DISUSUN OLEH :
Qonita Fitri Martikasari 1102017181
PEMBIMBING :
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp.THT-KL
1
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 24 tahun
Agama : Kristen
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Karyawan swasta
Status : Belum Menikah
Alamat : Jakarta
Tanggal masusk RS : Kamis, 21 Juli 2022
Tanggal pemeriksaan : Selasa, 2 Agustus 2022
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSU YARSI pukul 11.30 WIB.
Keluhan Utama:
Pasien mengeluh kedua telinga berdenging sejak 3 bulan.
2
dan penurunan berat badan disangkal. Riwayat penyakit kanker kakek dan nenek dari
pihak ibu pasien. Pasein tidak merokok, minum alcohol dan sering mengkonsumsi
makanan bersantan dan daging. Pasien sebelumnya sudah diberikan obat
Mecobalamin capsul 500 mg dan obat nasal spray selama 2 minggu namun keluhan
berdenging tidak mengalami perubahan.
Riwayat Kebiasaan:
Riwayat merokok : Disangkal
Riwayat minum alkohol : Disangkal
Riwayat narkoba : Disangkal
Riwayat Pengobatan:
Rawat di RS sebelumnya : 1 minggu post biopsi tumor nasofaring
Riwayat pemakaian obat : Ciprofloxacin selama 6 hari
III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Telinga
4
Sekret (-) (-)
5
T1, kripta melebar (-), T1, kripta melebar (-), detritus
detritus (-), hiperemis (-) (-), hiperemis (-)
Orofaring Mukosa hiperemis (-), granulasi (-), post nasal drop (-)
Pemeriksaan Saraf
NI Anosmia (-)
N II, III Penurunan tajam pengelihatan (-), ptosis (-)
N IV, VI Diplopia (-),
NV Neuralgia trigeminal (-)
N IX Disfagia ringan (-), deviasi uvula (-), hilang sensasi (-)
NX Afoni (-), disfoni (-), perubahan pita suara (-), disfagia (-),
nyeri pada faring dan laring (-)
Pemeriksaan Leher
6
SGOT 15,2 <40,0 U/L
SGPT 16,7 <41,0 U/L
Urea darah 19,5 16,65-48,54 mg/dL
Kreatinin 1,05 0,75-1,24 mg/dL
Anti HIV Rapid Non Reactive N Reactive
V. RESUME
Tn. D, 24th datang ke Poli THT RS Yarsi dengan keluhan utama tinnitus auricular
dekstra dan sinistra sejak 3 bulan SMRS. Keluhan disertai otalgia di bagian luar aulikular
dan terasa penuh sejak 3 bulan. Keluhan hidung tersumbat dan rinore setiap pagi hari
sejak dahulu. Pasien memiliki riwayat otitis eksterna akut dan Asma, pasien alergi udang
dan debu. Keluhan epiktaksis, diplopia, penurunan pendengeran, penurunan berat badan
disangkal. Riwayat kanker pada kakek dan nenek dari ibu pasien. Pemeriksaan fisik
keadaan umum baik, composmentis, tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan
telinga dalam batas normal, pada pemeriksaan rhinoskopi anterior kavum nasi sempit,
deviasi septum, konka inferior hipertropi dan livid, konka media eutrofi, dan terdapat
7
massa pada nasofaring. Pemeriksaan mulut dan orofaring dalam batas normal, tidak ada
kelainan
8
pada nervus kranialis dan tidak ada limfadenopati. Pemeriksaan penunjang audiometri,
thorax, dan darah lengkap dalam batas normal.
X. LAPORAN OPERASI
Telah dilakukan biopsi tumor nasofaring pada tanggal 27 Juli 2022 pukul 09.30. Operasi
dengan general anestesi selesai pada jam 11.00.
