Anda di halaman 1dari 18

MINI CEX

OTITIS MEDIA AKUT

Disusun Oleh:
Palupi Puspito Rini
42170203

Pembimbing Klinik
dr. Arin Dwi Iswarini, Sp. THT, KL. M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN


RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019

1
BAB I
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. YW
Tanggal Lahir : 10/06/2001
Usia : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Kraket, Ngadirojo, Pacitan
Agama : Islam
Tanggal Kunjungan RS : 31 Oktober 2019

2. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Penurunan pendengaran

b. Riwayat penyakit sekarang.


Pasien mengalami penurunan pendengaran pada telinga kanan.
Penurunan pendengaran dirasakan muncul sejak 5 hari yang lalu, penurunan
pendengaran dirasakan terus menerus dan semakin bertambah berat sehingga
pasien memeriksakan diri ke Rumah Sakit. Nyeri pada telinga (+), keluarnya
cairan lewat telinga (-).
Pasien juga mengeluhkan adanya pilek sejak 10 hari SMRS. Plek
sepanjang hari, makin parah disaat malam hari dan subuh. Warna ingus
awalnya jernih, namun kemudian berubah menjadi putih kekuningan disertai
dengan keluhan badan terasa demam. Pasien merasakan hidung tersumbat dan
terkadang bersin-bersin. Pasien sudah mencoba istirahat saat akhir pekan
untuk mengurangi keluhan, namun keluhan tidak membaik
.
c. Riwayat penyakit dahulu
 Keluhan serupa : (-)
 Hipertensi : (-)
 Penyakit Jantung : (-)

2
 Gastritis : (-)
 DM : (-)
 Alergi : (-)
 Trauma : (-)
 Vertigo : (-)
 Operasi : (-)

d. Riwayat pengobatan
Obat flu warung selama 3 hari, diminum sejak 10 hari SMRS

e. Riwayat penyakit keluarga


 Alergi : (-)
 Asma : (-)
 DM : (-)
 Hipertensi : (-)

f. Lifestyle
Pasien merupakan mahasiswa, sehari-hari pasien jarang berolahraga.
Makan teratur 3x sehari, sarapan dan makan malam selalu disiapkan oleh
orangtua, makan siang selalu jajan di luar. Pasien sering mengkonsumsi
minuman dingin, yaitu minuman dengan es pada saat siang hari, terutama
disaat gerah.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sedang
GCS : E4 V5 M6
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 86x / min
Respirasi : 22x / min
Suhu : 37,4 derajat Celcius
VAS :4

3
Status Psikologis : tenang
Risiko Jatuh : tidak
Fungsional : Mandiri

STATUS LOKALIS
a. Kepala
 Ukuran kepala : Normocephali
 Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
 Hidung : sesuai dengan status lokalis THT
Mulut : sesuai dengan status lokalis THT
Telinga : sesuai dengan status lokalis THT
Leher : pembengkakan Lnn (-)

b. Thorax
Inspeksi : dinding dada . IC (-), otot bantu nafas (-)
Palpasi : IC di SIC 5 MCS, ketertinggalan gerak nafas (-), vremitus dbn
Perkusi : batas jantung dbn, lapang paru sonor
Auskultasi : S1 dan S2 dbn, suara nafas vesikuler, bising nafas-jantung (-)

c. Abdomen
Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan

d. Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

4
Status Lokalis THT

 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Canalis Auditorsik Serumen (+), Hiperemis (-), Serumen (+), Hiperemis (-),
Eksterna edema (-) edema (-)
Membran Timpani Perforasi (-), Hiperemis (+), Perforasi (-), Hiperemis (-),
cone of light (-), retraksi (-) cone of light pada jam 7,
retraksi (-)

Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri

Rinne Rinne - Rinne +

Weber Lateralisasi ke AD Tidak ada lateralisasi

Scwabach Memanjang Normal

Kesan : Tuli konduktif AD

 Hidung dan Sinus Paranasal


HIDUNG

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Dorsum nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum nasi Discharge (+) Discharge (+)

