Anda di halaman 1dari 39

Laporan kasus

“Rhinitis Akut dengan Tonsilofatingitis Kronik”

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu syarat

menempuh program pendidikan profesi dokter

Bagian ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok – kepala leher

RSI sultan agung semarang

Disusun oleh :

Hafida Zahara Hanun

30101507462

Pembimbing :

dr. Renny Swasti, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA
SEMARANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok – Kepala Leher RSI Sultan Agung Semarang.
Nama : Hafida Zahara Hanun
NIM : 30101507462
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Bidang Pendidikan : Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Judul : Rhinitis Akut dengan Tonsilofaringitis Kronik
Diajukan : 12 Oktober 2019
Pembimbing : dr. Renny Swasti, Sp.THT-KL

Telah diperiksa dan di sahkan pada tanggal:.................................

Mengetahui
Pembimbing Klinik

dr. Renny Swasti, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan karunia-Nya, yang
memungkinkan laporan kasus berjudul “Rhinitis Akut dengan Tonsilofaringitis Kronik”
ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Laporan kasus ini disusun pada saat melaksanakan kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher RSI Sultan Agung Semarang,
dengan berbekalkan pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama
kepaniteraan maupun pada saat kuliah pra-klinik.
Banyak pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini, dan
untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
- dr. Renny Swasti, Sp.THT-KL selaku pembimbing laporan kasus
- Pimpinan dan staff RSI Sultan Agung Semarang
- Rekan Co-asisten selama kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
– Kepala Leher RSI Sultan Agung Semarang
Walau telah berusaha menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-baiknya, penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang membangun akan diterima dengan senang hati untuk perbaikan di masa
mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semarang,12 Oktober 2019

Hafida Zahara Hanun


BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. Z

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 20 tahun

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Jl. Kapas Tengah Genuk , Semarang

No. RM : 013896xx

Tanggal Pemeriksaan : 02/10/2019 di poli THT-KL RSI Sultan Agung

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 02 Oktober 2019, pukul 11.00

WIB di poli THT Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.

Keluhan Utama:

Hidung tersumbat

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan utama:

Hidung tersumbat

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poli klinik THT RSISA Semarang pada tanggal 02 Oktober 2019. Pasien

datang ke poli THT. Pasien mengeluh hidung tersumbat sejak 4 hari yang lalu hilang timbul.
2 hari yang lalu pasien mengeluh hidung sedikit berdarah. Pasien juga mengeluhkan susah

menelan, perasaan tidak enak di tenggorokan, mengganjal dan terasa kering. Pasien juga

mengeluhkan adanya demam dan benjolan di leher depan. Mual (+) muntah (-). Tidak ada

batuk dan keluhan pada telinga dan hidung.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Penyakit serupa sebelumnya : disangkal

Riwayat rhinitis : disangkal

Riwayat operasi : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat atopik lain : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes Mellitus : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes Mellitus : disangkal

Riwayat alergi : debu

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien berobat dengan UMUM.

C. PEMERIKSAAN FISIK

D. Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 02 Oktober 2019, pukul

11.00 WIB di poli THT Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.
Status Generalisata

 Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Status Gizi : Cukup

Vital Sign :

Tensi :120/70 mmHg

Nadi : 64 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 37,9°C

 Kepala dan Leher

Kepala : Normocephal

Wajah :

Inspeksi : dalam batas normal

Palpasi : (-) nyeri tekan pada daerah hidung dan pipi kiri

Perkusi : (-) nyeri ketuk pada daerah hidung dan pipi kiri

Leher anterior : tidak ada pembesaran KGB

Leher posterior : tidak ada pembesaran KGB

 Gigi dan Mulut :

Gigi geligi : karies disangkal, gigintivis di sangkal.

