Anda di halaman 1dari 26

PORTOFOLIO KASUS BEDAH

Nama Peserta:
Nama Wahana:
Topik: Polip Nasal (D)
Tanggal (kasus):
Nama Pasien: Tn B No. RM:
Tanggal Presentasi: Pendamping:
Tempat Presentasi:
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Deskripsi: Laki-laki ,58 tahun,mengeluhkan hidung kanan buntu sejak 2 tahun lalu, sering
pilek, penciuman hidung kanan berkurang dibandingkan hidung kiri, terkadang mengeluhkan
seperti menelan ingus, nyeri ringan pada daerah muka. Pasien juga mengeluhkan seminggu lalu
batuk pilek, keluar cairan dari telinga kanan,Riwayat keluarcairan dari telinga disangkal.
Diagnosa : Polip Nasal (D)
Tujuan:
Menegakkan diagnosis
Memberikan terapi yang sesuai
Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit, pengobatan serta
prognosisnya.
Bahan Tinjauan Riset Kasus Audit
Bahasan: Pustaka
Cara Diskusi Presentasi dan E-mail Pos
membahas: diskusi
Data pasien Nama: Tn. B No. Registrasi:
Nama Klinik: Telp: (0332) Terdaftar Sejak:
421263 14-11-2016
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Anamnesis:
Pasien mengeluhkan hidung kanan terasa buntu sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan ini
dirasakan makin lama makin memberat. Hidung buntu dirasakan hanya sebelah kanan yang
tidak dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau debu. Pasien mengeluhkan sering pilek.
Penciuman pada hidung kanan terasa berkurang dibandingkan hidung kiri. Riwayat keluar
darah dari hidung (-). Gangguan menelan (-). Hidung terasa berbau (-). Keluhan rasa
menelan ingus (+) kadang-kadang. Nyeri ringan pada daerah muka (+). Pasien
1
mengeluhkan seminggu yang lalu pasien batuk pilek dan telinga kanan terasa kurang
pendengaran. Riwayat keluar cairan dari telinga (+). Riwayat sering keluar cairan dari
telinga sebelumnya disangkal. Gangguan penglihatan (-). Pandangan ganda (-)
2. Riwayat Pengobatan:
Obat dari Poli THT
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, Hipertensi (+), DM (-)
4. Riwayat Keluarga:
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama
5. Riwayat pekerjaan:
Pasien bekerja sebagai pegawai desa

6. Kondisi lingkungan, sosial, dan fisik: (rumah, lingkungan, pekerjaan)


Pendidikan terakhir pasien SLTA
7. Riwayat Imunisasi:
Pasien tidak mengingat riwayat imunisasi

2
8. Pemeriksaan fisik (14-11-2016)
Status Generalis
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : compos mentis
Tanda tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Temperatur : 36,5 0C
Respiration Rate : 20 x/menit
Kepala/Leher
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-
Refleks pupil : positif, pupil isokor 3mm/3 mm, refleks cahaya +/+
Thorax
Cor
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba
Perkusi : Batas kanan : redup pada ICS IV Parasternal dextra
Batas kiri : redup pada ICS V MCL sinistra
redup pada ICS II parasternal sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, suara tambahan (-)
Kesan: tidak terdapat kelainan pada jantung
Pulmo

VENTRAL DORSAL

I Bentuk dada normal, simetris, Gerak nafas tertinggal (-) ,


Ketinggalan gerak (-), Simetris, Ketinggalan gerak (-),
retraksi (-)
retraksi (-)
P Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fremitus raba (+) Fremitus raba (+)

P Sonor Sonor
A RO (-) WH (-) RO (-) WH (-)
Kesan: tidak terdapat kelainan pada paru
Abdomen
Inspeksi: cembung
Auskultasi: Bising usus normal
Palpasi: soepel, nyeri tekan ()
Perkusi: timphani (+), pekak beralih (-)
Kesan : tidak terdapat kelainan pada abdomen
Ektremitas
Akral hangat, CRT <2 detik
Oedema (-)

3
Kesan: tidak terdapat kelainan pada ekstremitas

Status Lokalis
Hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Hidung luar Penonjolan dorsum nasi (+), nyeri Bentuk (normal), hiperemi (-),
tekan (+), deformitas (+), nyeri tekan (-), deformitas (-)
hiperemi (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Hiperemis (+), sekret Hiperemis (-), sekret
mukopurulen (+) mukopurulen (-)
Cavum nasi Cavum nasi melebar, hiperemia Bentuk (normal), hiperemia (-)
(+)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis (+), sekret (+), Mukosa hiperemis (-), sekret (-),
Massa putih kemerahan (+), Massa (-)
permukaan licin, darah (-)
Konka nasi inferior Edema (+), mukosa hiperemi (+) Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-) (-)

Telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-), batas normal, hematoma (-),
nyeri tarik aurikula (-) nyeri tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-),
otorhea (-) otorhea (-)

4
4. Membran timpani Retraksi (-), hiperemi (-), Retraksi (-), hiperemi (-),
edema (-), perforasi (-),cone edema (-), perforasi (-),cone
of light (+), sekret (-), of light (+)
perforasi (+)

Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Normal
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-),
deviasi (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
lender (-)
Tonsila palatine Kanan kiri
T1 T1
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
dan Arkus Faringeus

Daftar Pustaka
1. Soepardi,E.A, Nurbaiti, Jenny, dan Ratna. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
2. Scott, Olivia. 2014. Patient.EMIS Group
3. Probst, R., Grevers, G., dan Iro, H. Anatomy, Physiology, and Immunology of
the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology. New York:
5
Thieme, 2006, h. 2 13
4. Rajguru, Renu.2014. Nasal Polyposis: Current Trends.Indian: Indian J
Otolaryngology Head & Neck Surgery.
5. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-
75
6. Putri, Gladys. 2014. Polip Nasal: Laporan Kasus. Lampung: Fakuktas
Kedokteran Universitas Lampung
7. Fadillah, Muhammad. 2013. Laporan Kasus 2: Polip Cavum Nasi Sinistra
Stadium II. Mataram: Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Polip Nasal
2. Tatalaksana Polip Nasal

6
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif
Pasien mengeluhkan hidung kanan terasa buntu sejak 2 tahun yang lalu.
Keluhan ini dirasakan makin lama makin memberat. Hidung buntu dirasakan
hanya sebelah kanan yang tidak dipengaruhi oleh perubahan cuaca atau debu.
Pasien mengeluhkan sering pilek. Penciuman pada hidung kanan terasa berkurang
dibandingkan hidung kiri. Riwayat keluar darah dari hidung (-). Gangguan
menelan (-). Hidung terasa berbau (-). Keluhan rasa menelan ingus (+) kadang-
kadang. Nyeri ringan pada daerah muka (+).Pasien mengeluhkan seminggu yang
lalu pasien batuk pilek dan telinga kanan terasa kurang pendengaran. Riwayat
keluar cairan dari telinga (+). Riwayat sering keluar cairan dari telinga
sebelumnya disangkal. Gangguan penglihatan (-). Pandangan ganda (-)
Pasien sudah berobat sebelumnya di Poli THT RSU Koesnadi Bondowoso dan
diberikan obat-obatan minum,. Pasien belum pernah mengalami sakit seperti ini
sebelumnya. Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama. Pasien
bekerja sebagai pegawai desa dan pendidikan terakhir SLTA.

2. Objektif
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umumnya cukup, kesadarannya
compos mentis. Pemeriksaan tanda vital, tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 84
x/menit, Temperatur 36,5 0C, Respiration Rate 20 x/menit.
Pada pemeriksaan kepala leher didapatkan konjungtiva tidak anemis, sklera
tidak ikterik, tidak cyanosis, tidak ada sesak. Pupil isokor, reflek cahaya positif, dan
ukuran 3 cm pada kedua pupil. Tidak ada kelainan pada cor dan pulmo. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan bentuk cembung, bising usus normal, soepel, nyeri
tekan tidak ditemukan.. Pada pemeriksaan extremitas tidak didapatkan kelainan.
Pada pemeriksaan status lokalis hidung ditemukan penonjolan pada dorsum nasi
kanan, deformitas hidung kanan, massa berwarna putih kemerahan pada kavum nasi
kanan dengan permukaan licin. Sedangkan pada pemeriksaan fisik hidung kiri, telinga
dan tenggorokan didapatkan hasil normal
Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang rontgen Waters dan
didapatkan hasil bilateral maxilla sinusitis dengan suspect nasal cavity mass. Pasien

7
direncanakan operasi dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan persiapan
operasi

3. Assessment
Definisi
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna puth keabu-abuan yang terjadi akibat inflamasi mukosa1

Epidemiologi
Prevalensi polip nasi berkisar 2-4%, dengan perbandingan rasio laki-laki dan
perempuan 2:12,4

Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:
1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5)
kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus frontalis os maksila dan 3)
prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa
pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan
4) tepi anterior kartilago septum.3

Gambar 1 Kerangka tulang dan tulang rawan

8
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring3.

