Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

TONSILO FARINGITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi Salah


Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher RS
Bhakti Wira Tamtama Semarang

Disusun oleh :
Novanda Rizky
Radityatama
30101407528

Pembimbing :
dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah


satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok–Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang.

Nama : Novanda Rizky Radityatama


NIM : 30101507528
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Bidan Pendidikan : Ilmu Telinga Hidung Tenggorok–Kepala Leher

Judul : Tonsilo Faringitis Kronik Eksaserbasi Akut

Diajukan : 10 Oktober 2019

Pembimbing : dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : ……………………………………

Mengetahui,
Pembimbing Klinik

dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan
karunia-Nya, yang memungkinkan laporan kasus berjudul “Tonsilo Faringitis
Kronik Eksaserbasi Akut” ini dapat diselesaikan tepat waktu.

Laporan kasus ini disusun pada saat melaksanakan kepaniteraan klinik


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok–Kepala Leher RSI Sultan Agung
Semarang, dengan berbekalkan pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang
diperoleh baik selama kepaniteraan maupun pada saat kuliah pra-klinik.

Banyak pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan laporan


kasus ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:

• dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL selaku pembimbing laporan kasus

• Pimpinan dan staff RS Bhakti Wira Tamtama Semarang

• Rekan Co-asisten selama kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok–Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama Semarang

Walau telah berusaha menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-


baiknya, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan
senang hati untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Semarang, 10 Oktober 2019

Novanda Rizky
Radityatama
BAB I

LAPORAN KASUS

II.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ms. U
Umur : 24 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru
Kota : Semarang

II.2. ANAMNESIS

Autoanamnesis dilakukan tanggal 7 Oktober 2019 di poli THT RST Semarang.

Keluhan Utama
Tenggorokan sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan tenggorokan sakit. Keluhan muncul sudah ±5 hari yang lalu.
Keluhan mulai muncul saat setelah bangun tidur, dan merasa enak jika sedang istirahat dan
meminum minuman hangat.

Pasien menjelaskan gejala lain, pilek yang di derita ±3 minggu disertai lendir yang
bercampur darah, dan juga telinga dirasakan rasa gemerbek, nyeri (-), gatal (-), keluar cairan
(-), serta nyeri pada kelenjar limfe di bawah mandibular dan leher.

Pasien sedang hamil 13 minggu

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien pernah menderita polip nasi sebelumya.

Sering sakit seperti ini dahulu saat kecapean.

Riwayat hipertensi, kolesterol dan DM disangkal.


Riwayat Penyakit Keluarga :

Pasien mengaku tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini.

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien menggunakan BPJS non PBI

II.3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis :

 Keadaan umum : tampak lemas


 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda vital :
 Nadi : 115 x/menit
 Respirasi : 20 x/menit
 Tekanan Darah : 121/87 mmHg

Status Lokalis (Telinga, Hidung, Tenggorokan)


a. Kepala dan leher :
 Kepala : mesocephale
 Wajah : simetris
 Leher : pembesaran kelenjar limfe (+)
b. Gigi dan Mulut :
 Gigi geligi : normal
 Lidah : normal, kotor (-), tremor (-)
 Pipi : bengkak (-)

c. Telinga :
Telinga kanan Telinga kiri

Aurikula Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),


massa (-). massa (-).

Preaurikula Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),


massa (-), fistula (-), abses (-). massa (-), fistula (-), abses (-).

Retroaurikula Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),


massa (-), fistula (-), abses (-). massa (-), fistula (-), abses (-).
Palpasi Nyeri pergerakan aurikula (-), Nyeri pergerakan aurikula (-),
nyeri tekan tragus (-), nyeri nyeri tekan tragus (-), nyeri
tekan aurikula (-) tekan aurikula (-)

Otoskopi :

Telinga kanan Telinga kiri

MAE Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),


serumen (+), furunkel (-). serumen (+), furunkel (-).
Membran Intak, berwarna abu-abu, Intak, berwarna abu-abu,
timpani refleks cahaya +. refleks cahaya +.

d. Hidung dan Sinus Paranasal :


Luar Kanan Kiri
Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)

Rhinoskopi anterior Kanan Kiri


Sekret (+) (+)
Mukosa Edema (-) Edema (-)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Konka media Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konka inferior Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Tumor (-) (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)

e. Faring :
Orofaring Kanan Kiri
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Dinding faring Granular (-) Granular (-)
Palatum mole Ulkus (-) Ulkus (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Arcus laring Simetris (+) Simetris (+)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Uvula Ditengah
Edema (-)
Tonsil :
- Ukuran T2 T2
- Permukaan Rata Rata
- Warna Hiperemis (+) Hiperemis (+)
- Kripte Melebar (+) Melebar (+)
- Detritus (-) (-)

II.3. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan radiologi : CT-Scan kepala dan leher


 Laboratorium : pemeriksaan darah lengkap
 Cek kolesterol total, LDL, dan HDL

II.4. RESUME

Ms. U usia 24 tahun datang ke rumah sakit karena tenggorokan nyeri. Keluhan
muncul ± sejak 5 hari yang lalu. Gejala lain yang menyertai antara lain:
 Telinga gemerbek.
 Nyeri pada kelenjar limfe di bawah mandibular dan leher.
 Pilek ± 3 minggu yang lalu
 Keluar sekret bening bercampur darah.
 Pemeriksaan fisik hidung hiperemis, telinga dalam batas normal, pada tenggorokan
terdapat hiperemis dan post nasal drip, disertai pembesaran dan hiperemis tonsil.

