Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Cephalalgia adalah nyeri atau suatu sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada
daerah kepala, sekitar kepala, belakang mata serta perbatasan antara leher dan kepala
bagian belakang.

II. Faktor Resiko

Pemicu nyeri kepala digunakan untuk menggambarkan stimulus apapun baik


tunggal maupun kombinasi, memberikan kontribusi untuk terjadinya serangan nyeri
kepala. Adapun beberapa hal yang dapat menjadi pemicu nyeri kepala adalah sebagai
berikut:

a. Stres

Adanya dominasi stres yang dirasakan di yang dikombinasikan dengan durasi


tidur yang rendah yang mempengaruhi aktivitas nyeri kepala, dengan demikian,
menunjukkan stres yang bertindak sebagai pemicu ditingkatkan ketika berinteraksi
dengan faktor lain. Dengan adanya rangsangan stress akan diterima oleh nosiseptor di
meninges dan neuron ganglion trigeminal. Kemudian akan di lanjutkan menuju cornu
dorsalis cervicalis atas, lalu akan di transmisi dan modulasi nyeri pada batang otak.

b. Usia

Pada penelitian di Iran (Parviz Bahrami, 2012) menyimpulkan bahwa frekuensi


nyeri kepala primer menunjukkan tren menurun dengan meningkatnya usia kecual
pada wanita yang disebabkan karena adanya pengaruh hormonal dan semakin
memburuk saat ovulasi, menstruasi, hamil, menopause, atau saat mengkonsumsi obat
kontrasepsi oral, sementara nyeri kepala sekunder tampaknya meningkat secara
signifikan dengan usia, terutama setelah 50 tahun karena berkaitan dengan
komorbiditas penyait lain.

C. Pola tidur
Pola tidur akan berubah sejalan dengan pertambahan usia.Pada usia dewasa, total
tidur REM yaitu 20 sampai 25% waktu tidur. Gangguan tidur berupa berkurangnya
kuantitas dan kualitas tidur yang dapat menyebabkan terjadinya migrain umumnya
dipicu oleh perubahan neurotransmitter, kadar serotonin mempengaruhi tidur REM
dan migrain, dimana serotonin bekerja mengatur tidur REM. Selama serangan migrain
terjadi pemecahan produk serotonin, 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), maka
akan terjadi gangguan tidur.

c. Kebisingan

Kebisingan di suatu area yang melebihi nilai ambang batas 85 dB dengan suara
yang gaduh dan waktu kerja 8 jam/hari secara terus menerus dapat menyebabkan
gangguan pekerjaan. Sehingga kebisingan merupakan salah satu bentuk stressor.
Stressor diterima sebagai stres oleh hipotalamus, dan akan mengaktifkan sistem saraf
simpatis “Fight or flight”. Hal ini dapat menyebabkan otot menjadi tegang di sekitar
tulang tengkorak dan terjadiah vasokonstriksi pembuluh darah. Aliran darah yang
semakin berkurang dapat menghambat masuknya oksigen dan terjadi penumpukan
asam laktat. Dan proses tersebut yang mengawali terjadinya nyeri kepala.

d. Cahaya matahari

Adanya paparan sinar matahari merupakan faktor pemicu dalam beberapa aspek
patogenesis migrain. Radiasi ultraviolet pada sinar matahari mengubah gen kalsitonin
terkait peptida dan pelepasan nitrat oksida oleh serabut saraf sensorik intraepidermal
di kulit. Kondisi ini mungkin memiliki peran dalam memicu serangan melalui
vasodilatasi. Selain paparan sinar matahari, suhu mungkin dianggap sebagai faktor
pemicu lain. Seperti yang diketahui selama musim panas, matahari bersinar lebih
cerah dan suhu lebih tinggi dari pada di musim dingin. Suhu yang lebih tinggi dapat
merangsang thermoreceptors kulit, yang dapat menyebabkan untuk serangan migrain.
Rangsangan tersebut akan berjalan melalui nervus ganglion trigeminal yang dapat
memicu pengeluaran mediator nyeri yaitu Calcitonin Gene Related Pain/CGRP dan
nitric oxide yang dapat menyebabkan terjadinya vasodilatasi
e. Lapar