Gambar 2 Dinding lateral cavum nasi

Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.3
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. 3
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2) vomer,
(3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang rawan
adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian
superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os etmoid dan bagian
anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan kolumna
membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan
bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh perikondrium pada
bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi
pula oleh mukosa hidung.

9
Gambar 3. Septum Nasi

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil
lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 3
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan
suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila
dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka
superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum.3
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas
rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
10
merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis
interna.3

Fisiologi Hidung
Fisiologi hidung terkait dengan polip yakni Kompleks Osteomeatal
(KOM), dimana struktur ini tersusun dari prosessus unsinatus, infundibulum
etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM
ini merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dasri sinus-sinus anterior (maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya
tersebut maka seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka
akan terjadi perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan
pada mukosa yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.1
Beberapa fungsi hidung juga antara lain : 1,3
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara:
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah
di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh:
b. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
c. Silia
11
d. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
e. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir
atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas 1,3

Patogenesis
Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab
tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama,
vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa.
Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk
suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus
etmoid. Setelah polip terus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini
terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh
orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis
alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim

12
sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip
akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media.
Beberapa teori tentang pembentukan polip yaitu 6,7:
Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal,
yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil,
berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang
menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun,
diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang
terus-menerus pada mukosa hidung.1 Ditemukan sekitar 7 % pasien
dengan asma memiliki polip hidung.7 Akan tetapi ditemukan bahwa pada
pasien non atopik angka kejadian polip hidung juga lebih tinggi yaitu
13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan bahwa asma dengan onset
yang telat (late onset asthma) akan berkembang menjadi nasal polip
sekitear 10-15%6,7
Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan
adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang
ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal
sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung
bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi
vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan
peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan pembentukan
polip6,7.
Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan
negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena
tekanan negatif ini kemudia akan terjadi infalamasi mukosa yang
selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip6,7.
Terori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi daspat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. Akan tetapi dari scanning dengan pengamatan

13
mikroskopik tidak ditemukan adanya defek epitel yang bermakna pada
pasien dengan polip hidung6,7.
Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari
intoleransi aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat
sindrom klinis yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya
aspirin dapat memicu terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon
Cyclooxygenase (COX) umumnya sangat berbeda pada pasien dengan
intoleransi aspirin dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa terjadi
perubahan pada COX1 dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu
yang akan menstimulasi cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini
selanjutnya menyebabkan metabolisme asam arachidonat menjadi jalur
leukotriene inflamasi tinggi, yang selanjutnya akan mengurangi kadar
PGE2 (yang merupakan PG antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4
synthase selanjutnya akan meningkatkan jumlah cysteinyl LTs,
menyebabkan respon inflamasi tak terkontrol dan inflamasi kronis6,7.
Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan impermeabilitas
klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan absorpsi natrium
dan penurunan sekresi klorida menyebabkan pergerakan air ke sel dan
ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan retensi ari, pembentukan
polip. Defek migrasi protein CFTR juga menyebabkan terjadinya
inflamasi kronis skunder6,7.
Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran
besar dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone
vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal
bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan
defense system superoxide dismutase , catalase dan glutahione peroxidase.
Ketika radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan pertahanan d ari
antioxidant, maka akan terjadi defek seluler, defek jaringan, dan penyakit
kronis. Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric oxide dan
14
penurunan scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan
dengan kontrol, yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas
pada polip hidung6,7.
Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel
dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada
infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau
Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering ditemukan pada
rinosinusitis). Bagaimana granuloma menginduksi terjadinya polip hidung
masih belum benar-benar dipahami6,7.
Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus
didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB)
dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan sebagai
supetantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari limfosit
pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini, akan menghasilkan sitokin
Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan menyebabkan
chronic lymphocytic-eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB
sebanyak 50% pada penderita polip hidung6,7.

Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga
sinus. Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang
jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan
nyeri kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari
penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post nasal
drip serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan
kualitas hidup.1

Diagnosa
Anamnesis

15
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung
tersumbat, rinorea, hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala
skunder seperti bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan
tidur dan gangguan aktifitas.1,4
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal dari
meatus media dan mudah digerakkan.1,4
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 :
polip masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar
dari meatus media, tampak pada rongga hidung tetapi belum memenuhi
rongga hidung, Stadium 3: polip masif.1
Pemeriksaan Penunjang
Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari
rinoskopi anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat
dengan jelas. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai
polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. 1,4 Berikut
disajikan gambaran polip yang tampak pada pemeriksaan endoskopi.