II.5. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Tonsilo Faringitis Kronik Eksaserbasi Akut

Diagnosis banding :

 Rhinosinusitis Akut

II.6. TATALAKSANA

Non Medikamentosa :

 Ear toilet

Medikamentosa :

Paracetamol 500mg / 8 jam


NaCL 0,5 cuci Hidung / 8 jam
Cefixime 100mg/ 12 jam

II.7. PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Faring
Faring terletak dibelakang cavum nasi, mulut, dan laring. Bentuknya mirip corong
dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan bagian bawahnya yang
sempit dilanjutkan sebagai eosophagus setinggi vertebra cervicalis enam. Dinding faring
terdiri atas tiga lapis yaitu mukosa, fibrosa, dan muskular.
Gambar 1. Anatomi Faring

Berdasarkan letak, faring dibagi atas tiga bagian yaitu : nasofaring, orofaring, dan
laringofaring.
1. Nasofaringx
Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.
Nasopharynx mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dandinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngeal, yang terdapat
didalam submucosa. Bagian dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang
miring. Dinding anterior dibentuk oleh aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir
posterior septum nasi. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang
berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding
lateral pada tiap-tipa sisi mempunyai muara tuba auditiva ke faring. Kumpulan jaringan
limfoid di dalam submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.

Gambar 2. Pembagian Faring


2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole,
batas bawahnya adalah tepi atas epiglotis, kedepan adalah rongga mulut, sedangkan
kebelakang adalah vertebra servikal.

Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding
lateral. Bagian atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharygeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa permukaan
bawah palatum molle. Bagian dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah dan celah
antara lidah dan permukaan anterior epiglotis. Membrana mukosa yang meliputi sepertiga
posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid
dibawahnya, yang disebut tonsil linguae. Membrana mukosa melipat dari lidah menuju ke
epiglotis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glosso epiglotica
mediana, dan dua plica glosso epiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glosso
epiglotica mediana disebut vallecula.
Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus oropharynx
(isthmus faucium). Dibawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding
posterior disokong oleh corpos vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra
cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palate glossus dengan
tonsila palatina diantaranya.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior pharynx,
tonsil palatina, fossa tonsila serta arcus pharynx anterior dan posterior, uvula, tonsila
lingual dan foramen sekum.

- Fossa Tonsilaris
Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral
oropharynx diantara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus
dibelakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina.

Batas lateralnya adalah m.konstriktor pharynx superior. Pada batas atas yang disebut
kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fossa supra tonsila.
Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah
keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari
fasia bukopharynx, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul
yang sebenarnya.

Gambar 3. Struktur pada Orofaring

- Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal
(adenoid), tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil
saja terletak didalam fossa tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong pharynx yang kedua. Kutub bawah tonsil
biasanya melekat pada dasar lidah.

Tonsil faringeal dalam kapsulnya terletak pada mukosa dinding lateral rongga mulut.
Di depan tonsil, arkus faring anterior disusun oleh otot palatoglosus, dan dibelakang
dari arkus faring posterior disusun oleh otot palatofaringeus.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus. Didalam kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia pharynx yang
sering juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot pharynx,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi.

Gambar 4. Cincin Waldeyer

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina minor, arteri palatine asendens, cabang
tonsil arteri maksila eksterna, arteri pharynx asendens dan arteri lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan
tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus
tiroglosus.
Vena-vena menembus m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena
palatine eksterna, vena pharyngealis, atau vena facialis. Aliran limfe pembuluh-
pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting
dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan
belakang angulus mandibulae.

3. Laryngofaring
Laryngofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior
larynx, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilage
cricoidea. Laryngofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan lateral. Dinding
anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mukosa yang meliputi permukaan
posterior laringDinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga,
keempat, kelima, dan keenam. Dinding lateral disokong oleh cartilage thyroidea dan
membrane thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa
piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.

2.2 Fisiologi Tonsil


Tonsila palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris di
kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila palatina
lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi oleh kapsul
tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan jaringan
limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein
asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan
antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila
patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel fagositik mononuklear pertama-tama akan
mengenal dan mengeliminasi antigen.

