Disusun oleh :
Pembimbing :
dr. Moh. Andi Fatkhurokhman, Sp. THT-KL
NIM : 30101700043
Mengetahui,
Pembimbing Klinik
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya
laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun pada
saat melaksanakan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
– Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama Semarang, dengan berbekalkan
pengetahuan, bimbingan, serta pengarahan yang diperoleh baik selama kepaniteraan
maupun pada saat kuliah pra-klinik.
Banyak pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan laporan
kasus ini, dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
dr. Atik Masdarinah, Sp.THT-KL sebagai pembimbing laporan kasus
Pimpinan dan staff RS Bhakti Wira Tamtama Semarang
Rekan ko-asisten selama kepaniteraan Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok – Kepala Leher RS Bhakti Wira Tamtama Semarang
Walau telah berusaha menyelesaikan laporan kasus ini dengan sebaik-
baiknya, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun akan diterima dengan
senang hati untuk perbaikan di masa mendatang, sehingga dapat bermanfaat bagi
kita semua.
NIM : 30101700043
A. Identitas Pasien
1. Nama : An. IR
2. Jenis kelamin : Laki - laki
3. Usia : 16 tahun
4. Status Pekerjaan : pelajar
5. Agama : Islam
6. Alamat : Banyumanik, Semarang
7. No. RM : 160xxx
8. Tanggal Periksa : 24 November 2021
9. Ruang : Poli THT RS Bhakti Wira Tamtama
B. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara auto dan alloanamnesis pada tanggal 24
November 2021
1. Keluhan Utama
Sering Nyeri Tenggorokan
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Vital Sign :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 360C
2. Status Internus
Status Lokalis (Telinga, Hidung dan Tenggorokan)
a. Kepala dan leher :
Kepala : mesocephale
Wajah : simetris
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)
b. Gigi dan Mulut :
Mukosa Buccal Hiperemis (-)
Ginggiva Hiperemis (-)
Gigi Geligi Caries Dentis (-), Gangren (-)
Palatum Hiperemis (-), simetris
Lidah 2/3 Posterior DBN (Bentuk, Ukuran, Pergerakan, Stomatitis/beslag)
Uvula Hiperemis (-) , Simetris, Edem (-),
Pilar anterior Hiperemis (+), Simetris, granulasi (-)
Faring Hiperemis (-), Petechie (-), Granulasi (-)
Orofaring Post Nasal Drip (-)
c. Tonsil
d. Telinga :
Dextra Sinistra
Aurikula Bentuk normal Bentuk normal
Warna sama kulit sekitar Warna sama kulit sekitar
Benjolan (-) Benjolan (-)
Nyeri Tarik (-) Nyeri Tarik (-)
Preaurikula Nyeri Tekan Tragus (-) Nyeri Tekan Tragus (-)
Fistel (-) Fistel (-)
Abses (-) Abses (-)
Retroaurikula Nyeri tekan (-), Nyeri Tekan (-)
Abses (-), Abses (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mastoid Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Edem (-) Edem (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Dextra Sinistra
Discharge (-) Discharge (-)
Serumen (-) Serumen (-)
CAE Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Granulasi (-) Granulasi (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Membran Tympani
Dextra Sinistra
Membran Tympani Intak, Perforasi (-) Intak, Perforasi (-)
Refleks Cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Warna Putih mutiara Putih mutiara
Cekung Cekung
Bentuk Retraksi (-) Retraksi (-)
Bulging (-) Bulging (-)
Dextra Sinistra
Konka Media Livid (-) Livid (-)
Edem (-) Edem (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka Inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Edem (-) Edem (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
f. Leher
Pembesaran KGB:
Submental : (-)
Submandibula : (-)
Preauricular : (-)
Postauricular : (-)
Sepanjang SCM : (-)
Supra et infra clavicula : (-)
D. RESUME
1. Anamnesis :
A. RPS
Pasien berusia 16 tahun datang dengan keluhan sering nyeri
tenggorokan sudah sejak ± 5 tahun yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan sering batuk pilek, tenggorokan terasa mengganjal,
diikuti nyeri dan sulit menelan makanan padat, minum masih bisa
sehingga membuat nafsu makan menurun serta mengganggu
aktifitas sehari-hari terutama sekolah. Keluhan kambuh atau
memberat jika pasien minum es, dan makan pedas. Nyeri
tenggorokan akan berkurang jika minum obat, sebelumnya sudah
sering berobat ke puskesmas ataupun ke rumah sakit. Gejala lain:
demam (-), tidur ngorok (-), bau mulut (-), suara serak (-),
gangguan tidur (-) terbangun malam hari oleh karena sesak (-),
batuk (-), keluar dahak (-), sesak (-).
