Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

TUMOR NASOFARING SUSPEK KARSINOMA NASOFARING

DISUSUN OLEH :
Qonita Fitri Martikasari 1102017181

PEMBIMBING :
dr. Dian Nurul Al Amini, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU THT

RUMAH SAKIT YARSI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 18 JULI – 20 AGUSTUS 2022

1
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 24 tahun
Agama : Kristen
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Karyawan swasta
Status : Belum Menikah
Alamat : Jakarta
Tanggal masusk RS : Kamis, 21 Juli 2022
Tanggal pemeriksaan : Selasa, 2 Agustus 2022

II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poli THT RSU YARSI pukul 11.30 WIB.

Keluhan Utama:
Pasien mengeluh kedua telinga berdenging sejak 3 bulan.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke Poli Klinik THT RS Yarsi dengan keluhan kedua telinga
berdenging sejak 3 bulan SMRS, keluhan awalnya terdengar bunyi “nging”
kemudian “ngong” dirasakan setiap hari hampir setiap waktu dan memberat pada
sore hari disertai nyeri dibelakang telinga, sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari
namun pasien tidak merasa ada penurunan pendengaran. Keluhan berdenging
dirasakan setelah pasien mengalami infeksi telinga luar pada bulan April. Pasien juga
merasa kedua telinga terasa penuh setelah naik pesawat sejak 3 bulan pada bulan
Mei. Keluhan hidung tersumbat bergantian antara kanan dan kiri dirasakan sejak
dahulu dan setiap pagi hari keluar ingus encer bening.
Pasien memiliki riwayat alergi udang dan bersin-bersin jika banyak debu dan
riwayat penyakit asma pada umur 4 tahun. Riwayat mimisan, keluar cairan telinga,
demam, pandangan ganda, nyeri kepala, benjolan di leher, penurunan nafsu makan,

2
dan penurunan berat badan disangkal. Riwayat penyakit kanker kakek dan nenek dari
pihak ibu pasien. Pasein tidak merokok, minum alcohol dan sering mengkonsumsi
makanan bersantan dan daging. Pasien sebelumnya sudah diberikan obat
Mecobalamin capsul 500 mg dan obat nasal spray selama 2 minggu namun keluhan
berdenging tidak mengalami perubahan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat penyakit serupa : Disangkal
 Riwayat asma : Ada, terakhir usia 4 tahun
 Riwayat alergi : Udang dan debu
 Riwayat operasi : Disangkal
 Riwayat mimisan : Disangkal
 Riwayat diabetes : Disangkal
 Riwayat hipertensi : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat kanker : Kakek dan nenek pasien
 Riwayat diabetes : Tidak diketahui
 Riwayat hipertensi : Disangkal
 Riwayat alergi : Tidak diketahui

Riwayat Kebiasaan:
 Riwayat merokok : Disangkal
 Riwayat minum alkohol : Disangkal
 Riwayat narkoba : Disangkal

Riwayat Pengobatan:
 Rawat di RS sebelumnya : 1 minggu post biopsi tumor nasofaring
 Riwayat pemakaian obat : Ciprofloxacin selama 6 hari
III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS

 Keadaan umum : Tampak sakit ringan


 Kesadaran : Composmentis
 Tanda vital :
o Tekanan Darah : 119/90 mmHg
o Nadi : 70 x/menit
3
o Pernafasan : 22 x/menit
o Suhu : 36,6°C
o SpO2 : 99 % on room air

STATUS LOKALIS
 Pemeriksaan Telinga

Bagian Auricula Dextra Sinistra

Auricula Bentuk normal, Bentuk normal


nyeri tarik (-) nyeri tarik (-)
nyeri tragus (-) nyeri tragus (-)
Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
fistula (-) fistula (-)

Retro auricular Bengkak (-) Bengkak (-)


Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)


Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

MAE Serumen (-) Serumen (-)


Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)

Membran timpani Intak Intak


Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
 Pemeriksaan Hidung

Hidung Luar: Kanan Kiri


Bentuk Normal Normal
Sinus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Inflamasi/tumor (-) (-)
Rhinoskopi Anterior Kanan Kiri

Kavum Nasi sempit sempit

4
Sekret (-) (-)

Mukosa hiperemis (-) hiperemis (-)


edema (-) edema (-)
basah (-) basah (-)
pucat (-) pucat (-)
Konka Media eutrofi (+) eutrofi (+)

Konka Inferior hipertrofi (+) hipertrofi (+)


livid livid
KOM terbuka terbuka

Septum deviasi minimal deviasi

Massa (+) pada nasofaring

Pemeriksaan Nasoendoskopi pada tanggal 21 Juli 2022

 Pemeriksaan Mulut dan Tenggorokan

Mulut Mukosa mulut hiperemis (-)


Gigi Gigi geligi lengkap, caries (-)
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), deviasi (-)
Uvula hiperemis (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-).

