limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan
yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur
seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya. Adenoid
bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus
eferennya menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis
semu bersilia yang merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam
hidung dan mukosa sekitar nasofaring. Adenoid mendapat suplai darah
dari A.Karotis Interna dan sebagian kecil cabang palatina A.Maksilaris.
Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam Vena Jugularis
Interna. Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk
ke dalam kelenjar Jugularis.  Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal,
cabang N IX serta N. Vagus.(Kumar dkk, 1999)

Gambar 2. Potongan sagital dan anterior tonsil (Viswanatha, 2015)

3.1.2 Tonsila Lingualis


Tonsila Lingualis merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak
berkapsul dan terdapat pada basis lidah diantara kedua tonsil palatina, dan
meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis.  Pada

10
permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit.
Sel-sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel
epitel dan bakteri, yang akhirnya membentuk detritus. Tonsila lingualis
mendapat perdarahan dari A.Lingualis yang merupakan cabang dari
A.Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V.Lingualis ke Vena
Jugularis Interna. Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda.
Persarafannya melalui cabang lingual N. IX. (Kumar dkk, 1999)

3.1.3 Tonsila Palatina


Tonsila palatina yang lebih dikenal sebagai tonsil dalam pengertian
sehari-hari terletak dalam fossa tonsilaris, berbentuk oval dengan berat
sekitar 1,5 gram. Fossa tonsilaris, di bagian depan dibatasi oleh pilar
anterior (arkus palatina anterior), sedangkan di bagian belakang dibatasi
oleh pilar posterior (arkus palatina posterior), yang kemudian bersatu di pole
atas dan selanjutnya bersama-sama dengan m. palatina membentuk palatum
molle. Permukaan lateral tonsil dilapisi oleh kapsula fibrosa yang kuat dan
berhubungan dengan fascia faringobasilaris yang melapisi m. konstriktor
faringeus. Kapsul tonsil tersebut masuk ke dalam jaringan tonsil membentuk
septa yang mengandung pembuluh darah dan saraf tonsil.(Kumar dkk, 1999)
Permukaan tonsil merupakan permukaan bebas dan mempunyai
lekukan yang merupakan muara kripta tonsil. Kripta tonsil berjumlah sekitar
10-20 buah, berbentuk celah kecil yang dilapisi oleh epitel berlapis gepeng.
Kripta yang paling besar terletak di pole atas, sering menjadi tempat
pertumbuhan kuman karena kelembaban dan suhunya sesuai untuk
pertumbuhan kuman, dan juga karena tersedianya substansi makanan di
daerah tersebut.(Kumar dkk, 1999)
Kutub bawah tonsil melekat pada lipatan mukosa yang disebut  plica
triangularis dimana pada bagian bawahnya terdapat folikel yang kadang
membesar. Plika ini penting karena sikatriks yang terbentuk setelah proses
tonsilektomi dapat menarik folikel tersebut ke dalam fossa tonsilaris,
sehingga dapat dikelirukan sebagai sisa tonsil.(Kumar dkk, 1999)

11
Pole atas tonsil terletak pada cekungan yang berbentuk bulan sabit,
disebut sebagai plica semilunaris. Pada plika ini terdapat massa kecil lunak,
letaknya dekat dengan ruang supratonsil dan disebut ‘glandula salivaris
mukosa dari Weber, yang penting peranannya dalam pembentukan abses
peritonsil. Pada saat tonsilektomi, jaringan areolar yang lunak, antara tonsil
dangan fossa tonsilaris mudah dipisahkan.(Kumar dkk, 1999)
Di sekitar tonsil terdapat tiga ruang potensial yang secara klinik
sering menjadi tempat penyebaran infeksi dari tonsil, yaitu:
1) Ruang peritonsil (ruang supratonsil). Berbentuk hampir segitiga dengan
batas-batas :
a. Anterior : M. Palatoglossus
b. Lateral dan posterior : M. Palatofaringeus
c. Dasar segitiga : Pole atas tonsil
Dalam ruang ini terdapat kelenjar salivari Weber, yang bila
terinfeksi dapat menyebar ke ruang peritonsil, menjadi abses
peritonial.(Kumar dkk, 1999)
d. Ruang retromolar
Terdapat tepat di belakang gigi molar tiga berbentuk oval,
merupakan sudut yang dibentuk oleh ramus dan korpus mandibula.
Di sebelah medial terdapat m. buccinator, sementara pada bagian
posteromedialnya terdapat m. pterigoideus internus dan bagian atas
terdapat fasikulus longus m. temporalis. bila terjadi abses hebat
pada daerah ini akan menimbulkan gejala utama trismus disertai
sakit yang amat sangat, sehingga sulit dibedakan dengan abses
peritonsilar.(Kumar dkk, 1999)
e. Ruang parafaring (ruang faringomaksilar; ruang pterigomandibula)
Ruang yang lebih besar dan luas serta banyak terdapat
pembuluh darah besar, sehingga bila terjadi abses berbahaya sekali.
Adapun batas-batas ruang ini adalah :
i. Superior : basis cranii dekat foramen jugular
ii. Inferior : os hyoid