B. RPD :
Riwayat penyakit serupa : (+), ± 5 tahun yang lalu
C. RSOSEK
Seorang pelajar berobat dengan BPJS
2. Pemeriksaan fisik :
- Pilar anterior hiperemis
- Tonsil dextra et sinistra :
- Ukuran T3-T3
- Kripte melebar
- Permukaan tidak rata
- Detritus (+)
- Hiperemis
E. DIAGNOSA
Diagnose sementara : Tonsilitis Kronis Hipertrofi
Diagnose banding :
Tonsilitis Kronis Hipertrofi
Adenotonsilitis Kronis
Faringitis Kronis
A. TATALAKSANA
1. Non Operatif
A. Medikamentosa :
Antibiotik spektrum luas
Penisilin G Benzatin 50 mg/kgBB,
Eritromisin 4x500 mg/hari
Antipiretik
Paracetamol 10-15 mg/kgBB
B. Non- Medikametosa
Hindari makanan/minuman yang menyebabkan iritasi pada tonsil
Jaga Kebersihan mulut
Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah
infeksi berulang.
Cuci bersih alat makan sebelum digunakan dan sebaiknya tidak
dipakai bersama
2. Operatif
A. Tonsilektomi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TONSIL
A. Anatomi Tonsil
Anterior – m. palatoglosus
Posterior – m. palatofaringeus
A. faringeal asenden.
A. faringeal asenden
A. palatina desenden
b. Lapisan lateral
E. Patofisiologi
F. Klasifikasi
Klasifikasi tonsillitis menurut Brodsky didasarkan pada
perbandingan besar tonsil dengan orofaring, diukur diantara pilar anterior
kedua sisi.
Klasifikasi 0: bila tonsil sudah diangkat
Klasifikasi 1: bila tonsil menempati ≤25% orofaring
Klasifikasi 2: bila tonsil menempati ≤50% orofaring
Klasifikasi 3: bila tonsil menempati ≤75% orofaring
Klasifikasi 4: bila tonsil menempati ≥75% orofaring
I. Pengobatan
1. Non Operatif
Antibiotik spektrum luas
Penisilin G Benzatin 50 mg/kgBB,
Eritromisin 4x500 mg/hari
Antipiretik
Paracetamol 10-15 mg/kgBB
Obat kumur mengandung desinfektan
Betadin kumur 1%, selama 30 detik, tiap 3-4 jam
2. Operatif
a) Tonsilektomi
Merupakan Prosedur operasi pengangkatan tonsil yang
dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi. Caranya dengan
mengangkat seluruh tonsil dan kapsulnya, dengan melakukan diseksi
pada ruang peritonsil di antara kapsul tonsil dan otot dinding fossa
tonsil.
Indikasi absolut
Hipertrofi tonsil yang menyebabkan:
obstruksi saluran napas
disfagia berat
gangguan tidur,
komplikasi kardiopulmoner
gangguan pertumbuhan dentofasial
gangguan bicara
Riwayat abses peritonsil yang tidak membaik dengan
pengobatan medis dan drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.
Indikasi relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil tiap tahun dengan
terapi antibiotik adekuat.
Halitosis dan karies akibat tonsilitis kronik yang tidak
membaik dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B
hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian
antibiotik resisten ß-laktamase.
Kontra indikasi :
Gangguan perdarahan.
Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat.
Anemia.
Infeksi akut yang berat.
Palatoskizis.
b) Adenoidektomi
Operasi pengangkatan tonsila pharingea/adenoid dilakukan
bersama tonsilektomi terutama apabila terdapat gangguan bernafas
saat tidur. Pada usia ≤7 tahun dilakukan tanpa melihat ukuran
adenoid. Namun ketika usia ≥ 7 tahun adenoidektomi dilakukan atas
indikasi hipertrofi adenoid.