Status Lokalisata

 Telinga

 Telinga Luar
Telinga AD AS

Preaurikula Fistel (-) Fistel (-)

Retroaurikula Fistel (-) Fistel (-)

Aurikula Simetris, Nyeri Tarik (-), Simetris, Nyeri Tarik (-),

Kelainan1 Kongenital (-) Kelainan Kongenital (-)

Tragus pain Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)

Mastoid Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

 CAE

Canalis Akustikus
AD AS
Eksternus

Mukosa DBN DBN

Discharge (-) (-)

Serumen (+) (+)

Granulasi (-) (-)

Furunkel (-) (-)

Jamur (-) (-)

Corpus alienum (-) (-)

 Membran Timpani

Membran Timpani AD AS

Warna N N
Reflek cahaya (+) (+)

Perforasi (-) (-)

Bulging (-) (-)

Discharge (-) (-)

 Hidung dan Sinus Paranasal

 Hidung Luar

Bentuk Normal

Massa (-)

Warna Sama dengan kulit sekitar

Deformitas (-)

Tanda radang (-)

 Rinoskopi Anterior

Cavum Nasi Dextra Sinistra

Konka nasi Hipertrofi (+), Hipertrofi (+),

inferior hiperemis (+) Hiperemis (+)

Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Mukosa Hiperemis Hiperemis

Sekret (-) (-)

Massa (-) (-)

Corpus alienum (-) (-)

 Rinoskopi Posterior – tidak dilakukan

 Sinus Paranasal

Daerah sinus Nyeri tekan Nyeri ketok Tanda radang


Sinus frontal (-/-) (-/-) (-/-)

Sinus ethmoid anterior (-/-) (-/-) (-/-)

Sinus maxilla (-/-) (-/-) (-/-)

 Tenggorokan

Mukosa Bukal : Hiperemis (-)

Lidah : Dalam Batas Normal

Gigi dan ginggiva : Caries (-), gusi berdarah (-)

Uvula : Edem (-), hiperemis (-) , simetris

Palatum : Hiperemis (-), simetris

Arcus faring : Hiperemis (-), granulasi (-), simetris

Faring : Hiperemis (+), petechie (-), granulasi (+), membran (-)

Adenoid : Tidak ada

Orofaring : Post Nasal Drip (-)

 Tonsil

Tonsil Dextra Sinistra

Ukuran T2 T2

Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)

Kripte Melebar (+) Melebar (+)

Permukaan Tidak Rata Tidak Rata

Detritus (+) (+)


A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Usulan Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan Laboratorium darah rutin dan asto

B. RESUME

Anamnesis : Pasien datang ke poli klinik THT RSISA Semarang pada tanggal 02 Oktober

2019. Pasien datang ke poli THT. Pasien mengeluh hidung tersumbat sejak 4 hari yang lalu

hilang timbul. 2 hari yang lalu pasien mengeluh hidung sedikit berdarah. Pasien juga

mengeluhkan susah menelan, perasaan tidak enak di tenggorokan, mengganjal dan terasa

kering. Pasien juga mengeluhkan adanya demam dan benjolan di leher depan. Mual (+)

muntah (-). Tidak ada batuk dan keluhan pada telinga dan hidung.

Pemeriksaan Fisik:

Telinga : dalam batas normal

Hidung: : hiperemis dan hipertrofi pada konka dan mukosa

Sinus Paranasal : dalam batas normal

Tonsil : T2/T2, kripte melebar, detritus (+)

Faring : Hiperemis, granulasi (+)

Leher : Dalam batas normal

C. DIAGNOSIS BANDING

a. Rhinitis Akut dengan Tonsilofaringitis Kronik

b. Rhinitis Alergi dengan Tonsilofaringitis Kronik

c. Rhinosinusitis dengan Tonsilofaringitis Kronik

D. DIAGNOSIS KERJA

Rhinitis Akut dengan Tonsilofaringitis Kronis


E. TERAPI

R/ Rhinos SR caps no. X

S2dd tab I

R/ Metilprednisolon tab 4 mg no. X

S2dd tab I

R/ Paracetamol tab 500 mg no. X

S3dd tab I

R/ Tantum Verde Mouthwash fl no. I

S.u.c

F. EDUKASI

Jelaskan kepada pasien tentang penyakit yang dideritanya dan perjalanan Meminta pasien

untuk meminum obat secara teratur, istirahat yang cukup dan menghindari makanan yang

mengiritasi tenggorokan. Serta pasien diminta kontrol setelah obat habis.

