Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 5 TAHUN


DENGAN TONSILITIS KRONIS

Oleh:

Zahra Saliha I. (G992208046)

Pembimbing
dr. Novi Primadewi Sp. THT-KL (K), M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA 2022
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS

Kasus yang berjudul:

SEORANG ANAK PEREMPUAN USIA 5 TAHUN


DENGAN TONSILITIS KRONIS

Disusun oleh:
Zahra Saliha Izzati (G992208046)

Periode: 24 Oktober – 20 November 2022

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher RS UNS - Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret

Surakarta, 14 November 2022


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Staff Pembimbing

dr. Novi Primadewi Sp. THT-KL (K), M.Kes


BAB I

STATUS PASIEN

A. Anamnesis
1. Identitas
Nama : An. D
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kauman 4/9 Ngadirejo
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Suku/ras : Jawa
No. RM : 0167xxxx

2. Keluhan Utama
Tenggorok terasa mengganjal

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang bersama ayah dan ibunya (2/11/22) dengan keluhan tenggorok terasa
mengganjal. Keluhan dirasakan hilang timbul sejak 2 tahun yang lalu dan memberat seminggu
terakhir sampai mengganggu aktivitas. Pasien mengeluhkan bahwa tenggorok terasa
mengganjal ketika menelan makanan, namun masih bisa makan dan minum. Ibu pasien
mengakui bahwa pasien tidur dengan suara mengorok dan nafsu makannya menurun dalam
beberapa hari terakhir.
Keluhan pasien disertai dengan demam dan batuk-pilek. Keluhan demam berulang
terjadi setidaknya tiga kali dalam dua bulan. Keluhan batuk dan pilek dirasakan memberat di
malam hari. Ibu pasien mengaku bahwa keluar cairan encer dari hidung berwarna jernih dan
tidak berbau. Saat ini pasien tidak diberikan obat penurun panas dan hanya mengonsumsi obat
vicks sirup untuk meredakan batuknya. Sebelumnya, pasien sudah mencoba berobat ke Klinik
IIs Medika dan langsung dirujuk ke RS (24/10/22).
Pasien tidak mengeluhkan adanya pusing dan mual-muntah. Keluhan tenggorok seperti
nyeri menelan, suara serak, dan bau mulut disangkal. Keluhan hidung terasa gatal, hilang
penghidu, dan bersin-bersin disangkal. Keluhan terkait telinga seperti gangguan pendengaran,
keluar cairan dari telinga, dan nyeri telinga disangkal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat demam dan batuk pilek : diakui terjadi apabila pasien mengalami
kelelahan, dua kali dalam tiga bulan
Riwayat pembesaran tonsil : diakui sejak berumur 3 tahun
Riwayat asma : disangkal
Riwayat COVID-19 : disangkal
Riwayat keluar cairan dari telinga : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat sakit gigi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat penyakit lain : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat demam dan batuk pilek : disangkal
Riwayat pembesaran tonsil : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat COVID-19 : disangkal

Riwayat keluar cairan dari telinga : disangkal

Riwayat alergi : disangkal


Riwayat sakit gigi : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes melitus : disangkal


Riwayat trauma : disangkal
Riwayat operasi : disangkal
Riwayat keganasan : disangkal
Riwayat penyakit lain : asam lambung pada bapak
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat ke dokter menggunakan BPJS. Pasien merupakan murid TK. Orang tua
pasien mengatakan bahwa tinggal di lingkungan yang cukup bersih.

7. Riwayat Kebiasaan
Pola makan pasien teratur 3x sehari, namun porsi makannya hanya sedikit. Pasien
memiliki riwayat makan chiki dan minum es dalam beberapa hari terakhir. Sebelum dan
sesudah makan, pasien sering mencuci tangan namun jarang menggunakan sabun.