J. Komplikasi
1. Abses peritonsil :
Abses yang terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior
dan palatum mole.Gejala : nyeri lokal, disfagia.
2. Abses intratonsilar :
Akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil biasanya diikuti
dengan penutupan kripta. Gejala : malaise, odinofagi yang berat
dan trismus.
6. Demam rematik :
Penyakit autoimun yang terjadi pasca infeksi streptococcus
beta hemolitikus grup A. Ditandai dengan pola demam yang khas
(≤ 39 dan bisa normal dalam 2-3 minggu tanpa pengobatan) yang
bisa menyebabkan penyakit jantung rematik. Streptococcus
memproduksi enzim streptolisin o dan streptolisin s, yang memicu
tubuh mengeluarkan anti streptolisin o lalu berikatan membentuk
kompleks antigen antibodi yang menyebar secara hematogen.
Namun anti streptolisin O tidak bisa membedakan jaringan tubuh
normal dengan antigen sehingga terjadi reaksi silang. Anti
streptolisin O menyerang jaringan tubuh sendiri.
Di jantung reaksi ini akan menyebakan rusaknya katub
mitral sehingga darah yang menuju ke aorta tidak maksimal.
Ventrikel kiri menyesuaikan diri dengan berdilatasi dan
memperkuat pompa darah supaya darah yang menuju ke aorta
tercukupi, namun hal ini membuat darah dari atrium kiri tidak bisa
masuk ke ventrikel kiri sehingga terjadi kongesti paru/ udem paru
akibat terhambatnya darah dari vena pulmonal ke atrium kiri. Jika
paru udem, maka darah dari arteri pulmonalis tidak bisa masuk ke
paru sehingga terjadi hipertensi pumonal dan hipertensi ventrikel
kanan yang memicu terjadinya gagal jantung kanan. Gejala : nyeri
sendi,sakit diseluruh tubuh, bengkak pada sendi, muncul bentol-
bentol ditubuh, nyeri kepala, dada berdebar-debar.
7. Adenoitis :
Akibat adanya infeksi berulang yang menjadikan tonsil
fokal infeksi sehingga menyebar ke adenoid. Adenoid yang
membesar menghalangi jalan udara masuk melalui nasofaring
sehingga terjadi snoring dan sesak. Sehingga untuk menyesuaikan
kondisi tersebut penderita membuka mulut saat bernafas yang
bermanifestasi pada terbentuknya “Facies Adenoid”. Gejala :
hidung buntu, pilek, napas lewat mulut, ngorok tertutama saat
terlentang
K. Kesimpulan
HIPERTROFI ADENOID
A. Definisi
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jairngan limfoid yang
terletak di dinding posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian
cincin Waldeyer.
Adenoid akan membesar pada anak usia 3 tahun & mengecil dan
hilang pada usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran nafas
bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid. Akibatnya akan
timbul sumbatan koana dan sumbatan tuba Eustachius. Akibat
sumbatan koana menyebabkan pasien bernapas melalui mulut
sehingga terjadi fasies adenoid : tampak hidung kecil, gigi insisivus ke
depan (prominen), arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah
pasien tampak bodoh.
