Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIS HIPERTROFI


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah
Satu Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian
THT-KL

Disusun oleh :

Birbick Mahdavikia Khaddaf


30101700043

Pembimbing :
dr. Moh. Andi Fatkhurokhman, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah


satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama
Semarang.

Nama : Birbick Mahdavikia Khaddaf

NIM : 30101700043

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Bidang Pendidikan : Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher

Judul : Tonsilitis Kronis Hipertrofi

Diajukan :  6 Desember 2021

Pembimbing : dr. Moh. Andi Fatkhurokhman, Sp. THT- KL

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : .............................

Mengetahui,
Pembimbing Klinik

dr. Moh. Andi Fatkhurokhman, Sp. THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya
laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun pada
saat melaksanakan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
– Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama Semarang, dengan berbekalkan
pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama kepaniteraan
maupun pada saat kuliah pra-klinik.
Banyak pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan laporan
kasus ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
 dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL sebagai pembimbing laporan kasus
 Pimpinan dan staff  RS Bhakti Wira Tamtama Semarang
 Rekan ko-asisten selama kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok – Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama Semarang
Walau telah berusaha menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-
baiknya, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan
senang hati untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Semarang, 6 Desember 2021

Birbick Mahdavikia Khaddaf


STATUS ILMU KESEHATAN THT-KL
UNIVERSITAS SULTAN AGUNG SEMARANG

Nama Mahasiswa : Birbick Mahdavikia Khaddaf

NIM : 30101700043

Dokter Pembimbing : dr. Moh. Andi Fatkhurokhman, Sp. THT-KL

A. Identitas Pasien

1. Nama : An. IR
2. Jenis kelamin : Laki - laki
3. Usia : 16 tahun
4. Status Pekerjaan : pelajar
5. Agama : Islam
6. Alamat : Banyumanik, Semarang
7. No. RM : 160xxx
8. Tanggal Periksa : 24 November 2021
9. Ruang : Poli THT RS Bhakti Wira Tamtama

B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal 24
November 2021
1. Keluhan Utama
Sering Nyeri Tenggorokan

2. Riwayat penyakit sekarang


Pasien berusia 16 tahun datang dengan keluhan sering nyeri
tenggorokan sudah sejak ± 5 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
sering batuk pilek, tenggorokan terasa mengganjal, diikuti nyeri dan sulit
menelan makanan padat, minum masih bisa sehingga membuat nafsu
makan menurun serta mengganggu aktifitas sehari-hari terutama sekolah,
dalam 3 bulan terakhir keluhan memberat dan kekambuhan mencapai 3-4x
per bulan. Keluhan kambuh atau memberat jika pasien minum es, dan
makan pedas. Nyeri tenggorokan akan berkurang jika minum obat,
sebelumnya sudah sering berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit.
Gejala lain: demam (-), tidur ngorok (-), bau mulut (-), suara serak (-),
gangguan tidur (-) terbangun malam hari oleh karena sesak (-), batuk (-),
keluar dahak (-), sesak (-). Orang tua pasien juga menginginkan anaknya
di operasi.
Keluhan lain seperti Gatal tenggorokan, suara serak dan trismus,
penurunan berat badan, dan mual muntah disangkal. Keluhan yang
mengarah pada komplikasi penyakit jantung reumatik seperti nyeri
sendi,sakit diseluruh tubuh, bengkak pada ektremitas, nyeri dada, jantung
berdebar-debar, mudah lelah, gangguan BAB dan BAK disangkal.
Keluhan Pada hidung seperti hidung tersumbat, secret di hidung,
gatal, bersin, rasa nyeri di area muka dan kepala, perdarahan dari hidung
dan gangguan penghidu disangkal. Keluhan pada telinga seperti gangguan
pendengaran, suara berdenging / berdengung (tinitus), rasa pusing
berputar (vertigo), nyeri dalam telinga (otalgia) dan keluar cairan
daritelinga (otore) juga disangkal. Pasien sudah berobat sebelumnya ke
klinik dokter umum tetapi belum membaik. Keluhan ini mengganggu
aktifitas sehari-hari pasien.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit serupa : (+), ±5 tahun yang lalu
Riwayat infeksi : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Maag : (-)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat caries dentis : (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa : (-)
Riwayat infeksi : (-)
Riwayat Alergi : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat Maag : (-)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat caries dentis : (-)

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan pelajar dan berobat menggunakan BPJS

