Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK HIPERTROFI

Pembimbing :
dr. Eman Sulaiman, Sp.THT-KL

Penyusun :
M Imam Mahdi N
2012730059

DEPARTEMEN ILMU THT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KELAS B CIANJURZ
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan
terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena
kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut.
Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada
tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor
predisposisi bahkan faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis.1
Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup
udara tetesan setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan atau sikat gigi
dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan remaja berusia 5-15 tahun yang paling mungkin
untuk mendapatkan tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja. Hanya sekitar 30 % dari
tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang tenggorokan dan hanya 10% dari tonsilitis pada
orang dewasa disebabkan oleh radang tenggorokan. Tonsilitis Kronis menempati urutan
kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan). Mengingat angka kejadian
yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak, maka
pengetahuan yang memadai mengenai tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis
dan terapi yang tepat dan rasional.1,2

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari laporan kasus ini adalah untuk dapat lebih mendalami dan
memahami atas kasus kasus tentang tonsillitis. Tujuan khususnya adalah sebagai
pemenuhan tugas kepaniteraan stase THT.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : An. A

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 10 tahun

Alamat : Ciawi Tali

No. RM : 790XXX

Tanggal berobat : 5 April 2017

2.2 Anamnesis
Keluhan utama:
Terdapat benjolah di dalam lubang hidung kanan + 2 hari SMRS.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Cianjur dengan terdapat benjolah di
dalam lubang hidung kanan + 2 hari SMRS. Benjolan baru dirasakan ketika ibu Os
membersihkan kotoran di hidung Os. Keluhan disertai keluarnya cairan putih
berwarna putih bening, cair, dan tidak berbau. Keluar cairan tersebut dirasakan
secara hilang timbul, timbul ketika Os terpapar udara dingin dan terkena air hujan.
Keluhan tidak disertai rasa sakit di bagian hidung, pusing kepala, demam, ataupun
nyeri di wajah.

Ibu Os mengeluhkan jika tertidur anaknya suka mengorok. Ibu Os


mengatakan bahwa Os sudah lama memiliki amandel yang besar, keluhan
membesarnya amandel ini dirasakan pertama kali + 2 tahun yang lalu. Keluhan
dirasakan semakin memberat, terutama jika menelan makanan padat. Keluhan
berkurang, jika menelan makanan yang lunak, cair dan kadang harus dibantu
dengan air. Saat mengunyah tidak terasa sakit. Batuk disangkal, perubahan suara
disangkal, nyeri telinga disangkal, keluar cairan disangkal, telinga berdenging
disangkal, pendengaran menurun disangkal sesak napas disangkal, pilek disangkal,
hidung tersumbat disangkal dan napas bau disangkal, nafsu makan meningkat
disangkal.

3
Riwayat penyakit dahulu:
Os memiliki riwayat pembesaran amandel + 2 tahun yang lalu
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluhan yang sama seperti Os, asma, keganasan dan keluhan yang sama
seperti Os.
Riwayat allergi:
Pasien tidak memiliki riwayat allergi terhadap obat, makanan, cuaca dan debu.
Riwayat pengobatan:

Os belum pernah dibawa ke dokter dan mendpat terapi untuk menghilang keluhannya.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit Ringan


Kesadaran : Compos Mentis
Berat badan : 31Kg
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Penafasan : 20x/menit, teratur
Nadi : 88 x/menit, teratur, kuat angkat
Suhu : 36.8C
2.4 Status Generalis
Kepala : Normocephal (+), rambut berwarna hitam (+), distribusi rata (+)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+)
Telinga : Lihat status lokalis
Hidung : Lihat status lokalis
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), stomatitis (-)
Tenggorok : Lihat status lokalis
Leher : Lihat status lokalis

Thorax

Inspeksi : Kedua hemithoraks tampak simetris, retraksi sela iga (-)


Palpasi : Vocal Fremitus teraba sama di kedua lapang paru
Perkusi : Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular

4
Abdomen

Inspeksi : Simetris, cembung


Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Superior : Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)


Inferior : Akral hangat, udema (-/-), RCT < 2 detik (+)

2.5 Status lokalis THT

2.5.1 Telinga

Tabel 1. Pemeriksaan Telinga

5
AD AS

2.5.2 Normotia, hematoma (-), Aurikula H


Normotia, hematoma (-),
perikondritis (-), helix sign (-), perikondritis (-), helix sign (-) i
edema (-) edema (-) d
u
Preaurikula
n
Peradangan (-), pus (-), nyeri Peradangan (-), pus (-), nyeri g
tekan (-), Pembesaran KGB (-) tekan (-), Pembesaran KGB (-)