12
iii. Medial : m. Konstriktor faringeus superior
iv. Lateral : ramus asendens mandibula, tempat m. pterigoideus
Interna dan bagian posterior kelenjar parotis
v. Posterior : otot-otot prevertebra
Ruang parafaring ini terbagi 2 (tidak sama besar) oleh
prosessus styloideus dan otot-otot yang melekat pada prosessus
styloideus tersebut.(Kumar dkk, 1999)
f. Ruang pre-styloid, lebih besar, abses dapat timbul oleh karena
radang tonsil, mastoiditis, parotitis, karies gigi atau tindakan
operatif.
g. Ruang post-styloid, lebih kecil, di dalamnya terdapat A. Karotis
Interna, V. Jugularis, N. Vagus dan saraf-saraf simpatis.
Tonsil diperdarahi oleh beberapa cabang pembuluh darah, yaitu :
1) A.Palatina Asendens, cabang A.Fasialis memperdarahi bagian postero
inferior
2) A.Tonsilaris, cabang A.Fasialis memperdarahi daerah antero inferior
3) A.Lingualis Dorsalis, cabang A.Maksilaris Interna memperdarahi
daerah antero media
4) A.Faringeal Asendens, cabang A.Karotis Eksterna memperdarahi
daerah postero superior
5) A.Palatina Desendens dan cabangnya, A.Palatina Mayor dan Minor
memperdarahi daerah antero superior.
Darah vena dialirkan melalui pleksus venosus perikapsular ke
V.Lingualis dan pleksus venosus faringeal, yang kemudian bermuara ke
V.Jugularis Interna. Pembuluh vena tonsil berjalan dari palatum,
menyilang bagian lateral kapsula dan selanjutnya menembus dinding
faring.(Kumar dkk, 1999)
Tonsil tidak mempunyai sistem limfatik aferen. Aliran limfe dari
parenkim tonsil ditampung pada ujung pembuluh limfe eferen yang
terletak pada trabekula, yang kemudian membentuk pleksus pada
permukaan luar tonsil dan berjalan menembus m. Konstriktor faringeus

13
superior, selanjutnya menembus fascia bucofaringeus dan akhirnya menuju
kelenjar servikalis profunda yang terletak sepanjang pembuluh darah besar
leher, di belakang dan di bawah arkus mandibula. Kemudian aliran limfe
dilanjutkan ke nodulus limfatikus daerah dada untuk selanjutnya bermuara
ke dalam duktus torasikus.(Kumar dkk, 1999)
Inervasi tonsil terutama melalui N. Palatina Mayor dan Minor
(cabang N V) dan N. Lingualis (cabang N IX). Nyeri pada tonsilitis sering
menjalar ke telinga, hal ini terjadi karena N IX juga mempersarafi
membran timpani dan mukosa telinga tengah melalui “Jacobson’s Nerve”.
(Kumar dkk, 1999)

Gambar 3. Inervasi pada tonsil (Paulsen dan Washcke, 2013)

3.2 Fisiologi
Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa
tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid
lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan
medial terdapat kripta (Amarudin, 2007). Tonsila palatina merupakan
jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh
terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk
ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme

14
pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen
menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama
akan mengenal dan mengeliminasi antigen (Farokah, 2003).
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid
yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh
pada orang dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%,
sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan
antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil
merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi
utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan
sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik (Kartika, 2008).
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang
terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk
memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh melalui mulut dan
sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi
untuk membantu melawan infeksi (Edgren, 2002). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh
fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil
terdiri atas tiga komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum
(merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari jaringan
limfoid) (Kartika, 2008). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas

15
imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun (Amarudin,
2007).