Tonsila palatine Kanan Kiri

5
T1, kripta melebar (-), T1, kripta melebar (-), detritus
detritus (-), hiperemis (-) (-), hiperemis (-)
Orofaring Mukosa hiperemis (-), granulasi (-), post nasal drop (-)

Laring Tidak dilakukan pemeriksaan

 Pemeriksaan Saraf

NI Anosmia (-)
N II, III Penurunan tajam pengelihatan (-), ptosis (-)
N IV, VI Diplopia (-),
NV Neuralgia trigeminal (-)
N IX Disfagia ringan (-), deviasi uvula (-), hilang sensasi (-)
NX Afoni (-), disfoni (-), perubahan pita suara (-), disfagia (-),
nyeri pada faring dan laring (-)
 Pemeriksaan Leher

Bentuk Trakea berada ditengah


Palpasi Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan Audiometri tanggal 18 Juli 2022
- AD: Ambang dengar 8,75 dB
- AS: Ambang dengar 16,25 dB
- Kesan: Dalam batas normal

 Laboratorium tanggal 21 Juli 2022

Nama Tes Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hemoglobin 16 13,5-17,5 g/dL
Hematokrit 49,7 40,0-50,0 %
Eritrosit 5,44 4,45-5,84 106 /µL
Trombosit 270 150-400 103 /µL
Leukosit 7,4 5,0-10,0 103 /µL
PT 15,3 11,4-14,4 Second
APTT 38,2 31,0-47,0 Second
GDS 104 70-200 mg/dL

6
SGOT 15,2 <40,0 U/L
SGPT 16,7 <41,0 U/L
Urea darah 19,5 16,65-48,54 mg/dL
Kreatinin 1,05 0,75-1,24 mg/dL
Anti HIV Rapid Non Reactive N Reactive

 Foto Thorax tanggal 22 Juli 2022

Hasil : Tidak tampak kelainan radiologist pada jantung dan paru-paru.

 Histopatologi/ Patologi Anatomi tanggal 27 Juli 2022


Hasil biopsy tumor tidak menunjukan adanya
keganasan

V. RESUME
Tn. D, 24th datang ke Poli THT RS Yarsi dengan keluhan utama tinnitus auricular
dekstra dan sinistra sejak 3 bulan SMRS. Keluhan disertai otalgia di bagian luar aulikular
dan terasa penuh sejak 3 bulan. Keluhan hidung tersumbat dan rinore setiap pagi hari
sejak dahulu. Pasien memiliki riwayat otitis eksterna akut dan Asma, pasien alergi udang
dan debu. Keluhan epiktaksis, diplopia, penurunan pendengeran, penurunan berat badan
disangkal. Riwayat kanker pada kakek dan nenek dari ibu pasien. Pemeriksaan fisik
keadaan umum baik, composmentis, tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan
telinga dalam batas normal, pada pemeriksaan rhinoskopi anterior kavum nasi sempit,
deviasi septum, konka inferior hipertropi dan livid, konka media eutrofi, dan terdapat

7
massa pada nasofaring. Pemeriksaan mulut dan orofaring dalam batas normal, tidak ada
kelainan

8
pada nervus kranialis dan tidak ada limfadenopati. Pemeriksaan penunjang audiometri,
thorax, dan darah lengkap dalam batas normal.

VI. DIAGNOSIS BANDING


1. Tumor nasofaring suspek keganasan
2. Adenoid hypertropy

VII. DIAGNOSIS KERJA


Tumor nasofaring suspek keganasan + Rhinitis Alergika

VIII. RENCANA PEMERIKSAAN


 Laboratorium: hematologi lengkap
 Foto Thorax
 Otoacoustic Emission/OAE
 Histopatologi/PA: Biopsi tumor nasofaring
 Konsultasi spesialis saraf dan mata, jika hasil biopsy (+)
 CT-scan tanpa dan dengan kontras, jika hasil biopsy (+)

IX. RENCANA TATALAKSANA


 Non-Medikamentosa: Rujuk spesialis THT untuk dilakukan biopsi tumor nasofaring
 Medikamentosa simptomatik:
- Rinitis Alergi 
Avamys Nasal Spray 120mL 2 x sehari
Cuci Hidung dengan NaCL 0,9% 3 x sehari
- Tinnitus 
Mecobalamin Capsul 500 mg 3 x sehari

X. LAPORAN OPERASI
Telah dilakukan biopsi tumor nasofaring pada tanggal 27 Juli 2022 pukul 09.30. Operasi
dengan general anestesi selesai pada jam 11.00.
Diambil jaringan sedang 3-5 cm/ kerokan 10-25cc/ 3-5 kaset
Instruksi post operasi:
1. Awasi TTV dan penderahan dari hidung dan mulut
2. Diet TKTP bertahap bila pasien telah sadar

9
3. Profilaksis Cefazolin IV 1x2 gr (skin test dahulu)
4. P.O Parasetamol 3x500mg
5. P.O Cefixime 2x100mg

XI. EDUKASI
1. Edukasi mengenai kemungkinan diagnosis penyakit, rencana pemeriksaan, tindakan,
dan pengobatan.
2. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan bergizi, istirahat yang
cukup dan pola hidup bersih dan sehat.
3. Menjaga dan mengelola stress, pola tidur, mengurangi penggunaan headset.

XII. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia

10
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor nasofaring adalah massa yang terdapat di nasofaring. Tumor nasofaring


dibagi menjadi tumor jinak dan tumor ganas. Berbagai jenis tumor jinak dapat
ditemukan di daerah nasofaring seperti angiofibroma nasofaring, polip koana,
papiloma, hemangioma, sedangkan tumor ganas daerah kepala leher yang banyak
ditemukan adalah karsinoma nasofaring. (Dewi, 2018)

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa (Squamous


cell carcinoma, SCC) yang berasal dari epitel nasofaring. Keganasan dapat berasal dari
setiap bagian nasofaring, dan yang paling sering berkembang pada fossa rossenmuleri,
yang terletak di medial osteum tuba eustachii. (KOLEGIUM, 2015).