Retroaurikula
Peradangan (-), pus (-), nyeri Peradangan (-), pus (-), nyeri
tekan (-), Pembesaran KGB (-) tekan (-), Pembesaran KGB (-)

MAE
Hiperemis (-), udem(-), Hiperemis (-), udem(-),
serumen(-), sekret (-), serumen(-), sekret (-),
massa(-) massa(-)

Hiperemis (-), udem(-), Hiperemis (-), udem(-),


serumen(-) kering, sekret (-), KAE serumen(+) kering, sekret (-),
massa(-) massa(-)

Intak (+), refleks cahaya (+) Membran timpani Intak (+), refleks cahaya (+)
jam 5, hiperemis (-), retraksi jam 7, hiperemis (-), retraksi
(-), perforasi (-) (-), perforasi (-)

+ Uji Rinne +

Tidak ada lateralisasi Uji Weber Tidak ada lateralisasi

Sama dengan pemeriksa Uji Schwabach Sama dengan pemeriksa

Interpretasi : Dalam batas normal

a. Rinoskopi Anterior

6
Tabel 2. Pemeriksaan Hidung

Dextra Rhinoskopi anterior Sinistra

Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)

- Sekret -

Hipertrofi (+) Konka inferior Hipertrofi (+)

Deviasi (-) Septum Deviasi (-)

(-) Massa (-)

Normal Passase udara Normal

b. Sinus paranasal

Inspeksi : Pembengkakan kedua pipi (-), kemerahan kelopak mata bawah mata
(-), pembengkakan kelopak mata atas (-)
Palpasi : Nyeri tekan pipi (-), nyeri ketuk gigi (-), nyeri tekan medial atap
orbita (-), nyeri tekan kantus medius (-)

c. Tes penciuman
Kanan : 18 cm, Normosomia dengan kopi dan teh
Kiri : 14 cm, Normosomia dengan kopi dan the

d. Transiluminasi
Tidak dilakukan

2.5.3 Tenggorok

Tabel 3. Pemeriksaan Nasofaring

7
Naofaring (Rhinoskopi posterior)

Konka superior tidak dilakukan

Torus tubarius tidak dilakukan

Fossa Rossenmuller tidak dilakukan

Plika salfingofaringeal tidak dilakukan

Kesan : Pasien tidak koperatif.

2.5.4 Orofaring

Tabel 4. Pemeriksaan Orofaring

Dextra Pemeriksaan Orofaring Sinistra

Mulut

Tenang (+) Mukosa mulut Tenang (+)

Simetris (+), bersih (+) Lidah Simetris (+), bersih (+)

Simetris (+), bersih (+) Palatum molle Simetris (+), bersih (+)

Karies (-) Gigi geligi Karies (-)

(-) Uvula (-)

Tonsil

Hiperemis (+) Mukosa Hiperemis (+)

8
T4 T4

Tonsil

Melebar (+) Kripta Melebar (+)

(-) Detritus (-)

(-) Perlengketan (-)

Faring

Tenang (+), Hiperemis (-) Mukosa Tenang (+), Hiperemis (-)

(-) Granula (-)

Tidak terlihat saat Tidak terlihat saaat


Post nasal drip
pemeriksaan pemeriksaan

Tes Pengecapan
Kesan: Normal

Tabel 5. Pemeriksaan Laringofaring

Laringofaring (Laringoskopi indirect)

Epiglotis tidak dilakukan

Plika ariepiglotika tidak dilakukan

9
Plika ventrikularis tidak dilakukan

Plika vokalis tidak dilakukan

Rima glotis tidak dilakukan

Kesan : pasien tidak koperatif

2.5.5 Pemeriksaan Maksilofasial

Tabel 6. Pemeriksaan Maksilofasial

Dextra Nervus Sinistra

I. Olfaktorius
(+) Penciuman (+)
II. Optikus
(+) Daya penglihatan (+)
(+) Refleks pupil (+)

III. Okulomotorius
(+) Membuka kelopak mata (+)
(+) Gerakan bola mata ke superior (+)
(+) (+)
Gerakan bola mata ke inferior
(+) (+)
Gerakan bola mata ke medial
(+) (+)
Gerakan bola mata ke
laterosuperior
IV. Troklearis
(+) Gerakan bola mata ke lateroinferior (+)
V. Trigeminal
Tes sensoris
(+) Cabang oftalmikus (V1) (+)
(+) Cabang maksila (V2) (+)
(+) Cabang mandibula (V3) (+)
VI. Abdusen
(+) Gerakan bola mata ke lateral (+)
VII. Fasial