Adanya sumbatan di tuba Eustachius menyebabkan otitis media
akut berulang dan dapat terjadi otitis media supuratif kronis
Diagnosis :
Melalui tanda & gejala
Pemeriksaan rhinoskopi posterior
Pemeriksaan radiologi foto polos kepala lateral (pada anak-
anak)
Terapi :
Bedah adenoidektomikuretase memakai adenotom
B. Adenoidektomi
Indikasi :
Sumbatan :
Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melali
mulut
Sleep apnea
Gangguan menelan
Gangguan bicara
Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face)
Infeksi :
Adenoiditis berulang/kronik
Otitis media efusi berulang/kronik
Otitis media akut berulang
Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
Komplikasi :
Perdarahan apabila pengerokan adenoid kurang bersih
Tuli konduktif apabila kuretase terlalu ke lateral maka torus
tubarius rusak & mengakibatkan oklusi tuba Eustachius
FARING
A. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan
ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler
ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke esophagus hingga
setinggi vertebra servikalis ke-6.1,2
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa ±14 cm dan bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh
selaput lendir, fascia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fascia
bukofaringeal.1,2
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari muskulus konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak ini terletak di sebelah luar dan
berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya menutupi sebagian otot
bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan, otot-otot ini bertemu satu sama
lain dan di belakang bertemu pada jaringan ikat. Kerja otot konstriktor ini adalah
untuk mengecilkan lumen faring dan otot-otot ini dipersarafi oleh nervus vagus.1,2
Gambar 1. Otot-otot Faring dan Esofagus
Fungsi faring yang terutama adalah ialah untuk respirasi, pada waktu
menelan, resonansi suara dan artikulasi. 1,2
B. Faringitis
Faringitis adalah inflamasi pada faring. Faringitis terjadi karena hidup pada
lingkungan yang tidak higienis, korosif, trauma, dingin yang berlebihan, infeksi virus,
bakteri, jamur dan lain-lain. Ada dua jenis faringitis, yaitu faringitis akut dan kronis. 3
1. Faringitis Akut
Faringitis akut sangat sering ditemukan dan memiliki etiologi bervariasi seperti
virus, bakteri, jamur atau lainnya. Faringitis dengan penyebab virus lebih sering
ditemukan. Faringitis streptokokus akut (streptokokus beta haemolitikus grup A) perlu
diperhatikan karena dapat menyebabkan demam rematik dan glomerulonefritis post
streptokokus.1
Faringitis dapat terjadi pada tingkat keparahan yang berbeda. Infeksi ringan
biasanya disertai dengan gejala rasa tidak nyaman di tenggorokan, malaise dan demam
subfebris. Faring mengalami pembengkakan tetapi tidak ada limfadenopati. Infeksi
sedang sampai berat dapat disertai dengan gejala rasa sakit di tenggorokan, disfagia,
sakit kepala, malaise dan demam tinggi. Mukosa faring eritema, terdapat eksudat dan
pembesaran tonsil dan didapatkan folikel limfoid pada faring posterior, kasus yang berat
menunjukkan edema dari palatum molle dan uvula dengan pembesaran kelenjar getah
bening pada leher. Pada pemeriksaan klinis tidak dapat dibedakan infeksi virus atau
infeksi bakteri, tetapi infeksi virus umumnya ringan dan disertai dengan rhinorrhoea dan
suara serak sedangkan infeksi bakteri lebih berat. Faringitis yang disebabkan bakteri
1
gonococcus dapat ringan dan bahkan mungkin asimtomatik.
Kultur dari swab tenggorok sangat membantu dalam diagnosis faringitis bakterial.
Hal ini dapat mendeteksi 90% dari Grup A Streptococcus. Difteri dapat dikultur pada
media khusus. Swab dari kasus yang diduga faringitis gonokokal harus dikultur segera.
Kegagalan kultur bakteri menunjukkan etiologi faringitis adalah virus.1
Penatalaksanaan secara umum yaitu dengan istirahat cukup, banyak minum,
kumur dengan larutan saline atau irigasi faring dan pemberian analgesik. Rasa tidak
nyaman di tenggorok pada kasus yang berat dapat dikurangi dengan lignokain sebelum
makan untuk memudahkan menelan.1
Faringitis streptokokus (Grup A, beta-haemolyticus) dapat diberikan
penisilin G 200.000 - 250.000 unit per oral empat kali sehari selama 10 hari atau
benzathine penisilin G 600.000 unit setelah intramuskular untuk pasien dengan
berat badan <60 kg dan 1,2 juta unit setelah intramuskular untuk pasien dengan
berat badan >60 kg pada individu yang sensitif dengan penisilin, atau dapat
diberikan eritromisin 20 - 40 mg / kg berat badan setiap hari, dalam dosis oral
selama 10 hari. Pada faringitis difteri diberikan oleh antitoksin difteri dan
penisilin atau eritromisin. Faringitis gonokokal dapat diberikan penisilin atau
tetrasiklin pada dosis umum.1
2. Faringitis Kronik
Faringitis kronik adalah suatu kondisi infeksi (bakteri atau virus) atau iritasi
(kimia atau fisik) yang melibatkan inflamasi pada mukosa faring menetap selama
minimal satu tahun, selama lebih dari enam jam sehari, selama lebih dari dua minggu
bulan, selama lebih dari tiga bulan dalam setahun. 4
Faktor-faktor predisposisi terjadinya faringitis kronik : 1
1) Infeksi persisten pada daerah sekitar faring
Pada rinitis dan sinusitis kronik, discarj purulen dapat mengalir turun menuju
faring sehingga selalu menjadi sumber infeksi. Hal ini menyebabkan
hipertrofi pada lateral band faring. Sama halnya dengan tonsilitis kronik dan
infeksi pada gigi dapat menyebabkan faringitis kronik dan sakit tenggorok
yang rekuren.