3.3 Tonsilitis Kronik


3.3.1 Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau
inflamasi pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis
Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme patogen
dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama
dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh
penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).

3.3.2 Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui
kriptanya secara aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap
oleh hidung kemudian nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara
foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan (Farokah, 2003).
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari
Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil,
atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna
(Colman, 2001).
Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah
Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Selain itu terdapat
Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein
Barr, bahkan virus Herpes (Boeis, 1989). Penelitian Abdulrahman AS,
Kholeif LA, dan Beltagy di mesir tahun 2008 mendapatkan kuman
patogen terbanyak di tonsil adalah Staphilokokus aureus, Streptokokus
beta hemolitikus grup A, E.coli dan Klebsiela (Abdulrahman, 2008).
Mekanisme imunologi lokal penting dalam tonsilitis kronis.
Distribusi sel dendritik dan sel penyajian antigen berubah selama

16
penyakit, dengan sel dendritik lebih sedikit pada epitel permukaan dan
lebih banyak lagi di daerah kriptografi dan ekstrafikuler. Studi penanda
imunologi memungkinkan pembedaan antara tonsilitis rekuren dan
kronis. Penanda semacam itu dalam satu penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak lebih sering mengalami tonsilitis rekuren, sedangkan orang
dewasa perlu tindakan tonsilektomi sering mengalami tonsilitis kronis.
(Shah, 2017)

3.3.3 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak; Namun,
kondisinya jarang terjadi pada anak di bawah 2 tahun. Tonsilitis yang
disebabkan oleh spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-
15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak yang
lebih muda. Abses peritonsillar biasanya terjadi pada remaja atau dewasa
muda namun mungkin terjadi lebih awal. (Shah, 2017)
Faringitis menyertai banyak infeksi saluran pernafasan bagian
atas. Antara 2,5% dan 10,9% anak-anak dapat didefinisikan sebagai
pembawa. Dalam sebuah penelitian, prevalensi rata-rata status pembawa
anak-anak sekolah untuk kelompok A Streptococcus, penyebab tonsilitis,
adalah 15,9%. (Shah, 2017)
Menurut Herzon dkk, anak-anak menyumbang sekitar sepertiga
episode abses peritonsillar di Amerika Serikat. Tonsilitis berulang
dilaporkan pada 11,7% anak-anak Norwegia dalam satu studi dan
diperkirakan dalam penelitian lain untuk mempengaruhi 12,1% anak-anak
Turki. (Shah, 2017)
Tonsilitis kronik pula merupakan peradangan pada tonsila palatina
yang lebih dari 3 bulan ataupun tonsilitis akut yang berulang. Menurut
kajian yang dilakukan oleh National Center of Health Statistics pada
Januari 1997 di United State, penyakit kronik pada tonsil dan adenoid
adalah tinggi, dengan prevalensi 24,9% per 1000 orang anak-anak yang
berusia di bawah 18 tahun. (Farokah, 2003)

17
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT pada 7 provinsi di
Indonesia pada tahun 1994-1996, prevalensi kejadian tonsilitis kronik
adalah yang tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebanyak
3,8%. Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang mencapai
23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan di RSUP
Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998
ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah
kunjungan. (Farokah, 2003)

3.3.4 Patofisiologi
Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada waktu tonsil tidak
dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah
menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun (Rubin, 2005).
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid yang terkikis, sehingga pada proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan
mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik kripta tampak
diisi oleh detruitus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil
dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula (Rubin, 2005).
Tonsillitis kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan konisitas
antara lain terapi antibiotik yang tidak tepat dan adekuat, gizi, atau daya
tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa kurang optimal,
dan jenis kelamin yang tidak sama antara permukaan tonsil dan jaringan
tonsil (Rubin, 2005).

18
3.3.5 Penegakkan Diagnosis
A. Anamnesis
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang
terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil
yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah
mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis (Soepardi, 2007).
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.)
gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak
badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan
persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis
folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa
kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris
anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional (Kurien,
2003).
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Gambaran klinis yang
lain yang sering adalah ketika tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan,
tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada
kripta. 