10
(+) Mengangkat alis (+)
(+) Kerutan dahi (+)
(+) (+)
Menunjukkan gigi
(+) (+)
Daya kecap lidah 2/3 anterior
VIII. Akustikus
Normal Tes garpu tala Normal
IX. Glossofaringeal
(+) Refleks muntah (+)
(+) Daya kecap lidah 1/3 posterior (+)
X. Vagus
(+) Refleks muntah dan menelan (+)
(+) Deviasi uvula (-)
Simetris Simetris
Pergerakan palatum
XI. Assesorius
(+) Memalingkan kepala (+)
(+) Kekuatan bahu (+)
XII. Hipoglossus
(-) Tremor lidah (-)
(-) Deviasi lidah (-)

2.5.6 Leher

Tabel 7. Pemeriksaan Kelenjar Tiroid dan Kelenjar Getah Bening (KGB)

Dextra Pemeriksaan Sinistra

Pembesaran (+) Tiroid Pembesaran (+)

Pembesaran (-) Kelenjar submental Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar submandibula Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar jugularis superior Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar jugularis media Pembesaran (-)

11
Pembesaran (-) Kelenjar jugularis inferior Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar suprasternal Pembesaran (-)

Pembesaran (-) Kelenjar supraklavikularis Pembesaran (-)

2.6 Resume

Pasien seorang seorang anak laki-laki usia 10 tahun datang ke poliklinik THT RSUD
cianjur dengan keluhan terdapat tumor a/r cavum nasi dextra + 2 hari SMRS disesrtai
rhinore (+) sejak + 2 tahun yang lalu. Ibu os mengeluh terdengar suara snoring saat
tertidur dan hipertrofi tonsil sejak + 2 tahun yang lalu.
Pemeriksaan fisik didapatkan pada cavum nasi dexrta dan sinstra ditemukan mukosa
hiperemis (+/+), secret (+/+), hipertrofi konka inferio (+/+). Tonsil T 4-T4, hiperemis (+/
+), dan kripta melebar (+/+).

2.7 Diagnosis Banding

Tonsilitis Kronis Hipertropi + Rhinosinositis akut


Abses Peritonsillar Sinistra + Rhinosinositis akut
Tumor tonsil + Rhinosinositis akut

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium: Darah rutin dan IgE spesifik.


FNAB
Darah Perifer lengkap, T3, T4, TSH
USG Tiroid

2.9 Diagnosa Kerja

Tonsilitis Kronis Hipertropi + Rhinosinositis akut

2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Non Medikamentosa

12
Hindari konsumsi makanan padat dan keras, goreng-gorengan, makanan
pedas, dan dingin
Menjaga personal higenis mulut
Konsul ke dokter spesialis THT

2.10.2 Medikamentosa

Lacoldin tab 3x1 ( Parasetamol, Fenilpropanolamin HCl mg, Dekstrometorfan


HBr, Klorfeniramini maleat)
Sporetik 2x1 (cefixime)

2.10.3 Tindakan
Rencana Operasi tonsilektomi saat kondisi tidak sedang terjadi infeksi

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI
Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut, yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual (tonsil pangkal lidah),
tonsil tuba eustasius (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil).1
Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun. Yang
dimaksud kronis adalah apabila terjadi perubahan histologis pada tonsil, yaitu didapatkannya
mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh zona sel sel
radang yang dapat menjadi fokal infeksi bagi organ organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung
dan lain lain. 2
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut yang tidak
mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek
kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti dengan pengobatan dan
serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 4 bulan. Seringnya serangan
merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal.2,3
Faktor predisposisi lain timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, dan
kelelahan fisik. Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi kadang kuman
berubah menjadi kumah golongan gram negatif. 2

3.2 ETIOLOGI

Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada umumnya sama dengan
tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif.3

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, bakteri yang paling banyak
ditemukan pada jaringan tonsil adalah Streptococcus hemolyticus. Beberapa jenis bakteri
lain yang dapat ditemukan adalah Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenza,
virus, jamur dan bakteri anaerob.4