Setiap hari minggu, pasien rutin jalan sehat bersama orang tuanya. Pasien istirahat
cukup 8-9 jam per hari. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6 (Compos mentis)
b. Keadaan umum : Sakit ringan
c. Tanda vital
Berat badan : 15,8 kg

Frekuensi nadi : 66 kali/menit

Frekuensi nafas : 20 kali/menit

Suhu : 36,4°C
SpO2 : 98%
d. Thorax : bentuk normal, pengembangan dinding dada simetris
e. Jantung : BJ1 dan BJ2 normal
f. Paru-paru : suara napas vesikuler, irama napas reguler
g. Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan (-)
2. Status THT-KL
a. Telinga

Subjek Dextra Sinistra

Gambar

Normotia, edema (-), Normotia, edema (-),


Daun Telinga
hiperemis (-), luka (-), nyeri hiperemis (-), luka (-), nyeri
tekan (-) tekan (-)
Lapang, hiperemis (-), Lapang, hiperemis (-),
Canalis Auricularis
serumen (-) serumen (-)
Intak, cone of light (+) pada Intak, cone of light (+) pada
Membran Timpani
jam 5 jam 7
Tragus Pain (-) (-)
Hearing Loss (-) (-)
Discharge (-) (-)
Tes Rinne tidak dapat dievaluasi tidak dapat dievaluasi
Tes Weber tidak dapat dievaluasi tidak dapat dievaluasi
Tes Swabach tidak dapat dievaluasi tidak dapat dievaluasi

b. Hidung

Subjek Dextra Sinistra


Gambar

Cavum nasi Lapang, benda asing (-) Lapang, benda asing (-)
Discharge sekret (+) serous bening sekret (+) serous
bening
Konka nasalis Hipertrofi (-), edema (-), Hipertrofi (-), edema (-),
inferior hiperemis (-) hiperemis (-)

Meatus nasi medius Discharge (+), Massa (-) Discharge (+), Massa
(-)
Meatus nasi inferior Discharge (+), Massa (-) Discharge (+), Massa (-)

Septum nasi Deviasi (-) Deviasi (-)


Provokasi lesi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nyeri tekan sinus Tidak didapatkan nyeri tekan Tidak didapatkan nyeri
- Sinus frontalis sinus tekan sinus
- Sinus maksilaris
- Sinus ethmoidalis
- Sinus sfenoidalis
Lain-lain Massa (-) Massa (-)

c. Mulut

Subjek Hasil

Bibir Mukosa bibir lembab, sianosis (-), ulkus (-), drooling (-)

Ginggiva Mukosa hiperemis (-), licin (+), bleeding(-)

Gigi Tidak ada yang tanggal, berdarah (-), gigi berlubang (-)

Lidah Kotor (-), oral trush (-) , papil atrofi (-)

KGB Pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)


d. Tenggorokan

Subjek Dextra Sinistra

Gambar

Tonsil T3, hiperemis (+), detritus (-), T3, hiperemis (+), detritus (-),
kripte melebar (+) kripte melebar (+)
Faring
Hiperemis (-), granulasi (-), Clot darah (-), post nasal
drip (-)
Adenoid Fenomena palatum molle (+) Fenomena palatum molle (+)

Lain - lain Uvula ditengah Uvula ditengah

e. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening regional (-)

3. Resume
Pasien datang dengan keluhan tenggorok terasa mengganjal. Keluhan dirasakan hilang
timbul sejak 2 tahun yang lalu dan memberat seminggu terakhir. Keluhan dirasakan terus-
menerus sampai mengganggu aktivitas. Pasien mengeluhkan bahwa tenggorok terasa
mengganjal ketika menelan makanan, namun masih bisa makan dan minum. Keluhan disertai
dengan demam berulang yang terjadi setidaknya dua kali dalam tiga bulan serta keluhan batuk
dan pilek yang dirasakan memberat di malam hari. Pasien memiliki riwayat sering makan
chiki dan minum es.
ibu pasien mengaku bahwa keluar cairan encer dari hidung berwarna jernih dan tidak
berbau. Pasien mengonsumsi obat vicks sirup untuk meredakan batuknya. Keluhan nyeri telan
(-), suara serak (-), bau mulut (-), tidur dengan suara mengorok (+), nafsu makan menurun (+),
pusing (-), dan mual-muntah (-). Keluhan hidung dan telinga disangkal.

