Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

EPISTAKSIS ANTERIOR

Disusun oleh :
Afifah Widyhadhari
(030.012.005)

Pembimbing :

dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL


dr. Heri Puryanto, Sp. THT-KL

KEPANITRAAN KILINIK BAGIAN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RSUD KARDINAH KOTA TEGAL
3 APRIL – 6 MEI 2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

Epistaksis Anterior

Oleh:

Afifah Widyadhari

030.12.005

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan

Kepanitraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher

Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah, Kota Tegal

3 April – 6 Mei 2017

Tegal, November 2017

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Heri Puryanto, Sp. THT-KL dr. Fahmi Novel, Sp. THT-KL

2
BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan hidung merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga setiap dokter
harus siap menangani kasus demikian. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah aplikasi
tekanan pada pembuluh yang berdarah.

Perdarahan hidung atau epistaksis, bukanlah suatu penyakit, melainkan sebagai gejala
dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai berat dan bila tidak segera ditolong dapat
berakibat fatal. Sumber pedarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang
hidung. Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak-anak maupun pada usia lanjut.

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat dikelatui penyebabnya, kadang


kadang jelas disebabkan kaena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung ataupun juga dapat disebabkan oleh kelainan sistemik. Penyebab tersebut
diantaranyaa trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital, penyakit kardiovaskular,
kelainan darah, infeksi sistemik, ganguan endokrin, perubahan tekanan atmosfer.

Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior.


Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan epistaksis
posterior umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya
berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior.

3
BAB II

LAPORAN KASUS
1.1 Identittas Pasien

Nama : Tn. OG

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 33 tahun

Alamat : Lawatan, dukuturi

Pekerjaan : karyawan

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

No RM : 718 443

3.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 13 April 2017 pada pukul
08.00 WIB bertempat di Bangsal Eldeweis Atas Kardinah Tegal

A. Keluhan utama

Hidung kiri keluar darah / mimisan 3 hr SMRS

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah tanggal 12 April 2017. Pasien mengeluh
keluar darah dari hidung sebelah kiri secara tiba-tiba 3 hari SMRS. Darah keluar terus
menerus, berwarna merah segar, selama kurang lebih 20 menit. Pasien mengatakan selama
darah keluar dari hidung, menghabiskan 1 gulung tisu, pasien juga merasakan selama
perdarahan terjadi terasa seperti menelan darah. Saat pertama kali perdarahan dari hidung
terjadi, pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih Jakarta, dari sana pasien dipasang tampon
anterior pada hidung sebelah kiri. Pasien tidak ada terbentur di daerah hidung atau trauma
(mengorek hidung ) yang berlebihan sebelum terjadi, juga sebelumnya tidak ada bersin yang
teralu keras.

4
C. Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah mengalami riwayat keluhan serupa. Pasien memiliki riwayat HIV sejak 2
tahun yang lalu, dan hingga saat ini mengkonsumsi obat ARV. Sejak 1 tahun terakhir, pasien
sering kambuh pilek dan bersin-bersin, namun pasien tidak mengobatinya dengan baik,
sehingga sering kambuh. Pasien tdiak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus, kelainan
darah

D. Riwayat penyakit keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang pernah memiliki keluhan serupa, riwayat penyakit
diabetes mellitus dan hipetensi juga disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital

TD :120/70 mmHg

Nadi :84 x/menit

Respirasi :20 x/menit

Suhu :36o celcius

Status generalis

Kepala : Normocephali

Mata : Konjugtiva anemis(-/-), Sklera ikterik(-/-)

Telinga : Status Lokalis

Hidung : Status Lokalis

Mulut : Status Lokalis

Leher : Jejas(-), oedem(-), hematom (-), pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid
(-), nyeri tekan (-)

Thorax

Jantung

5
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di ICS V linea midklavikularis sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan : ICS V linea strenalis dextra

Batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I,II reguler, murmur(-), gallop (-)

Paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi : vocal fremitus teraba sama di kedua lapang paru

