Anda di halaman 1dari 29

TUTORIAL KLINIK

FARINGITIS

Disusun Oleh:

Maria Tifani Iriani Weruin

42180222

Dosen Pembimbing Klinik :

dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIKILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA
WACANA
YOGYAKARTA
2019
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Ibu SS
Tanggal Lahir : 07-11-1949
Usia : 69 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Taman Siswa, Yogyakarta
No.RM : 0049XXXX

II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Batuk
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli THT RS Bethesda pada hari Senin, 7 Oktober
2019 pukul 09.45 WIB. Pasien mengeluhkan batuk sudah 2 minggu, dahak
sulit dikeluarkan, nyeri saat menelan, nyeri saat menelan dirasakan hilan
timbul, dan pasien juga mengeluhkan pilek. Pasien mengatakan batuk yang
dialami setelah pasien mengonsumsi gorengan dalam jumlah yang banyak.
Pasien juga mengeluhkan telinga kiri terasa nyeri, berdenging, dan
penurunan pendengaran pada telinga kiri sudah 1 bulan. Pasien tidak
memiliki demam.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Sinusitis : (-)
 Alergi obat/makanan : (-) Dislipidemi : (+)
 Vertigo : (-) Hipertensi : (+)
 Tonsilitis : (-) Osteoathritis : (+)
 GERD : (+) DM : (-)
 Bronkitis : (+)

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Alergi : (-)
 DM : (-)
 Hipertensi : (+) Ayah pasien
E. Riwayat Pengobatan
 Riwayat Periksa : (+), Pasien melakukan pemeriksaan
rutin di klinik THT sejak bulan Februari 2019
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Rawat Inap : (-)
 Riwayat Penggunaan Obat :(+),Pasien mengatakan sudah
mengonsumsi obat OBH dan Utraflu tetapi tidak membaik.
F. Lifestyle
Pasien tidak merokok dan mengonsumsi allkohol. Pasien memiliki pola
makan teratur yaitu 3 x/hari, pasien mengonsumsi makanan yang cenderung
berlemak seperti gorengan dan makanan yang pedas. Pasien juga rutin
konsumsi buah dan sayur serta minum air putih dalam jumlah yang cukup.
Pasien rutin berolahraga.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
VAS : 2-3
Status Gizi : Baik
BB : 65 kg
TB : 163 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5 0C

STATUS GENERALIS
A. Kepala
 Kepala : Normocephali, simteris
 Mata : Hematoma (-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
anemis (-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
 Hidung : Deformitas dorsum nasi (-), deviasi septum nasi (-),
discharge hidung (+), discharge jernih dan serous
 Mulut : Mulut sianosis (-), mukosa oral kering
 Telinga : Edema (-), discharge telinga (-), kelainan anatomi (-
), deformitas (-), nyeri tekan (-), perforasi membrane timpani (-),
nyeri tekan AS (+)
 Leher : Pembesaran KGB (+), nyeri tekan (-), massa (-)

B. Thorax
a. Pulmo
 Inspeksi : Gerakan dada simetris, ketinggalan gerak (-), retraksi (-),
jejas (-), benjolan (-)
 Palpasi : Tidak terdapat massa dan nyeri tekan
 Perkusi : Sonor kedua lapang paru
 Auskultasi : Suara paru vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
b. Cor
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat, tanda inflamasi (-), jejas (-)
 Palpasi : Iktus cordis teraba di SIC 5 linea axillaris anterior sinistra
 Perkusi : Batas/kontour jantung dalam batas normal
 Auskultasi : S1 S2 reguler, Bising jantung (-)

C. Abdomen
 Inspeksi : Distensi (-), tanda inflamasi (-), jejas (-)
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen, nyeri ketok ginjal (-)
 Palpasi : Abdomen teraba supel, turgor kulit normal, pembesaran organ intra
abdomen (-), nyeri tekan (-), massa (-)

D. Ekstremitas
 Atas: Gerakan aktif, akral teraba hangat, perabaan nadi cukup kuat dan
reguler, capillary refill <2 detik, edema (-), sianosis (-), deformitas (-), jejas
(-)
 Bawah: Gerakan aktif, akral teraba hangat, perabaan nadi cukup kuat dan
reguler, capillary refill <2 detik, edema (-), sianosis (-), deformitas (-), jejas
(-)
STATUS LOKALIS

 Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan Telinga Kanan Telinga Kiri

Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)