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker


payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. KNF terutama ditemukan pada pria
usia produktif dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka kejadian
tertinggi di dunia terdapat di provinsi Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50
kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk (Soepardi EA, 2020).

Karsinoma nasofaring adalah pertumbuhan sel yang ganas dan tidak terkendali
terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya sebagai
proses metastasis. Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan di daerah kepala
dan leher yang merupakan tumor lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain
bersama dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker
kulit sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama. Penyebab KNF
bersifat multifaktorial, dikaitkan dengan adanya interaksi antara infeksi kronik
oncogenic gamma Epstein-Barr virus. Selain itu faktor lingkungan dan faktor genetik,
juga terlibat dalam proses karsinogenik. (Mangunkusumo, 2020)

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Histologi Nasofaring


Di bagian posterior rongga hidung, nasofaring adalah bagian pertama faring, yang
berlanjut sebagai orofaring ke arah kaudal, yaitu bagian posterior rongga mulut.
Nasofaring dilapisi dengan epitel pernapasan (koana dan atap dinding posterior), epitel
skuamosa bertingkat (dinding anterior, posterior-inferior, dan dinding anterior
posterior) dan memiliki tonsila pharyngealis di media dan muara bilateral tuba
auditorius untuk setiap telinga tengah (Mescher, 2013). Mukosa mengalami invaginasi
dan membentuk kripta yang berbatasan dengan stroma yang mendasarinya. Stroma
tersebut kaya akan jaringan limfoid yang memiliki folikel limfoid reaktif.

Gambar. Histologi nasofaring


Epitel pelapis nasofaring terdiri dari epitel transisional
dengan stroma yang kaya jaringan limfoid

Epitel tersebut juga memiliki kelenjar seromukosa namun tidak sebanyak di


mukosa hidung. Mukosa pada nasofaring saat lahir dilapisi oleh pseudostratified
columnar epithelium, dan akan menjadi stratified squamous epithelium pada usia
sekitar 10 tahun.
Dinding lateral nasofaring memiliki daerah transisi serta lokasi pertemuan kedua
epitel tersebut, berisi epitel globular atau kuboid. Epitel tersebut dapat berpotensi
kearah keganasan. Jaringan limfoid dan kelenjar air liur pada membran mukosa juga
dapat menjadi asal keganasan pada nasofaring (Haznur, 2017).

12
2.2 Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler seperti corong, yang besar di bagian
atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolumvertebra.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal.

Gambar. Anatomi Pembagian Faring

Dinding pharynx melekat di anterior pada batas-batas cavitas nasi, cavitas oris
dan larynx. Berdasarkan hubungan anterior tersebut, pharynx dibagi menjadi 3 regio:
pars nasalis pharyngis/nasopharynx, pars oralis pharyngis/ oropharynx. dan pars
laryngea pharyngis/ laryngopharynx (Drake, et al., 2014).

Gambar. Batas-batas Faring

Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga berbentuk kubus dengan


ukuran yang sangat bervariasi, terletak dibelakang rongga hidung langsung dibawah
dasar tengkorak. Ukuran melintang dan tinggi nasofaring pada orang dewasa sekitar 4
cm, sedangkan ukuran anteroposterior sekitar 2 – 4 cm.

13
Struktur Nasofaring

Gambar. Struktur nasofaring potongan coronal

 Anterior: berhubungan dengan rongga hidung melalui koanae serta tepi


belakang septum nasi.
 Posterior: dinding nasofaring melengkung ke superioanterior dan
terletak di bawah os sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebra CI, II dan otot
dinding faring.

Gambar. Struktur nasofaring potongan sagital

 Dinding lateral: ostium tuba eustachius dengan tonjolan tulang rawan


dibagian superioposterior yang disebut torus tubarius, sehingga
penyebaran tumor ke arah lateral akan menyebabkan sumbatan ostium
tuba eustachius sehingga mengganggu pendengaran.

14
Gambar. Struktur nasofaring potongan sagital

 Posterosuperior dari torus tubarius terdapat fossa Rosenmuller yang


merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Atap nasofaring
merupakan beberapa lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak
sub mukosa dan pada usia muda.
 Superioposterior nasofaring umumnya tidak rata. Hal tersebut
disebabkan oleh karena adanya jaringan limfoid sekunder yaitu
adenoid atau tonsila faringea, yang biasanya rudimenter pada orang
dewasa.

 Jaringan limfoid di mukosa nasofaring dan adenoid bersama tonsila


palatina, tonsila lingualis dan bilateral pharyngeal lymphoid bands
membentuk suatu lingkaran yang disebut ring of waldeyer.
 Foramen lacerum, yang terbuka langsungkedalam pertengahan fossa
cranial, terletak dalam perbatasan nasofaring dan merupakan rute
penting untuk penyebaran KNF sampai kedalam pertengahan fossa
cranial.
15
2.3 Vaskularisasi Faring
Arteriae yang menyuplai bagian atas pharynx termasuk:
• arteria palatina ascendens,
• arteria palatina ascendens dan ramus tonsillaris arteriafacialis
• sejumlah cabang arteria maxillaris dan arteria lingualis.
Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteria carotis externa.

Gambar. Suplai arteri faring

Arteriae yang menyuplai bagian bawah pharynx termasuk rami pharyngeales dari arteria
thyroidea inferior, berasal dari truncus thyrocervicalis arteria subclavia. Suplai darah
arterial utama menuju tonsilla palatina berasal dari ramus tonsillaris arteria facialis,
yang menembus musculus constrictor pharyngis superior (Drake, et al., 2014).