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Abdomen

Inspeksi : Supel

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+), normal

Status Lokalis

Telinga

Dextra Sinistra
Normotia, benjolan (-), nyeri Daun telinga Normotia, benjolan (-), nyeri
tarik (-), nyeri tekan tragus (- tarik (-), nyeri tekan tragus (-
) )
Hiperemis (-), fistula (-), Preaurikuler Hiperemis (-), fistula (-),
oedem (-), sikatriks (-) oedem (-), sikatriks (-)
Hiperemis (-), fistula (-) Retroaurikuler Hiperemis (-), fistula (-)
oedem (-), sikatriks (-), neyri oedem (-), sikatriks (-), neyri
tekan mastoid (-) tekan mastoid (-)
Lapang, hiperremis (-), Kanalis austikus ekstenus Lapang, hiperremis (-),

6
oedem (-), discharge (-) oedem (-), discharge (-)
Hiperemis (-), warna putih Membran timpani Hiperemis (-), warna putih
mengkilat, refleks cahaya (+) mengkilat, refleks cahaya (+)

Hidung

Dextra Sinistra
Bulu hidung (+), hiperemis (-), Vestibulum Bulu hidung (+), hiperemis (-),
benjolan (-), nyeri (-), sekret (-) benjolan (-), nyeri (-), sekret (-)
Tidak terlihat Konka superior Tidak terlihat
Liid (-), hieprtrofi (-), hiperemis Konka media Liid (-), hieprtrofi (-), hiperemis
(-), discharge (-) (-), discharge (-)
Livid (-), hieprtrofi (-), Konka inferior Livid (-), hieprtrofi (-),
hiperemis (-), discharge (-) hiperemis (-), discharge (+)
Tidak dapat dinilai Meatus nasi medius Tidak dapat dinilai
Tidak dapat dinilai Meatus nasi inferior Tidak dapat dinilai
Lapang Cavum nasi Lapang
Deviasi (-) Septum nasi Deviasi (-)

Sinus Frontal Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)


Sinus ethmoid Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)
Sinus Maksila Nyeri tekan (-/-), nyeri ketuk (-/-)

Orofaring

Mulut Trismus (-)


Palatum Simetris, deformitas (-)
Arkus faring Simtris , hiperemis (-)
Mukosa faring Hiperemis (-), ranulasi (+), sekret (-)
Dinding faring posterior Hiperemis (-), post nasal drip (-)
Uvula Simetris ditengah, hiperemis (-)
Tonsila Palatina Ukuran : T1
Warna : Hiperemis (-)
Kripta : dalam batas normal
Dentritus : -/-

7
Kemampuan menelan
Makanan padat (+), makanan lunak (-), air (+)

Laringoskop indirek : Tidak diakukan

Leher : Kelenjar getah bening dan tiroid tidak teraba

3.4 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Labolatorium

Pemeriksaan (13 Hasil Nilai Rujukan Satuan


April 2017)
Hematologi
CBC
Hemoglobin 11,7 11,2 – 15,7 g/dl
Hematokrit 37,2 37 – 47 %
Trombosit 370 150 – 521 ribu/uL
Leukosit 9,7 4,4 – 11,3 ribu/uL
Eritrosit 4,3 4,1 – 5,1 juta/uL
RDW 12,7 11,5 – 14,5 %
MCV 86,4 80 – 96 Unit
MCH 29,3 28 – 33 Pcg
MCHC 34 34 – 36 g/dl
Seroimunologi
HbsAG Negatif Negatif
HIV (Rapid Test ) Non Reaktif Non Reaktif
SD

8
Nasoedoskopi

3.5 Diagnosis Banding

- Epistasis anterior
- Epistaksis posterior

3.6 Diagnosa Kerja

- Episaksis anterior

3.7 Penatalaksanaan

- Observasi keadaan umum dan tanda vital


- Pemasangan tampon anterior

9
Tampon dibuat dari kasa steril yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik
*pelumas bertujuan agar tampon mudah dimasukan dan tidak menimbulkan
perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut.
Tampon dimasukan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus
menekan asal perdarahan. Tampon ini dipertahankanselama 2x24 jam. Selama
pemasangan tampon pasien diharuskan duduk tegak, untuk menghindari
terjadinya aspirasi darah.