Gambar 2.4 Gambaran polip pada endoskopi

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan lateral)
dapat memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas
udara cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip
hidung. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat secara
jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal

16
(KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis
dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.1,4

Penatalaksanaan
Prinsip pengelolaan polip adalah dengan operatif dan non operatif.
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-
keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip1
(1,4,6,7)
1. Terapi medikamentosa
a. Kortikosteroid sistemik
Merupakan terapi efektif sebagai terapi jangka pendek pada polip
nasal. Pasien yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid sistemik
dapat diberikan secara aman sebanyak 3-4 kali setahun, terutama untuk
pasien yang tidak dapat dilakukan operasi.
b. Kortikosteroid spray
Terapi ini dapat mengecilkan ukuran polip, tetapi relatif tidak efektif
unutk polip yang massif. Kortikosteroid topikal, intranasal spray,
mengecilkan ukuran polip dan sangat efektif pada pemberian postoperatif
untuk mencegah kekambuhan
c. Leukotrin inhibitor.
Menghambat pemecahan asam arakidonat oleh enzyme 5-lipoxygenase
yang akan menghasilkan leukotrin yang merupakan mediator inflamasi.
Penggunaan montelukast 10mg yang dikombinasi dengan steroid oral
sebagai terapi pemeliharaan dikatakan sangat efektif dalam mengontrol
gejala dari polip nasal 4
d. Antibiotik
Berdasarkan hasil studi yang menyatakan terdapat kolonisasi bakteri
S.aureus pada epitel hidung, maka dianjurkan penggunaan antibiotik
bersamaan dengan kortikosteroid untuk tatalaksana pasien polip hidung.
Antibotik yang disarankan yakni doksisiklin 200mg pada hari pertama,
kemudian dilanjutkan 100mg/hari selama 20 hari, terbukti mampu
menurunkan ukuran polip hidung, menurunkan level mieloperoksidase,
ECP, dan matriks metalloproteinase 9 pada sekresi nasal 4

2. Terapi operatif
17
Terapi operasi dilakukan pada kasus polip yang berulang atau polip yang
sangat besar, sehingga tidak dapat diobati dengan terpi konservatif. Tindakan
operasi yang dapat dilakukan meliputi : 1,6,7
a. Polipektomi intranasal
b. Antrostomi intranasal
c. Ethmoidektomi intranasal
d. Ethmoidektomi ekstranasal
e. Caldwell-Luc (CWL)
f. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) 1,6,7

Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung ini
baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi
kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering
terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang
dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan obstruksi
ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan serta keadaan
sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan polip kembali,
serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat penting dilakukan
pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan lanjutan dengan intra nasal
kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka kekambuhan polip hidung6

4. Planning
Diagnosis :
Waters: bilateral maxilla sinusitis, suspect nasal cavity mass

Terapi :
Pro Ekstraksi Polip

Monitoring :
Tanda Vital
Keluhan

Edukasi :

18
Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan
prognosanya.
Memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang penyakit yang diderita
pasien.

Konsultasi :
Dokter Sp.THT-KL
Pemeriksaan penunjang pre-op
Rontgen thorax PA : cor pulmo dalam batas normal
Pemeriksaan laboratorium

Parameter Nilai Nilai Normal


HGB 14,6 L : 11,5-16,5 g/dL
RBC 4,6 L : 4,0 5,0 [10^6/L]
WBC 9,83 4,0 11,0 [10^3/ L]
Eosinofil 6,4 0-1
Basofil 0,2 0-1
Neutrofil 50,8 50-76
Limfosit 32,8 25-33
Monosit 6,8 3-8
HCT 40,1 L : 37-45 [%]
PLT 295 150-400 [10^3/ L]
GDS 139 <160
Creatinin 1,0 0,6-1,1 mg/dL
Ureum 25 6-26 mg/dL

Dokter Sp.JP
Elektrokardiografi:

19
20
Pasien dengan Angina Pectoris CRI kelas 1
Saran : ACC Operasi
Nitrokaf Retard 1-0-0