G. PROGNOSIS

Quo Ad Vitam : Ad vitam

Quo Ad Cosmeticam : AD : ad bonam

AS : ad bonam

ND : ad bonam

NS : ad bonam

Quo Ad Functionam : AD : ad bonam

AS : ad bonam
ND : ad bonam

NS : ad bonam

Quo Ad Sanationam : AD : ad bonam

AS : ad bonam

ND : ad bonam

NS : ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Rhinitis Akut

Rinitis akut adalah radang pada mukosa hidung yagn berlangsung


akut, kurang dari 12 minggu, dapat disebaban karena infeksi virus, bakteri,
ataupun iritan, yang sering ditemukan karena menifestasi dari rinitis
simplek (commen cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili,
variola, vericela, pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi
local atau trauma.2,4

1.2 Epidemiologi

Rinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan


walaupun sering dianggap sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala rinitis
secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien karena gejala-gejala
sistemik yang menyertainya seperti fatigue, sakit kepala, dan gangguan
kognitif.

Ada tiga hal yang dipandang dapat mempengaruhi keadaan klinis


dari pasien-pasien dengan rinitis akut. Hal tersebut termasuk usia, jenis
kelamin, dan variasi musim terjadinya penyakit tersebut. Togias telah
meneliti bahwa 70% pasien yang didiagnosa dengan penyakit hidung
nonalergik terdapat pada usia dewasa > 20 tahun. Tetapi belum diketahui
penyebab pasti dari hubungan antara usia dengan rinitis alergik.1

Jenis kelamin dapat menjadi faktor risiko dari rinitis nonalergik.


Settipane dan Klein mengatakan bahwa 58% dari pasien rinitis nonalergik
adalah wanita. Enberg menemukan 74% pasien rinitis nonalergik adalah
wanita. National rinitis Classification Task Force (NRCTF) menemukan
71% pasien dengan rinitis nonalergik adalah wanita.1
1.3 Klasifikasi dan Etiologi2,4

Rinitis akut terdiri atas 3 tipe, yaitu

1. Rinitis virus

Rinitis virus terbagi 3, yaitu:

• Rinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)

Etiologi. Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya


terjadi melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan
antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti
rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari
dan berakhir dalam 2-3 minggu.

Gambaran klinis. Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung,


lalu segera diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang
berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat demam ringan.
Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, secret hidung
(ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila
terdapat invasi sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus,
pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus Influenzae, Klebsiella
Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.

Pengobatan. Tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah


penyakit semakin berat. Pasien disarankan minum air lebih dari
biasanya. Gejala- gejalanya dapat diatasi dengan pemberian
antihistamin dan dekongenstan. Analgesikberguna untuk mengatasi
sakit kepala, demam dan myalgia. Analgesik yang tidak
mengandung aspirin lebih dianjurkan karena aspirin dapat
menyebabkan virus semakin berkembang biak. Antibiotik diberikan
bila terdapat infeksi sekunder bakteri.
Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-
limiting) dan membaik secara spontan setelah 2-3 minggu, tetapi
kadang-kadang, komplikasi seperti sinusitis, faringitis, tonsiitis,
bronchitis, pneumonia dan otitis media dapat terjadi.

• Rinitis Influenza

Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip denagn common cold. Komplikasi sehubungan
dengan infeksi bakteri sering terjadi.

• Rinitis Eksantematous

Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan


rinitis, dimana didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari.
Infeksi sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih
berat.

2. Rinitis Bakteri

Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:

• Infeksi Non-spesifik

Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.

Rinitis bakteri primer. Tampak pada anak dan biasanya akibat dari
infeksi pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus.
Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di
rongga hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan
pendarahan.

Rinitis bakteri sekunder. Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis
viral akut.
• Rinitis difteri

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis


difteri dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada
tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis.
Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita
dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin
jarang ditemukan karena cakupan program imunisasi yang semakin
meningkat. Gejala rinitis akut ialah demam, toksemia, terdapat
limfadenitis, dan mungkin ada paralisis otot pernafasan. Pada hidung
ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak
menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah,
membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.
Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian
atas dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin
sistemik, dan antitoksin difteri.