Diambil jaringan sedang 3-5 cm/ kerokan 10-25cc/ 3-5 kaset
Instruksi post operasi:
1. Awasi TTV dan penderahan dari hidung dan mulut
2. Diet TKTP bertahap bila pasien telah sadar
9
3. Profilaksis Cefazolin IV 1x2 gr (skin test dahulu)
4. P.O Parasetamol 3x500mg
5. P.O Cefixime 2x100mg
XI. EDUKASI
1. Edukasi mengenai kemungkinan diagnosis penyakit, rencana pemeriksaan, tindakan,
dan pengobatan.
2. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi, istirahat yang
cukup dan pola hidup bersih dan sehat.
3. Menjaga dan mengelola stress, pola tidur, mengurangi penggunaan headset.
XII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia
10
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring adalah pertumbuhan sel yang ganas dan tidak terkendali
terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya sebagai
proses metastasis. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan di daerah kepala
dan leher yang merupakan tumor lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain
bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker
kulit sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Penyebab KNF
bersifat multifaktorial, dikaitkan dengan adanya interaksi antara infeksi kronik
oncogenic gamma Epstein-Barr virus. Selain itu faktor lingkungan dan faktor genetik,
juga terlibat dalam proses karsinogenik. (Mangunkusumo, 2020)
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
12
2.2 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler seperti corong, yang besar di bagian
atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolumvertebra.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.
Dinding pharynx melekat di anterior pada batas-batas cavitas nasi, cavitas oris
dan larynx. Berdasarkan hubungan anterior tersebut, pharynx dibagi menjadi 3 regio:
pars nasalis pharyngis/nasopharynx, pars oralis pharyngis/ oropharynx. dan pars
laryngea pharyngis/ laryngopharynx (Drake, et al., 2014).
13
Struktur Nasofaring
14
Gambar. Struktur nasofaring potongan sagital
Arteriae yang menyuplai bagian bawah pharynx termasuk rami pharyngeales dari arteria
thyroidea inferior, berasal dari truncus thyrocervicalis arteria subclavia. Suplai darah
arterial utama menuju tonsilla palatina berasal dari ramus tonsillaris arteria facialis,
yang menembus musculus constrictor pharyngis superior (Drake, et al., 2014).
16
Venae pharyngealis membentuk plexus, yang bermuara di superior pada plexus
pterygoideus pada fossa infratemporalis dan di inferior menuju vena facialis dan vena
jugularis interna (Drake, et al., 2014).
Persarafan motorium dan hampir semua sensorium (kecuali daerah nasalis) pharynx
terutama melalui cabang-cabang nervus vagus [X] dan nervus giossopharyngeus [IX],
yang membentuk plexus di dalam fascia luar dinding cavitas pharynges.
Plexus nervorum pharyngeus dibentuk oleh:
- rami pharyngei nervus vagus [X],
- ramus externus dari nervus laryngeus superior dari nervus vagus [X], dan
- rami pharyngei nervus glossopharyngeus [IX].
Rami pharyngei nervus vagus [X] berasal dari bagian atas ganglion cervicaIe inferius
di atas tempat keluarnya nervus laryngeus superior dan merupakan nervus motorius
utama pharynx. Semua musculi pharynx dipersarafi oleh nervus vagus [X] terutama
rnelalui plexus pharyngeus, kecuali stylopharyngeus, yang dipersarafi langsung oleh
sebuah cabang nervus glossopharyngeus [IX] (Drake, et al., 2014).
17
foramen laserum, saraf cranialis III, IV, VI, dan bisa juga V akan terkena. Manifestasi
yang dapat ditemukan contohnya neuralgia trigeminal dan diplopia. Apabila menjalar
lewat foramen jugulare, maka saraf cranialis yang terkena adalah nervus IX, X, XI, dan
XII. Gangguan pada nervus-nervus ini disebut sindrom Jackson. Tumor juga dapat
mengenai seluruh saraf otak dan mendestruksi tulang tengkorak. Pada kasus yang
demikian, prognosis biasanya buruk.