19
gambar 1.ukuran tonsil (Kurien 2003 )

Gambar 4. Ukuran tonsil

Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan


mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak
permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi :
a. TO: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
b. T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
masih berada dalam fossa tonsilaris
c. T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
melewati arkus posterior hingga mencapai linea paramediana
d. T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
melewati linea paramediana higga mencapai linea mediana (pertengahan
uvula)
e. T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring, tonsil
melewati linea mediana (uvula)
Tabel 1. Perbedaan tonsilitis
Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis Tonsilitis Kronis
Eksaserbasi akut

20
Hiperemis dan Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil
edema tapi tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
Antibiotika, Sembuhkan radangnya, Bila mengganggu
analgetika, Jika perlu lakukan lakukan
obat kumur tonsilektomi 2 – 6 minggu Tonsilektomi
setelah peradangan tenang

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat
diagnosa tonsilis eksaserbasi akut:

Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi
bakteri pathogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
eradikasi organisme pathogen yang disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur
dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita tonsillitis kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan
kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil
untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora bakteri. Bakteri
terbanyak yang ditemukan yaitu Streptococcus beta hemolyticus dan
Staphylococcus aureus (Kurien, 2000).
Pemeriksaan antibodi streptokokus mendeteksi adanya antibodi
terhadap ber-bagai antigen yang dihasilkan oleh strepto-kokus grup A.
Pemeriksaan ini terdiri atas pemeriksaan kadar anti streptolisin O (ASTO),
kadar antideoksiribonuklease-B (anti Dnase-b) dan streptozyme test.
Penetapan kadar antistreptolisin O merupakan pemeriksaan utama untuk
menentukan apakah sebelum-nya pernah terinfeksi oleh streptokokus grup A

21
yang menyebabkan komplikasi penyakit post streptokokus (Herwanto,
2008).
Untuk membedakan gambaran klinis antara infeksi Streptococcus ß
hemoliticus group A dengan infeksi virus digunakan Kriteria Centor
modifikasi Mc Isaac. Kriteria ini dikembangkan oleh RM Centor yang
dimodifikasi oleh MC Isaac. Penilaian terhadap penderita terdiri atas ada
riwayat demam, terdapat pembesaran tonsil/eksudat pada tonsil, pembesa-
ran kelenjar servikal anterior, dan tidak ada batuk. Bila terdapat > 3 gejala,
kemungkinan besar adalah infeksi oleh streptococcus ß hemoliticus group A,
dan pasien memer-lukan pengobatan antibiotik. Bilamana ada 2-3 gejala,
maka perlu pemeriksaan lanjut apakah infeksinya disebabkan oleh
streptococcus ß hemoliticus group A dan apabila kurang dari 2 gejala,
umumnya penyakit disebabkan oleh infeksi virus (Ayranci dan Akgun,
2005).
C. Histopatologi
Tonsillitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan infiltasi
limfosit, adanya Ugra’s abses dan infiltrasi limfosit yang difus. Kombinasi
ketiga hal tersebut ditambah dengan gejala lainnya jelas menegakkan
diagnose tonsillitis kronis.
3.3.6 Penatalaksanaan
1. Non pembedahan
Lokal: obat kumur tenggorok
Medikamentosa: dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil
kultur
Simtomatis: analgetik-antipiretik, antiinflamasi
2. Nonmedikamentosa
Tonsilektomi
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang atau kronik, gelaja
sumbatan serta kecurigaan neoplasma
Indikasi

22
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidk berbeda, namun
terdapat perbedaan prioritas relative dla menentukan indikasi
tonsilektomi pada saat ini. Dulu diindikasikan untuk terapi tonsillitis
kronik dan berulang. Saat ini indikasi utama adalah obstruksi saluran
napas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology – Head
and Neck Surgery (AAO-HNS) tahun 2011indikasi tonsilektomi terbagi
menjadi:
1. Indikasi absolut
a. Tonsil yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernapasan,
nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-
penyakit kardiopulmonal
b. Abses peritonsiler (peritonsillar abcess) yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan
c. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam
d. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsy jaringan untuk
menentukan gambaran patologi jaringan
2. Indikasi relatif
a. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak ada respon terhadap
pengobatan medis
b. Jika mengalami tonsillitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan
tidak menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan
medikamentosa yang memadai
c. Bau mulut atau bau napas yang tidak sedap yang menetap pada
tonsillitis kronis yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan.
d. Tonsillitis kronis atau tonsillitis berulang yng diduga sebagai
carrier kuman streptococcus yang tidak menunjukkan respon
positif terhadap pengobatan dengan antibiotika
e. Pembesaran tonsil disalah satu sisi (unilateral) yang dicurigai
berhubungan dengan keganasan (neoplastik)