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
 TD : 110/70 mmHg
 Nadi : 90 x/menit
 RR : 22 x/menit
 Suhu : 360C

2. Status Internus
Status Lokalis (Telinga, Hidung dan Tenggorokan)
a. Kepala dan leher :
 Kepala : mesocephale
 Wajah : simetris
 Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)
b. Gigi dan Mulut :
Mukosa Buccal Hiperemis (-)
Ginggiva Hiperemis (-)
Gigi Geligi Caries Dentis (-), Gangren (-)
Palatum Hiperemis (-), simetris
Lidah 2/3 Posterior DBN (Bentuk, Ukuran, Pergerakan, Stomatitis/beslag)
Uvula Hiperemis (-) , Simetris, Edem (-),
Pilar anterior Hiperemis (+), Simetris, granulasi (-)
Faring Hiperemis (-), Petechie (-), Granulasi (-)
Orofaring Post Nasal Drip (-)

c. Tonsil

Tonsil Dextra Sinistra


Ukuran T3 T3
Kripta Melebar Melebar
Permukaan Tidak Rata Tidak Rata
Detritus (+) (+)
Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Pilar Anterior Hiperemis Hiperemis
Peritonsil Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edema (-) Edema (-)

d. Telinga :
Dextra Sinistra
Aurikula  Bentuk normal  Bentuk normal
 Warna sama kulit sekitar  Warna sama kulit sekitar
 Benjolan (-)  Benjolan (-)
 Nyeri Tarik (-)  Nyeri Tarik (-)
Preaurikula  Nyeri Tekan Tragus (-)  Nyeri Tekan Tragus (-)
 Fistel (-)  Fistel (-)
 Abses (-)  Abses (-)
Retroaurikula  Nyeri tekan (-),  Nyeri Tekan (-)
 Abses (-),  Abses (-)
 Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
Mastoid  Nyeri Tekan (-)  Nyeri Tekan (-)
 Edem (-)  Edem (-)
 Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
Dextra Sinistra
 Discharge (-)  Discharge (-)
 Serumen (-)  Serumen (-)
CAE  Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
 Granulasi (-)  Granulasi (-)
 Corpus alienum (-)  Corpus alienum (-)

Membran Tympani
Dextra Sinistra
Membran Tympani Intak, Perforasi (-) Intak, Perforasi (-)
Refleks Cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Warna Putih mutiara Putih mutiara
 Cekung  Cekung
Bentuk  Retraksi (-)  Retraksi (-)
 Bulging (-)  Bulging (-)

e. Hidung dan Sinus Paranasal :


Bentuk Normal
Massa (-)
Warna Sama dengan kulit sekitar
Deformitas (-)
Tanda radang (-)

Cavum Nasi Dextra Sinistra


Mukosa  Edema (-)  Edema (-)
 Livid (-)  Livid (-)
 Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
Sekret Serous Serous
Massa (-) (-)
Corpus Alienum (-) (-)
Septum Nasi DBN

Dextra Sinistra
Konka Media  Livid (-)  Livid (-)
 Edem (-)  Edem (-)
 Hipertrofi (-)  Hipertrofi (-)
Konka Inferior  Hiperemis (-)  Hiperemis (-)
 Edem (-)  Edem (-)
 Hipertrofi (-)  Hipertrofi (-)

Meatus Nasi Media  Sekret (-)  Sekret (-)


 Serous/mukus  Serous/mukus
 Massa Abnormal (-)  Massa Abnormal (-)
Meatus Nasi Inferior  Sekret (-)  Sekret (-) serous
 Massa Abnormal (-)  Massa Abnormal (-)

Sinus Paranasal Dextra Sinistra

Frontalis  Nyeri Tekan (-)  Nyeri Tekan (-)


 Nyeri Ketuk (-)  Nyeri Ketuk (-)
Ethmoidalis  Nyeri Tekan (-)  Nyeri Tekan (-)
 Nyeri Ketuk (-)  Nyeri Ketuk (-)
Maksilaris  Nyeri Tekan (-)  Nyeri Tekan (-)
 Nyeri Ketuk (-)  Nyeri Ketuk (-)

f. Leher
Pembesaran KGB:
 Submental : (-)
 Submandibula : (-)
 Preauricular : (-)
 Postauricular : (-)
 Sepanjang SCM : (-)
 Supra et infra clavicula : (-)