Melewatkan makan dan puasa dilaporkan sebagai pemicu migrain lebih dari 56%
dalam studi berbasis populasi dan 40% sampai 57% dalam studi di klinik
subspesialisasi. Pada penelitian lain juga telah menunjukkan bahwa 50 persen dari
penderita migren, mendapatkan nyeri kepala setelah 16 jam tanpa makanan.
Mekanisme dimana puasa dan melewatkan makan memicu nyeri kepala mungkin
terkait dengan perubahan dalam serotonin dan norepinefrin di jalur batang otak, atau
pelepasan hormon stres seperti kortisol. Hipoglikemia bisa berpotensi berkembang
menjadi nyeri kepala. Setelah mengkonsumsi karbohidrat yang berlebihan, nyeri
kepala vaskular juga dapat terjadi sebagai respons terhadap sekresi insulin cepat dan
secara reaktif menurunkan gula darah. Untuk menghindari terjadiya nyeri kepala
karena hipoglikemik, penderita migrain harus makan tiga kali sehari dengan makanan
yang seimbang, menghindari makan karbohidrat yang berlebihan setiap makan serta
tidak boleh mengabaikan sarapan pagi sebelum beraktifitas.

III. Klasifikasi

Untuk klasifikasi cephalalgia menurut Headache Classification Committee of


the International Headache Society (IHS) The International Classification of
Headache Disorders, 3rd edition terbagi dalam beberapa kategori yaitu sebagai
berikut:
Klasifikasi ini secara garis besar membagi nyeri kepala menjadi dua yaitu nyeri
kepala primer dan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala primer biasanya terjadi secara
tiba-tiba dan sering tidak diketahui penyebab yang mendasarinya sedangkan nyeri
kepala sekunder adalah akibat dari hasil dari sebuah kondisi lain yang kemudian
menyebabkan terjadinya traksi atau peradangan pada struktur otak dan memicu
terjadinya nyeri.

Nyeri kepala primer yang umumnya terjadi antara lain migren, nyeri kepala
klaster, nyeri kepala tipe tegang dan nyeri kepala lain yang tidak berhubungan dengan
lesi struktural. Sedangkan nyeri kepala sekunder antara lain disebabkan oleh trauma
kepala, gangguan pembuluh darah, gangguan dalam tengkorak, pemakaian obat,
infeksi, gangguan metabolik dan penyakit terkait kejiwaan. Nyeri di sekitar wajah,
juga bisa menyebabkan nyeri kepala sekunder. Nyeri jenis ini biasanya terkait
kelainan tengkorak, leher, telinga, hidung, sinus. Kerusakan saraf kepala juga
termasuk nyeri kepala sekunder.
Adapun beberapa perbedaan mendasar dari nyeri kepala primer adalah sebagai
berikut:
IV. Patofisiologi
1. Rangsangan yang menganggu berupa adanya tekanan, traksi, displacement,
maupun proses kimiawi dan inflamasi diterima oleh nosiseptor (reseptor nyeri)
polimodal dan mekanoreseptor di meninges dan neuron ganglion trigeminal
2. Pada innervasi sensoris pembuluh darah intrakranial (sebagian besar berasal dari
ganglion trigeminal) di dalamnya mengandung neuropeptida seperti CGRP /
Calcitonin Gene Related Peptide, Substance P, Nitric oxide, bradikinin, serotonin
yang semakin mengaktivasi / mensensitisasi nosiseptor
3. Rangsangan di bawa menuju cornu dorsalis cervical atas
4. Transmisi dan modulasi nyeri terletak pada batang otak ( periaquaductal grey
matter, nucleus raphe magnus, formasio retikularis)
5. Hipotalamus dan sistem limbik memberikan respon perilaku dan emosional
terhadap nyeri
6. Pada talamus hanya terjadi persepsi nyeri
7. Dan terakhir pada korteks somatosensorik dapat mengetahui lokasi dan derajat
intensitas nyeri. Jika struktur yang dirangsang nosiseptornya terletak pada atau
pun diatas tentorium serebelli maka rasa nyeri akan timbul terasa menjalar pada
daerah didepan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan
melewati puncak kepala (daerah frontotemporal dan parietal anterior). Rasa
nyerinya akan ditransmisi oleh saraf trigeminus.
Sedangkan rangsangan terhadap struktur yang peka terhadap nyeri dibawah
tentorium (pada fossa kranii posterior) radiks servikalis bagian atas dengan
cabang-cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah dibelakang
garis tersebut, yaitu daerah oksipital, suboksipital dan servikal bagian atas. Rasa
nyeri ini ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-1, C-2, dan C-3.
Akan tetapi kadang-kadang bisa juga radiks servikalis bagian atas dan N.
oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya ke frontal dan mata pada sisi
ipsilateral