2) Napas lewat mulut
Bernapas melalui mulut dapat membuat faring kontak dengan udara yang belum
disaring, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh sehingga membuatnya
lebih rentan terhadap infeksi. Pernapasan mulut dapat disebabkan :
Obstruksi pada cavum nasi seperti : polip , rhinitis alergi atau vasomotor,
hipertrofi konka, septum deviasi atau tumor.
Obstruksi pada nasofaring, misalnya adenoid atau tumor.
Gigi yang menonjol sehingga menyebabkan maloklusi
Kebiasaan tanpa adanya gangguan secara anatomis
3) Iritasi kronik
Merokok berlebihan, mengunyah tembakau, minuman alkohol, makanan yang
sangat pedas dapat menyebabkan faringitis kronis.
4) Polusi dari lingkungan
Lingkungan yang berasap atau berdebu dan asap industri mungkin juga dapat
menyebabkan faringitis kronis.
Tingkat keparahan gejala pada faringitis kronik bervariasi pada individu.
Gejala yang mungkin dapat timbul yaitu : 1
1. Rasa tidak nyaman atau nyeri di tenggorok
2. Rasa mengganjal pada tenggorok
3. Tidak dapat berbicara lama dikarenakan nyeri
4. Batuk
Terdapat dua bentuk faringitis kronik yaitu faringitis kronik hiperplastik dan
faringitis kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring adalah
rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya
faringitis kronik adalah pasien yang bernafas melalui mulut karena hidungnya
tersumbat. 5
DAFTAR PUSTAKA
Nizar NW, Mangunkusumo E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher.Edisi 7.Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal: 199-202.
Sri W.B , Ika Nuria S I , Zaid Z A , Fajryati U , Novita A. 2020. Tonsilitis. ISSN:
2721-2882
Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications:
Epidemiological, Clinical, and Therapeutic Profiles. InternationalJournal of
Otolaryngology and Head &Neck Surgery, pp. 98-103.
Lanang, S. M., Rizal, A. & Ramatryana, I. N. A., 2015. Simulasi Deteksi
Tonsilitis Mengunakan Pengolahan Citra Digital. JNTETI, 4(1), p. 1.
Manurung, R., 2016. Gambaran Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan
Pencegahan Tonsilitis pada Remaja Putri di Akper Imelda Medan Tahun
2015.
JurnalIlmiah Keperawatan IMELDA, 1(2), p. 2. Nadhila, N. F. M., 2016.
Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien Dewasa.. J Medula Unila,
pp. 107-108. Nizar, M. N., 2016.
Identifikasi Bakteri Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di BAgian THT
RSUD Ulin Banjarmasin. Berkala Kedokteran, p. 198.
Prasetya, G. Z., Candra, A. & Kurniawati, D. M., 2018. Pengaruh Suplementasi
Seng terhadap Kejadian Tonsilitis pada Balita. Journal of Nutrition College,
7(3), p. 3. Ramadhan, F. S. I. K., 2017.
Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak Usia 5 - 11 Tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah
MahasiswaKesehatan, Volume 2. Ringgo, A. S., 2019.
Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko Terjadinya Tonsilitis Konik Pada
Anak Sekolah Dasar di Bandar Lampung. MalahayatiNursing Journal,
Volume 1, p. 188.
Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi
Adenoid. In: A. A. Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung
Tenggorokan & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI, p.
200.