14
Gambar 1. Perbedaan Tonsillitis Berdasarkan Etiologi

3.3 PATOFISIOLOGI
Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte-kriptenya,
sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung kuman terhisap oleh
hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara foodvorn yaitu melalui mulut
bersama makanan.4
Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik yang
melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk kesitu dihancurkan oleh makrofag, Sel-
sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi maka pada suatu waktu tonsil
tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibatnya kuman bersarang di tonsil. Pada
keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi (tonsil
sebagai fokal infeksi). Sewaktu waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya
pada keadaan umum yang menurun.4
Fokal infeksi adalah sumber kuman di dalam tubuh dimana kuman dan produk-
produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan
penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari
sumber infeksi. Penyebaran kuman atau toksin dapat melalui beberapa jalan. Penyebaran
jarak dekat biasanya terjadi secara limfogen, sedangkan penyebaran jarak jauh secara
hematogen. Fokal infeksi secara periodik menyebabkan bakterimia atau toksemia. Bakterimia

15
adalah terdapatnya kuman dalam darah. Kuman-kuman yang masuk ke dalam aliran darah
dapat berasal dari berbagai tempat pada tubuh. Darah merupakan jaringan yang mempunyai
kemampuan dalam batas-batas tertentu untuk membunuh kuman-kuman karena adanya imun
respon. Maka dalam tubuh sering terjadi bakterimia sementara. Bakterimia sementara
berlangsung selama 10 menit sampai beberapa jam setelah tindakan. 4

16
Gambar 2. Pathway Tonsillitis

3.4 MANIFESTASI KLINIS & DIAGNOSIS


Pasien dengan tonsillitis kronis akan mengeluh ada penghalang/rasa mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan tampak
tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi
detritus. 2
Bila tonsillitis kronis tersebut dalam keadaan eksaserbasi akut maka aka nada tanda-
tanda infeksi seperti demam, infeksi saluran nafas, nyeri menelan, lesu, tidak nafsu makan,
pada pemeriksaan tonsil terlihat hiperemi, membengkak, ada kripte melebar, dan detritus. 2
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak
antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi: 2

Tabel 8. Derajat Tonsil

Derajat
Keterangan
Tonsil
TO Tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat.
T1 <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

17
Gambar 3. Derajat Tonsil

Gambar 4. Batas-Batas Pembesaran Tonsil

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat

18
menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala
yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis. 4

3.5 TATALAKSANA

Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan


tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau yang
konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis termasuk
pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk
membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak
mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang.1

Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan mencegah
rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam parenkim tonsil
ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang efektif bergantung pada
identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil. Pemeriksaan apus permukaan tonsil
tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim tonsil, walaupun sering digunakan sebagai
acuan terapi, sedangkan pemeriksaan aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA)
merupakan tes diagnostik yang menjanjikan.4

3.5.1 TONSILEKTOMI

3.5.1.1 Indikasi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. dulu
tonsilektoni diindikasikan untuk terapi tonsillitis kronik dan berulang. Saat ini,
indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil. 5
Menurut The American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) 1995, indicator klinis untuk prosedur surgikal adalah seperti berikut : 5

a. Indikasi Absolut
1) Pembengkakakn tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
2) Abses peritonsiller yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
3) Tonsillitis yang menimbulkan kejang demam
4) Tonsillitis yang membutuhkan biopsy untuk menentukan patologi anatomi

19
b. Indikasi Relatif
1) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik
adekuat
2) Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
3) Tonsillitis kronik atau berulang pada karier Streptokokus yang tidak membaik

dengan pemberikan antibiotic -laktamase resisten

4) Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan

3.5.1.2 Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, nemun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi akan dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan resiko. Keadaan tersebut adalah: 5
a. Gangguan perdarahan
b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
c. Anemia
d. Infeksi akut yang berat
e. Asma
f. Tonus otot yang lemah
g. Sinusitis
h. Albuminuria
i. Hipertensi
j. Rinitis alergi
k. Demam yang tidak diketahui penyebabnya

3.5.1.3 Teknik Operasi


Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri,
perdarahan perioperatif, dan pascaoperatif serta durasi operasi. Beberapa teknik
tonsilektomi dan peralatan baru ditemukan disamping teknik tonsilektomi standar. Di
Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi. 5