3. Rinitis Iritan

Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas
yang bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain.
Atau bisa juga disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung
selama masa manipulasi intranasal,contohnya pada pengangkatan corpus
alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut
dengan “immediate catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore,
dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan
menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari
jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung pada kerusakan
epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.
1.4 Tanda dan Gejala

Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit
dibedakan antara tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas,
kering dan gatal di dalam hidung, bersin, hidung tersumbat, dan terdapatnya
ingus yang encer hingga mukopurulen. Mukosa hidung dan konka berubah
warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya diikuti juga dengan gejala
sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala d Pada rinitis influenza,
gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit pada otot. Pada rinitis
eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik atau ruam
muncul. Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada rinitis
iritan.

1.5 Diagnosis

Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya.


Walaupun pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang hampir sama,
tetapi terdapat juga beberapa karekteristik yang khas membedakannya.
Pada rinitis bakteri difteri, diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
kuman dari secret hidung.4

1.6 Terapi dan Pencegahan

Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara


spontan setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang
diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal
dekongestan dan antihistamin disertai dengan istirehat yang cukup. Terapi
khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi
sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.2,3,4

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut


adalah dengan menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu
dapat terbentuknya system imuitas yang optimal yang dapat melindungi
tubuh dari serangan za-zat asing. Istirehat yang cukup, mengkonsumsi
makanan dan minuman yang sehat dan olahraga yang teraturjuga baik untuk
menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi
lengkap juga dianjurkan, seperti vaksinasi MMR untuk mencegah
terjadinya rinitis eksantematous.3

2.1 Tonsilitis Kronik


2.1.1 Anatomi, Histologi dan Fisiologi Tonsil

Mukosa pernapasan dan pencernaan adalah lumen terbuka yang sangat


memungkinkan terjadi invasi oleh patogen dari lingkungan eksternal. Mucosa-associated
lymphoid tissue (MALT) merupakan salah satu dari struktur imfoid sekunder, di mana
terdapat limfosit yang diaktifkan oleh presentasi antigen. MALT adalah salah satu organ
limfoid terbesar, mengandung hingga 70% dari semua sel kekebalan tubuh. Sebagian besar
limfosit di sini adalah sel B; di antara sel T, dominasi sel T helper CD4 +. MALT
melindungi mukosa terhadap invasi antigen asing terdiri dari sejumlah besar limfosit yang
terletak menyebar, sel plasma yang mensekresi IgA, APC, dan nodul limfoid. Limfosit
tersebar di jaringan ikat dalam lapisan epitel mukosa dan ditemukan dalam bentuk
kumpulan ( agregat) dalam bentuk besar secara kolektif dalam struktur mencolok seperti
tonsil. Tonsil termasuk salah satu MALT adalah massa jaringan limfoid yang besar dan
tidak teratur di mukosa dari rongga mulut posterior dan nasofaring di mana sel-sel mereka
bertemu antigen masuk ke mulut dan hidung. Tonsil diberi nama berdasarkan lokasinya
seperti tonsila palatina, tonsila lingual, dan tonsila faring. Pada semua tonsil, jaringan
limfoid sangat terkait dengan permukaan epitel (Meschel, 2012).

Gambar Tonsil.
Massa nodul limfoid pada tiga lokasi terdiri atas tonsila faringea, tonsila palatina,
dan tonsila lingualis (Mescher.2013)

Gambar (a)tonsila palatina. Limfonoduli (LN), Kripte( C), jaringan ikat (CT). (b) epitel
(E), kripte (C)

Tonsila Palatina
Tonsila palatine adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid terlatak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsilaris dan dubatasi oleh pilar anterior dan pilar
posterior. terletak posterior pada langit-langit lunak, ditutupi oleh epitel skuamosa
bertingkat. Setiap tonsil memiliki 10-20 invaginasi epitel yang mempenetrasi tonsil ke
dalam sehingga membentuk kripte. Bagian superior adalah ruang kosong yang disebut fossa
supratonsilar. Permukaan lateral tonsil ditutupi jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsil
palatine terletak berdekatan dengan tonsil lingualis. Jaringan linfoid di tonsil tersebut
membentuk suatu pita yang mengandung limfosit bebas dan nodul limfoid, biasanya dengan
centrum germinale. Epitel yang melapisi tonsila palatina dapat menjadi terinfiltrasi
sedemikian penuh oleh sel dendritik dan limfosit sehingga dapat sulit dikenali. Suatu pita
jaringan ikat padat yang bertindak sebagai simpai atau sawar (kapsul) dari penjalaran infeksi
tonsil memisahkan jaringan limfoid dari struktur yang berdekatan.
Batas batas tonsil palatine:
 lateral : m. kontriktor faring superior