Kelianan Kongenital Tidak ada Tidak ada

Tumor Tidak ada Tidak ada

Nyeri Tekan Tragus Tidak ada Tidak ada

Planum Mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (+)

Glandula Limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (+)

Can. Aud. Externa Serumen (-), edem (-), Serumen (-), edem (-),
hiperemis (-) hiperemis (-),

Membrana Timpani Perforasi (-), Hiperemis Perforasi (-), Hiperemis

(-), Jernih, Refleks Cahaya (-), Jernih, Refleks Cahaya


arah pukul 5, Retraksi (-) arah pukul 7, Retraksi (-)

Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri

Rinne Rinne + Rinne -

Weber Tidak ada lateralisasi Lateralisasi ke AS

Scwabach Sama dengan pemeriksa Memanjang

Kesan: Tuli konduktif AS


 Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal

Pemeriksaan Dextra Sinistra

HIDUNG

Dorsum Nasi Deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-)

Cavum Nasi Discharge (+) Discharge (-)

Rhinoskopi Anterior

Vestibulum Nasi Darah (-)

Septum Nasi Deviasi septum nasi (-)

Meatus Nasi Inferior Edema (-), hiperemis (+), Edema (-), hiperemis (-),

sekret (+) sekret (-)

Konka Inferior Edema (+), hiperemis (+) Edema (-), hiperemis (-)

Meatus Nasi Media Edema (-), hiperemis (+), Edema (-), hiperemis (-),

sekret (+) sekret (-)

Konka Media Edema (-), hiperemis (+) Edema (-), hiperemis (-)

Rhinoskopi Posterior : Tidak dilakukan

Fossa Rossenmuller

Torus Tubarius

Muara Tuba Eustachius

Adenoid

Konka Superior

Choana

SINUS PARANASAL

Inspeksi Eritem (-), edema (-), Eritem (-), edema (-)

Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)


Transluminasi Tidak dilakukan

Kesan: Rhinitis Nasal Dextra

 Pemeriksaan Oropharynx
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING

Bibir Ulserasi(-), bibir kering (-)

Mukosa Oral Stomatitis (-), ulkus (-), ulserasi (-)

Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-)

Dasar Mulut Ulkus (-)

Uvula Hiperemis (-)

Tonsila Palatina Tonsil membesar(-) Tonsil membesar (-)


hiperemis (-), detritus (-) hiperemis (-), detritus (-)

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring Hiperemis (+), discharge (-), granulae (+), post nasal drip
(-)

Kesan: Faringitis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS
 Faringitis
 Rhinitis Nasal
 Tuli Konduktif AS

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Mononukleosis
VII. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
- Antibiotik berupa Amoksisilin 3 x 500 mg selama 10 hari atau Eritromisin
4 x 500 mg
- Analgesik untuk kurangi nyeri saat menelan
- Antitusif berupa Codein 10 mg  menekan batuk
- Mukolitik berupa Ambroxol 30 mg (3 x 1)  mengencerkan dahak
- Kortikosteroid berupa Deksametason 16 mg

VIII. EDUKASI
- Menjaga higienitas daerah mulut
- Istirahat yang cukup
- Hindari makan makanan seperti gorengan, pedas, dan dingin
- Berkumur dengan air hangat
- Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.

IX. PLANNING
- Pemeriksaan darah lengkap dan swab tenggorokan
- Konsul Sp. THT-KL untuk tes audiometri dan timpanometri karena pasien
memiliki penurunan pendengaran pada telinga kiri (Tuli Konduktif AS)

IX. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra (Arjun S Joshi, 2011).

Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus


setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan
ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono dan
Bambang Hermani, 2007).

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring)


(Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa
blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Gambar.1. Anatomi Faring Atlas
of Human Anatomy 4th Edition

Faring terdiri atas :


Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah


adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan
erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong
Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius
spinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius
(Rusmarjono, 2007; Arjun S Joshi, 2011; Rospa Hetharia, 2011).

Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum


mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum (Rusmarjono
dan Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia, 2011).

Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas


anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk infantile
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini
dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus (Rusmarjono dan Bambang
Hermani, 2007).
Ruang Faringal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis
mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang
retrofaring( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding
belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot –
otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini
mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia
servikalis. Serat – serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra.Di
sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila (Rusmarjono dan
Bambang Hermani, 2007).

Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut


dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan
puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.
konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang
melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini
dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot
yang melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas
dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang,
beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang
lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis
interna, n. vagus yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis
(carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan
fasia yang tipis (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).
Gambar 2.Anatomi Faring Bagian Posterior
Atlas of Human Anatomy 4TH Edition
2. Faringitis Akut

a. Definisi

Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan hiperemis,
demam, pembesaran kelenjar getah bening leher dan malaise (Miriam T. Vincent,
2004). Faringitis akut dan tonsillitis akut sering ditemukan bersama- sama dan dapat
menyerang semua umur. Penyakit ini ditular melalui kontak dari sekret hidung dan
ludah (droplet infections) (Rusmarjono, 2001).

b. Etiologi
Faringitis dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Banyak
mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis, antaranya virus (40-60%) dan
bakteri (5-40%) , alergi, trauma, iritan (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi,
2007).

Kebanyakan faringitis akut disebabkan oleh agen virus. Virus yang


menyebabkan faringitis termasuk Influenza virus, Parainfluenza virus,
Coronavirus, Coxsackie viruses A dan B, Cytomegalovirus, Adenovirus dan Epstein
Barr Virus (EBV). Selain itu, infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) juga
dapat menyebabkan terjadinya faringitis (John L. Boone, 2003; Anthony W Chow,
2013).

Faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri termasuk Group A Beta


Hemolytic Streptococcus (GABHS), Group C Beta Hemolytic Streptococcus,
Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphtheria, Arcanobacterium
haemolyticum dan sebagainya. Infeksi Group A Beta Hemolytic Streptococcus
(GABHS) merupakan penyebab faringitis akut pada 5-15% dewasa dan 20-30%
pada anak-anak (5-15 tahun) (Ferri, 2012; Rusmarjono dan Efiaty Arsyad Soepardi,
2007).

Neisseria gonorrhoeae sebagai penyebab faringitis bakterial gram negative


ditemukan pada pasien aktif secara seksual, terutama yang melakukan
kontak orogenital. Dalam sebuah penelitian pada orang dewasa yang terinfeksi
gonorea, faringitis gonokokal ditemukan 20% pada pria homoseksual, 10% pada
wanita dan 3% pada pria heteroseksual. Sekitar 50% individu yang terinfeksi
adalah tanpa gejala, meskipun odinofagia, demam ringan dan eritema dapat terjadi
(John L. Boone, 2003).

Selain itu, Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring dan
menyumbang terjadinya faringitis fungal. Faringitis gonorea hanya terdapat pada
pasien yang menlakukan kontak orogenital (Rusmarjono dan Efiaty Arsyad
Soepardi, 2007).

Faktor resiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, dan
seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau
demam (Jill Gore, 2013).

b. Patofisiologi

Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon inflamasi
lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan mengikis epitel
sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat
hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Pada awalnya eksudat
bersifat serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cenderung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah
dinding faring akan melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau
abu-abu akan didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa
folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak
lebih ke lateral akan menjadi meradang dan membengkak. Coronavirus dapat
menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal (Bailey,
2006; Adam, 2009). Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu
invasi lokal dan pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari
Streptococcus ß hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan kerusakan
katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan glomerulonefritis akut karena
fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen- antibodi
(Bailey, 2006; Adam, 2009).

c. Epidemiologi

Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak. National


Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital Ambulatory Medical Care
Survey telah mendokumentasikan antara 6,2-9,7 juta kunjungan anak-anak dengan
faringitis ke klinik dan departemen gawat darurat setiap tahun, dan lebih dari 5 juta
kunjungan orang dewasa per tahun (Mary T. Caserta, 2009). Menurut National
Ambulatory Medical Care Survey, infeksi saluran pernafasan atas, termasuk
faringitis akut, dijumpa 200 kunjungan ke dokter per 1000 penduduk per tahun di
Amerika Serikat (Alan L. Bisno, 2001).

Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-


kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis
pada orang dewasa terjadi pada musim sejuk adalah akibat dari infeksi Group A
Streptococcus. Faringitis jarang terjadi pada anak-anak kurang dari 3 tahun (John
R Acerra, 2013).
d. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada faringitis akut bergantung pada


mikroorganismenya. Faringitis akut yang disebabkan bakteri mempunyai gejala
nyeri kepala yang hebat, demam atau menggigil, malaise, nyeri menelan, muntah
dan mungkin batuk tapi jarang (Rusmarjono, 2007). Faringitis akibat infeksi bakteri
Streptococcus group A dapat diperkirakan dengan menggunakan Centor criteria,
yaitu demam, limfaadenopati pada anterior servikal, eksudat pada tonsil, tidak ada
batuk (Jill Gore, 2013).
Faringitis yang disebabkan virus biasanya mempunyai gejala nyeri
tenggorokan yang parah dan dapat disertai dengan batuk, suara serak dan nyeri
substernal. Demam, menggigil, malaise, mialgia dan sakit kepala juga dapat terjadi
(John L. Boone, 2003). Sedangkan gejala pada faringitis fungal adalah nyeri
tenggorokan dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan mukosa faring lainnya hiperemis (Rusmarjono, 2007). Tanda dan gejala yang
ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang menginfeksi. Secara
garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia,
demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:

a) Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis


dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai
rinorea dan mual.
b) Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
c) Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d) Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
akhirnya batuk yang berdahak.
e) Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau.
f) Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan
pengobatan bakterial non spesifik. Bila dicurigai faringitis gonorea atau
faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan seksual (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Pemeriksaan Fisik

a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis, eksudat (virus
influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat). Pada
coxsachievirus dapat menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash.

b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan pangkal lidah,
sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.

d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa di bawah mukosa
faring dan lateral lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding
posterior tidak rata dan bergranular (cobble stone).

e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faringditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan pada mukosa


faring dan laring.

g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:


1. Stadium Primer
Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan.
Bila infeksi berlanjut timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.

2. Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat eritema yang menjalar ke arah
laring.
3. Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan pada kasus faringitis yang


dicurigai akibat infeksi virus. Tetapi jika dicurigai ada infeksi GAS atau jika pasien tidak
respon dengan pengobatan, maka pemeriksaan penunjang dapat dilakukan.

Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan darah rutin tidak dapat membedakan etiologi viral atau bakteri pada
faringitis. Tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding lain,
misalnya pada pasien yang dicurigai demam dengue. Rapid Antigen Detection Test
(RADT)

Rapid Antigen Detection Test (RADT) merupakan tes diagnostik untuk membantu
penegakan faringitis GAS. Pemeriksaan ini menilai ada tidaknya karbohidrat Streptococcus
group A pada swab tenggorok. Pemeriksaan hanya membutuhkan waktu sebentar dengan
nilai spesifisitas yang tingggi. Nilai spesifisitas tes ini mencapai 98% dan sensitivitas 70%.

Apus Tenggorok

Apus tenggorok memiliki sensitivitas yang tinggi 90-99% untuk mendiagnosis


faringitis GAS. Pemeriksaan ini memerlukan 18-24 jam inkubasi pada suhu 37 C sebelum
hasil bisa didapatkan. Kultur swab tenggorokan; merupakan tes gold standard. Jenis
pemeriksaan ini sering dilakukan. Namun, pemeriksaan ini tidak bisa membedakan fase
infektif dan kolonisasi, dan membutuhkan waktu selama 24 – 48 jam untuk mendapatkan
hasilnya.

Rontgen Leher Lateral

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambaran anatomi jalan napas untuk menilai
gangguan jalan napas maupun epiglotitis.

CT Scan Jaringan Lunak Leher

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada kasus abses atau infeksi leher dalam.
b. Diagnosis

Pada faringitis akut yang disebabkan oleh bakteri, pemeriksaan pada faring
yang dapat dilihat yaitu adanya eritema faring dan tonsil, eksudat pada faring dan
tonsil, petechiae palatine, edema uvula dan limfadenopati servikalis anterior. Tidak
semua pasien didapati dengan semua gejala tersebut, banyak pasien datang dengan
gejala yang ringan dan tanpa eksudatif. Anak-anak di bawah 3 tahun dapat disertai
coryza dan krusta hidung. Faringitis dengan eksudat jarang terjadi pada umur ini
(Alan, et.al.,2001). Pada faringitis viral, pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis. Virus influenza, Coxsachie virus dan Cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat. Coxsachie virus dapat menimbulkan lesi vesicular di
orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Epstein Barr Virus (EBV)
menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmarjono, 2007).

Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan
gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam
menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan faringitis
karena bakteri atau virus. Sangatlah penting untuk mengetahui onset, durasi,
progresifitas dan tingkat keparahan dari gejala yang menyertai seperti demam,
batuk, kesukaran bernafas, pembengkakan limfonodi, paparan infeksi, dan adanya
penyakit sistemik lainnya seperti diabetes dan lain-lain. Faring harus diperiksa
apakah terdapat tanda-tanda eritem, hipertrofi, adanya benda asing, eksudat, massa,
petechie dan adenopati (Miriam T. Vincent, 2004).