23
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat
ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis
untuk mengangkat tonsil. Tonsilotom modern atau guillotine dan
berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah
alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang
dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.
Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini,
namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di
Indonesia, terutama di daerah masih lazim dilakukan cara ini
dibandingkan cara diseksi. Kepustakaan lama menyebutkan
beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi
kecil, biaya kecil (Hermani, B., 2004).
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode
diseksi. Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah
mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose
yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih
banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini
juga banyak digunakan pada pasien anak.
Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal
anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil,
membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari
kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari
fossa dengan manipulasi hati-hati. Laludilakukan hemostasis
dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi
pada daerah tersebut dengan salin (Hermani, B., 2004).

24
3. Electrosurgery (Bedah listrik)
Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi
elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek
pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum
elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan
gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak
menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya
aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan
listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik
(electrical pathway).
Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk
memotong, menyatukan atau untuk koagulasi. Bedah listrik
merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan
memotong dan hemostase dalam satu prosedur (Hermani, B.,
2004).
4. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke
jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan
panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan
pada medium penghantar seperti larutan salin. Partikel yang
terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi
o
padasuhu rendah (40oC - 70 C), mungkin lebih sedikit jaringan
sekitar yang rusak.
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik

25
radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi
(Hermani, B., 2004).
5. Skalpel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk
memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan
jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih
rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Sistim skalpel
harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.
Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding
teknik bedah lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena
proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih
rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga
lebih sedikit, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit
perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan
teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak
bisa mentoleransi kehilangan darah (Hermani, B., 2004).
6. Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk
menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical)
baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan
menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan
sekitar. Efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi
standartetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi
komplikasi utama adalah perdarahan.
7. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial
yangdilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk
menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi
dan memberikan lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari

26
sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan
mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri,
sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu
pemulihan. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca
operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar (Hermani, B.,
2004).
Kontraindikasi tonsilektomi
a. Riwayat penyakit perdarahan
b. Risiko anestesi yang buruk tau ppenyakit riwayat yang tidak
terkontrol
c. Anemia
d. Infeksi akut

3.3.7 Komplikasi
a. Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada
Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris.
Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang
memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara
bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman
lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan
b. Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat
sebagai pembesaran kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi
tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.
c. Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Dalam
penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33%
diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada

27
swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi
patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis (Xie, 2004).
d. Abses peritonsiler merupakan pus yang tertampung diantara kapsul
tonsil. Dapat timbul sebagai komplikasi tonsillitis kronik atau
berulang. Tetapi dapat timbul juga tanpa didahului oleh tonsillitis
akut. Pasien mengeluhkan adanya nyeri faring unilateral, odinofagia,
disfagia, drooling, trismus, nafas berbau, dan demam. Pasien juga sulit
bicara, kadang berbicara seperti hot potato voice. Trismus disebabkan
oleh peradangan pada m.mastikator dan m.pterygoideus.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya dehidrasi, trismus,
deviasi uvula, pembengkakan tonsil dan palatum. Secara
bakteriologis, abses peritonsiler ditandai dengan infeksi bakteri
campuran yang melibatkan Streptococcus pyogenes dan
Staphylococcus aureus maupun bakteri anaerob seperti
Bacteroidaceae.
Bila tidak cepat ditangani, abses peritonsiler dapat menyebar
menjadi abses parafaringeal yang nantinya dapat menyebar jauh ke
mediastinum dan menyebabkan mediastinitis. Jika telah terbentuk abses
memerlukan tindakan drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau
dengan teknik insisi drainase.
e. Abses parafaring. Abses ini terjadi apabila pus mengalir dari tonsil atau
abses peritonsilar melalui m.konstriktor superior. Terbanyak berasal dari
infeksi tonsil, gigi, faring, dan adenoid. Gejala klinis berupa nyeri
tenggorok, demam, kaku pada leher, pembengkakan kelenjar getah bening
dan parotis. Infeksi dapat terjadi pada anterior/prestyloid dan
posterior/poststyloid. Pengobatan yang diberikan adalah pemberian
antibiotic berdasarkan hasil kultur dan resistensi kuman selama 10 hari.
Dilakukan insisi dan drainase terhadap abses.
f. Abses retrofaring. Penyebab tersering abses retrofiring adalah proses
infeksi di hidung, adenoid, nassofaring dan sinus paranasalis yang