Rhinoskopi anterior

Vestibulum nasi Discharge (+), edema (+), hiperemis (+)

5
Septum nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus nasi inferior Edema (-), hiperemis (+), Edema (-), hiperemis (+),
discharge (+), perdarahan discharge (+), perdarahan
(-) (-)

Konka Inferior Edema (+), hiperemis (+) Edema (+), hiperemis (+)

Meatus nasi media Edema (-), hiperemis (+), Edema (-), hiperemis (+),
discharge (+) discharge (+)

Konka media Tidak tampak pada Tidak tampak pada


pemeriksaan pemeriksaan

Rhinoskopi Posterior: Tidak dilakukan

 Oropharynx
Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Bibir Sianosis (-), kering (-), stomatitis (-)

Mukosa oral Basah, warna merah muda, Stomatitis (-)

Gusi dan gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus mukosa
gusi (-)

Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)

Atap mulut Ulkus (-), edema palatum mole (-)

Dasar mulut Ulkus (-)

Uvula Uvula tampak, hiperemis (+)

Tonsila Palatina T2, hiperemis (-), detritus T2, hiperemis (-), detritus
(-), kripta dbn (-), kripta dbn

Peritonsil Abses (-) Abses (-)

Faring dbn

6
4. Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilaksanakan

5. Diagnosis
 Otitis media akut stadium hiperemis
 ISPA
6. Diagnosis Banding
 Otitis eksterna
 Otitis media supuratif akut

7. TATALAKSANA
a. Farmakologi

R / Eritromisin tab mg 500 no XX

S O 6 h tab I (habiskan)
S
R / Pseudoefedrin 60 mg tab no XV

S 3 d d tab 1 hs
S
R / Paracetamol tab mg 500 no X

S p r n 1 d d tab 1 (jika demam)


S
8. EDUKASI

 Memberitahu pasien bahwa pengobatan harus adekuat agar membran timpani


dapat kembali normal.
 Memberitahu pasien untuk mencegah infeksi saluran napas atas (ISPA)
berulang dan menangani ISPA dengan pengobatan adekuat.
 Memberitahu pasien komplikasi yang dapat terjadi dari infeksi telinga yang
dialaminya jika tidak dilakukan pengobatan secara adekuat
 Memberitahu kepada pasien untuk menghabiskan antibiotik walaupun sudah
merasa lebih baik

7
9. PLANNING
 Terapi secara oral dipantau selama 5 hari, untuk melihat keberhasilan terapi
farmakologis

10. PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad Fungsionam : bonam
 Ad Sanationam : bonam

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dam Fisiologi Telinga


Secara umum, telinga dibagi menjadi tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga
tengah, dan telinga bagian dalam. Telinga bagian luar disusun atas daun talinga, atau
pina auricularis dan liang telinga meatus acusticus externus. Pina auricularis memiliki
bentuk seperti corong, memiliki fungsi untuk menerima gelombang suara. Terdapat
beberapa struktur penonjolan pada pina auricuralis, yaitu helix, antihelix, tragus, dan
antitragus. Terdapat pula beberapa lekungan, seperti incisura intertragica (antara tragus
dan antitragus), incisura anterior, fossa triangularis (cekungan di antara helix dan
antihelix), dan schapa. Concha auricularis adalah suatu cekungan yang menghubungkan
ostium auricularis dan dunia luar. Lobules auricularis adalah tonjolan yang berisi
jaringan ikat pada bagian bawah pina.

Gambar 2.1 : telinga luar

Pina / auricuralisutamanya diperdarahi oleh cabang dari arteri carotis eksterna,


yaitu cabang dari arteri temporalis superficialis dan arteri auricularis posterior. Telinga
luar juga utamanya dipersarafi oleh cabang saraf kranilais ke VII dan X.