Juga penting untuk menanyakan gejala yang dialami pasien seperti demam,
timbulnya ruam kulit (rash), adenopati servikalis dan coryza. Jika dicurigai
faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus, seorang dokter harus mendengar
adanya suara murmur pada jantung dan mengevaluasi apakah pada pasien terdapat
pembesaran lien dan hepar. Apabila terdapat tonsil eksudat, pembengkakan kelenjar
limfe leher, tidak disertai batuk dan suhu badan meningkat sampai 38ºC maka
dicurigai adanya faringitis karena infeksi GABHS (Alan, et.al.,2001)

Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk


menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri GABHS.
Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan pada daerah tonsil
dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami
disk antibiotik. Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah
persentase sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari 10 hari (Miriam T. Vincent, 2004).

c. Penatalaksanaan

Terapi pada penderita faringitis viral dapat diberikan aspirin atau


asetaminofen untuk membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada tenggorokan.
Penderita dianjurkan untuk beristirahat di rumah dan minum yang cukup. Kumur
dengan air hangat. Faringitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan (Rusmarjono, 2007).

Terapi untuk faringitis bakterial diberikan antibiotik terutama bila diduga


penyebab faringitis akut ini grup A Streptokokus β hemolitikus. Dapat juga
diberikan Penicilin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin
50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500mg
selama 6-10 hari, jika pasien alergi terhadap penisilin maka diberikan eritromisin
4x500 mg/hari. Kumur dengan air hangat atau antiseptik beberapa kali sehari
(Rusmarjono, 2007).

Faringitis yang disebabkan Candida dapat diberikan Nystasin 100.00 –


400.000 2 kali/hari dan faringitis yang disebabkan Gonorea dapat diberikan
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250mg secara injeksi intramuskular
(Rusmarjono, 2007)

d. Komplikasi

Komplikasi umum pada faringitis termasuk sinusitis, otitis media,


epiglottitis, mastoiditis, dan pneumonia. Faringitis yang disebabkan infeksi
streptokokus jika tidak diobati dapat menyebabkan demam reumatik akut,
peritonsillar abses, peritonsillar cellulitis, abses retrofaringeal, toxic shock
syndrome dan obstruksi saluran pernasafan akibat dari pembengkakan laring.
Demam reumatik akut dilaporkan terjadi pada1 dari 400 infeksi GABHS yang tidak
diobati (John R. Acerra, 2013).
Kompliasi lainnya adalah sebagai berikut :
a. Demam scarlet, yang di tandai dengan demam dan bintik kemerahan.
b. Demam reumatik, yang dapat menyebabkan inflamasi sendi, atau
kerusakan pada katup jantung. Demam reumatik merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada faringitis akut.
c. Glomerulonefritis, komplikasi berupa glomerulonefritis akut
merupakan respon inflamasi terhadap protein M spesifik. Komplek
antigen- antibody yang terbentuk berakumulasi pada glomerulus
ginjal yang akhirnya menyebabkan glomerulonefritis ini.
Abses peritonsilar biasanya disertai dengan nyeri faringeal, disfagia, demam
dan dehidrasi

e. Prognosis

Prognosis untuk faringitis akut sangat baik pada sebagian besar kasus.
Biasanya faringitis akut sembuh dalam waktu 10 hari, namun harus berhati-hati
dengan komplikasi yang berpotensi terjadi (John R. Acerra, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Aamir Somro et al., 2011. Pharyngitis and Sore Throat: A Review. In: African Journal of
Biotechnology Vol. 10(33), ppp. 6190-6197. Available From:
http://www.academicjournals.org/AJB [Accessed: 4 Jun 2013]

Alan L. Bisno, M.D., 2011. Acute Pharyngitis: Primary Care. In: The New England Journal
of Medicine 2011; 344:205-211. Available From:
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM200101183440308 [Accessed: 4
Jun 2013]

Alaa H. Al-Charrakh, Al-Khafaji JK and Al-Rubaye RH, 2011. Prevalence of B- Hemolytic


Group C and F Streptococci in Patients With Acute Pharyngitis. Department of
Microbiology, College of Medicine, Babylon University, Babylon, Iraq.
Available From:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22540078 [ Accessed: 4 Jun 2013]

Alexander Kiderman, 2005. Adjuvant Prednisone Therapy in Pharyngitis: A Randomised