V. Pemeriksaan Fisik

 Kesadaran
Penilaian untuk melihat apakah terdapat penurunan kesadaran terutama
dilakukan untuk seseorang yang mengalami cedera kepala. Dilakukan dengan
menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
 Vital Sign
Meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernafasan dan suhu tubuh,
dilakukan untuk menilai status kesehatan secara umum dan apakah terdapat
penyakit yang mendasari.
 Status Generalis
Pemeriksaan dilakukan secara umum meliputi kepala, leher, thorax, abdomen
serta ekstremitas dan dapat dilakukan pemeriksaan vertebra jika terdapat
keluhan. Pada kepala dapat dilakukan palpasi untuk menilai nyeri tekan,
palpasi arteri temporalis dan menilai spasme otot pada kepala dan leher.
Inspeksi juga dilakukan untuk menilai tanda-tanda trauma dan perdarahan.
 Status Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk melihat apakah terdapat defisit
neurologis.
 Status Psikiatri
Pemeriksaan dilakukan untuk menilai status mental pasien.
VI. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan darah untuk menilai adanya infeksi atau penyakit lain
yang mendasari.
 Rontgen Cranial dan Cervical
Dilakukan untuk pasien pasca trauma untuk menilai apakah terdapat kelainan
pada struktur tulang. Selain itu dapat juga dilakukan rontgen mastoid dan
paranasalis.
 CT-Scan dan MRI
Pencitraan kepala dapat dilakukan pada pasien dengan penurunan kesadaran,
pasca trauma, nyeri kepala, kejang, serta pasien stroke dan gangguan
kejiwaan.
 EEG
Pemeriksaan untuk menilai adanya kelainan pada gelombang otak, terutama
pada pasien dengan kejang.
 Tonometri
Pemeriksaan untuk menilai tekanan intra okuler pada mata, meningkat pada
pasien glaukoma.

VII. Penatalaksanaan

 Migrain
Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM diberikan
sebanyak 0,25-0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam. Secaraoral
atau sublingual dapat diberikan 2 mg segera setelah nyeri timbul. Dosis tidak
boleh melewati 10 mg/minggu. Dosis untuk pemberian nasal adalah 0,5 mg
(sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2 mg (4 semprotan).
Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah, trombofebilitis,
wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil anti hamil. Pada wanita
hamil, haid atau sedang menggunakan pil anti hamil berikan pethidin 50 mg
IM. Pada penderita penyakit jantung iskemik gunakan pizotifen 3 sampai 5
kali 0,5 mg sehari. Selain ergotamin juga bisa obat - obat lain (lihat tabel 6).
Terapi profilaksis menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin
hidroklorida, pizotifen, dan propanolol. Selain menggunakan obat - obatan,
migrain dapat diatasi dengan menghindari faktor penyebab, manajemen
lingkungan, memperkirakan siklus menstruasi, yoga, meditasi, dan hipnotis.

 Tension
Relaksasi selalu dapat menyembuhkan TTH. Pengobatan farmakologi adalah
analgesik dan atau muclesrelaxants. Ibuprofen dan naproxen sodium
merupakan obat yang efektif untuk kebanyakan orang. Jika pengobatan
analgesik (asetaminofen, aspirin, ibuprofen, dll.) gagal maka dapat ditambah
butalbital dan kafein (dalam bentuk kombinasi seperti Fiorinal) yang akan
menambah efektifitas pengobatan.
Menurut consensus IX PERDOSSI, terapi farmakologis pada TTH :

a) Pada serangan akut tidak boleh lebih dari 2 minggu


1. Analgetik: Aspirin 1000 mg/hari, Acetaminofen 1000 mg/hari, NSAID
( Naproxen 660-750 mg/hari, Ketoprofen 25-50 mg/hari, Tolfenamic
200-400 mg/hari, Asam mefenamat, Fenoprofen, Ibuprofen 800 mg/hari,
diklofenak 50-100 mg/hari) Pemberian analgetik dalam waktu lama dapat
menyebabkan iritasi Gastrointestinal, Penyakit ginjal dan hati, serta
gangguan fungsi platelet.
2. Kafein (Analgetik Adjuvant) 65 mg
3. Kombinasi 325 aspirin, acetaminophen + 40 mg kafein.