Gambar. Drainase vena faring

16
Venae pharyngealis membentuk plexus, yang bermuara di superior pada plexus
pterygoideus pada fossa infratemporalis dan di inferior menuju vena facialis dan vena
jugularis interna (Drake, et al., 2014).

2.4 Inervasi Faring

Persarafan motorium dan hampir semua sensorium (kecuali daerah nasalis) pharynx
terutama melalui cabang-cabang nervus vagus [X] dan nervus giossopharyngeus [IX],
yang membentuk plexus di dalam fascia luar dinding cavitas pharynges.
Plexus nervorum pharyngeus dibentuk oleh:
- rami pharyngei nervus vagus [X],
- ramus externus dari nervus laryngeus superior dari nervus vagus [X], dan
- rami pharyngei nervus glossopharyngeus [IX].

Gambar. Persarafan faring

Rami pharyngei nervus vagus [X] berasal dari bagian atas ganglion cervicaIe inferius
di atas tempat keluarnya nervus laryngeus superior dan merupakan nervus motorius
utama pharynx. Semua musculi pharynx dipersarafi oleh nervus vagus [X] terutama
rnelalui plexus pharyngeus, kecuali stylopharyngeus, yang dipersarafi langsung oleh
sebuah cabang nervus glossopharyngeus [IX] (Drake, et al., 2014).

Rongga tengkorak terletak dekat dengan nasofaring dan terhubungkan melalui


beberapa lubang. Meluasnya tumor sampai ke daerah intrakranial atau mengerosi clivus
dapat menyebabkan gangguan nervus cranialis. Nervus yang paling umum terpengaruhi
adalah nervus V, dilanjutkan dengan VI, IX, X, dan XII. Apabila tumor menjalar lewat

17
foramen laserum, saraf cranialis III, IV, VI, dan bisa juga V akan terkena. Manifestasi
yang dapat ditemukan contohnya neuralgia trigeminal dan diplopia. Apabila menjalar
lewat foramen jugulare, maka saraf cranialis yang terkena adalah nervus IX, X, XI, dan
XII. Gangguan pada nervus-nervus ini disebut sindrom Jackson. Tumor juga dapat
mengenai seluruh saraf otak dan mendestruksi tulang tengkorak. Pada kasus yang
demikian, prognosis biasanya buruk.
Pandangan ganda yang dialami pasien disebut juga dengan diplopia. Diplopia
dapat terbagi menjadi monocular (apabila tetap terjadi bila salah satu mata ditutup) dan
binocular (dapat sembuh bila salah satu mata ditutup). Selain nervus VI, diplopia
binokuler juga dapat diakibatkan oleh nervus III dan IV. Ketiga nervus ini menginervasi
otot-otot yang menggerakkan bola mata. Kerusakan dapat terjadi pada satu nervus
maupun kombinasi. Kompresi nervus, misalnya oleh tumor yang berinfiltrasi, dapat
menghasilkan kombinasi kelumpuhan nervus III, IV, dan VI yang bisa disertai baal pada
daerah periorbital dan wajah serta nyeri retroorbital, proptosis, dan kongesti vena.

2.5 Kelenjar Getah Bening

Kelenjar limfa berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit. Cairan limfe


mengalir melewati kelenjar limfe (limfonodus) yang terletak di dalam sistem limfe.
Kelenjar limfe selalu terlibat dalam metastatis tumor pada rangkaian jugularis interna,
yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak (Soepardi EA, 2020).

Gambar. Kelenjar Getah Bening pada Kepala dan Leher

18
Pembuluh-pembuluh lymphatici dari pharynx bermuara ke dalam nodi lymphatici
cervicales profundi dan termasuk nodi lymphatici retropharyngeales / Rouviere (di
antara nasopharynx dan columna vertebralis), nodi lymphatici paratracheales, dan nodi
lymphatiei Infrahyaidei (Drake, et al., 2014).

Gambar. Aliran Kelenjar Limfe

Limfadenopati servikal adalah gejala yang paling umum terjadi pada karsinoma
nasofaring (75% kasus). Biasanya, nodus retropharyngeal adalah yang pertama terlibat.
Metastasis limfonodus menunjukkan pola penyebaran inferior; dengan demikian, nodus
superior akan lebih besar dari nodus inferior. Metastasis jauh terjadi lebih tinggi pada
KNF dibandingkan dengan kanker kepala dan leher lainnya (5-41%). Tulang dan paru-
paru adalah tempat paling sering terjadi metastasis jauh.

Gambar. Daerah Kelenjar Limfe Leher Menurut Sloan Kattering Memorial Cancer
Center Classification