9
Gambar 2.1 : perdarahan dan persarafan telinga luar

Meatus acusticus externus adalah suatu liang dengan panjang sekitar 4cm.
komponen penyusun dari liang telinga adalah kartilago pada bagian luar dan osseus pada
bagian dalam. Saluran atau kanal ini berakhir pada membrane timpani.
Saluran ini dilapisi oleh epitel columner bersillia. Selain itu juga didapatkan adan
ya sel goblet. Sekresi sel goblet akan menangkap benda asing, lapisan mukosa akan
berdegenerasi, dan gabungan dari kedua komponen ini ditambah dengan benda asing akan
dikeluarkan secara fisioogis oleh canalis auditorik. Kumpulan selmepitel, mucus, dan
benda asing yang terbentuk pada liang telinga disebut dengan serumen.
Membrane timpani menandai batas dari telinga tengah atau auris media. Auris
media merupakan ruang mukosa kontortus yang berhubungan dengan cavitas lain. Auris
media berhubungan dengan pharynx melalui tuba auditiva (tuba eustachii).
Tuba auditiva dilapisi oleh membrane mukosa, berjalan kea rah inferior dan
anterior cavitas tympani. Tuba auditiva terletak pada meatus osseus di dalam pars
petrosal ossis temporalis dan ditopan oleh kartilago elastic kea rah pharynx. Tuba
auditiva memiliki peran dalam mengontrol tekanan di dalam telinga tengah.

10
Cavitas tympani adalah ruang yang terletak di dalam pars petrossa ossis
temporalis. Cavitas ini berisi ossicula auditiva, yaitu malleus inchus dan staphes.
Ossicula ini saling berhubungan satu sama lain melalui persendian yang berisi jaringan
lunak yang sangat elastis. Malleus adalah tulang berbentuk seperti palu, yang menemel
pada membrane tympani. Malleus berhubungan dengan inchus, dan inchus akan
terhubung dengan staphes. Staphes adalah ossicula auditiva yang terhubung dengan
cochlea. Ketiga tulang ini berperan dalam meneruskan getaran yang diterima dari
membrane tympani menuju ke cochlea.

Gambar 2.3: ossicula auditiva


Auris interna dikenal sebagai labyrinth dan terletak di dalam pars petrosal ossis
temporalis. Labyrinth dabat dibagi menjadi dua bagian, yaitu labyrinthus membranaceus
dan ossius.
Labyrinthus membranaceus adalah suatu system lubang tertutup. Labyrinth ini
terisi cairan lendolimfe dan memiliki organ – organ sensorik. Strukturnya yang kompleks

11
terdiri dari tiga canalis semicircurallis yang berisi modalitas sensorik untuk gerakan rotasi
yang dipercepat.

Gambar 2.5 : labyrinthus membranaseus

Labyrinthus osseus adalah suatu rongga di dalam pars petrossus ossis temporalis.
Labyrinth ini memiliki bentuk yang identic dengan labyrunthus membranaceus dengan
ukuran yang lebih besar. Komponen cairan yang terkandung di dalamnya adalah cairan
perilimfe.

12
Gambar 2.4 : canalis semicircuralis

Cochlea mencatat getaran di dalam limfe yang kemudian diolah oleh apparatus
penghantar suara pada telinga. Cochlea adalah organ pendengaran yang sebenarnya. Di
dalam cochlea terdapat sel-sel rambut yang menerima getaran, mengkonversikan getaran
menjadi suatu impuls listrik, yaitu impuls saraf. Impuls ini akan dihantarkan oleh nervus
cochlearis, penyusun saraf cranialis VIII, dan nantinya akan diteruskan ke otak sebagai
persepsi pendengaran.