Pandangan ganda yang dialami pasien disebut juga dengan diplopia. Diplopia
dapat terbagi menjadi monocular (apabila tetap terjadi bila salah satu mata ditutup) dan
binocular (dapat sembuh bila salah satu mata ditutup). Selain nervus VI, diplopia
binokuler juga dapat diakibatkan oleh nervus III dan IV. Ketiga nervus ini menginervasi
otot-otot yang menggerakkan bola mata. Kerusakan dapat terjadi pada satu nervus
maupun kombinasi. Kompresi nervus, misalnya oleh tumor yang berinfiltrasi, dapat
menghasilkan kombinasi kelumpuhan nervus III, IV, dan VI yang bisa disertai baal pada
daerah periorbital dan wajah serta nyeri retroorbital, proptosis, dan kongesti vena.
18
Pembuluh-pembuluh lymphatici dari pharynx bermuara ke dalam nodi lymphatici
cervicales profundi dan termasuk nodi lymphatici retropharyngeales / Rouviere (di
antara nasopharynx dan columna vertebralis), nodi lymphatici paratracheales, dan nodi
lymphatiei Infrahyaidei (Drake, et al., 2014).
Limfadenopati servikal adalah gejala yang paling umum terjadi pada karsinoma
nasofaring (75% kasus). Biasanya, nodus retropharyngeal adalah yang pertama terlibat.
Metastasis limfonodus menunjukkan pola penyebaran inferior; dengan demikian, nodus
superior akan lebih besar dari nodus inferior. Metastasis jauh terjadi lebih tinggi pada
KNF dibandingkan dengan kanker kepala dan leher lainnya (5-41%). Tulang dan paru-
paru adalah tempat paling sering terjadi metastasis jauh.
Gambar. Daerah Kelenjar Limfe Leher Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer
Center Classification
19
Nasofaring banyak memiliki jaringan aliran getah bening yang berasal dari beberapa
kelompok kelenjar getah bening (KGB) di daerah kepala hingga leher, dimana
metastasis yang terjadi melalui sistem limfatik. Terdapat 7 level kelompok metastase
menurut Memorial Sloan Kettering Cancer Center, yaitu:
1. Level I, mencakup daerah segitiga bagian dasar mulut (submental) dan sub
mandibula. Dimana level 1 A dibatasi oleh m. Submentalis, m. Digastrikus dextra
et sinistra, dan os. Hyoid. Sedangkan level 1 B dibatasi oleh daerah menyudut
(angulus) mandibula, m. Digastrikus, dan os. Hyoid.
Dapat menjadi indikasi dari beberapa kanker yang terjadi pada daerah sub
mandibula, sinus paranasal, dan rongga mulut.
2. Level II, mencakup daerah-daerah jugularis superior yang meluas dari basis cranii
hingga os. Hyoid. Dengan batas atas yaitu processus transversus/vertebra cervical
1. Batas bawah os. Hyoid. Batas depan arteri carotis. Bagian belakang adalah tepi
dari
m. Sternokleidomastoideus.
Pada level ini dapat merupakan indikasi dari kanker yang terjadi pada nasofaring,
orofaring posterior, dan sinus maxillaris.
3. Level III, mencakup daerah jugularis medialis dengan batas atasnya adalah tepi
bawah os. Hyoid hingga os. Cricoid. Bagian depan, belakang dan sisi luarnya
adalah
m. Sternokleidomastoideus. Dan bagian tengah adalah m. Longus colli/capitis.
Indikasi kanker pada daerah laring, hipofaring, dan thyroid.
4. Level IV, mencakup daerah jugularis inferior dengan batas bawah adalah os. Cricoid
sampai 2 cm di atas sterno-clavicula joint.
Merupakan indikasi kanker pada daerah laring (subglotis), thyroid, esofagus, dan
infra clavicula
5. Level V, dengan batas atas adalah tepi atas os. Hyoid, bagian bawahnya adalah
cervicales transversus, bagian depan adalah bagian tepi belakang m.