b) Pada type kronis


1. Antidepresan
Jenis trisiklik: amitryptilin, sebagai obat teurapetik maupun pencegahan
TTH.
2. Anti anxietas
Baik pada pengobatan kronis dan preventif terutama pada penderita
dengan komorbid anxietas. Golongan yang sering dipakai benzodiazepine
dan butalbutal, namun obat ini bersifat adiktif.

 Cluster
Serangan cluster headache biasanya singkat, dari 30 sampai 180 menit sering
memberat secara cepat, sehingga membutuhkan pengobatan awal yang cepat.
Berikan oksigen inhalasi dengan kadar 100% sebanyak 10-12 liter/menit.
Triptan: Sumatriptan 20 mg intranasal efektif pada pengobatan akut cluster
headache. Dihidroergotamin 1 mg intarmuskular efektif pada pengobatan akut
cluster headache. Lidokain: tetes hidung topikal lidokain dapat digunakan
untuk mengobati serangan akut cluster headache. Pasien tidur telentang
dengan kepala dimiringkan ke belakang ke arah lantai 30° dan beralih ke sisi
sakit kepala. Tetes nasal dapat digunakan dan dosisnya 1 mllidokain 4% yang
dapat diulang setekah 15 menit.

VIII. Prognosis
Tergantung berdasarkan jenis nyeri kepala yang dialami. Untuk banyak orang,
migraine dapat remisi dan menghilang secara utuh pada akhirnya, terutama karena
faktor penuaan/usia. Penurunan kadar estrogen setelah menopause bertanggungjawab
atas remisi ini bagi beberapa wanita. Walaupun demikian, migraine juga dapat
meningkatkan faktor risiko seseorang terkena stroke, baik bagi pria maupun wanita
terutama sebelum usia 50 tahun. Sekitar 19% dari seluruh kasus stroke terjadi pada
orang-orang dengan riwayat migraine. Migrain dengan aura lebih berisiko untuk
terjadinya stroke khususnya pada wanita. Selain itu, migraine juga meningkatkan
risiko terkena penyakit jantung. Para peneliti menemukan bahwa 50% pasien dengan
Patent Foramen Ovale menderita migraine dengan aura dan operasi perbaikan pada
pasien Patent Foramen Ovale dapat mengontrol serangan migraine.

TTH dapat menyebabkan nyeri yang menyakitkan tetapi tidak membahayakan.


Nyeri ini dapat sembuh dengan perawatan ataupun dengan menyelesaikan masalah
yang menjadi latar belakangnya jika penyebab TTH berupa pengaruh psikis. Nyeri
kepala ini dapat sembuh dengan terapi obat berupa analgesia. TTh biasanya mudah
diobati sendiri. Progonis penyakit ini baik, dan dengan penatalaksanaan yang baik
maka > 90 % pasien dapat disembuhkan.

Serangan cluster headache biasanya singkat, dari 30 sampai 180 menit dan
sampai sebanyak 8 kali sehari, sering memberat secara cepat, sehingga membutuhkan
pengobatan awal yang cepat. Prognosisnya sulit diprediksi karena serangan episodik
dapat berubah menjadi kronis dan sebaliknya. Cluster headache cenderung timbul
seiring bertambahnya usia dengan serangan yang lebih jarang dan periode remisi antar
serangan lebih lama.
DAFTAR PUSTAKA

The American Journal of Medicine, Vol 131, No 1, January 2018

https://ichd-3.org/wp-content/uploads/2016/08/International-Headche-Classification-
III-ICHD-III-2013-Beta-1.pdf

Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Ed. Ke-2. FKUGM : Yogyakarta, 2009.

Baehr, M dan M Frostcher. Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi,


Tanda, Gejala. EGC: Jakarta, 2010.

Anda mungkin juga menyukai