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Epistaksis atau mimisan merupakan perdarahan yang berasal dari hidung.. Epistaksis
atau perdarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut.
Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan
dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis yang
berat, walaupun jarang, merupakan kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani.1,2

3.2 Klasifikasi

Melihat asal perdarhaan, epistaksis dibagi menjadi, yaitu: (1) epistaksis anterior dan
(2) epistaksis posterior. Pada epistaksis anterior, berasal dari pleksus Kiesselbach yang tediri
dari ujung-ujung a. Etmoidalis anterior, a. Sfenopalatina, a. Palatina mayor dan a. Labialis
superior. Perdarahan ini biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau
kebiasaan mengorek hidung, kebanyakan terjadi pada anak-anak dan dapat berhenti sendiri.
Sedangkan pada epistaksis posterior berasal dari a. Sfenopalatina atau a. Etmoidalis posterior.
Perdarahan ini biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering di temukan pada
pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskular.1,2

Gambar 1. Anatomi pembuluh darah hidung

11
3.3 Epidemiologi

Prevalensi epistaksis sulit dinilai karena mayoritas berhenti sendiri dan tidak
dilaporkan. Namun, sekitar 90% dari total kejadian epistaksis ialah tipe anterior dan 10%
sisanya merupakan epistaksis posterior. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak (2-
10 tahun) dan usia lanjut. Sementara epistaksis posterior biasanya terjadi pada usia >50
tahun.1

3.4 Etiologi

Epistaksis disebabkan oleh berbagai hal, baik bersifat lokal maupun sistemik, tetapi
juga dapat idiopatik. 1,2,3

1. Penyebab lokal: trauma (mengorek hidung, benturan, pukulan, fraktur, corpus


alienum), udara kering, cuaca dingin, pasca infeksi saluran napas atas, kekeringan
nasal, pajanan zat kimiawi atau tumor
2. Penyebab sistemik: penyakit hati kelainan perdarahan primer/sekunder,
obat obatan (obat anti pembekuan darah, warfarin), hipertensi, aterosklerosis,
telangiektasis, (kelainan kongenital) dan infeksi sitemik (demam berdarah, demam
tifois, morbili)
3. Idiopatik: (10% kasus)
Penyebab epistaksis anterior biasanya bersifat singkat. Sedangkan epistaksis
posterior bersifat sistemik.

Sering kali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-
kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada
hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan
pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan
atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital. 2

3.5 Patofisiologi

Perdarahan umumnya disebabkan oleh erosi mukosa dan pembuluh darah yang
terpajan langsung dengan agen pencetus. Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach
pada septum bagian anterior atau dari a. Etmoidalis anterior. Perdarahan vena/kapiler tersebut
mengakibatkan perembesan terus-menerus bukan perdarahan masif seperti perdarahan arteri.

12
Sedangkan pada epistaksi posterior, jumlah perdarahan biasanya lebih masif hingga beresiko
mengakibatkan ganguan jalan napas, aspirasi darah, serta perdarahan lebih sulit dikontrol.

Berikut ini adalah dampak dari etiologi epistaksis sampai menimbulkan perdarahan:1,4,5

1. Trauma menyebabkan ulserasi mukosa sehingga terjadi perdarahan.


2. Udara kering dengan kelembaban yang rendah dan obat-obatan topikal hidung dapat
mengiritasi mukosa.
3. Kelainan septum menyebabkan ganguan aliran udara normal pada hidung sehingga
menimbulkan kekeringan dan terjadilah epistaksis.
4. Bakteri, virus, maupun alergen akan menimbulkan respon inflamasi pada hidung
5. Arteriosklerosis biasanya menjadi penyebab epistaksi pada orangtua. Kelemahan
pembuluh darah mengakibatkan malformasi arteri vena yang mudah pecah.