19
Nasofaring banyak memiliki jaringan aliran getah bening yang berasal dari beberapa
kelompok kelenjar getah bening (KGB) di daerah kepala hingga leher, dimana
metastasis yang terjadi melalui sistem limfatik. Terdapat 7 level kelompok metastase
menurut Memorial Sloan Kettering Cancer Center, yaitu:
1. Level I, mencakup daerah segitiga bagian dasar mulut (submental) dan sub
mandibula. Dimana level 1 A dibatasi oleh m. Submentalis, m. Digastrikus dextra
et sinistra, dan os. Hyoid. Sedangkan level 1 B dibatasi oleh daerah menyudut
(angulus) mandibula, m. Digastrikus, dan os. Hyoid.
Dapat menjadi indikasi dari beberapa kanker yang terjadi pada daerah sub
mandibula, sinus paranasal, dan rongga mulut.
2. Level II, mencakup daerah-daerah jugularis superior yang meluas dari basis cranii
hingga os. Hyoid. Dengan batas atas yaitu processus transversus/vertebra cervical
1. Batas bawah os. Hyoid. Batas depan arteri carotis. Bagian belakang adalah tepi
dari
m. Sternokleidomastoideus.
Pada level ini dapat merupakan indikasi dari kanker yang terjadi pada nasofaring,
orofaring posterior, dan sinus maxillaris.
3. Level III, mencakup daerah jugularis medialis dengan batas atasnya adalah tepi
bawah os. Hyoid hingga os. Cricoid. Bagian depan, belakang dan sisi luarnya
adalah
m. Sternokleidomastoideus. Dan bagian tengah adalah m. Longus colli/capitis.
Indikasi kanker pada daerah laring, hipofaring, dan thyroid.
4. Level IV, mencakup daerah jugularis inferior dengan batas bawah adalah os. Cricoid
sampai 2 cm di atas sterno-clavicula joint.
Merupakan indikasi kanker pada daerah laring (subglotis), thyroid, esofagus, dan
infra clavicula
5. Level V, dengan batas atas adalah tepi atas os. Hyoid, bagian bawahnya adalah
cervicales transversus, bagian depan adalah bagian tepi belakang m.
Sternokleidomastoideus, dan bagian belakangnya adalah bagian sisi depan m.
Trapezius.
Beberapa kanker yang terjadi meliputi thyroid, esofagus, cervical, dan infra
clavicula.
6. Level VI, mencakup daerah tempat kelompok kompartemen anterior dari os. Hyoid
sampai supra sternal. Dengan batas sisi luarnya adalah pembatas bagian tengah

20
kelenjar ludah (sheath of parotis).
Merupakan indikasi dari kanker laring dan thyroid.

21
7. Level VII, mencakup daerah kelompok KGB inferior dan supra-sternal notch,
sampai rongga dada bagian atas (mediastinum superior).
Merupakan indikasi dari kanker pada daerah thyroid dan esofagus.

2.6 Karsinoma Nasofaring


2.2.1 Definisi

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa (Squamous


cell carcinoma, SCC) yang berasal dari epitel nasofaring. Keganasan dapat berasal dari
setiap bagian nasofaring, dan yang paling sering berkembang pada fossa rossenmuleri,
yang terletak di medial osteum tuba eustachii. (KOLEGIUM, 2015).

2.2.2 Epidemiologi

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker


payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012, terdapat
87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi
pada laki- laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000 kematian akibat KNF
(36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria
usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien
berusia antara 25 hingga 60 tahun. Angka kejadiantertinggi di dunia terdapat di provinsi
Cina Tenggara yakni sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk
(Soepardi EA, 2020).

2.2.3 Etiologi

1. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom dan kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa
HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori
tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian
dari kanker nasofaring.
2. Virus Epstein Barr
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus Epstein Barr. Virus ini merupakan virus DNA
yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini

22
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu mononucleosis infeksiosa,
penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Virus ini seringkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai
menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus
tersebut masuk ke dalam tubuhdan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yanglama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan
suatu mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.
3. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kankernasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi
pada nelayan tradisional di Hongkong yang mengonsumsi ikan kanton yang
diasinkan dalamjumlah besar dan kurang mengonsumsi vitamin, sayur dan buah
segar. Faktor lain yangdiduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah
debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri
dan obat-obatan tradisional. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama
juga mempunyairisiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.

2.2.4 Patogenesis

Karsinoma nasofaring mengindikasikan kemungkinan terjadi onkogenesis


oleh virus. Diperkirakan bahwa EBV setelah menginfeksi pejamu akan bereplikasi
di epitel nasofaring dan kemudian menginfeksi sel B tonsil di dekatnya. Pada
beberapa orang, hal tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi sel epitel,
tumor ini berhubungan dengan EBV lain, genom EBV ditemukan pada hampir
semua karsinoma nasofaring.
Ada tiga varian histologis yaitu karsinoma sel skuamosa berkeratin,
karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, dan karsinoma tidak berdiferensiasi;
yang terakhir adalah yang paling sering dan yang paling dekat kaitannya dengan
EBV. Neoplasma tidak berdiferensiasi terdiri atas sel-sel besar dengan tepi sel
tidak jelas (menunjukkan pertumbuhan sinsitial) disertai anak inti eosinofilik yang
nyata, pada mononukleosis infeksiosa, EBV secara langsung menginfeksi limfosit
B, dan setelahnya terdapat proliferasi keras limfosit T reaktif yang menyebabkan
terjadi limfositosis atipik, sebagaimana terlihat di darah tepi, dan kelenjar getah
bening
23
yang membesar. Hal yang serupa, pada karsinoma nasofaring, influks limfosit
matur yang banyak juga dapat ditemukan.
Pewarnaan imunohistokimia mungkin dibutuhkan untuk membuktikan
bahwa sel tersebut adalah sel epitelial ganas. Karsinoma nasofaring menginvasi
secara lokal, dan menyebar ke kelenjar getah bening leher, dan kemudian
bermetastasis ke tempat jauh (Abbas, 2015).