Sternokleidomastoideus, dan bagian belakangnya adalah bagian sisi depan m.
Trapezius.
Beberapa kanker yang terjadi meliputi thyroid, esofagus, cervical, dan infra
clavicula.
6. Level VI, mencakup daerah tempat kelompok kompartemen anterior dari os. Hyoid
sampai supra sternal. Dengan batas sisi luarnya adalah pembatas bagian tengah
20
kelenjar ludah (sheath of parotis).
Merupakan indikasi dari kanker laring dan thyroid.
21
7. Level VII, mencakup daerah kelompok KGB inferior dan supra-sternal notch,
sampai rongga dada bagian atas (mediastinum superior).
Merupakan indikasi dari kanker pada daerah thyroid dan esofagus.
2.2.2 Epidemiologi
2.2.3 Etiologi
1. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom dan kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa
HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori
tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian
dari kanker nasofaring.
2. Virus Epstein Barr
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus Epstein Barr. Virus ini merupakan virus DNA
yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini
22
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu mononucleosis infeksiosa,
penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Virus ini seringkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus
tersebut masuk ke dalam tubuhdan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yanglama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan
suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.
3. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kankernasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi
pada nelayan tradisional di Hongkong yang mengonsumsi ikan kanton yang
diasinkan dalamjumlah besar dan kurang mengonsumsi vitamin, sayur dan buah
segar. Faktor lain yangdiduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah
debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri
dan obat-obatan tradisional. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama
juga mempunyairisiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.
2.2.4 Patogenesis
2.2.5 Patofisiologi
a. Gejala hidung
Kataralis atau oklusi tuba eustachii: tumor mula-mula di fossa Rosen Muler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba
(berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran).
c. Gejala lanjut
Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini
dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen
laserumakan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga
tidak jaranggejala diplopia dan neuralgia trigeminal merupakan gejala yang
25
sering ditemukan.
26
Kelumpuhan saraf kranial, didahului sakit kepala atau pusing, hipestesia daerah
pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer
ke dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI
akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan
sekitar atau juga secara hematogen dengan manifestasi diplopia.
Gejala saraf kranialis meliputi:
Nervus Patomekanisme Klinis
NI Karena karsinoma Anosmia
nasofaring sudah mendesak
N.I melalui foramen
olfaktorius pada lamina
kribrosa
N II Paresis N. II apabila Penurunan tajam penglihatan
perluasan kanker mengenai
chiasma opticum
N III Menimbulkan kelumpuhan Oftalmoplegia serta ptosis
mata m. Levator bulbi, fissura palpebra
palpebradan menyempit dan kesulitan
m. Tarsalis superior membuka mata
NV Parase menimbulkan Hipestesi atau neuralgia wajah
keluhan parestesi
N IV, III, VI Parase Sindroma petrosfenoidal
N III, IV, VI Parase nervus Diplopia
N IX, X, XI, XII Proses pertumbuhan dan Sindrom parafaring
perluasan lanjut karsinoma,
akan mengenai saraf otak
NX Gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara,
disfagia, spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah
faring dan laring, dispnea, hipersalivasi).
Foramen jugular Sindrom jackson
N IX Hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, deviasi uvula ke sisi
sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas
tenggorokdan belakang lidah, salivasi meningkat
27
2.2.5 Diagnosis
- Apakah benjolan di leher yang semakin lama makin membesar, sudah berapa
lama benjolan ini ada, apakah didapatkan penurunan berat badan, menggali
informasi mengenai gejala yang dirasakan pasien, meliputi (riwayat
kemoradiasi, riwayat merokok dan minum alkohol, riwayat keluarga yang
mempunyai tumor ganas)
- Gejala hidung: hidung tersumbat, ingus campur darah/epistaksis ringan, post
nasal drip.
- Gejala telinga: rasa penuh/gangguan pendengaran unilateral menetap, tinitus
unilateral, otalgia/otorea unilateral.