D. RESUME
1. Anamnesis :
A. RPS
 Pasien berusia 16 tahun datang dengan keluhan sering nyeri
tenggorokan sudah sejak ± 5 tahun yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan sering batuk pilek, tenggorokan terasa mengganjal,
diikuti nyeri dan sulit menelan makanan padat, minum masih bisa
sehingga membuat nafsu makan menurun serta mengganggu
aktifitas sehari-hari terutama sekolah. Keluhan kambuh atau
memberat jika pasien minum es, dan makan pedas. Nyeri
tenggorokan akan berkurang jika minum obat, sebelumnya sudah
sering berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit. Gejala lain:
demam (-), tidur ngorok (-), bau mulut (-), suara serak (-),
gangguan tidur (-) terbangun malam hari oleh karena sesak (-),
batuk (-), keluar dahak (-), sesak (-).
B. RPD :
Riwayat penyakit serupa : (+), ± 5 tahun yang lalu
C. RSOSEK
Seorang pelajar berobat dengan BPJS

2. Pemeriksaan fisik :
- Pilar anterior hiperemis
- Tonsil dextra et sinistra :
- Ukuran T3-T3
- Kripte melebar
- Permukaan tidak rata
- Detritus (+)
- Hiperemis

E. DIAGNOSA
 Diagnose sementara : Tonsilitis Kronis Hipertrofi
 Diagnose banding :
 Tonsilitis Kronis Hipertrofi
 Adenotonsilitis Kronis
 Faringitis Kronis
A. TATALAKSANA
1. Non Operatif

A. Medikamentosa :
 Antibiotik spektrum luas
 Penisilin G Benzatin 50 mg/kgBB,
 Eritromisin 4x500 mg/hari
 Antipiretik
 Paracetamol 10-15 mg/kgBB
B. Non- Medikametosa
 Hindari makanan/minuman yang menyebabkan iritasi pada tonsil
 Jaga Kebersihan mulut
 Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah
infeksi berulang.
 Cuci bersih alat makan sebelum digunakan dan sebaiknya tidak
dipakai bersama

2. Operatif

A. Tonsilektomi
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TONSIL
A. Anatomi Tonsil

Tonsila palatina adalah suatu masa jaringan limfoid yang terletak


di dalam fossa tonsilaris pada dinding lateral orofaring. Merupakan
penyusun dari cincin waldayer yang terdiri atas tonsila palatina (faucial
tonsil/amandel), tonsila faringeal (adenoid), tonsila lingual, dan tonsila
tubaria. Tonsil palatina Dibatasi oleh:

 Anterior – m. palatoglosus

 Posterior – m. palatofaringeus

 Superior – palatum mole

 Inferior – tonsil lingual


Tonsil palatina mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, melalui cabang-cabangnya, yaitu :

 A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya

 A. tonsilaris dan A. palatina asenden.

 A. maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden.

 A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal.

 A. faringeal asenden.

 Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:

 Anterior : A. lingualis dorsal.

 Posterior : A. palatina asenden.

 Diantara keduanya : A. tonsilaris.

 Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:

 A. faringeal asenden

 A. palatina desenden

Beberapa jaringan limfoid sekunder pada traktus digestivus, GALT


(gut associated lymphoid tissue) yang di dalamnya termasuk MALT
(mucosal associated lymphoid tissue) adalah tonsila palatina, tonsila
faringeal, tonsila lingualis, Payer’s patch di usus dan apendik.Adenoid dan
tonsil yang merupakan bagian dari sistem imun sekunder berfungsi reaktif
secara imunologis, memacu sel limfosit B dan T dalam merespon terhadap
adanya antigen dengan hasil akhir Imunoglobulin A (IgA). Karena pada
adenoid dan tonsil tidak didapatkan adanya pembuluh limfatik aferen
maka antigen atau mikroorganisme yang terpapar pada kripte-kripte tonsil
dan lipatan adenoid akan menuju ke bagian dalam untuk diproses
kemudian ditranspor kembali ke lapisan epitelial, jadi antigen atau
mikroorganisme yang terpapar pada kripte akan segera dieliminasi
sehingga tidak menimbulkan bahaya.
B. Histologi Tonsil
a. Lapisan medial
Lapisan ini ditutupi oleh epitel squamous kompleks non-
keratinizing yang berlekuk masuk ke dalam substansi tonsil dan
membentuk kripta yang berisi nodulus limfoid