 medial : ruang orofaring

 anterior : m. palatoglossus

 posterior : m. palatofaringeus

 superior : palatum mole

 inferior : tonsil lingual

Permukaan tonsil palatine ditutupi oleh epitel berlapis gepeng yang juga melapisu
invaginasi atau kripte tonsil. Epitel yang melapisi permukaan tonsil palatine mempunyai
daya tahan lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana mukosa tonsil palatine selalu
bergesekan dalam tubuh.
Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri terutama polus caudalis. Melalui polus
caudalis : rr. Tonsilaris a. dorsalis linguae, a. paltina ascendens dan a. facialis. Melalui polus
cranialis : rr. Tonsilaris a. pharyngica ascendens dan a. palatine minor. Semua cabang
tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna. Darah venous dari tonsil terutama dibawa
oleh r. tonsilaris v. lingualis dan disekitar kapsula tonsilaris membentuk pleksus venosus
yang mempunyai hubungan dengan pleksus pharyngealis
Cairan limfe dialirkan ke Inn. Submaxillaris, Inn. Cervicalis supervicialis dan
sebagian besar ke Inn. Cervicalis profundus superior, terutama pada lifonodi yang terdapat
di dorsal angulus mandibular. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.
Persarafan tonsil berasal dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glossofaringeal) dan juga
cabang desenden lesser palatine nerves.

Tonsila lingualis
Tonsila lingualis terletak di sepanjang pangkal lidah, juga ditutupi oleh epitel
skuamos bertingkat dengan kripte dan memiliki banyak fitur yang sama seperti tonsil
palatina tetapi perbedaannya tidak memiliki kapsul. Semua epitel tersebut mengandung
limfosit dan sel dendiritik intraepitel. Secara anatomi tonsil lingua terletak didasar lidah
dibagi menjadi dua oleh ligamentum glossoepiglotika. Digaris tengah sebelah anterior massa
ini terdapat foramen sekum di apeks, yaitu sudut terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat
ini kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinis merupakan tempat
penting bila ada massa tiroid lingual atau kista duktus tiroglossus.
Tonsil pharyngeal (adenoid)
Tonsil pharyngeal (adenoid) terletak di posterior dinding nasofaring berbatas dengan
kavum nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta komplek tuba eustachius-
telinga tengah, kavum mastoid pada bagian lateral. Jaringan adenoid dapat meluas ke fossa
rosenmulleri dan orifisium tuba eustachii. Mukosa adenoid ditutupi oleh epitel kolumnar
pseudostratified bersilia, dan memiliki lapisan kapsul tipis sehngga area epitel berlapis dapat
diamati. Mukosa dengan jaringan limfoid difus dan nodul limfoid adalah invaginasi dengan
lipatan dangkal tetapi tidak memiliki kripte (Mangunkusumo, Endang dan Rifki, 2001).
Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh yang memiliki ajringan limfoid bersama
dengan struktur cincin waldayer/ adenoid memproduksi IgA sebagai sistem pertahanan lini
terdepan dalam memproteksi tubuh dair invaginasi mikroorganisme dan molekul asing.
Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a. carotis eskternal, beberapa
cabang minor berasal dari a. maxilaris interna dan a. fasialis. Innervasi sensible merupakan
cabang dari n. glossopharyngeus dan n. vagus.
2.1.2 Tonsillitis
Tonsillitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin
waldayer. Cincin waldayer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat dalam rongga
mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil
pangkal lidah), tonsil tuba eustachii (lateral band dinding faring/Gerlachs tonsil).
Penyebaran infeksi melalui udara (air bone droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada
semua umur, terutama pada anak (Mangunkusumo, Endang dan Rifki, 2001)
2.1.2.1Tonsilitis kronik
Tonsilitis kronik adalah peradangan tonsil yang terjadi lebih dari 3 minggu. Faktor
predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah inflamasi yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan
tonsillitis akut yang tidak adekuat. Bakteri penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi
terkadang dapat disebabkan oleh bakteri gram negative.
Tejadinya tonsillitis kronik dikarenakan proses radang berulang yang timbul maka selain
epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami sehingga kripte melebar. Secara
klinik kripte ini tampak diisi oleh detritus apabila mengalami eksaserbasi akut. Proses
berjalan terus sehingga menmbus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan
dengan jairngan diskeitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibular.
2.1.2.1.1 Dasar Diagnosis
Dasar diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan
(odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila
menelan, terasa kering, mengorok saat tidur atau bahkan terbangun tiba-tiba saat tidur dan
pernafasan berbau.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi, tetapi kadang-kadang
atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan detritus atau detritus baru tampak
jika tonsil ditekan dengan spatula lidah namun juga bisa tanpa detritus. Kelenjar leher dapat
membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan. Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat
membesar (hipertrofi) atau atrofi.
Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T0– T4 membagi pembesaran tonsil
dalam ukuran berikut :
 T0: tonsil dalam fosa tonsil atau telah diangkat
 T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior
uvula
 T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak
pilar anterior-uvula
 T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior-uvula
 T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.