Dokter Sp.An
Pasien dengan ASA 2, angina pectoris, pihak anestesi siap membantu operasi polip
ekstraksi dengan general anesthesia
Laporan Operasi
Operasi elektif dilakukan pada tanggal 15-11-2016 di Instalasi Bedah
Sentral RS dr. H.Koesnadi Bondowoso dengan operator dr. Rini Widiastuti
Sp.THT, dan ahli anestesi dr. Dian, Sp.An. Operasi dilakukan dengan general
anestesi. Diagnosis pre operasi adalah polip kavum nasi (D), dan jenis operasi
yang dilakukan adalah polip ekstraksi + etmoidektomi (D).
Uraian pembedahan :
- Eksplorasi kavum nasi (D) tampak massa putih bening kemerahan
memenuhi kavum nasi
- Dilakukan ekstraksi polip
- Tampak polip multiple
- Perdarahan durante op tampon efedrin
- Dilakukan etmoidektomi
- Dilakukan pemasangan tampon anterior
- Jaringan dikirim ke laboratorium PA
- Operasi selesai

Gambar 1. Laporan operasi

21
Gambar 2 Jaringan hasil operasi

Pemeriksaan PA
Hasil pemeriksaan PA tanggal 23-11-2016 : Inflammatory Polip
Makroskopis : diterima potongan jaringan berat 25 gram ukuran
1x0,5x0,4cm 3x2,5x1cm. Pada irisan tampak massa padat lunak, warna
putih abu-abu. Diproses sebagian tiga kaset
Mikroskopis : menunjukkan potongan jaringan berbentuk polip dilapisi
epitel pseudostratified, stroma sembab dengan sebukan sel radang
mononuclear dan PMN, serta stroma tampak pula kista yang dilapisi epitel
kubis, sebagian pseudostratified, berisi bahan amorf eosinofilik. Tidak
tampak tanda-tanda keganasan

22
Gambar 3. Hasil Pemeriksaan PA

23
FOLLOW UP

a. 15 November 2016
Subyektif /
Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan kepala terasa pusing dan terasa menelan
darah di tenggorokan. Batuk pilek (+), telinga kanan terasa nyeri
Obyektif/
Status General
Keadaan Umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 140/80 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 84x/menit, regular, kuat angkat
Suhu : 36,0 C
K/L a/i/c/d : -/-/-/-
Tho C/P : S1S2 tunggal
Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
Abd : I : flat
A: BU + normal
P: soepel
P: tympani
Ext : Akral Hangat +, Oedem -
Status Lokalis

Assesment/
Post polip ekstraksi + etmoidektomi (D) H1 e.c polip kavum nasi (D)
OMA stadium resolusi (D)
Planning/
Inf RL 20 tpm
p.o Antasida syr 3xC1
Inj ceftriaxone 2x1 gr
Inj antrain 3x1 a
Aff tampon sebagian
Iliadin nasal drop 2x4 tts

b. 16 November 2016
Subyektif/

24
Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan nyeri perut daerah ulu hati. Perut terasa
sebah, BAB (-), terasa menelan ludah darah (-)
Obyektif/
Status General
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran :CM
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 76x/menit, regular, kuat angkat
Suhu : 36,0 C
K/L a/i/c/d : -/-/-/-
Tho C/P : S1S2 tunggal
Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
Abd : I : flat
A: BU + normal
P: soepel, nyeri tekan epigastrium (+)
P: tympani
Ext : Akral Hangat +, Oedem -

Assesment/
Post polip ekstraksi + etmoidektomi (D) H2 e.c polip kavum nasi (D)
OMA stadium resolusi (D)

Planning/
Inf RL 20 tpm
p.o Antasida syr 3xC1
Inj ceftriaxone 2x1 gr
Inj antrain 3x1 a
Iliadin nasal drop 2x4 tts
Aff tampon semua
Observasi sampai besok pagi Perdarahan (-), Pro KRS.

c. 17 November 2016
Subyektif/
Keluhan Utama : Pasien mengeluhkan kepala terasa pusing, menelan darah
(-), meludah darah (-), keluar darah dari hidung (-)
Obyektif/
Status General
Keadaan Umum : cukup
25
Kesadaran :CM
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 80x/menit, regular, kuat angkat
Suhu : 36,3 C
K/L a/i/c/d : -/-/-/-
Tho C/P : S1S2 tunggal
Ves +/+, Rh-/-, Wh-/-
Abd : I : flat
A: BU + normal
P: soepel, nyeri tekan epigastrium (+)
P: tympani
Ext : Akral Hangat +, Oedem -

Assesment/
Post polip ekstraksi + etmoidektomi (D) H3 e.c polip kavum nasi (D)
OMA stadium resolusi (D)

Planning/
KRS
p.o Cefixime 2x200mg
p.o Omeprazol 2x1
p.o Parasetamol 4x500mg
Breathing Nasal Spray 2x/hari
KIE kontrol Poli THT

26

Anda mungkin juga menyukai