- Gejala leher: benjolan leher unilateral.
- Gejala mata & syaraf: sakit kepala, diplopia, ptosis, trismus, parese lidah,
parese saraf otak lain.
Pemeriksaan Fisik
28
- Laringoskopi
29
Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan untuk
skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi
biopsi dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.
30
- Alkali fosfatase, LDH
31
- SGPT-SGOT
- Serologi IgA VCA, IgA EA; sebagai tumor marker (penanda tumor) pada tempat
yang dicurigai KNF tidak berperan dalam menegakkan diagnosis tetapi
dilakukan sebagai skreening dan data dasar untuk evaluasi pengobatan.
- Diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan
serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral capsid antigen (Ig anti-VCA), Ig
G anti-early antigen (EA), imunohistokimia, dan polymerase chain reaction
(PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan sebagai skrining untuk deteksi
dini, sering mendahului munculnya KNF dan berfungsi sebagai petanda tumor
remisi dan kekambuhan (Wijaya F, 2017).
Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intrasel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.
32
Gambar. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Gambaran patologi pada tipe ini sangat heterogen. Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan inti yang vasikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas.
A B
Gambar. Undifferentiated carcinoma. Tipe Regauds, terdiri dari sel-sel yang
membentuk sarang-sarang padat. B. Tipe Schminke, terdiri sel-sel yang
tumbuh membentuk gambaran syncytial yang difus
STADIUM/STAGING
33
Gambar. Klasifikasi TNM Staging KNF menurut
American Joint Committee on Cancer
34
2.2.6 Tatalaksana
Obat-obatan Simptomatik
- Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan →
obatkumur yang mengandung antiseptik dan astrigent (3-4x/hari)
- Tanda - tanda moniliasis → antimikotik
- Nyeri menelan → anestesi lokal
- Nausea, anorexia → terapi simptomatik
(PERHATI-KL, 2016)
Kemoterapi
Kemoterapi ditambahkan sebagai terapi bersama dengan radioterapi. Penelitian
yang sudah dilakukan melaporkan hasil kemoterapi neoajuvan, konkuren dan ajuvan.
35
Regimen yang dapat digunakan pada saat ini adalah cisplatin, 5FU dan ifosfamid
(KOLEGIUM,
36
2015). Kemoterapi saat ini digunakan pada tiga situasi klinis utama. Pertama adalah
terapi induksi primer untuk kanker stadium lanjut atau untuk kanker yang belum
memiliki pendekatan terapeutik efektif. Kedua adalah terapi neoadjuvan untuk pasien
dengan penyakit lokal atau kurang memadainya bentuk lokal pengobatan seperti
pembedahan atau radiasi ataupun keduanya. Ketiga adalah terapi adjuvan untuk metode
pengobatan lokal termasuk pembedahan, terapi radiasi maupun keduanya (Haznur, 2017).
Respon terapi (+) jika tidak didapati tumor menetap, kambuh secara lokal dan regional,
dan metastasis jauh, dengan hasil (-) untuk semua parameter penilaian.
Respon terapi (-) jika didapati tumor menetap, kambuh secara lokal atau regional,
metastasis jauh, dengan hasil (+) untuk minimal salah satu parameter penilaian (Haznur,
2017).
37
Radioterapi
KNF mempunyai sifat radiosensitive sehingga radioterapi masih sebagai pilihan
terapi utama pada KNF. Radioterapi mempunyai komplikasi dan kesulitan dalam
tatalaksana karena KNF terletak dibawah skull base dan dikelilingi jaringan otak, saraf
spinal, jalur pituitary-hipothalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan dalam
serta galndula parotis (KOLEGIUM, 2015).
Radiasi dapat diberikan dengan lapangan radiasi plan parallel laterolateral dan
supraklavikula. Batas - batas lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya/ potensial penjalaran per kontinuitatum, serta kelenjar getah bening regional
(kelenjar leher sepanjang jugular serta sternokleidomastoideus dan supraklavikula).