b. Lapisan lateral

Lapisan ini ditutupi oleh kapsul berupa jaringan fibrosa. Diantara


kapsul dan bagian dalam tonsil terdapat jaringan ikat longgar yang
menjadi batas saat dilakukan tonsilektomi. Tempat ini juga merupakan
tempat pengambilan sampel nanah pada penderita peritolsillar abscess.
Beberapa serat otot palatoglossus dan otot palatopharingeal juga
melekat pada kapsul tonsil
C. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronis pada tonsilapalatina
akibat peradangan tonsil yang menahun sebagai akibat infeksi akut yang
berulang. Secara klinis ditandai dengan adanya gejala nyeri tenggorokan
yang > 4 minggu. Etiologi tonsilitis disebabkan oleh bakteri dan virus.
Paling sering Streptococcus beta Hemolyticus dan EBV.
D. Faktor Predisposisi
 Rangsang yang menahun dari rokok
 Makanan yang mengiritasi mukosa (Dingin, Pedas, Berminyak)
 Higiene mulut yang buruk
 Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

E. Patofisiologi

Bakteri atau virus masuk ke tubuh melalui hidung maupun mulut


kemudian menginfiltrasi epitel dan menyebabkan epitel terkikis. Jaringan
limfoid superfisial bereaksi dengan mengirim sitokin pro inflamasiIL-1,
IL-4, IL-6, IL-8, TNF alfa untuk mengundang leukosit. Terjadi
Pembendungan radang oleh infiltrasi leukosit poli morfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Kuman yang tidak mati tetap bersarang sehingga tonsil
berubah menjadi sarang infeksi(fokal infeksi) menyebabkan peradangan
berulang dan bisa menyebar. Karena terjadi proses radang berulang
menyebabkan terbentuknya fibrosis pada epitel mukosa dan jaringan
limfoid. Fibrosis menarik lobulus limfoid tonsil sehingga kripte melebar.
Jika fibrosis menembus kapsul tonsil maka akan mengakibatkan
perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris.

F. Klasifikasi
Klasifikasi tonsillitis menurut Brodsky didasarkan pada
perbandingan besar tonsil dengan orofaring, diukur diantara pilar anterior
kedua sisi.
 Klasifikasi 0: bila tonsil sudah diangkat
 Klasifikasi 1: bila tonsil menempati ≤25% orofaring
 Klasifikasi 2: bila tonsil menempati ≤50% orofaring
 Klasifikasi 3: bila tonsil menempati ≤75% orofaring
 Klasifikasi 4: bila tonsil menempati ≥75% orofaring

G. Tanda dan gejala


Gejala :
 Nyeri tenggorokan
 Sakit menelan
 Perubahan suara (serak)
 Snoring (akibat obstruksi jalan napas atas)
 Napas berbau
 Keluar dahak
 Batuk
Tanda Klinis :
 Tonsil membesar
 Tonsil tidak hiperemis
 Pilar anterior hiperemis
 Permukaan tidak rata
 Kripte melebar
 Detritus (+)
 Pembesaran KGB sub mandibula
H. Pemeriksaan penunjang

1. Rapid Antigen Test (RAT)


Pasien dengan kemungkinan besar mengalami infeksi streptokokus
(skor centor 3-4) maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan
pemeriksan RAT. Pasien dengan kemungkinan kecil mengalami infeksi
streptokokus (skor Centor 0-2) maka tidak perlu rutin dilakukan
pemeriksaan RAT. Jika RAT negatif, tetap dikonfirmasi dengan
pemeriksaan swab permukaan tonsil.

2. Kultur Swab Permukaan Tonsil


Dilakukan dengan swab tunggal pada tonsil dan faring posterior,
dengan menghindari mukosa bukal dan lidah. Untuk menentukan causa
tonsilitis dari streptococcus atau tidak.
3. ASTO (Anti-Streptolysin O)
Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O pada darah.
Streptolisin O merupakan enzim yang diproduksi oleh Streptococcus
beta hemolitikus grup A. Tes ini digunakan untuk mendeteksi infeksi
streptokokus grup A sebelumnya. Hasil titer ASO >200 IU atau lebih
dari 166 Todd unit dinyatakan positif.
4. Foto Polos Nasofaring Lateral
Untuk menentukan ada tidaknya hipertrofi adenoid.