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang


mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.
Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke
sel limfosit sehingga terjadi APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel
limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan bahan asing
dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.
Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi
belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi.
Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke tubuh
melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi
untuk membantu melawan infeksi. Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak
selalu mengisi seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa
supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga
komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan
interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid). Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda
asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil
ditemukan pada usia 3 – 10 tahun.

2.3 Definisi
Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina

yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan oleh serangan ulangan dari

Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada tonsil. Organisme

patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk waktu yang lama dan

mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya tahan tubuh penderita mengalami

penurunan (Colman, 2001). Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari

rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik,

dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

2.4 Etiologi
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara
aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring
terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan.
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang
mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase
resolusi tidak sempurna.
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman
yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA). Streptokokus
grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen
infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan
Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.

2.5 Patofisiologi
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di
tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang
infeksi (fokal infeksi) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh
misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun. Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa
juga jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga
kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fossa tonsilaris. Pada anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submadibularis.

2.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas.
Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di
tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau. Pada tonsillitis kronik juga
sering disertai halitosis dan pembesaran nodul servikal. Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik
berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya,
kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya
hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.

Gambar 5. Tonsillitis kronikBerdasarkan rasio perbandingan


tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan
medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat
dibagi menjadi

T0 : Tonsil masuk di dalam fossa


T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

Gambar 6. Rasio Perbandingan Tonsil Dengan Orofaring


Gambar 7. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils. (C) Grade-
IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

2.7 Diagnosis
Diagnosis untuk tonsillitis kronik dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
secara tepat dan cermat serta pemeriksaan fisis yang dilakukan secara menyeluruh untuk
menyingkirkan kondisi sistemik atau kondisi yang berkaitan yang dapat membingungkan
diagnosis.

Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis berulang


berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada
rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada tenggorokan, dan obstruksi pada saluran
cerna dan saluran napas, yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-
gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat
ditemukan adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Pada umumnya terdapat dua
gambaran tonsil yang secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik.
Pada Biakan tonsil dengan penyakit kronis biasanya menunjukkan beberapa
organisme yang virulensinya relative rendah dan pada kenyataannya jarang menunjukkan
streptokokus beta hemolitikus.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.
1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian
antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral. 1,8 Pemberian
antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis
kronis yaitu antibiotik golongan penisilin merupakan antibiotik pilihan pada sebagian besar
kasus karena efektif dan harganya lebih murah. Namun, pada anak dibawah 12 tahun,
golongan sefalosporin menjadi pilihan utama karena lebih efektif terhadap
streptococcus.Golongan makrolida dapat digunakan hanya jika terdapat alergi terhadap
penisilin, hal ini disebabkan efek samping yang ditimbulkan golongan makrolida lebih
banyak.

2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
 Indikasi Tonsilektomi
Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi
tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak
menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi Indikasi absolut: a) Hiperplasia

tonsil yang menyebabkan gangguan tidur (sleep apneu) yang terkait dengan cor
pulmonal. b) curiga keganasan (hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan
tonsil yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang berulang
(Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses peritonsilar. c).
tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten, halitosis, atau adenitis
cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f). gangguan pada orofacial atau gigi
(mengakibatkan saluran bagian atas sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon
terhadap terapi). h). otitis media recuren atau kronik.
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah:

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat terapi yang
adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan orofacial
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus beta
hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

 Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat.

 Persiapan Pasien Tonsilektomi


Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi
pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
dengan perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan Lab seperti
waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah trombosit, pemeriksaan hitung
darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain itu pemeriksaan
antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan untuk mengetahui tingkat infeksi serta
sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu
pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.
Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari 200
IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan elektrokardiogram sebaiknya
dilakukan sebelum pembedahan.

 Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut
yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi
manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga
akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih
besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian
pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi
arteri karotis eksterna
2.9 Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,
uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.

Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:


a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses
biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi
faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang.
Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus.
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.

Gambar.10 Abses peritonsil


b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah
medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.

c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat
terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah
rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah
dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainasi.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.


Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada
43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus
beta hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
2.10 Prognosis BPPV
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah
mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang
sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis
dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis kronis merupakan infeksi berulang pada tonsil palatina dan obstruksi saluran napas
bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak
sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang, odynophagia, sulit
menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula. Dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada anak.

Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain bakteri
streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus herpes
simplex dengan penyebab paling sering adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik
(GABHS).

Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari rokok,
beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Penatalaksanaan dari tonsillitis kronik berupa
medikamentosa dan operatif .
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
3. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. .
4. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.
5. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
6. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
7. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
8. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran Penelitian :
Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan Setelah
Tonsilektomi.
9. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu Kesehatan
Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
10. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.
Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
11. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
12. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
13. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:
Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
14. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

Anda mungkin juga menyukai