2.1.2.1.2 Terapi
Tonsillectomy. Tetapi apabila tidak terdapat pembesaran yang memenuhi kriteria
untuk dilakukan tonsillectomy dapat diberikan obat kumur atau tablet hisap untuk menjaga
oral hygiene.
2.1.2.1.2.1 Indikasi, kontraindikasi dan komplikasi tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi. Menurut HTA 2004 :
Indikasi absolut tonsilektomi
1. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: obstruksi saluran pernafasan, gangguan tidur,
mendnegkur, dan disfagia berat

2. Riwayat abses peritonsil

3. Tonsillitis yang membutuhkan biopsy untuk menentukan patologi anatomi terutama


untuk hipertrofi tonsil unilateral

4. Tonsillitis kronik atau berulang sebagai fokal infeksi untuk penyakit-penyakit lain
Indikasi relative tonsilektomi
1. Terjadi 7 episode atau lebih infeksi tonsil pada tahun sebelumnya, atau 5 episode
atau lebih infeksi tonsil tiap tahun oada 2 tahun sebelunya atau 3 episode atau lebih
infeksi tonsil tiap tahun pada 3 tahun sebelumnya dnegan terapi antibiotic yang
adekuat

2. Kejang demam berulang yang disertai tonsillitis

3. Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan pemberia terapi medis

4. Tonsillitis kronik atau berulang pada karier streptokokkus beta hemolitikus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotic resisten beta laktam.

Adapun kontraindikasi dilakukannya tonsilektomi sebagai berikut


1. radang akut

2. penyakit-penyakit perdarahan :

- leukemia

- hemophilia

- anemia

- hemoragia diastesa

3. KU : jelek

4. Epidemic polio

5. Kehamilan atau menstruasi

6. Status asmatiku

Komplikasi tonsilektomi (HTA 2004)


Komplikasi yang timbul merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi
sebagai brikut :
Komplikasi Anestesi
- Laringospasme

- Gelisah pasca operasi


- Mual muntah

- Kematian saat induksi pada pasien hipovolemi

- Hipersensitif terhadap obat anestesi

- Hipotensi dan henti jantung

Komplikasi Bedah
1. Perdarahan
 Merupakan komplikasi tersering

 Early bleeding ( perdarahan primer, reactionary haemorrage)

 Late/ delayed bleeding ( perdarahan sekunder) >24 jam post opx

2. Nyeri
 Karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi,
dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia

 Biasanya berlanjut sampai 14-21 hari setelah operasi

Komplikasi lain:
Dehidrasi, demam, kesulitan bernafas, gangguan terhadap suara, aspirasi, otalgia,
pembengkakan uvula, insufisiensi velofaringeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi,
dan pneumonia.

2.1.2.1.3 Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi daerah sektarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi
secara hematogen atau lomfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis,
uvitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria dan furunkulosis.
2.2 Faring
2.2.1 Anatomis dan Fisiologi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seprti corong, yang besar
dibagian atas dan sempit dibagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring dan ke bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke
bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinidng [osterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinidng
faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lender, fasia faringobasilier, pembungkus
otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan
laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lender (mucous
blanket) dan otot.