2.2.5 Patofisiologi

Patogenesis KNF dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu virus Epstein-


Barr, kerentanan genetik, serta faktor resiko dari lingkungan. Virus Epstein-Barr
adalah salah satu jenis virus herpes yang menginfeksi sebagian besar populasi
dewasa di dunia. Infeksi primer dari virus tersebut umumnya terjadi pada saat
awal kehidupan dan sifatnya asimtomatik.
Paparan karsinogen yang terdapat di lingkungan turut berperan dalam
kecenderungan peningkatan kejadian kanker. Pasien yang menderita KNF
menunjukkan peningkatan titer virus Epstein-Barr. Virus tersebut dikendalikan
secara penuh oleh sistem imun, namun sebagian kecil dari virus tersebut dapat
berkembang menjadi penyakit KNF. Sebagian individu tertentu menderita
keganasan primer pada sel B dan sel epitelnya (Haznur, 2017).

Gambar. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring


24
2.2.4 Manifestasi Klinis
Gejalanya karsinoma nasofaring tergantung dari lokasi tumor primer,
infiltrasi ke sekitar nasofaring atau metastasis ke KGB leher. obstruksi hidung,
epistaksis (akibat ulserasi tumor, biasanya ringan bercampur discharge), disfungsi
tuba (akibat perluasan ke posterolateral ruang paranasofaringeal), tuli konduksi,
otitis media efusi, sakit kepala (akibat infiltrasi superior ke skull base), diplopia
(infiltrasi ke sinus kavernosus dan ventrikel lateralis, ventrikel ke 3 dan ke 4 juga
nervus VI), facial pain (akibat infiltrasi ke arah foramen ovale) (KOLEGIUM,
2015)

a. Gejala hidung

 Epistaksis: Rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.

 Sumbatan hidung: Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor ke dalam


rongga nasofaring dan menutupi koana, gejala: pilek kronis, ingus kental,
gangguan penciuman.
b. Gejala telinga

 Kataralis atau oklusi tuba eustachii: tumor mula-mula di fossa Rosen Muler,
pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba
(berdengung, rasa penuh, kadang gangguan pendengaran).

 Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran.

c. Gejala lanjut

 Limfadenopati servikal: melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat


mencapai kelenjar limfe dan bertahan di sana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh
dan berkembang biak hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan di leher
bagian samping, lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan
berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan.

d. Gejala mata dan saraf

 Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini
dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen
laserumakan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga
tidak jaranggejala diplopia dan neuralgia trigeminal merupakan gejala yang
25
sering ditemukan.

26
 Kelumpuhan saraf kranial, didahului sakit kepala atau pusing, hipestesia daerah
pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer
ke dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI
akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor menembus jaringan
sekitar atau juga secara hematogen dengan manifestasi diplopia.
 Gejala saraf kranialis meliputi:
Nervus Patomekanisme Klinis
NI Karena karsinoma Anosmia
nasofaring sudah mendesak
N.I melalui foramen
olfaktorius pada lamina
kribrosa
N II Paresis N. II apabila Penurunan tajam penglihatan
perluasan kanker mengenai
chiasma opticum
N III Menimbulkan kelumpuhan Oftalmoplegia serta ptosis
mata m. Levator bulbi, fissura palpebra
palpebradan menyempit dan kesulitan
m. Tarsalis superior membuka mata
NV Parase menimbulkan Hipestesi atau neuralgia wajah
keluhan parestesi
N IV, III, VI Parase Sindroma petrosfenoidal
N III, IV, VI Parase nervus Diplopia
N IX, X, XI, XII Proses pertumbuhan dan Sindrom parafaring
perluasan lanjut karsinoma,
akan mengenai saraf otak
NX Gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara,
disfagia, spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah
faring dan laring, dispnea, hipersalivasi).
Foramen jugular Sindrom jackson
N IX Hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, deviasi uvula ke sisi
sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas
tenggorokdan belakang lidah, salivasi meningkat

27
2.2.5 Diagnosis

Gambar. Alur diagnosis KNF


(PERHATI-KL, 2016)
 Anamnesis

- Apakah benjolan di leher yang semakin lama makin membesar, sudah berapa
lama benjolan ini ada, apakah didapatkan penurunan berat badan, menggali
informasi mengenai gejala yang dirasakan pasien, meliputi (riwayat
kemoradiasi, riwayat merokok dan minum alkohol, riwayat keluarga yang
mempunyai tumor ganas)
- Gejala hidung: hidung tersumbat, ingus campur darah/epistaksis ringan, post
nasal drip.
- Gejala telinga: rasa penuh/gangguan pendengaran unilateral menetap, tinitus
unilateral, otalgia/otorea unilateral.
- Gejala leher: benjolan leher unilateral.
- Gejala mata & syaraf: sakit kepala, diplopia, ptosis, trismus, parese lidah,
parese saraf otak lain.

 Pemeriksaan Fisik

Dilakukan pemeriksaan status generalis dan


status lokalis
- Pemeriksaan nasofaring:
- Rinoskopi anterior
- Nasofaringoskop (fiber/rigid)

28
- Laringoskopi

29
Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging) digunakan untuk
skrining, melihat mukosa dengan kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi
biopsi dan follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.