20
a. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fossa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat. 5

b. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini di lakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan meggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunkan klem tonsil dan ditarik ke arah
medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut. 6

c. Electrosurgery (Bedah Listrik)


Pada bedah listrik transfer energy berupa radiasi elektromagnetik (energi
radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang
digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 4 MHz.
penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung. Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas
dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini.
teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik
(electrical pathway). 6

d. Radiofrekuensi
Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.
Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4 6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volumr jaringan berkurang. Pengurangan
jaringan juga dapat terjadi bila energy radiofrekuensi diberikan pada medium
penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat
menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses

ini terjadi pada suhu rendah (40 - 70 ), mungkin lebih sedikit

jaringan sekitar yang rusak. 6

21
Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian
atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan
morbiditas tonsillektomi. 6

e. Skalpel Harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonic untuk memotong dan
mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan lase. Sistem
skalpel harmonic terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel
penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. 6
Skalpel harmonic memiliki beberapa keuntungan disbanding teknik bedah
lain, yaitu kerusakan akibat panas minimal karena proses pemotongan dan
koagulasi terjadi pada temperature lebih rendah dan charring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit, lapangan bedah terlihat jelas karena
lebih sedikit perdarahan, perdarahan dan nyeri pasca operasi juga minimal dan
teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi
kehilangan darah. 6

f. Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan
listrim radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium
klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak
jaringan sekitar. Efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar
tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah
perdarahan. 6

g. Intracapsular Partial Tonsillectomy


Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsillektomi parsial yang
dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Pada tonsillektomi
intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot
faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan pelindung biologis bagi
otot daris secret. Hal ini akan mencegah terjadinya perluakan jaringan dan
mencegah terjadinya peradangan local yang menimbulkan nyeri, sehingga

22
mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Tonsillitis
kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini. Keuntungan teknik ini angka kejadian
nyeri dan perdarahan pasca operasi kebih rendah dibandingkan tonsillektomi
standar. 6

h. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
meyebabkan infeksi kronik dan rekuren. 7
LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik
dengan anestesi lokal.Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas
menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang.Tekhnik ini
direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis
berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.7

3.6 KOMPLIKASI
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah
sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai
komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 2

3.6.1 Komplikasi sekitar tonsil

a. Peritonsilitis

Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan
abses.

b. Abses Peritonsilar (Quinsy)

Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil
dan penjalaran dari infeksi gigi.

23
c. Abses Parafaringeal

Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal,
adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

d. Abses Retrofaring

Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

e. Krista Tonsil

Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan
ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa
cekungan, biasanya kecil dan multipel.

f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)

Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
membentuk bahan keras seperti kapur.

3.6.2 Komplikasi Organ jauh

a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik

b. Glomerulonefritis

24
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

e. Artritis dan fibrositis

3.7 PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis lebih
nyaman. 4

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam mendiagnosis pasien sebagai Tonsilitis Kronis perlu diperhatikan dari gejala
klinis dan pemeriksaan fisik sesuai kriteria yang ada, sehingga dapat dilakukan terapi sesuai
dengan kondisinya, apakah hanya di berikan obat, atau operasi langsung atau diobati dahulu
sampai kondisi tenang dan dioperasi. Karena jika tidak diobati secara tepat akan merubah
prognosis yang kemungkinan baik pada pasien-pasien tertentu.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
pg: 330-44.

2. Soepardi.E.A,et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. pg:212-25.

3. Amaruddin, Tolkha. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi, cermin dunia kedokteran. EGC:
jakarta

4. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam Malik


Medan tahun 2007-2010. USU Instusional repository: Medan
5. Nugraheni, W.D. 2015. Referat Tonsillitis Membranosa. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Yarsi. Available at : https://www.scribd.com/doc/295594624/Referat-
Tonsilitis-Membranosa-Winda. Diakses pada tanggal 16 Oktober 2016 jam 11.43 WIB.
6. Anonim. 2011. Tonsillektomi. Medan : Fakultas Universitas Sumatera Utara. Available at :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23175/3/Chapter%20II.pdf. Diakses pada
tangga; 16 Oktober 16 jam 12.03 WIB.
7. Putra, S.P. 2014. Tonsillitis Kronik. Available at :
https://sandurezu.wordpress.com/2014/07/19/tonsilitis-kronik/. Diakses pada tanggal 20
Oktober 2016 jam 14.06 WIB.

26

Anda mungkin juga menyukai