Gambar 1. Bagian Anatomi Faring

Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedangkan epitelnya torak
berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak
bersilia.
Disepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam
rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh karena itu
faring dapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
Gambar 3. Epitel Mukosa Faring

Palut lendir (Mucous Blanket)


Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernafasan yang diisap melalui hidung.
Dibagain atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak
sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap
partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim
lysozyme yang penting untuk proteksi.
Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudianal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.kostriktor faring superior, m.konstrikor
faring media, m.konstriktor faring inferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot
ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari
belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu pada jaringan ikat yang disebut “rafe
faring” (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot
ini dipersarafi oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letak otot-otot
ini disebalah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini berkerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting
pada waktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring
dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung
fasia dari mukosa yaitu, m.levator veli palatine, m.tensor veli palatine, m.palatoglosus
m.palatofaring, m.azigos uvula.
M.levator veli palatine membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini dipersarafi
oleh n.X.
M.tensor veli palatine membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatume mole dan membuka tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.
M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus
faring dan kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula
kebelakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fasial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatine superior..

Gambar 2. Perdarahan Faring


Persarafan
Persarafan motoric dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dan n.vagus, cabang dari n.glosofaring
dan serabut simpais. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motoric. Dari pleksus faring
yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).

Kelenjar getah bening


Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media, dan
inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofiring dan kelenjar
getah bening servikal dalam atas. Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah bening
jugulo digastik dan kelenjar servikan dalam atas, sedangkan saluran limfe inferior mengalir
ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.

Berdasarkan letak faring dibagi atas:


1. Nasofaring
Batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal.
Nasofaring yang relative kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suara refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugelare, yang
dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial dan
v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara
tuba eustachius.

2. Orofaing
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya palatum mole, batas bawah
adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
Diding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian
tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palaum mole
berhubungan dengan gangguan n.vagus.
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esophagus serta batas posterior ialah vertebra servikal. Bila
laringofaing diperiksa laring tidak langusng atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langusng, maka struktur pertama yang tampak dibawah dasar
lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan lagamentum glosoepiglotika lateral pada tiap
sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang,
kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut dibagian tersebut.
Dibawah valekula terdapat epiglottis. Pada bayi epiglottis ini berbentuk omega dan
pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampat menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi (proteksi) glottis ketika menelan minuman atau bolus makanan,
pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia local di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai arti
penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
1. Ruang retrofaring
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa
faring, fasia faringobasilaris dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat dan
fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas
paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengah
mengikatnya pada vertebra. Disebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa
faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak.
Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Pada
peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya
akan tertumpah du dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini
akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak.

2. Ruang Parafaring
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak
dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hyoid. Ruang ini
dibatasi dibagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalah
ramus asenden mandibular yang melekat dengan m.pterigoid interna dan bagian
posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan
otot yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih
luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna,
v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut
selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh
suatu lapisan fasia yang tipis.
Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan untuk attikulasi.
Pada fungsi menelan terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase
faringal, fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerekan disini
disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui
faring. Gerakan disini tidak sengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di esophagus menuju
lambung.