Dari hasil pemeriksaan tenggorok ditemukan tonsil yang membesar dengan ukuran
T3/T3. Pada kedua tonsil, terlihat hiperemis dan kripte yang melebar.
4. Diagnosis Banding
- Hipertrofi tonsil
- Adenoiditis kronis
- Faringitis kronis

5. Diagnosis:
Tonsilitis Kronis

6. Terapi
• Pemberian NAC ¼ tab (pulv)
• Pemberian Metilprednisolone ½ tab (pulv)
• Edukasi :
- mengurangi konsumsi makanan yang berminyak dan chiki
- menghindari konsumsi es
- menjaga kebersihan tangan dan oral (sikat gigi, kumur-kumur teratur)
- hidrasi yang cukup

7. Planning
- tindakan pembedahan tonsilektomi
- foto polos AP/Lateral → menyingkirkan diagnosis di adenoid

8. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Tonsil merupakan organ limfatik dari cincin waldeyer yang terdiri atas tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, dan tonsil tuba Eustachius (Gerlach’s tonsil). Tonsil
berfungsi sebagai unit pertahanan tubuh yang membentuk respons imun terhadap patogen yang
masuk. Epitelium pada tonsil berbentuk kripta dengan kanal khusus yang mengandung sel
“M”. Sel ini yang akan mengambil antigen, membentuk vesikel, dan membawa antigen ke
dalam folikel limfoid sehingga bisa mengaktifkan limfokin dan immunoglobin. Karena hal ini,
tonsil memiliki peranan yang besar pada anak usia dini, yakni 3–10 tahun.

Cincin Waldeyer

(Rusmarjono & Soepardi, 2016)

Terjadinya peradangan di daerah tonsila palatina sering disebut dengan tonsilitis. Peradangan
yang terjadi disebabkan oleh patogen seperti bakteri atau virus yang disebarkan melalui udara
(air borne droplets) terutama ketika bersin, berbagi peralatan dengan orang yang terinfeksi,
atau dari kontak langsung tangan penderita. Tonsillitis dapat diderita segala usia, terutama pada
anak-anak (Ringgo, 2019).

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Pada balita, tonsilitis lebih sering
disebabkan oleh infeksi virus, sedangkan infeksi bakterial sering terjadi pada anak-anak usia 5-
15 tahun yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus hemolitikus grup A dengan prevalensi 15-
30% (Georgalas, 2014). Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia < 2 tahun dan orang tua >40
tahun. Kelompok usia 11 – 20 tahun adalah usia terbanyak yang mengalami tonsilitis kronik.
Abu Bakar et al (2018) melaporkan bahwa angka kejadian tonsilitis kronis mencapai 11,7%
(95% CI, 11,0%-12,3%) dengan didominasi penderita berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT bulan September 2012 pada tujuh provinsi di
Indonesia, tonsilitis kronik menempati posisi tertinggi kedua (3,8%) setelah nasofaringitis akut.

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Tonsilitis disebabkan oleh beberapa mikroorganisme, diantaranya
1. Virus
Virus penyebab utama dari infeksi di tonsil adalah virus Epstein Barr (tersering pada
tonsilitis akut sekitar 50%), Haemofilus influenzae A (tonsilitis akut supuratif),
rhinovirus, adenovirus, dan virus coxschakie (ditandai dengan luka-luka kecil pada
palatum disertai tonsil yang sangat nyeri).
2. Bakteri
Bakteri merupakan salah satu penyebab dari tonsilitis (15-30%) pada anak sekolah
dimana sebagian besar disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes beta-hemolitik
kelompok A (GABHS). Bakteri ini melekat sebagai flora normal pada reseptor adhesin
yang terletak pada epitel tonsil (bagian orofaring dan nasofaring). Beberapa bakteri
penyebab tonsilitis, antara lain Staphylococcus, Neisseria gonorrhoea, Mycoplasma
pneumonia, Chlamydia pneumonia dan Corynebacterium diphtheria.
3. Jamur
Penyebab tonsilitis jamur Candida sp dan spirochaeta seperti Treponema pallidum,
Spirochaeta denticolata dan Treponema vincentii.
Tonsilitis kronis yang terjadi pada anak biasa disebabkan karena anak sering mengalami infeksi
saluran napas atas (ISPA) atau keadaan tonsilitis akut yang tidak mendapatkan terapi adekuat.
Terapi antibiotik yang tidak tepat berakibat pada peningkatan kejadian tonsilitis kronis. Berikut
beberapa faktor predisposisi lain yang dapat menimbulkan keluhan tonsilitis berulang seperti
makanan tertentu, rangsangan kronis rokok, kebersihan mulut yang buruk, pengaruh perubahan
cuaca, serta kondisi tubuh yang menurun karena kelelahan fisik.
D. PATOFISIOLOGI
Peranan utama tonsil ialah membantu menyerang mikroorganisme yang masuk sebagai tindakan
perlindungan. Karena perannya, organ ini mudah terkena infeksi dan menjadi fokus infeksi
(Manurung, 2016). Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dimulai saat bakteri atau virus
memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan sebagai filter utama. Bakteri atau
virus yang masuk langsung diserang di bagian lapisan membran mukosa tonsil dalam bentuk
reaksi inflamasi. Infiltrasi pada bagian epitel ini akan merangsang pengeluaran leukosit
polimorfonuklear yang kemudian membentuk detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
sel epitel yang mati, dan bakteri patogen dalam kripta. Keadaan ini memicu tubuh membentuk
antibodi terhadap infeksi yang datang.