13
Gambar 2.6 : mekanisme pendengaran

B. Otitis Media Akut


c.1. Definisi
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan pada lapisan mukosa telinga
tengah, saluran tuba eustachius, antrum mastoideum, dan sel-sel mastoid yang
terjadi dalam kurun waktu kurang dari 4 minggu. Pada telinga yang mengalami
OMA terjadi perubahan struktur yang reversibel. OMA merupakan salah satu
masalah kesehatan yang sering dialami oleh anak-anak.
c.2. Etiologi
Penyebab OMA dibagi menjadi penyebab infeksi dan non infeksi.
Penyebab non infeksi dapat siebabkan oleh adanya zat-zat iritatif, seperti halnya
naiknya asam lambung ke saluran pernafasan atas, yaitu pada kasus Gastro-
Esophageal Reflux Disease (GERD).
Virus, bakteri, dan jamur dapat menjadi agen penyebab OMA. OMA biasa
didahului oleh adanya penyakit salesma yang pada umumnya disebabkan oleh
virus (Rhinovirus). Salesma akan menyebabkan infeksi sekunder oleh bakter
Streptococcus B Haemoliticus.Infeksi bakteri ini yang tidak ditangani dengan
tuntas akan menyebabkan penyebaran secara percontinuatum, sehingga dapat
terjadi peradangan pada telinga tengah, yaitu OMA. Selain bakteri S. aureus,
OMA dapat disebabkan oleh agen infeksi lain sepert Staphylococcus aureusT.
vincentii, Candida sp. Dan beragam penyebab lainnya.

c.3. Patogenesis
Adanya agen infeksi, seperti halnya Streptococcus B Haemoliticus, akan
menyebabkan peradangan pada telinga bagian tengah, OMA. Bakteri ini bersifat
anaerob, yang berkembang dengan baik dengan rendahnya oksigen. Oksigen yang
terkandung dalam udara yang ada di telinga tengah akan dikonsumsi oleh bakteri
Streptococcus B Haemoliticus. Udara dalam telinga tengah akan berkurang,
telinga tengah akan memiliki tekanan yang lebih negatif, sehingga gendang
telinga akan tertarik ke proksimal (retraksi membrane timpani). Kondisi ini sering
disebut sebagai stadium oklusi pada OMA.
Agen bakteri yang masuk akan ditangkap oleh antigen presenting cell
(APC) seperti makrofag. APC akan membawa antigen yang merupakan protein

14
penyusun dinding bakteri, ke limfonodi terdekat untuk dipresentsikan ke limfosit.
Limfosit yang teraktifasi akan menghasilkan sitokin pro-inflamasi seperti IL-1,
IL-6, dan TN. Makrofag juga melepaskan beberapa sitkoin pro-inflamasi.
Pelepasan sitokin ini akan menyebabkan proses peradangan, terjadi dilatasi
vaskular, sehingga akan lebih banyak sel imunitas tubuh yang ditarik ke tempat
infeksi. Proses ini menyebabkan membrane timpani dan di daerah sekitarnya
menjadi kemerahan, sehingga proses ini dikenal sebagai stadium hiperemis.
Peradangan akan berlangsung terus menerus jika tidak ditangani dengan
segera. Peradangan akan menyebabkan rusaknya jaringan sekitar dan matinya sel-
sel leukosit, sehingga dihasilkan cairan eksudat (pus). Pus akan menumpuk pada
bagian telinga tengah, pus yang menumpuk akan mendorong membrane timpani
ke distal, sehingga akan nampak menbran timpani yang menonjol (bulging).
Terkadang cairan eksudat juga dapat dihasilkan di liang telinga luar, akibat proses
inflamasi yang juga merambah ke telinga luar. Proses ini dikenal sebagai stadium
supurasi.
Proses eksudasi cairan akan terjadi secara terus menerus jika peradangan tidak
segera ditangani. Akan terjadi penumpukkan lebih banyak pus di dalam telinga
tengah. Penumpukkan pus akan menyebabkan tekanan di dalam telinga tengah
akan menjadi semakin positif, sehingga jika sudah mencapai ambang batas
tertentu, membrane timpani tidak lagi dapat menahan tekanan yang ada.
Membrane timpani dapat mengalami perlubangan jika tekanan di dalam telinga
tengah menjadi terlalu postif. Pada stadium ini, membrane timpani akan
berlubang, cairan pus akan keluar dari liang telinga. Proses ini dikenal sebagai
stadium perforasi.
Proses peradangan pada telinga tengah pada umunya akan mengalami
perbaikan. Jika peradangan telah mereda, akan terjadi proses perbaikan dari
telinga tengah. Membrane timpani akan mengalami perbaikan, akan terbentuk
membran timpani yang baru secara perlahan, walau memiliki susunan sel yang
berbeda (sclerotic tympanic membrane). Proses ini dikenal sebagai stadium
resolusi.
OMA pada stadium perforasi tidak akan mengalami perbaikan apabila
imunitas tubuh seseorang tidak baik. Akan terjadi peradangan secara kronis, akan
dihasilkan pus terus menerus, cairan telinga akan terus keluar dari liang telinga.