2.2.2 Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Virus dan bakeri melakuakn
invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal, infeksi bakteri grup A
streptococcus β hemoliticus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena
bakteri ini melepaskan toksi ekstrasekukar yang dapat menimbulkan demam reumatik,
kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah,
orang dawasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui
secret hidung dan ludah (droplet infection).
Etiologi dan patologi. Penyebab faringitis dapat bervariasi dari oraganisme yang
menghasilkan eksudat saja atau perubahan kataral samapi menyebabkan edema dan bahkan
ulserasi. Pada stadium awal, terdapat hyperemia, kemudian edema dan sekresi yang
meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal atau berbentuk mucus dan
kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dehan
hyperemia, pembuluh darah faring menjadi melebar.
Gejala dan tanda. Pada awitan penyakit, penderita mengeluh rasa kering atau gatal
pada tenggorokan. Malaise dan sakit kepala adalah keluhan biasa. Bisanya terdapat suhu
yang sedikit meningkat. Eksudat pada faring menebal. Eksudat ini sulit untuk dikeluarkan,
dengan suara parau, usaha mengeluarkan dahak dari kerongkongan dan batuk. Keparauan
terjadi jika peradangan mengenai laring.
Anamnesis
Keluhan kelainan di daerah faring dan rongga mulut umumnya adalah 1) nyeri
tenggorok, 2) nyeri menelan (odinofagia), 3) rasa banyak dahak di tenggorokan, 4) sulit
menelan (disfagia), 5) rasa ada yang menyumbat atau mengganjal.1,2,3
 Nyeri tenggorok. Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri
tenggorok ini disertai dengan demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering.
Apakah pasien merokok dan berapa jumlahnya per hari.
 Nyeri menelan (odinofagia) merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan
menelan. Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.
 Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi
di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, pus, atau bercampur darah.
Dahak ini dapat turun, keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.
 Sulit menelan (disfagia) sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair atau padat.
Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat, apakah makin
lama makin betambah berat.
 Rasa sumbatan di leher (sense of lump in the neck) sudah berapa lama, tempatnya
dimana.

Keluhan pasien pada hipofaring dan Laring dapat berupa : 1) suara serak, 2) batuk,
3) rasa ada sesuatu di leher. 1,2,3
 Suara serak (disfoni) atau tidak keluarnya suara sama sekali (afoni) sudah berapa
lama dan apakah sebelumnya menderita peradangan di hidung atau tenggorokan.
Apakah keluhan ini disertai dengan batuk, rasa nyeri dan penurunan berat badan.
 Batuk yang diderita pasien sudah berapa lama, dan apakah ada factor sebagai
pencetus batuk tersebut seperti rokok, udara yang kotor serta kelelahan. Apa yang
dibatukkan, dahak kental, bercampur darah dan jumlahnya. Apakah pasien seorang
perokok.
 Rasa ada sesuatu di leher merupakan keluhan yang sering dijumpai dan perlu
ditanyakan sudah berapa lama diderita, adakah keluhan lain yang menyertainya serta
hubungannya dengan keletihan mental dan fisik.
Dari keluhan utama yang ada, kita harus mengurutkan kronologi mengenai keadaan
pasien sejak sebelum terdapat keluhan sampai dibawa ke dokter. Setelah keluhan utama
disampaikan kita perlu tahu sudah sejak kapan keluhan itu berlangsung dan sudah berapa
lama sejak keluhan terjadi sampai saat datang ke dokter. Dari situ, kita harus tahu apakah
keluhan terjadi mendadak atau perlahan atau mungkin hilang timbul.3
Riwayat penyakit sebelumnya juga penting untuk ditanya seperti apakah pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya atau baru pertama kali, riwayat pengobatan
bagaimana? Apakah ada perbaikan setelah pengobatan yang diterima? Bagaimana dengan
riwayat imunisasinya?3
Riwayat keluarga pasien, apakah ada yang mengalami keluhan yang sama seperti ini
sebelumnya. Dan ditanya juga mengenai riwayat social, antara lain mengenai tempat tinggal
pasien, apakah ada penyakit menular disekitar tempat tinggal?3

Pemeriksaan faring dan rongga mulut


Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa
rongga mulut, lidah, dan gerakan lidah.
Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian
rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dinding
belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa
pipi, gusi dan gigi geligi.
Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista, dan lain-lain. Apakah
ada rasa nyeri di sendi temporo mandibula ketika membuka mulut.3
DAFTAR PUSTAKA

Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga

Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.

Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The

Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58

Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and

Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. .

Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: ECG,

2006. p795-801.

Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,

1997. p263-340

Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan

Tahun 2009. 2011.pdf

Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:

Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.

Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran Penelitian :

Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum Dan

Setelah Tonsilektomi.

Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu

Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4

Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.

Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.

Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck

Surgery. p158-165
Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck

Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508

Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy. In:

Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.

Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current

Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University School

of Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-

Allergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal 20 Desember 2011]

Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New

Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8

Adam G.L. Boeis L.R. Hingler P.A. Rinitis. Dalam Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta.

ECG. 1997. Hal: 206-8

Soepardi E.A. Iskandar N.I. Bashiruddin J. dkk. Infeksi hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi 6. Jakarta. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2007. Hal: 140-2

Anda mungkin juga menyukai