Pada kasus peradangan yang berulang, bagian jaringan limfoid tonsil terkikis sehingga proses
penyembuhan digantikan dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut dan menyebabkan
ruang kripta yang melebar diisi detritus. Kripta melebar menandakan bahwa seseorang sudah
mengalami tonsilitis kronis. Proses ini dapat meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris (Soepardi, et al., 2012).

Pathway Tonsilitis
E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal pada penderita tonsilitis ialah nyeri di tenggorokan yang berlanjut menjadi
parah. Pada anak dengan tonsilitis yang tidak sembuh, akan cenderung mengalami demam,
penurunan nafsu makan dan berat badan, menangis terus menerus, dan nyeri saat menelan.
Gejala tonsilitis meliputi:

a. Nyeri di tenggorokan. Nyeri juga seringkali dirasakan di telinga (referred pain) sebagai
nyeri alih dari saraf nervus glosofaringeus.
b. Nyeri menelan (odinofagi). Rasa nyeri ketika menelan terjadi karena ketika menelan
sesuatu akan menyentuh daerah peradangan.
c. Sulit menelan. Peradangan di tonsil akan mengakibatkan pembesaran sehingga
penderita akan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok.
d. Pada anak, keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur
karena besarnya tonsil yang mengganggu pernafasan. Bahkan keluhan sesak nafas juga
dapat terjadi apabila pembesaran tonsil menutup jalur pernafasan.
e. Keluhan juga dapat disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, tidak enak badan,
lesu, sakit kepala, muntah, nyeri perut, dan nyeri sendi (Ramadhan 2017; Nizar, 2016).
F. KLASIFIKASI
Tonsilitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu
1. Tonsilitis akut merupakan peradangan dalam waktu kurang dari 3 minggu, bisa karena
virus atau bakteri. Gejala yang timbul berupa demam dengan suhu tubuh tinggi yang
disertai nyeri tenggorok, bau mulut, nyeri saat menelan, disfagia, limfadenopati, eritema
tonsil dan eksudat.
2. Tonsilitis membranosa merupakan salah satu jenis radang amandel akut disertai
pembentukan membran/ selaput pada permukaan tonsil dan dapat meluas. Menurut
jenisnya
a) Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Gejala umumnya berupa demam,
seperti gejala infeksi lainnya. Gejala yang tampak pada tonsil berupa
pembengkakan tonsil yang tertutup bercak putih kotor yang makin meluas hingga
membentuk membran semu. Bercak dapat menyebar ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea dan bronkus (bisa menyumbat saluran napas). Mukosa
sangat rentan dan mudah berdarah. Bila terus berlanjut, kelenjar limfa leher akan
membengkak yang terlihat menyerupai leher sapi (bull neck) atau Burgemeester.
b) Tonsilitis septik
Penyakit ini disebabkan karena bakteri Streptococcus hemolyticus pada susu sapi.
Hanya saja, di Indonesia kasus seperti ini jarang terjadi..
3. Tonsilitis kronis atau menahun merupakan pembesaran tonsil dalam jangka waktu lama
(berlangsung sampai bulan atau tahun). Penderita juga memiliki riwayat sakit
tenggorokan dengan gejala bau mulut dan nyeri saat menelan. Pada pemeriksaan, tampak
tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata dan kriptus melebar dengan detritus
(Manurung, 2016).