Gambar. Pemeriksaan Nasoendoskopi memperlihatkan gambaran massa globular


nasofaring dan mudah berdarah.
 Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
1. X-Ray
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring.
Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral,
yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura
pterigopalatina membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah
nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan daerah di sekitar
nasofaring. Serta Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya
kelainan maka dilanjutkan dengan CT scan thoraks dengan kontras.
2. CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring mulai setinggi sinus frontalis
sampai dengan klavikula, potongan koronal, aksial dan sagital, tanpa dan dengan
kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-2 cc/kgBB, delay time 1 menit.
CT berguna untuk melihat tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta
penyebaran kelenjar getah bening regional.
3. Laboratorium

- Hematologi: darah perifer lengkap, LED, hitung jenis

30
- Alkali fosfatase, LDH

31
- SGPT-SGOT

- Serologi IgA VCA, IgA EA; sebagai tumor marker (penanda tumor) pada tempat
yang dicurigai KNF tidak berperan dalam menegakkan diagnosis tetapi
dilakukan sebagai skreening dan data dasar untuk evaluasi pengobatan.
- Diagnosis KNF ditunjang beberapa pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan
serologi, misalnya imunoglobulin A anti-viral capsid antigen (Ig anti-VCA), Ig
G anti-early antigen (EA), imunohistokimia, dan polymerase chain reaction
(PCR). Pemeriksaan serologi dapat dilakukan sebagai skrining untuk deteksi
dini, sering mendahului munculnya KNF dan berfungsi sebagai petanda tumor
remisi dan kekambuhan (Wijaya F, 2017).

4. Histopatologi/ Patologi Anatomi

- Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi nasofaring.


Pelaporan Klasifikasi histologis KNF oleh WHO tahun 1978 dibagi dalam 3
kategori, yaitu:

1. Karsinoma Sel Skuamosa Berkeratin

Adanya jembatan interseluler dan atau keratinisasi di atasnya menunjukkan


diferensiasi skuamosa. Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang, dan buruk.

Gambar. Keratinizing Carcinoma

2. Karsinoma Tidak Berkeratin

Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intrasel. Pada umumnya batas sel cukup jelas.

32
Gambar. Non-Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

3. Karsinoma Tidak Berdiferensiasi

Gambaran patologi pada tipe ini sangat heterogen. Pada tipe ini sel tumor
secara individu memperlihatkan inti yang vasikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas.

A B
Gambar. Undifferentiated carcinoma. Tipe Regauds, terdiri dari sel-sel yang
membentuk sarang-sarang padat. B. Tipe Schminke, terdiri sel-sel yang
tumbuh membentuk gambaran syncytial yang difus

STADIUM/STAGING

Terdapat perbedaaan klinis dalam menentukan staging KNF. The American


Joint Committee on Cancer / Union Interrnationale Contre le Cancer
(AJCC
/ UICC) yang digunakan di Amerika dan Eropa untuk staging keganasan
kepala dan leher mengikuti system dibawah ini. System ini juga sering
digunakan di Asia dan klasifikasi nodulnya memberi gambaran prognostik
yang signifikan.

33
Gambar. Klasifikasi TNM Staging KNF menurut
American Joint Committee on Cancer

Gambar. Stadium KNF

Gambar. Metastasis Karsinoma

34
2.2.6 Tatalaksana

Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya dan didukung


denganterapi simptomatik sesuai dengan gejala.

Gambar. Algoritma Tatalaksana KNF

 Obat-obatan Simptomatik

- Reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan →
obatkumur yang mengandung antiseptik dan astrigent (3-4x/hari)
- Tanda - tanda moniliasis → antimikotik
- Nyeri menelan → anestesi lokal
- Nausea, anorexia → terapi simptomatik
(PERHATI-KL, 2016)
 Kemoterapi
Kemoterapi ditambahkan sebagai terapi bersama dengan radioterapi. Penelitian
yang sudah dilakukan melaporkan hasil kemoterapi neoajuvan, konkuren dan ajuvan.

35
Regimen yang dapat digunakan pada saat ini adalah cisplatin, 5FU dan ifosfamid
(KOLEGIUM,

36
2015). Kemoterapi saat ini digunakan pada tiga situasi klinis utama. Pertama adalah
terapi induksi primer untuk kanker stadium lanjut atau untuk kanker yang belum
memiliki pendekatan terapeutik efektif. Kedua adalah terapi neoadjuvan untuk pasien
dengan penyakit lokal atau kurang memadainya bentuk lokal pengobatan seperti
pembedahan atau radiasi ataupun keduanya. Ketiga adalah terapi adjuvan untuk metode
pengobatan lokal termasuk pembedahan, terapi radiasi maupun keduanya (Haznur, 2017).

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien


dengan T2-4 dan N1-3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum
based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum
dilakukan radiasi. Kemoterapi kombinasi/dosis penuh dapat diberikan pada N3 >6 cm
sebagai neoadjuvan dan adjuvan setiap 3 minggu sekali, dan dapat juga diberikan pada
kasusrekuren/metastatik.
Terapi sistemik pada KNF adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan
kemoterapi adjuvan, yaitu Cisplatin + RT diikuti dengan Cisplatin/5-FU atau
Carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap
minggu sekali.
Terapi sistemik pada KNF kasus rekuren/ metastatik:
Terapi kombinasi Terapi tunggal
○ Cisplatin / carboplatin + docetaxel ○ Cisplatin
/ paclitaxel
○ Carboplatin
○ Cisplatin /5-FU
○ Paclitaxel
○ Carboplatin
○ Docetaxel
○ Cisplatin / gemcitabine
○ Methotrexate
○ Gemcitabine
○ Gemcitabine
○ Taxans + Platinum + 5FU
○ Capecitabin

Respon terapi (+) jika tidak didapati tumor menetap, kambuh secara lokal dan regional,
dan metastasis jauh, dengan hasil (-) untuk semua parameter penilaian.

Respon terapi (-) jika didapati tumor menetap, kambuh secara lokal atau regional,
metastasis jauh, dengan hasil (+) untuk minimal salah satu parameter penilaian (Haznur,
2017).