 A : Jarak terjauh basis cranii dengan tepi adenoid,


 N : Jarak antara tepi posterior palatum dengan tepi anterior spheno-
occipital
 Hipertrofi : A-N Rasio ≥ 0,73
5. Darah Pre Operasi
Darah Rutin, Ureum, Creatinin,APTT/PTTK
6. Histopatologi Post Operasi
Jika dicurigai tonsilitis telah menjadi keganasan/ hipertrofi tonsil
unilateral

I. Pengobatan
1. Non Operatif
 Antibiotik spektrum luas
 Penisilin G Benzatin 50 mg/kgBB,
 Eritromisin 4x500 mg/hari
 Antipiretik
 Paracetamol 10-15 mg/kgBB
 Obat kumur mengandung desinfektan
 Betadin kumur 1%, selama 30 detik, tiap 3-4 jam
2. Operatif
a) Tonsilektomi
Merupakan Prosedur operasi pengangkatan tonsil yang
dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi. Caranya dengan
mengangkat seluruh tonsil dan kapsulnya, dengan melakukan diseksi
pada ruang peritonsil di antara kapsul tonsil dan otot dinding fossa
tonsil.
Indikasi absolut
 Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
 obstruksi saluran napas
 disfagia berat
 gangguan tidur,
 komplikasi kardiopulmoner
 gangguan pertumbuhan dentofasial
 gangguan bicara
 Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase.
 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
 Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.
Indikasi relatif
 Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan
terapi antibiotik adekuat.
 Halitosis dan karies akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis.
 Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B
hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik resisten ß-laktamase.
Kontra indikasi :
 Gangguan perdarahan.
 Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.
 Anemia.
 Infeksi akut yang berat.
 Palatoskizis.

b) Adenoidektomi
Operasi pengangkatan tonsila pharingea/adenoid dilakukan
bersama tonsilektomi terutama apabila terdapat gangguan bernafas
saat tidur. Pada usia ≤7 tahun dilakukan tanpa melihat ukuran
adenoid. Namun ketika usia ≥ 7 tahun adenoidektomi dilakukan atas
indikasi hipertrofi adenoid.
J. Komplikasi
1. Abses peritonsil :
Abses yang terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior
dan palatum mole.Gejala : nyeri lokal, disfagia.

2. Abses intratonsilar :
Akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil biasanya diikuti
dengan penutupan kripta. Gejala : malaise, odinofagi yang berat
dan trismus.

3. Otitis Media Akut :


Tuba eustachii berperan dalam pengaturan tekanan udara
talinga, transport mukosiliar telinga dan proteksi dari kontaminasi
nasofaring. Infeksi menyebar melalui limfogen dan membuat
adenoid terinfeksi sehingga bengkak. Adenoid yang bengkak
menekan tuba eustachii yang menyebabkan fungsi tuba
terganggu.Terjadi tekanan negative, kontaminasi nasofaring ke tuba
dan regurgitasi cairan dari telinga yang menyebabkan terjadinya
otitis media.
4. Kista tonsilar :
pembesaran kekuningan di atas tonsil akibat blokade kripta tonsil
5. Tonsilolit :
Batu yang terbentuk dari akumulasi garam inorganik kalsium dan
magnesium dalam tonsil akibat blokade kripta oleh debris.

6. Demam rematik :
Penyakit autoimun yang terjadi pasca infeksi streptococcus
beta hemolitikus grup A. Ditandai dengan pola demam yang khas
(≤ 39 dan bisa normal dalam 2-3 minggu tanpa pengobatan) yang
bisa menyebabkan penyakit jantung rematik. Streptococcus
memproduksi enzim streptolisin o dan streptolisin s, yang memicu
tubuh mengeluarkan anti streptolisin o lalu berikatan membentuk
kompleks antigen antibodi yang menyebar secara hematogen.
Namun anti streptolisin O tidak bisa membedakan jaringan tubuh
normal dengan antigen sehingga terjadi reaksi silang. Anti
streptolisin O menyerang jaringan tubuh sendiri.
Di jantung reaksi ini akan menyebakan rusaknya katub
mitral sehingga darah yang menuju ke aorta tidak maksimal.
Ventrikel kiri menyesuaikan diri dengan berdilatasi dan
memperkuat pompa darah supaya darah yang menuju ke aorta
tercukupi, namun hal ini membuat darah dari atrium kiri tidak bisa
masuk ke ventrikel kiri sehingga terjadi kongesti paru/ udem paru
akibat terhambatnya darah dari vena pulmonal ke atrium kiri. Jika
paru udem, maka darah dari arteri pulmonalis tidak bisa masuk ke
paru sehingga terjadi hipertensi pumonal dan hipertensi ventrikel
kanan yang memicu terjadinya gagal jantung kanan. Gejala : nyeri
sendi,sakit diseluruh tubuh, bengkak pada sendi, muncul bentol-
bentol ditubuh, nyeri kepala, dada berdebar-debar.