G. DIAGNOSIS
Diagnosis tonsilitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, temuan pemeriksaan klinis, atau
pemeriksaan penunjang (laboratorium atau tes lainnya).
a. Anamnesis
Anamnesis yang mendalam penting dilakukan untuk mengetahui penyebab keluhan
dasar dan menentukan apakah tonsilitis bersifat akut, berulang, atau kronik. Umumnya,
pasien datang dengan keluhan atipikal seperti nyeri tenggorokan, disfagia, odinofagia,
demam, hilang nafsu makan, limfadenopati servikal, suara serak, dan hialosis.
Tonsilitis akut memiliki gejala tipikal dan dapat disertai obstruksi jalan nafas seperti
mendengkur, gangguan tidur dan obstructive sleep apnea (OSA). Pada tonsilitis
berulang, memiliki gejala tipikal dan ditegakkan dengan kriteria Paradise. Sedangkan,
gejala pada tonsilitis kronik seperti nyeri tenggorokan kronik, halitosis, dan
limfadenopati servikal persisten.
b. Pemeriksaan Fisik
Penilaian tanda vital dan tanda dehidrasi perlu terutama pada anak-anak. Untuk
mengetahui kelainan pada tonsil, maka dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan
tenggorok. Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah. Pasien
diminta membuka mulut, lalu pemeriksa menilai karakteristik tonsil. Karakteristik yang
paling mudah dilihat adalah perubahan warna (kemerahan) pada tonsil, permukaan tidak
rata, dan pembengkakan. Selain itu, dinilai pelebaran muara kripta, ada tidaknya detritus,
nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Bisa juga ditemukannya eksudat
berwarna putih keabuan di tonsil sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan,
nyeri menelan, demam tinggi, bau mulut serta otalgia (Lanang, et al., 2015).

Besar Ukuran Tonsil


(Goldberg, 2016)
Besar tonsil dinyatakan dalam T0, T1, T2, T3, dan T4:
● T0: apabila tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat.
● T1 (A): apabila besar tonsil 1/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil
tersembunyi di dalam pilar tonsilar.
● T2 (B): apabila besar tonsil 2/4 jarak arkus anterior dan uvula, dimana tonsil
membesar ke arah pilar tonsilar.
● T3 (C): apabila besar tonsil 3/4 jarak arkus anterior dan uvula, atau terlihat
mencapai luar pilar tonsilar.
● T4 (D): apabila besar tonsil mencapai arkus anterior atau lebih, dimana tonsil
mencapai garis tengah (kissing tonsil).
> Menggunakan Skor Centor
Untuk menilai apakah tonsilitis disebabkan oleh infeksi group A beta-hemolytic
streptococcus (GABHS), maka dilakukan dengan menggunakan Centor Score. Namun
hasilnya hanya diperuntukkan bagi anak <15 tahun. Skoring Centor kemudian
dimodifikasi dengan menambahkan klasifikasi usia.
Kriteria skor ini adalah sebagai berikut :

Kriteria Nilai

Suhu >38°C 1

Tidak ada batuk 1

Limfadenopati servikal anterior 1

Lembesaran tonsil atau eksudat 1

Usia 3-14 tahun 1

Usia 15-44 tahun 0

Usia >44 tahun -1

Interpretasi hasil sebagai berikut:

Jumlah gejala dan tanda Risiko infeksi

0 1-2,5% Pasien tidak memerlukan


pemeriksaan penunjang dan tidak
1 5-10% ada indikasi pemberian antibiotik

2 11-17% dilakukan pemeriksaan


penunjang
3 28-35%

>4 51-53% diberikan antibiotik empiris

c. Pemeriksaan Penunjang
IDSA (Infectious Disease Society of America) dan AHA (American Heart Association)
merekomendasikan untuk mengidentifikasi status bakteriologik dalam menegakkan
diagnosis tonsilitis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam menilai etiologi bakteri
ialah kultur swab tenggorok dan rapid antigen detection test (RAT).
Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP (American
College of Physicians), kultur swab tenggorok atau RAT pada dewasa dilakukan apabila
gejala mengarah pada infeksi streptokokus, seperti demam persisten, keringat malam,
limfadenopati servikal anterior yang nyeri, nyeri wajah, petekie palatum dan discharge
nasal yang purulen.
a. Kultur Swab Tenggorok
Kultur swab tenggorok dilakukan dengan swab tunggal pada bagian tonsil dan
faring posterior, dengan menghindari mukosa bukal dan lidah. Hasil swab
kemudian dimasukkan ke dalam media transport dan dioleskan pada agar darah.
Pertumbuhan kultur berlangsung selama 18-48 jam.
Pemeriksaan swab tenggorok harus dilakukan sebelum antibiotik mulai diberikan
agar tidak terdapat false result. Hasil kultur positif swab tenggorok untuk GHBS
menunjukkan bahwa nyeri tenggorok yang terjadi diakibatkan oleh bakteri
streptokokus.
b. Rapid Antigen Test (RAT)
RAT dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi GABHS. RAT diambil dari
swab tenggorok pada dinding faring posterior dan kedua tonsil. Hasil didapatkan
dalam 10 menit. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang tinggi dan
sensitivitas yang mencapai 59-95% sehingga apabila diperoleh hasil yang
positif, maka kultur swab tidak perlu dilakukan lagi. Namun apabila hasil RAT
menunjukkan hasil yang negatif, kultur swab tenggorok diperlukan.
c. Pemeriksaan Titer Antibodi
Pemeriksaan titer antibodi anti streptokokus untuk diagnosis rutin tidak
dilakukan. Hal ini dikarenakan hasil yang diperoleh dapat menunjukkan infeksi
yang telah lampau, bukan infeksi sekarang. Titer anti-streptolisin O (ASO)
digunakan untuk mengidentifikasikan infeksi streptokokus grup A pada pasien
yang dicurigai memiliki demam reumatik atau komplikasi non-supuratif lainnya.
Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O pada darah. Streptolisin O
merupakan substansi yang diproduksi oleh GABHS. Hasil titer ASO >200 IU
atau lebih dari 166 Todd unit dinyatakan positif.
d. Pemeriksaan penunjang lain, seperti nasofaringo laringoskopi (RFL), foto polos
nasofaring lateral dan kepala AP/Lateral, CT Scan kepala leher (Stelter, 2014).

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Hipertrofi tonsil
Hipertrofi tonsil adalah keadaan dimana tonsil mengalami pembesaran. Kondisi ini sering
terjadi pada anak-anak. Pada pemeriksaan klinis, tonsil akan tampak membesar tanpa
disertai tanda peradangan.
2. Adenoiditis kronis
Adenoid merupakan salah satu organ limfatik di tenggorokan yang berfungsi melawan
kuman dan bakteri, terutama pada anak balita. Secara fisiologis, adenoid akan membesar di
usia 3 tahun dan mengecil pada usia 14 tahun. Namun pada beberapa kasus, adenoid
menetap dan bisa menyebabkan infeksi. Adenoid yang mengalami infeksi disebut dengan
adenoiditis. Adenoiditis umumnya terjadi pada anak dan biasanya bersamaan dengan infeksi
amandel (tonsilitis). Gejalanya ialah demam, nyeri tenggorokan, hipertrofi adenoid,
pembesaran KGB di leher, gejala flu (seperti hidung tersumbat, suara bindeng). Selain itu,
penderita akan mengalami kesulitan tidur, apnea tidur, maupun mendengkur. Untuk
menguatkan dugaan adanya pembesaran pada bagian adenoid, perlu dilakukan pemeriksaan
foto polos kepala.
3. Faringitis kronis
Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring yang disebabkan oleh virus
(Rhinovirus, influenza, parainfluenza), bakteri (GBHAS, Gonorrhea), atau jamur (candida).
Gejala yang timbul ialah demam, nyeri tenggorokan, disfagia. Pada pemeriksaan klinis,
faring akan terlihat hiperemis dan edema (Rusmarjono & Soepardi, 2016).