37
 Radioterapi
KNF mempunyai sifat radiosensitive sehingga radioterapi masih sebagai pilihan
terapi utama pada KNF. Radioterapi mempunyai komplikasi dan kesulitan dalam
tatalaksana karena KNF terletak dibawah skull base dan dikelilingi jaringan otak, saraf
spinal, jalur pituitary-hipothalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan dalam
serta galndula parotis (KOLEGIUM, 2015).

Radiasi dapat diberikan dengan lapangan radiasi plan parallel laterolateral dan
supraklavikula. Batas - batas lapangan penyinaran meliputi daerah tumor primer dan
sekitarnya/ potensial penjalaran per kontinuitatum, serta kelenjar getah bening regional
(kelenjar leher sepanjang jugular serta sternokleidomastoideus dan supraklavikula).
Dosis radiasi total 66-70 Gy, 2 Gy/fraksi, dengan blok medulla spinalis setelah 40 Gy.
Untuk kelenjar getah bening leher positif dilanjutkan dengan booster elektron hingga
mencapai total dosis target (PERHATI-KL, 2016).

2.2.7 Komplikasi

Lesi dapat memiliki komplikasi lokal, termasuk obstruksi tuba Eustachius


yang menyebabkan otitis media dengan efusi (OME), obstruksi hidung persisten,
dan obstruksi jalan napas orofaringeal. Efek massa menyebabkan penyumbatan
orofaring menghambat menelan, dan jika tetap tidak terkendali, perkembangannya
dapat menyebabkan penyumbatan jalan napas. Perluasan intrakranial dan
keterlibatan saraf kranial melemahkandan dapat menyebabkan kecacatan seumur
hidup bahkan setelah manajemen (Farhat, 2020).

2.2.8 Prognosis
Penderita KNF stadium awal, yaitu stadium I dan II, mempunyai prognosis lebih
baik dibandingkan stadium lanjut, yaitu stadium III dan IV. Angka harapan hidup lima
tahun pada stadium I, II, III, dan IV didapatkan sekitar 72%, 64%, 62%, dan 38%.
Karsinoma Nasofaring mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk metastasis ke
KGB leher, berupa massa yang tidak nyeri tekan, sering terdapat di leher bagian atas.
Gejala gejala yang berhubungan dengan metastase jauh pada KNF relative jarang.
Metastase ke vertebra, liver dan paru merupakan tempat metastase yang dapat
dijumpai (KOLEGIUM, 2015).

38
BAB III
KESIMPULAN

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel permukaan
nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya berkembang di sekitar ostium tuba Eustachius
di dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller). Banyak faktor yang diduga berhubungan
dengan KNF, yaitu adanya infeksi EBV, faktor lingkungan, dan genetik. Deteksi dini
terhadap karsinoma nasofaring harus dilaksanakan karena penemuan penyakit ini pada
stadium yang lebih dini berdampak pada prognosis penyakit yang lebih baik
Banyaknya penderita yang ditemukan pada stadium lanjut menunjukkan
keterlambatan deteksi dini adanya tumor pada nasofaring. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh gejala dini yang tidak khas dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk datang ke
dokter sampai keluhannya memburuk. Selain itu masih banyak masyarakat yang tidak
mengetahui tentang penyakit kanker terutama KNF.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas, A. A. J. d. K. V., 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. 9 ed. Canada: Elsevier
Saundares.
2. Abdiaman Putra Dawolo, D. S. U. B. I. K., 2017. Profil Klinis Karsinoma Nasofaring
di Departemen THTKL RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2014-2015.
Majalah Kedokteran Sriwijaya, 49(1), pp. 1-9.
3. Camelia Herdini, S. H. S. R. I., 2011. Uji serologi IgA karakter KNF EBNA1+VCA
p- 18. ORLI, 41(2), pp. 105-111.
4. Dewi, N., 2018. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. CDK Journal,
45(3), pp. 202-205.
5. Drake, R. L., Vogl, W. & Mitchell, A. W. M., 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of the
Human Body. Canada: Elsevier.
6. Farhat, A. M. D. Y., 2020. Karsinoma Nasofaring. Jakarta: EGC.
7. Haznur, I., 2017. Hubungan Tipe Histopatologi Karsinoma Nasofaring dengan
Respon Kemoterapi di RSUP H. Adam Malik, Medan: FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
8. KOLEGIUM, 2015. Karsinoma Nasofaring. In: Onkologi Bedah Kepala Leher.
Surabaya: Universitas Airlangga.
9. Mangunkusumo, E., 2020. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. Jakarta: EGC.
10. Mescher, A. L., 2013. Junqueita's Basic Histology Text & Atlas. 14 ed. Indiana:
Bloomingtoon.
11. Nasional, K. P. K., 2017. Kanker Nasofaring. Jakarta: Kemenkes RI.
12. Netter, F. H., 2016. Atlas Anatomi Manusia Indonesia. Indonesia: Elsevier.
13. PERHATI-KL, 2016. Panduan Praktik Klinik di Bidang Telinga Hidung Tenggorok-
Kepala Leher Volume 2. Jakarta: s.n.
14. Shofi Faiza, S. R. A. A., 2018. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma
Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas, 5(1), pp. 90-96.
15. Soepardi EA, I. M., 2020. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala & Leher. 7 ed. Jakarta: FKUI.
16. Wijaya F, S. B., 2017. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. CDK
Journal, pp. 478-481.

Anda mungkin juga menyukai