28
mengalir ke kelenjar getah bening retrofaringeal. Biasanya mengenai anak-
anak. Gejala klinik berupa demam, pembengkakan leher disertai nyeri,
odinofagia dan disfagia, sesak sampai sepsis. Pengobatan diberikan dengan
pemberian antibiotik, insisi drainase dan trakeostomi bila terjadi gangguan
pada jalan napas.

3.3.8 Pencegahan
Secara umum pencegahan ditujukan untuk mencegah tertularnya
infeksi rongga mulut dan tenggorokan yang dapat memicu terjadinya infeksi
tonsil. Namun ada beberapa cara untuk lebih mewaspadai terjadinya
tonsilitis Untuk mencegah dan mengobati radang amandel atau Tonsilitis
adalah : 
1) Mencuci tangan sesering mungkin untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme yang dapat menimbilkan tonsilitis
2) Mencuci tangan dengan bersih dan sering, terutama setelah
menggunakan toilet dan sebelum makan
3) Hindari berbagi makanan, gelas minum atau barang dengan orang lain
4) Menghindari kontak dengan penderita infeksi tenggorokan, setidaknya
hingga 24 jam setelah penderita infeksi tenggorokan mendapat antibiotik
5) Berkumur air garam hangat 3-4 kali sehari
6) Diberikan terapi antibiotik (atas petunjuk dokter) apabila ada infeksi
bakteri dan untuk mencegah komplikasi
7) Istirahat yang cukup

3.4 Diagnosis Banding


a. Difteri tonsil faring
Difteri tonsil faring adalah radang akut pada tonsil sampai
mukosa faring yang disebabkan kuman corynebacterium diphtheriae.
Mudah menular dan yang diserang terutama traktus respiratorius bagian
atas dengan tanda khas terbentuknya pseudomembran dan

29
dilepaskannya eksotoksin yang dapat menimbulkan eksotoksin yang
dapat menimbulkan gejala umum dan lokal. (Efiaty, 2007)

Gambar 5. tonsil membengkak ditutupi pseudomembran


yang mudah berdarah (Bruce, 2017)

Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:


1) Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
badan lemah, nadi lambat, serta keluhan nyeri menelan
2) Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk semu. Membran ini dapat meluas ke palatum molle,
uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat menyumbat
saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada dasarnya,
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan
penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan
membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi(
bull neck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
3) Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria. (Efiaty,
2007)

30
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik dan pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari
permukaan bawah membran semu dan didapatkan kuman
Corynebacterum diphteriae. (Khalid, 2011)

b. Limfoma tonsil
Limfoma adalah keganasan jaringan limfoid yang ditandai oleh
proliferasi sel limfoid atau prekursorsnya dan merupakan keganasan
nonepithelial paling sering pada kepala dan leher. Lebih dari setengah
limfoma ekstranodal di daerah kepala leher muncul pada cincin
waldeyer; dengan urutan kejadian terbanyak di tonsil, diikuti nasofaring
dan dasar lidah. Limfoma tonsil ditandai dengan pembesaran tonsil atau
nyeri tenggorokan. (Ranjana dan Jacob, 2006)
Sekitar setengah dari semua NHL (Non Hodgkin Limfoma) pada
cincin waldeyer ditemukan di tonsil palatine , 20% di antaranya adalah
bilateral . Dalam jumlah yang kecil, limfoma di daerah ini juga muncul
dari tonsil faringeal, pangkal lidah atau tonsil lingual, atau melibatkan
beberapa tempat primer. Gejala sesuai dengan lokasi penyakit. NHL
dari tonsil dan pangkal lidah biasanya hadir dengan odynophagia
unilateral dan disfagia sementara NHL nasofaring dapat terwujud
dengan sumbatan hidung, disfungsi tuba eustachius, epistaksis , atau
neuropati kranial. Pada pemeriksaan fisik, Lesi NHL kebanyakan
submukosa, seperti ulserasi lesi terlihat pada SCC (Squamous Cell
Carcinoma). (Chai dkk, 2014)
Sebagian besar pasien datang dengan tahap awal stadium I atau
stadium II, dengan gejala B terjadi dalam waktu kurang dari 15% dari
pasien. Subklasifikasi histologi yang paling umum pada daeerah ini
adalah DLBCL (diffuse large B-cell lymphoma), dijumpai pada 85%
kasus. Kombinasi kemoradioterapi memiliki konsisten yang
menunjukkan keunggulan kelangsungan hidup bebas penyakit yang
lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi atau radioterapi saja. CT