I. TATALAKSANA
Penatalaksanaan dapat berupa tindakan konservatif (non medikamentosa dan medikamentosa)
dan operatif (tonsilektomi dan atau adenoidektomi).
1. Tindakan Konservatif
a) Non medikamentosa: dengan meningkatkan status gizi dan menjaga oral hygiene
b) Medikamentosa: dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk meredakan keluhan
● Analgesik dan antipiretik: Pada kasus tonsilitis yang disebabkan oleh virus,
umumnya penderita akan merasa demam sehingga perlu dilakukan tirah baring,
pemberian cairan adekuat, diet ringan, atau pemberian antivirus dan analgesik
(paracetamol atau ibuprofen) apabila keluhan memberat.
● Antibiotika: Tonsilitis yang dikarenakan bakteri, maka penting diberikan
antibiotik broad spectrum selama 10 hari (seperti penisilin atau eritromisin)
(Rusmarjono & Soepardi, 2016).
● ADS: anti serum difteri dapat diberikan jika ada kecurigaan penderita mengalami
tonsilitis difteri.
2. Tindakan Operatif
Pengobatan pasti tonsilitis kronis adalah dengan pembedahan. Tindakan ini dilakukan
apabila penatalaksanaan medis atau tindakan konservatif gagal dalam meringankan
gejala.
1) Tonsilektomi
Pada prosedur tindakan operasi, pengangkatan tonsila palatina dapat dilakukan sebagian
saja (tonsilotomi) atau mengambil tonsil secara keseluruhan termasuk kapsulnya
(tonsilektomi). Tonsilektomi, dapat dilakukan apabila ada indikasi yang terjadi pada
pasien. Tiga indikasi utama dilakukan tonsilektomi yaitu
a) Infeksi Tenggorokan Rekuren
Berdasarkan kriteria Paradise (American Academy of Otolaryngology–Head and
Neck Surgery/AAO-HNS), tonsilektomi dilakukan bila terjadi minimal frekuensi
berikut:
● ≥7 episode tonsilitis dalam 1 tahun
● ≥5 episode per tahun selama 2 tahun terakhir
● ≥ 3 episode per tahun selama 3 tahun terakhir
Minimal frekuensi harus disertai dengan presentasi klinis nyeri tenggorokan
dengan 1 atau lebih manifestasi berupa suhu >38,3°C, limfadenopati servikal
(pembesaran nodus limfa >2 cm), eksudat tonsilar, kultur positif dari
Streptococcus β hemoliticus group A (SBHGA).
b) Obstructive Sleep Disordered Breathing (OSDB) atau Obstructive Sleep Apnea
(OSA)
Gangguan pernapasan obstruktif saat tidur dan gangguan tidur menyebabkan
gangguan oksigenasi/ventilasi dan pola tidur pada anak. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, rekaman suara/video, dan
saturasi oksigen. Sedangkan tindakan tonsilektomi pada OSA dipertimbangkan
Hipertrofi tonsil dan adenoid dengan ukuran 3+ dan 4+ merupakan penyebab
tersering OSDB dan OSA pada anak.
c) Neoplasma

Selain itu, AAO-HNS menyatakan indikasi lain tonsilektomi bila:


● Indikasi absolut
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran nafas, dysphagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner.
b) Rinitis & Sinusitis kronis, peritonsilitis, Abses peritonsiler yang tidak membaik
dengan pengobatan medis dan drainase.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Tonsilitis curiga ganas yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi.
● Indikasi relatif
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik
adekuat.
b) Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan terapi
medis.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus B-hemolitikus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik B-laktamase resisten.
● Kontraindikasi tonsilektomi antara lain: Riwayat gangguan perdarahan, Risiko efek
samping anestesi, kelainan anatomi seperti submucosal cleft palate, kelainan
maxilofacial dan dentofacial, penyakit jantung yang didapat, multiple alergi,
penyakit lain dan penyulit metabolik lain, down syndrome, infeksi saluran
pernafasan akut.
2) Adenotonsilektomi
Adenoidektomi merupakan tindakan pengangkatan adenoid. Pada kasus
tonsiloadenoiditis, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan berupa adenoidektomi
dan tonsilektomi (Adams, et al., 2012).
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang ditimbulkan dari kejadian tonsilitis kronis terdiri atas komplikasi
supuratif dan non-supuratif. Komplikasi ini terjadi akibat tonsilitis maupun faringitis yang
utamanya disebabkan oleh streptokokus beta-hemolitikus grup A (GABHS).
a) Komplikasi supuratif, antara lain berupa otitis media akut (OMA), mastoiditis, meningitis
bakterialis, endokarditis infektif, abses peritonsilar, abses retrofaringeal, bakteremia,
limfadenitis servikalis, dan pneumonia. Komplikasi ini sering terjadi pada anak-anak.
b) Komplikasi non-supuratif, antara lain berupa demam reumatik akut, penyakit jantung
rematik, glomerulonefritis akut, streptococcal toxic shock syndrome, serta sindrom
Lemierre. Komplikasi ini lebih jarang terjadi.
Komplikasi tersering dari terjadinya tonsilitis rekuren adalah abses peritonsilar. Karena
komplikasi yang beragam, maka manajemen tonsilitis juga perlu dilakukan secara tepat untuk
memberikan prognosis yang baik dan komplikasi yang seminimal mungkin (Haidara & Sibide,
2019).
K. PROGNOSIS
Secara umum, prognosis tonsilitis baik dan sembuh tanpa komplikasi. Untuk tonsilitis
virus, biasanya sembuh dalam 7-10 hari. Sedangkan tonsilitis bakteri dengan terapi antibiotik
yang tepat dapat membaik dalam 24-48 jam (Georgalas, 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Bakar, MA. McKimm, J. Haque SZ. Majumdrr MAA. 2018. Chronic tonsillitis and biofilms: a brief
overview of treatment modalities, J Inflamm Res, 11:375.

Bailey B. J. Adenotonsilar Disease in Children In : Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fourth
Edition. Texas. Lippincott Williams & Wilkins. 2014 : 1430-1441.

Georgalas, C. C. N. S. T. A. N., 2014. Tonsillitis. Clinical Evidence, p. 2.

Goldberg DC. Respiratory Disease or Quinsy. Canadian Health&Care Mall. Updated 15 Sept 2016.
Available from: https://mycanadianhealthcaremall.com/respiratory-disease-or-quinsy.html

Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications: Epidemiological, Clinical, and
Therapeutic Profiles. International Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery, pp. 98-
103.

Lanang, S. M., Rizal, A. & Ramatryana, I. N. A., 2015. Simulasi Deteksi Tonsilitis Mengunakan
Pengolahan Citra Digital. JNTETI, 4(1), p. 1.

Little P, et al. PRImary care Streptococcal Management (PRISM) study: in vitro study, diagnostic cohorts
and a pragmatic adaptive randomised controlled trial with nested qualitative study and cost-
effectiveness study. Health Technology Assessment. UK: Queen’s Printer and Controller of
HMSO. 2014;18(6):2

Manurung, R., 2016. Gambaran Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Pencegahan Tonsilitis pada
Remaja Putri di Akper Imelda Medan Tahun 2015. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA, 1(2), p.
2.

Nizar, M. N., 2016. Identifikasi Bakteri Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di BAgian THT
RSUD Ulin Banjarmasin. Berkala Kedokteran, p. 198.

Ramadhan, F. S. I. K., 2017. Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak Usia 5 - 11
Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan,
Volume 2.

Ringgo, A. S., 2019. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko Terjadinya Tonsilitis Konik Pada Anak
Sekolah Dasar di Bandar Lampung. Malahayati Nursing Journal, Volume 1, p. 188.

Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. In: A. A. Soepardi &
N. Iskandar, eds. Telinga Hidung Tenggorokan & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, p. 200.

Stelter, K. 2014. Tonsillitis and Sore Throat in Children. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology, p.
9.

Anda mungkin juga menyukai