3.6 Anamnesis

Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya


harus segera di lakukan. Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu
anamnesis yang cermat, hal-hal penting dalam anamnesis adalah sebagai berikut, yaitu:
riwayat perdarahan sebelumnya, lokasi perdarahan (apakah darah mengalir ke tenggorokkan,
porterior atau keluar dari hidung depan, anterior), lama perdarahan dan frekuensinya,
kecenderungan perdarahan, riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga, apakah ada
memiliki hipertensi, diabetes mellitus, penggunaan obat antikoagulan dan trauma pada
hidung sebelum terjadinya epistaksis. 3

3.7 Pemeriksaan Fisik

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya terlebih dahulu
seperti, nadi, pernapasan, serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jika jalan nafas tersumbat oleh darah atau bekuan darah,
perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari
sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. 2

Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi yang
memudahkan pemeriksa bekerja dan cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengekplorasi
kavum nasi pasien. Pasien bisa diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar
dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaanya lemah sebaiknya setengah duduk atau

13
berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke
saluran napas bawah. Jika pada pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk,
kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.2

Pemeriksaan yang perlu dilakukan yaitu: Rinoskopi anterior: degnan menggunakan


spekulum, hidung di buka kemudian dengan bantuan alat penghisap dibersihkan kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun bekuan darah. Sesudah dibersihkan seluruh kavum
nasi diobservasi untuk mencari sumber perdarahanya, diperiksa dengan cermat bagian-bagian
vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konka inferior.
Kemudian pemeriksaaan rinoskopi posterior, pemeriksaan nasofaring dengan menggunakan
cermin nasofaring pada penderita dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronis yang
bercampur darah penting untuk menyingkirkan adanya neoplasma.2,4

Pemeriksaan selanjutnya dengan nasoendoskopi dilakukan untuk evaluasi bagian kavum


nasi dan muara sinus secara langsung menggunakan tampilan berkualitas tinggi. Berfungsi
sebagai alat diagnostik objektif dalam mengevaluasi mukosa hidung, anatomi sinonasal, dan
patologi hidung. Nasoendoskopi dapat dilakukan dengan menggunakan teleskop serat optik
atau teleskop kaku. Prosedur pemeriksaan ini harus dilihat sebagai komponen penting dari
pemeriksaan lengkap dari hidung dan sinus. 4

Gambar 2. Alat Nasoendoskopi

Dengan menggunakan spekulum, hidung dibuka dan dengan alat penghisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun bekuan darah, sesudah itu
dibersihkan seluruh kavum nasi diobservasi untuk mencari sumber perdarahan dan
kemungkinan faktor penyebab perdarahan. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan bantuan
tampon anterior yang diberikan vasokonstriktor (seperti adrenalin 1/5000 – 1/10.000 dan
pantokain atau lidokain 2%) untuk membantu mengurangi rasa nyeri, dan biarkan tampon

14
selama 10-15 menit. Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat ditemukan atau
perdarahan timbul dari kedua lubang hidung, atau darah mengalir terus menerus di faring
posterior, pertimbangkan kemungkinan epistaksis posterior. 1,2

3.8 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang hanya dikerjakan pada kasus dengan kecurigaan koagulopati


atau adanya perdarhan masif, yaitu: pemeriksaan labolatorium darah lengkap dan profil
hemostasis (waktu perdarahan, PT, aPTT), pencitraan radiologis MRI atau CT SCAN untuk
pasien dengan kecurigaan keganasan atau benda asing yang sulit dilihat pada pemeriksan
fisik. dan pemeriksaan nasoedoskopi, dapat melihat langsung sumber perdarahan dari anterior
atau posterior. 1,4

3.9 Penatalaksanaan

Perdarahan anterior

Perdarahan anterior seringkali beasal dari pleksus Kiesselbach di septum bagian


depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak,
dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10 sampai 15 menit, dan
seringkali berhasil.1,2