31
pencitraan NHL cincin waldeyer umum menunjukkan massa homogen
besar intensitas yang sama dengan sekitarnya jaringan limfoid baik di
tonsil lingual atau tonsil palatine, atau nasofaring. Tidak seperti
karsinoma nasofaring, erosi dasar tengkorak dari limfoma nasofaring
jarang. Terkait limfadenopati pada sisi ipsilateral lesi umum dan
biasanya nonnecrotic dalam penampilan pencitraan. (Chai dkk, 2014)

Gambar 6. Non Hodgkin Limfoma pada tonsil (Zapater dkk, 2010)


`Secara keseluruhan, sekitar 15% dari pasien dengan limfoma
di daerah kepala dan leher datang dengan keluhan pembesaran kelenjar
di leher, sedangkan sekitar 12% memiliki gejala sistemik seperti
demam, berkeringat pada malam hari atau penurunan berat badan.
Sekitar 20% pasien dengan limfoma di daerah kepala dan leher
melibatkan beberapa daerah (multiple). (Ranjana dan Jacob, 2006)
Pemeriksaan biopsi dengan Fine Needle Aspiration Biopsy
(FNAB) sangat berguna pada pemeriksaan awal. Setelah hasil
pemeriksaan FNAB mengarah pada suatu keganasan limfoid,
dibutuhkan biopsi terbuka (biopsi insisi) untuk menegakkan diagnosis
yang definitive dari suatu Non Hodgin Lymphoma (NHL). Sebagian
besar limfoma daerah kepala leher mengekspresikan marker sel B.
Limfoma limfoblastik dan sebagian kecil dari limfoma diffuse large
cell termasuk kelompok sel T. Sel T dan tipe natural killer terjadi
terutama di rongga hidung dan sinus paranasal. (Ranjana dan Jacob,
2006)

32
c. Infeksi HIV
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV

(human immunodeficiency virus). AIDS adalah penyakit yang


menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun seluler sebagai akibat
HIV. Klasifikasi manifestasi klnik menurut WHO dibedakan menjadi 4,
yaitu asimtomatik, ringan, sedang dan berat

Gambar 7. Manifestasi klinis HIV


c. Aktinomikosis
Aktinomikosis merupakan penyakit infeksi subakut atau kronis
yang jarang ditemukan (perbandingan 1:300.000). Infeksi ini disebabkan
oleh bakteri dari genus Actinomyces sp. yang pada keadaan normal
menjadi mikrobiota pada daerah orofaring, traktus gastrointestinal, dan
genitourinarius. Kolonisasi bakteri ini dapat dipicu oleh rusaknya
membran mukosa dan penurunan sistem kekebalan tubuh, walaupun
beberapa laporan kasus menunjukkan penyakit ini dapat terjadi pada
orang-orang yang imunokompeten.
Kesalahan diagnosis penyakit ini sering terjadi karena menyerupai
banyak penyakit lain, seperti tumor, tuberkulosis, dan infeksi jamur.

33
Aktinomikosis servikofasialis sering ditandai dengan adanya
pembengkakan jaringan lunak yang kronis, terbentuknya sinus-sinus di
dalam jaringan, dan disertai dengan pertumbuhan massa eksofitik di
daerah orofaring. Diagnosis definitif ditegakkan dengan menemukan
granul-granul sulfur yang merupakan massa basofilik koloni Actinomyces
sp. pada pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematoksilin-eosin.
Pemeriksaan lainnya yaitu dengan pewarnaan gram dengan hasil bakteri
filamen gram positif yang tidak terwarnai dengan pewarnaan basil tahan
asam. Pada kasus cervicofacial actinomikosis, pasien mengeluhkan sulit
menelan dan rasa mengganjal di tenggorokan Keluhan tidak disertai dengan
nyeri menelan, sesak nafas, batuk lama, suara serak, maupun demam. Hasil
pemeriksaan biopsi menunjukkan granulomatosa dengan granul sulfur
yang menunjukkan peradangan kronis karena Actinomyces sp.