Controlled Trial from General Pratice. In: The British Journal of General Practice. 2005
March 1; 55(512): 218-221. Available From:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1463093 [Accessed: 4 Jun 2013]

Anthony W Chow and Shira Doron, 2013. Evaluation of Acute Pharyngitis in Adults.
Available From: http://www.uptodate.com/contents/evaluation-of- acute-pharyngitis-in-
adults [Accessed: 4 Jun 2013]

Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From:


http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall [Accessed: 4 Jun
2013]

Ferri, 2013. Pharyngitis/ Tonsilitis. In: Ferri: Ferri’s Clinical Advisor 2013, 1st ed. Available
From: http://www.mdconsult.com/books/page.do?eid=4-u1.0- B978-0-323-08373-
7..00025-X--sc0140&isbn=978-0-323-08373
7&uniqId=412762026-1430#4-u1.0-B978-0-323-08373-7..00025-X--s2610
[Accessed: 4 Jun 2013]

Frank H. Netter, MD., 2006. Pharynx: Median Section and Pharynx: Opened Posterior View.
In: Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Section 1 Head and Neck.Plate 63, 66.

Jill Gore, 2013. Acute Pharyngitis. In: Journal of the American Academy of Physician
Assistants: February 2013- Volume 26-Issue 2- p 57-58. Available
From:http://journals.lww.com/jaapa/Fulltext/2013/02000/Acute_Pharyngitis. 12.aspx
[Accessed: 4 Jun 2013]

John L. Boone, MD., 2003. Etiology of Infectious Diseases of the Upper Respiratory Tract.
In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Nexk Surgery. 16th Edition. 2003 BC
Decker Inc. Chapter 30. P: 635-7.

Kelly Struble, 2013. Bacterial Pharyngitis. In:


http://emedicine.medscape.com/article/225243-overview#a0199 [Accessed: 4
Jun 2013]

Mary T. Caserta and Anthony R. Flores, 2013. Pharyngitis In: Mandell: Mandell, Douglas,
and Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases, 7th ed.Volume 1, Part II,
Section B, Chapter 54, p: 815-821. Available From:
http://www.mdconsult.com/books/page.do?eid=4-u1.0-B978-0-443-06839- 3..00054-0--
s0015&isbn=978-0-443-06839-3&uniqId=412762026-1459#4- u1.0-B978-0-443-
06839-3..00054-0--s0015 [Accessed: 4 Jun 2013]

Marvez-Valls EG, Ernst AA, Gray J. and Johnson WD. 1998. The Role of Betamethasone in
the Treatment of Acute Exudative Pharyngitis. In: Acad Emerg Med. 1988 Jun; 5(6): 567-
72. Available From:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9660281 [Accessed: 4 Jun 2013]
Miriam T. Vincent, M.D., M.S., Nadhia Clestin, M.D., and Aneela N. Hussain, M.D., 2004.
Pharyngitis. In: A Peer-Reviewed Journal of the American Academy of Family Physician,
2004. State University of New York- Downstate Medical Center, Brooklyn, New York.
Available From: http://www.aafp.org/afp/2004/0315/p1465.html [Accessed: 4 Jun 2013]

Rospa H. dan Sri Mulyani, 2011. Tenggorokan Atas (Faring dan Tonsil). Dalam:
Asuhan Keperawatan Gangguan THT. Jakarta: TIM, 2011. Edisi Pertama: 99-
100, 154-156.

Robert M. Guthrie, et al., 1988. Aetiology of Acute Pharyngitis and Clinical Response to
Empirical Therapy with Erythromycin Versus Amoxicillin. In: Family Practice 1988; 5:
29-35. Available From: http://fampra.oxfordjournals.org/content/5/1/29.abstract
[Accessed: 4 Jun 2013]

Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok. Dalam:


Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007. Edisi ke-6: 212-
215; 217-218.

Tasar A., et al., 2008. Clinical Efficacy of Dexamethasone for Acute Exudative Pharyngitis.
In: J Emerg Med, 2008 Nov;35(4): 363-7. Available From:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18468831 [Accessed: 4 Jun 2013]

U.S. Department of Health and Human Services. National Institute on Aging, 2011.
Biology of Aging: Research Today for a Healthier Tomorrow. Available From:
http://www.nia.nih.gov/health/publication/biology- aging/immune-system-
can-your-immune-system-still-defend-you-you-age[ Accessed: 18 December
2013]

Anda mungkin juga menyukai