Dosis radiasi total 66-70 Gy, 2 Gy/fraksi, dengan blok medulla spinalis setelah 40 Gy.
Untuk kelenjar getah bening leher positif dilanjutkan dengan booster elektron hingga
mencapai total dosis target (PERHATI-KL, 2016).
2.2.7 Komplikasi
2.2.8 Prognosis
Penderita KNF stadium awal, yaitu stadium I dan II, mempunyai prognosis lebih
baik dibandingkan stadium lanjut, yaitu stadium III dan IV. Angka harapan hidup lima
tahun pada stadium I, II, III, dan IV didapatkan sekitar 72%, 64%, 62%, dan 38%.
Karsinoma Nasofaring mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk metastasis ke
KGB leher, berupa massa yang tidak nyeri tekan, sering terdapat di leher bagian atas.
Gejala gejala yang berhubungan dengan metastase jauh pada KNF relative jarang.
Metastase ke vertebra, liver dan paru merupakan tempat metastase yang dapat
dijumpai (KOLEGIUM, 2015).
38
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan
nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya berkembang di sekitar ostium tuba Eustachius
di dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller). Banyak faktor yang diduga berhubungan
dengan KNF, yaitu adanya infeksi EBV, faktor lingkungan, dan genetik. Deteksi dini
terhadap karsinoma nasofaring harus dilaksanakan karena penemuan penyakit ini pada
stadium yang lebih dini berdampak pada prognosis penyakit yang lebih baik
Banyaknya penderita yang ditemukan pada stadium lanjut menunjukkan
keterlambatan deteksi dini adanya tumor pada nasofaring. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh gejala dini yang tidak khas dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk datang ke
dokter sampai keluhannya memburuk. Selain itu masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui tentang penyakit kanker terutama KNF.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas, A. A. J. d. K. V., 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. 9 ed. Canada: Elsevier
Saundares.
2. Abdiaman Putra Dawolo, D. S. U. B. I. K., 2017. Profil Klinis Karsinoma Nasofaring
di Departemen THTKL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2014-2015.
Majalah Kedokteran Sriwijaya, 49(1), pp. 1-9.
3. Camelia Herdini, S. H. S. R. I., 2011. Uji serologi IgA karakter KNF EBNA1+VCA
p- 18. ORLI, 41(2), pp. 105-111.
4. Dewi, N., 2018. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. CDK Journal,
45(3), pp. 202-205.
5. Drake, R. L., Vogl, W. & Mitchell, A. W. M., 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of the
Human Body. Canada: Elsevier.
6. Farhat, A. M. D. Y., 2020. Karsinoma Nasofaring. Jakarta: EGC.
7. Haznur, I., 2017. Hubungan Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring dengan
Respon Kemoterapi di RSUP H. Adam Malik, Medan: FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
8. KOLEGIUM, 2015. Karsinoma Nasofaring. In: Onkologi Bedah Kepala Leher.
Surabaya: Universitas Airlangga.
9. Mangunkusumo, E., 2020. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. Jakarta: EGC.
10. Mescher, A. L., 2013. Junqueita's Basic Histology Text & Atlas. 14 ed. Indiana:
Bloomingtoon.
11. Nasional, K. P. K., 2017. Kanker Nasofaring. Jakarta: Kemenkes RI.
12. Netter, F. H., 2016. Atlas Anatomi Manusia Indonesia. Indonesia: Elsevier.
13. PERHATI-KL, 2016. Panduan Praktik Klinik di Bidang Telinga Hidung Tenggorok-
Kepala Leher Volume 2. Jakarta: s.n.
14. Shofi Faiza, S. R. A. A., 2018. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma
Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(1), pp. 90-96.
15. Soepardi EA, I. M., 2020. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala & Leher. 7 ed. Jakarta: FKUI.
16. Wijaya F, S. B., 2017. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. CDK
Journal, pp. 478-481.