15
Kondisi ini lebih dikenal dengan sebutan Otitis Media Suppurative Chronic
(OMSK).

c.4. Gejala Klinis


Pasien dengan OMA akan mengalami keluhan secara lokal maupun
keluhan sistemik. Keluhan sistemik yang dapat dialami pasien muncul akibat
adanya infeksi saluran pernafasan atas yang didahuluinya. Pasien dapat
mengeluhkan adanya demam, badan lemah dan lesu, batuk ataupun keluarnya
ingus dari hidung. Ingus yang keluar dapat jernih ataupun berwarna putih
kekuningan.
Pasien dengan OMA dapat mengalami beberapa keluhan klinis lokal,
bergantung pada stadium yang dialami. Pasien pada stadium oklusi dan hiperemis
biasa mengeluhkan penurunan pendengaran, akibat adanya retraksi dari membrane
timpani. Rasanya nyeri biasa dirasakan pada pasien OMA yang telah mencapai
stadium supurasi. Rasa nyeri disertai dengan rasa penuh pada telinga. Rasa nyeri
yang dialami pasien akan berkurang setelah pasien mengalami stadium perforasi.
Pada stadium perforasi dapat ditemukan adanya cairan putih kekuningan yang
keluar melalui telinga.

c.5. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik yang dapat dilaksanakan pada pasien dengan OMA
adalah pemeriksaan fisik secara general dan pemeriksaan fisik lokal, meliputi
pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan. Pemeriksaan fisik secara general
yang dapat dilaksanakan adalah pemeriksaan tanda-tanda vital, meliputi
pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, suhu tubuh, dan laju respirasi. Pada
pasien dengan OMA dapat ditemukan adanya peningkatan suhu, yang merupakan
reaksi sistemik tubuh akibat adanya infeksi.
Pemeriksaan lokalis yang dilakukan dapat meliputi pemeriksaan telinga,
hidung, dan tenggorokan. Pemeriksaan telinga meliputi pemeriksaan telinga luar
dan telinga bagian dalam. Pemeriksaan telinga dalam dilaksanakan dengan
menggunakan otoskop. Dengan menggunakan otoskop, dapat ditemukan adanya
tanda-tanda OMA, sesuai dengan stadiumnya.
Pasien OMA pada stadium oklusi dapat ditemukan adanya retraksi dari
membrane timpani, ditandai dengan membrane timpani yang tertarik ke bagian

16
proksimal tubuh, pergeseran letak atau bahkan hilangnya reflex cahaya (cone of
light), dan penonjolan malleolus salah satu penyusun ossicula auditiva.
Pasien OMA pada stadium hiperemis mengalami hipervaskularisasi dari
telinga bagian tengah. Hal ini ditandai dengan warna eritem pada daerah
membrane timpani dan di sekitarnya.
Pasien OMA pada stadium supurasi mengalami sekresi eksudat yang
terkumpul pada telinga bagian tengah. Hal ini ditandai dengan membrane timpani
yang nampak menonjol (bulging) ke arah distal tubuh, dapat juga ditemukan
adanya secret minimal pada liang telinga.
Pasien OMA pada stadium perforasi mengalami perlubangan pada
membrane timpani. Hal ini ditandai dengan membrane timpani yang sudah
mengalami perforasi, serta ditemukan adanya eksudat yang keluar lewat liang
telinga.
Pemeriksaan fisik lokalis lain yang dapat dilaksanakan pada pasien adalah
pemeriksaan pendengaran, dapat menggunakan tes berbisik dan pemeriksaan
garpu tala. Pemeriksaan tes berbisik mendapatkan adanya penurunan
pendengaran pada pasien dengan OMA. Pemeriksaan garpu tala dapat
menemukan adanya tuli konduktif pada telinga yang mengalami OMA, ditandai
dengan hasil pemeriksaan Rinei yang negative (-), pemeriksaan Weber yang
mengalami lateralisasi kea rah telinga yang sakit, dan pemeriksaan Swabach yang
memanjang.