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan
larutan Nitra Argentu (AgNO 2) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.1,2,4

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibalut dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin
atau salep antibotik. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukin dan tidak timbul
perdarahan baru saat dimasukan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, di
susun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan
selama 2 x 24 jam, harus di keluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan
masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1,2

15
Gambar 3. Tampon anterior

Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya peradarahan hebat
sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi posterior. Untuk menanggulangi
perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Beloq.
Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3cm. Untuk
pemasangan tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet
yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak orofaring, lalu ditarik keluar mulut.
Pada ujung kateter ini dikaitkan 2 benang tampon Belloq tadi, kemudian kateter ditarik
kembali melalui lubang hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu
didorong dengan batuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum molle masuk ke
nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam
kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungnan kain kasa
yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya, benang lain yag keluar dari mulut diikatkan
secara longgar pada pipi pasien. 1,4

Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati
menyabut tampon karna dapat menyebabkan laserais mukosa.Bila perdarahan berat dari
kedua sisi misalnya angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter yang masing-masing
melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah
nasofaring.1,2,4

Jika masih terjadi perdarahan berulang, sehera identifikasi kausa, seperti apakah
pasien memang memiliki gangguan koagulopati, dnegna konsultasi ke bagian hematologis
onkologis dan dapat dikoreksi dengan FFP, Vit K, cryprecipitate dan trombosit. Dan juga

16
dapat dilaukkan intervensi pembedahan seperti: septum koreksi, ligasi arteri karotis ekterna,
ligasi arteri maksilaris interna, ligasi arteri sfenopalatina, ligasi arteri etmoidalis, embolisais
dan tindakan HHT (Hereditary Hemorhagic Thelangiectasy).

Gambar 4 . Tampon posterior / Tampon Bello

Jika masih terjadi perdarahan berulang, sehera identifikasi kausa, seperti apakah
pasien memang memiliki gangguan koagulopati, dnegna konsultasi ke bagian hematologis
onkologis dan dapat dikoreksi dengan FFP, Vit K, cryprecipitate dan trombosit. Dan juga
dapat dilaukkan intervensi pembedahan seperti: septum koreksi, ligasi arteri karotis ekterna,
ligasi arteri maksilaris interna, ligasi arteri sfenopalatina, ligasi arteri etmoidalis, embolisais
dan tindakan HHT (Hereditary Hemorhagic Thelangiectasy).4

17
EPISTAKSI
S

-Anamnesis riwayat penyakit, tentang


perdarahan, riwayat trauma, penggunaan Syok hipovolemik, penderita
obat2an, kebiasaan merokok/alkohol
tua, risiko perdarahan profus Resusitasi
- Pemeriksaan klinis / Labolatorium Cairan

Identifikasi lokasi perdarahan (rinoskopi


anterior, nasoendoskopi rigid/fleksibel
- Anterior
- Posterior
- Lokasi perdarahan tidak jelas

-Evaluasi dan terapi kausa untuk


Tindakan lokal menghentikan perdarahan: mencegah kekambuhan
-Kauter (kimia/elektrik) BERHASIL -Eduasi & selft care penderita
-Tampon hidung (anterior&posterior) untuk mencegah kekambuhan

Tidak ada perarahan


TIDAK
lagi
BERHASIL

Tampon hidung ulang BERHASIL Angkat tampon 48-72


jam

Perdarahan
tidak berhenti Perdarahan ulang

Identifikasi kausa

Gangguan faal Intervensi pembedahan:


perdarahan -Septum koreksi
-Ligassi arteri karotis eksterna
-Ligasi arteri maksilaris interna
-Ligasi arteri sfenopalatina
-Ligasi arteri etmoidalis BERHASIL
Embolisasi arteri maksilaris &
Konsultasi – rawat bersama cabangnya
hematologi onkologis: Radiasi (kasus-kasus malignancy)
Koreksi gangguan Kasus HHT (Laser, fibrin glue, nasal
koagulopati : obliterasi)
-FFP - Vit K 18
-cryprecypitate - trombosit
Gambar 4. Alogaritma Penatalaksanaan Epistaksis menurut
Kelompok Studi Rinologi Indoensia 2015