34
BAB IV
PENUTUP

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama
terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran
nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat
spesifik atau non spesifik.
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan
tubuh penderita mengalami penurunan. Penderita sering datang dengan keluhan
rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau
busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus.
Terapi pada tonsilitis kronis berupa terapi lokal ditujukan pada hygiene
mulut dengan menggunakan obat kumur, terapi sistemik dengan menggunakan
antibiotik dan terapi simpomatis. Dapat juga dilakukan tindakan operasi
tonsilektomi sesuai dengan indikasinya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman AS, Kholeif LA, Yasser ME, Eldesouky A, 2004. Bacteriology


of Tonsil Surface and Core in Children with Chronic Tonsilitis and
Incedence of Bacterimia During Tonsillectomy. Egypt Medical Journal,
Vol.13.No.2.
Advani Ranjana, Jacobs CD. 2006. Lymphomas of the Head and Neck. Dalam
Bailey's Head and Neck Surgery--otolaryngology.Edisi ke 4. Lippincott
Williams & Wilkins; 115:2041-56
American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and
quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from:
http://www.medicalnewstoday.com
Amaruddin T, Christanto A, 2007. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin
Dunia Kedokteran, No.155, hal.61-8.
Ayranci U, Akgun Y 2005. Antibiotic prescribing patterns for sore throat
infections in a university-based primary care clinic. Ann Saudi Med
25(1) January-February 2005
Bruce ML. 2017. Diphtheria. Diakses tanggal 20 oktober 2017 dari
https://emedicine.medscape.com/article/782051-
Chai L.Raymond, Tassler B.Andrew, Kim Seungwon. 2014. Lymphomas of
the Head and Neck. Dalam Bailey's Head and Neck Surgery--
otolaryngology.Edisi ke 5. Lippincott Williams & Wilkins. 128:2032-
43.
Colman BH, 2001. Adenoid and Tonsils. In: Disease of the Nose, Throat, and
Ear, and Head and Neck, Oxfort University Press, Oxfort, p.95-102

36
Dias EP., Rocha ML., Calvalbo MO., Amorim LM. 2009. Detection of
Epstein-Barr Virus in Recurrent Tonsilitis. Brazil Journal
Otolaryngology, 75 (1): 30-34.
Edgren AL, Davitson T, 2004. Sore Throat. Journal of the American
Assosiation, no.13 (April 7) :1664-78.
Farokah, Suprihati, Suyitno S, 2003. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan
Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang.
Cermin Dunia Kedokteran, 155, hal.16-22.
Hermani, B, Fachrudin D, Hutauruk SM, Riyanto BU, SUsilo Nazar HN. 2004.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Health Technology Assessment
(HTA) Indonesia.
Herwanto Y 2008. Korelasi Kuman Streptokokus Β Hemolitikus Grup A
Dengan Pemeriksaan ASTO Pada Pemeriksaan Tonsilofaringitis Akut
Kartika H, 2008. Tonsilektomi. Welcome & Joining otolaryngology in
Indonesian Language, February 23, p.4-36.
Khalid, Naman dkk. Tonsilitis Difteri. Bagian THT RSUD Kerawang. 2011.
Nadhilla NF., Merry IS. 2016. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien
Dewasa. J Medula Unila, 1 (5): 107-108
Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory
Tract. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:
McGraw Hill.
Sembiring RO, John P, Olivia W. Identifikasi bakteri dan uji kepekaan
terhadap antibiotik pada penderita tonsilitis di Poliklinik THT-KL BLU
RSU. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode November 2012-Januari
2013. Jurnal E-biomedik. 2013; 1(2):1053-7.
Shah UK. 2017. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess Guidelines. Diakses pada
tanggal 29 Oktober 2017 dari
https://emedicine.medscape.com/article/871977
Soepardi Arsyad Efiaty dr sp. THT (K), dkk. Tonsilitis Difteri. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi
keenam. Balai Penerbit FKUI. 2007.

37
Viswanatha B. 2015. Tonsil and Adenoid Anatomy. Diakses pada tanggal 29
Oktober 2017 dari https://emedicine.medscape.com/article/1899367

38

Anda mungkin juga menyukai