7. Adenoitis :
Akibat adanya infeksi berulang yang menjadikan tonsil
fokal infeksi sehingga menyebar ke adenoid. Adenoid yang
membesar menghalangi jalan udara masuk melalui nasofaring
sehingga terjadi snoring dan sesak. Sehingga untuk menyesuaikan
kondisi tersebut penderita membuka mulut saat bernafas yang
bermanifestasi pada terbentuknya “Facies Adenoid”. Gejala :
hidung buntu, pilek, napas lewat mulut, ngorok tertutama saat
terlentang

K. Kesimpulan

Tonsilitis kronis merupakan infeksi berulang pada tonsil palatina


dan obstruksi saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil.
Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan
adanya gejala seperti demam berulang, odynophagia, sulit menelan,
halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.
Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.Peradangan
pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteristreptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpessimplex dengan penyebab paling sering
adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan
yang menahun dari rokok,beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang
buruk, dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat. Penatalaksanaan
dari tonsillitis kronik berupa medikamentosa dan operatif .

HIPERTROFI ADENOID
A. Definisi
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jairngan limfoid yang
terletak di dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian
cincin Waldeyer.
Adenoid akan membesar pada anak usia 3 tahun & mengecil dan
hilang pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran nafas
bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibatnya akan
timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba Eustachius. Akibat
sumbatan koana menyebabkan pasien bernapas melalui mulut
sehingga terjadi fasies adenoid : tampak hidung kecil, gigi insisivus ke
depan (prominen), arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah
pasien tampak bodoh.
Adanya sumbatan di tuba Eustachius menyebabkan otitis media
akut berulang dan dapat terjadi otitis media supuratif kronis
Diagnosis :
 Melalui tanda & gejala
 Pemeriksaan rhinoskopi posterior
 Pemeriksaan radiologi foto polos kepala lateral (pada anak-
anak)
Terapi :
 Bedah adenoidektomikuretase memakai adenotom
B. Adenoidektomi
Indikasi :
 Sumbatan :
 Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melali
mulut
 Sleep apnea
 Gangguan menelan
 Gangguan bicara
 Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
 Infeksi :
 Adenoiditis berulang/kronik
 Otitis media efusi berulang/kronik
 Otitis media akut berulang
 Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Komplikasi :
 Perdarahan apabila pengerokan adenoid kurang bersih
 Tuli konduktif apabila kuretase terlalu ke lateral maka torus
tubarius rusak & mengakibatkan oklusi tuba Eustachius
FARING
A. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler
ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga
setinggi vertebra servikalis ke-6.1,2
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
selaput lendir, fascia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fascia
bukofaringeal.1,2
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari muskulus konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot
bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah
untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.1,2
Gambar 1. Otot-otot Faring dan Esofagus

Berdasarkan letaknya maka faring dapat dibagi menjadi Nasofaring,


Orofaring dan Laringofaring (Hipofaring).

Gambar 2. Anatomi Nasofaring, Orofaring dan Hypoparing

Nasofaring merupakan bagian tertinggi dari faring, adapun batas-batas dari


nasofaring ini antara lain :
- batas atas : basis kranii
- batas bawah : palatum molle
- batas depan : rongga hidung
- batas belakang : vertebra servikal
Nasofaring yang relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan
beberapa struktur penting seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut fossa rosenmulleri, kantong rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana,
foramen jugularis, yang dilalui oleh nervus glossopharyngeus, nervus vagus dan
nervus asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius.1,2
Orofaring disebut juga mesofaring, karena terletak diantara nasofaring dan
laringofaring. Dengan batas-batas dari orofaring ini antara lain, yaitu :
- batas atas : palatum mole
- batas bawah : tepi atas epiglottis
- batas depan : rongga mulut
- batas belakang : vertebra servikalis
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,
tonsil lingual dan foramen sekum.
Laringofaring (hipofaring) merupakan bagian terbawah dari faring. Batas-
batas dari laringofaring antara lain, yaitu :
- batas atas : epiglotis
- batas bawah : kartilago krikoidea
- batas depan : laring
- batas belakang : vertebra servikalis 1,2

Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu
menelan, resonansi suara dan artikulasi. 1,2

B. Faringitis
Faringitis adalah inflamasi pada faring. Faringitis terjadi karena hidup pada
lingkungan yang tidak higienis, korosif, trauma, dingin yang berlebihan, infeksi virus,
bakteri, jamur dan lain-lain. Ada dua jenis faringitis, yaitu faringitis akut dan kronis. 3
1. Faringitis Akut
Faringitis akut sangat sering ditemukan dan memiliki etiologi bervariasi seperti
virus, bakteri, jamur atau lainnya. Faringitis dengan penyebab virus lebih sering
ditemukan. Faringitis streptokokus akut (streptokokus beta haemolitikus grup A) perlu
diperhatikan karena dapat menyebabkan demam rematik dan glomerulonefritis post
streptokokus.1
Faringitis dapat terjadi pada tingkat keparahan yang berbeda. Infeksi ringan
biasanya disertai dengan gejala rasa tidak nyaman di tenggorokan, malaise dan demam
subfebris. Faring mengalami pembengkakan tetapi tidak ada limfadenopati. Infeksi
sedang sampai berat dapat disertai dengan gejala rasa sakit di tenggorokan, disfagia,
sakit kepala, malaise dan demam tinggi. Mukosa faring eritema, terdapat eksudat dan
pembesaran tonsil dan didapatkan folikel limfoid pada faring posterior, kasus yang berat
menunjukkan edema dari palatum molle dan uvula dengan pembesaran kelenjar getah
bening pada leher. Pada pemeriksaan klinis tidak dapat dibedakan infeksi virus atau
infeksi bakteri, tetapi infeksi virus umumnya ringan dan disertai dengan rhinorrhoea dan
suara serak sedangkan infeksi bakteri lebih berat. Faringitis yang disebabkan bakteri
1
gonococcus dapat ringan dan bahkan mungkin asimtomatik.

Kultur dari swab tenggorok sangat membantu dalam diagnosis faringitis bakterial.
Hal ini dapat mendeteksi 90% dari Grup A Streptococcus. Difteri dapat dikultur pada
media khusus. Swab dari kasus yang diduga faringitis gonokokal harus dikultur segera.
Kegagalan kultur bakteri menunjukkan etiologi faringitis adalah virus.1
Penatalaksanaan secara umum yaitu dengan istirahat cukup, banyak minum,
kumur dengan larutan saline atau irigasi faring dan pemberian analgesik. Rasa tidak
nyaman di tenggorok pada kasus yang berat dapat dikurangi dengan lignokain sebelum
makan untuk memudahkan menelan.1
Faringitis streptokokus (Grup A, beta-haemolyticus) dapat diberikan
penisilin G 200.000 - 250.000 unit per oral empat kali sehari selama 10 hari atau
benzathine penisilin G 600.000 unit setelah intramuskular untuk pasien dengan
berat badan <60 kg dan 1,2 juta unit setelah intramuskular untuk pasien dengan
berat badan >60 kg pada individu yang sensitif dengan penisilin, atau dapat
diberikan eritromisin 20 - 40 mg / kg berat badan setiap hari, dalam dosis oral
selama 10 hari. Pada faringitis difteri diberikan oleh antitoksin difteri dan
penisilin atau eritromisin. Faringitis gonokokal dapat diberikan penisilin atau
tetrasiklin pada dosis umum.1
2. Faringitis Kronik
Faringitis kronik adalah suatu kondisi infeksi (bakteri atau virus) atau iritasi
(kimia atau fisik) yang melibatkan inflamasi pada mukosa faring menetap selama
minimal satu tahun, selama lebih dari enam jam sehari, selama lebih dari dua minggu
bulan, selama lebih dari tiga bulan dalam setahun. 4
Faktor-faktor predisposisi terjadinya faringitis kronik : 1
1) Infeksi persisten pada daerah sekitar faring
Pada rinitis dan sinusitis kronik, discarj purulen dapat mengalir turun menuju
faring sehingga selalu menjadi sumber infeksi. Hal ini menyebabkan
hipertrofi pada lateral band faring. Sama halnya dengan tonsilitis kronik dan
infeksi pada gigi dapat menyebabkan faringitis kronik dan sakit tenggorok
yang rekuren.
2) Napas lewat mulut
Bernapas melalui mulut dapat membuat faring kontak dengan udara yang belum
disaring, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga membuatnya
lebih rentan terhadap infeksi. Pernapasan mulut dapat disebabkan :
 Obstruksi pada cavum nasi seperti : polip , rhinitis alergi atau vasomotor,
hipertrofi konka, septum deviasi atau tumor.
 Obstruksi pada nasofaring, misalnya adenoid atau tumor.
 Gigi yang menonjol sehingga menyebabkan maloklusi
 Kebiasaan tanpa adanya gangguan secara anatomis
3) Iritasi kronik
Merokok berlebihan, mengunyah tembakau, minuman alkohol, makanan yang
sangat pedas dapat menyebabkan faringitis kronis.
4) Polusi dari lingkungan
Lingkungan yang berasap atau berdebu dan asap industri mungkin juga dapat
menyebabkan faringitis kronis.
Tingkat keparahan gejala pada faringitis kronik bervariasi pada individu.
Gejala yang mungkin dapat timbul yaitu : 1
1. Rasa tidak nyaman atau nyeri di tenggorok
2. Rasa mengganjal pada tenggorok
3. Tidak dapat berbicara lama dikarenakan nyeri
4. Batuk
Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan
faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah
rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya
faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena hidungnya
tersumbat. 5