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah tanggal 12 April 2017. Pasien mengeluh
keluar darah dari hidung sebelah kiri secara tiba-tiba 3 hari SMRS. Darah keluar terus
menerus, berwarna merah segar, selama kurang lebih 20 menit. Pasien mengatakan selama
darah keluar dari hidung, menghabiskan 1 gulung tisu, pasien juga merasakan selama
perdarahan terjadi terasa seperti menelan darah. Saat pertama kali perdarahan dari hidung
terjadi, pasien datang ke IGD RSUD Budhi Asih Jakarta, dari sana pasien dipasang tampon
anterior pada hidung sebelah kiri. Pasien tidak ada terbentur di daerah hidung atau trauma
(mengorek hidung ) yang berlebihan sebelum terjadi, juga sebelumnya tidak ada bersin yang
teralu keras. Pasien memiliki riwayat HIV sejak 2 tahun yang lalu, hingga saat ini
mengkonsumsi obat ARV, namun dari pemeriksaan penunjang labolatorium didapatkan hasil
tes HIV rapid test non reaktif. Selain itu pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
Sejak 1 tahun terkahir, keluhan pilek dan bersin-bersin, namun pasien tidak mengobatinya
dengan baik sehingga sering kambuh. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes
mellitus dan kelainan darah. Dalam keluarga riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan
kelaiann drah juga di sangkal.

Pada pemeriksaan hidung tidak ditemukan perdarahan aktif. Pada pemeriksaan


penunjang labolatorium tidak tampak kelainan bermakna, dan hasil tes HIV rapid test
didapatkan non reaktif. Untuk mencari sumber perdarahan apakah dari epistaksis anteriror
atau posterir dilakukan nasoendoskopi. Didapatkan hasilnya bahwa sumber perdarahan
berasal dari pleksus Kiesselbach, sehingga didapatkan bahwa pasien ini menderita epistaksis
anterior

Pada pasien ini penyebab terjadinya epistaksis dapat disebebakan karena, kelembaban
udara rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang
kering. Sehingga menyebabkan pecahnya pleksus Kiesseblbach atau a. Etmoidalis anteror
secara spontan. Angka kejadian epistaksis meningkat jika terjadi kegagalan fungsi
humidifikasi, atau ketika mukosa hidung terpapar udara kering atau dingin sebagai faktor
musiman. Angka kejadian meningkat sejalan dengan penurunan suhu dan kelembaban. Pada
pasien ini juga memeiliki riwayat bersin dan pilek yang kambuhan, sehingga epistaksis bisa
terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal.

20
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah observasi keadaan umum dan
tanda vital dan dilakukan pemasangan tampon anterior pada didung sebelah kiri, dan
dipertahankan 2x24 jam, selama pemasangan tampon pasien disarankan untuk duduk
tegak/tiduran unutk menghindari terjadinya aspirasi darah dari hidung anterior. Walaupun
saat ini didapatkan pada pasien tidak ada perdarahan aktif dari hidung.

21
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Afifah AH, Mangkusumo E. Kapita Selekta Kedokteran Essentials of Medicine.


Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius.
2014. P. 1044-46.
2. Mangkusumo E, Wardani RS. Epistaksis. Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Soepardi AE, Iskandar SI, Bashiruddin J, Restuuti
RD. Ed 7 Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2012. p 131-135 .
3. Adam GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2014. p 224- 232 p.
4. Punagi AQ. Epistaksis diagnosis dan penatalaksanaan Terkini. Ed 1. Makasar:
Digi Pustaka. 2017. p 45-9 .
5. Morgan DJ, Kellerman R. Epistaxis: evaluation and treatment. Elsevier.
2014;41(1):64-72

22

Anda mungkin juga menyukai