c.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada umunya tidak dilaksanakan pada pasien
dengan OMA. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, terkhusus menggunakan
otoskop sudah cukup untuk menegakkan diagnose OMA. Adapun pemeriksaan
penunjang yang dpat dilaksanakan pada pasien adalah pemeriksaan endoskopi
telinga.
Pemeriksaan endoskopi telinga adalah salah satu pemeriksaan yang
mampu membantu penegakkan diagnosa OMA. Endoskopi telinga menggunakan
suatu selang yang telah dipasang kamera dan lampu, untuk mempermudah
visualisasi kondisi liang telinga dan telinga tengah. Pemeriksaan ini juga mampu
membantu menemukan adanya kondisi medis yang dapat melatarbelakangi
timbulnya OMA, seperti adenoiditis dan tonsillitis.

17
c.7. Tatalaksana
Penanganan pasien dengan OMA dapat dilaksanakan melalui terapi
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis yang dapat dilaksa
nakan pada pasien. Adalah mengindari kondisi liang telinga dari kelembapan yang
berlebih. Selain itu dapat dilaksanakan pembilasan liang telinga menggunakan H2O2
3% pada pasien yang mengalami OMA stadium perforasi.
Terapi farmakologis pasien dengan OMA dilaksanakan sesuai dengan stadium
yang dialaminya. Pada stadium oklusi, tujuan terapi yang diutamakan adalah
membuka saluran eustacius, sehingga tekanan negative di dalam telinga tengah akan
berkurang. Dapat digunakan golongan alfa-agonis, seperti efedrin, phenilephrin,
phenilefedrin, pseudoefedrin, dan efedrin. Obat ini dapat digunakan secara topical
dengan tetesan obat pada hidung ataupun secara sistemik. Obat ini bekerja dengan
memicu saraf simpartis, sehingga terjadi vasokontriksi dan relaksasi dari otot-otot
polos, salah satunya adalah saluran pernafasan.
Pada stadium hiperemis, supurasi dan perforasi dapat diberikan obat
antibiotika untuk mengatasi bakteri yang menginfeksi telinga bagain tengah.
Antibiotik yang diberikan adalah antibiotik golongan penisilin, seperti amoxcicilin
dan ampicillin. Obat ini bekerja sebagai beta lactamase, suatu enzim yang dapat
menguraikan dinding protein. Lisisnya dinding bakteri akan menyebabkan matinya
bakteri yang menjadi agen penyebab infeksi.
Secara umum, pasien dengan OMA juga dapat memiliki gambaran klinis
berupa demam dan nyeri pada bagian telinga. Pemberian obat antiinflamasi dapat
digunakan untuk mengurangi keluhan pasien. Obat yang dapat diberikan adalah obat
antiinflamasi, dapat berasal dari golongan antinflamasi steroid seperti dexamethasone,
prednisone dan methylprednisone, dapat pula berasal dari golongan antiinflamasi
nonsteroid. Anti inflamasi steroid mengurangi peradangan dengan menghambat
terbentuknya asam arakidonat, yng merupakan prekrusor mediator indlamasi.
Antiinflamasi non steroid bekerja pada enzim spesifik cyclooxygenase (COX) yang
memecah asam arakidonat menjadi meditaor proinflamasi. Terdapat dua jenis enzim
COX, yaitu COX 1 dan COX 2. COX 2 memiliki efek samping ke saluran cerna yang
lebih minimal, dikarenakan COX 2 bekerja secara lebih spesifik. Obat golongan ini
tidak mempengaruhi pembentukan prostaglandin pada lambung yang penting untuk
sekresi mucus pelindung lapisan mucosa gaster

18

Anda mungkin juga menyukai