a. Faringitis Kronik Hipertrofi


Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan akhirnya batuk
yang berdahak. Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa
dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak
rata dan berglanular. 5

Gambar 4. Granulasi pada mukosa faring posterior 2

Gambar 5. Granulasi pada mukosa faring posterior 1


Terapi lokal dengan menggunakan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan simptomatis
diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk
antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.5
Terapi faringitis kronik tipe hipertrofi yaitu : 1
1) Faktor-faktor penyebab harus dihindari
2) Kumur dengan larutan saline hangat pada pagi hari dapat meredakan rasa
nyeri di tenggorok
3) Kauter granulasi limfoid disarankan. Tenggorokan disemprot dengan
anestesi lokal dan jaringan granulasi diberi perak nitrat 10-25%.
Elektrokauter atau diathermy nodul mungkin memerlukan anestesi umum.

b. Faringitis Kronik Atrofi


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta kelembabannya
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring. Pasien umumnya
mengeluhkan tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak
mukosa kering. 5
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik
atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.5 Kalium
iodida 325 mg, diberikan secara oral selama beberapa hari membantu untuk
merangsang sekresi dan mencegah pengerasan kulit.1
Gambar 6. Faringitis kronik atrofi e.c iritasi kronik 6

DAFTAR PUSTAKA

Nizar NW, Mangunkusumo E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi 7.Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal: 199-202.
Sri W.B , Ika Nuria S I , Zaid Z A , Fajryati U , Novita A. 2020. Tonsilitis. ISSN:
2721-2882
Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications:
Epidemiological, Clinical, and Therapeutic Profiles. InternationalJournal of
Otolaryngology and Head &Neck Surgery, pp. 98-103.
Lanang, S. M., Rizal, A. & Ramatryana, I. N. A., 2015. Simulasi Deteksi
Tonsilitis Mengunakan Pengolahan Citra Digital. JNTETI, 4(1), p. 1.
Manurung, R., 2016. Gambaran Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan
Pencegahan Tonsilitis pada Remaja Putri di Akper Imelda Medan Tahun
2015.
JurnalIlmiah Keperawatan IMELDA, 1(2), p. 2. Nadhila, N. F. M., 2016.
Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien Dewasa.. J Medula Unila,
pp. 107-108. Nizar, M. N., 2016.
Identifikasi Bakteri Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di BAgian THT
RSUD Ulin Banjarmasin. Berkala Kedokteran, p. 198.
Prasetya, G. Z., Candra, A. & Kurniawati, D. M., 2018. Pengaruh Suplementasi
Seng terhadap Kejadian Tonsilitis pada Balita. Journal of Nutrition College,
7(3), p. 3. Ramadhan, F. S. I. K., 2017.
Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak Usia 5 - 11 Tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah
MahasiswaKesehatan, Volume 2. Ringgo, A. S., 2019.
Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko Terjadinya Tonsilitis Konik Pada
Anak Sekolah Dasar di Bandar Lampung. MalahayatiNursing Journal,
Volume 1, p. 188.
Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. In: A. A. Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung
Tenggorokan & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI, p.
200.

Anda mungkin juga menyukai