Anda di halaman 1dari 33

TUTORIAL KLINIK

Rhinitis, Faringitis, dan Epistaksis


Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:

Aditya Lovindo Suwarno

42160076

Dosen Pembimbing Klinik :

dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2018
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS
Nama : NN. EK
Tanggal Lahir : 02/04/1994
Usia : 24 tahun
Jeniskelamin : Perempuan
Alamat : Banguntapan
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No.RM : 0100XXX

2. ANAMNESIS
Tanggal : 12 Maret 2018
A. Keluhan Utama
Keluar darah saat bersin dan meludah, nyeri saat menelan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik THT RS Bethesda dengan keluhan keluar darah
saat bersin dan meludah, nyeri saat menelan. Keluhan dirasakan setelah menjalani
operasi tonsil di RSPAU Hardjolukito pada tanggal 23 Februari 2018 atau 2 minggu
sebelum datang ke poliklinik THT. Keluhan pasien saat periksa ke poliklinik THT
adalah nyeri saat pasien menelan. Keluhan tenggorakan yang dirasakan tanpa
disertai Demam (-), mual (-), muntah (-), pilek (+).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
 Batuk lama : (-)
 Alergi : (-)
 Maag : (+)
 Riwayat trauma telinga : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa : (-)
 Hipertensi : (+)
 DM : (-)
E. Riwayat Pengobatan
 Riwayat Mondok : (+) operasi tonsil
 Riwayat Penggunaan obat : (+) antibiotic, anti nyeri.

1
F. Life style
 Pasien adalah pegawai swasta.
 Pola makan pasien 3x sehari. Lauk pauk, dan sayur.
 Tidak ada riwayat merokok dan konsumsi alkohol.

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 43 kg
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/80 mmhg
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 36,80 C
A. STATUS GENERALIS
1. Kepala
 Ukuran Kepala : Normochepali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi konjungtiva (-/-)
 Hidung : Deformitas (-), rhinorhea (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
 Mulut : Mukosa basah (+), Sianosis (-), faring hiperemis
(+)
 Telinga : Discharge (-), Deformitas (-), nyeri tekan
mastoid (-/-), Nyeri tekan auricular (-/-)
2. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (+), pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri
tekan (-).
3. Thorax
 Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan bentuk dada, tidak ada
ketinggalan gerak
 Perkusi : sonor +/+
 Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)

2
 Auskultasi : suara paru vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
suara jantung S1 dan S2 terdengar bising (-), gallop (-)
4. Abdomen
 Inspeksi : supel, luka (-), benjolan/ massa (-)
 Auskultasi : peristaltik usus (+)
 Perkusi : timpani
 Palpasi : nyeri tekan (-)
5. Ekstremitas
 Atas : Akral teraba hangat, edema (-), CRT< 2 detik
 Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT< 2 detik

STATUS LOKALIS

 Pemeriksaan Telinga

Pemeriksaan Dextra Sinistra

Auricula Deformitas (-), benjolan/massa


Deformitas (-), benjolan/massa
(-), kemerahan (-), discharge (-), (-), kemerahan (-), discharge (-
nyeri tekan tragus (-), fistula pre ), nyeri tekan tragus (-), fistula
auricular (-), nyeri tekan pre auricular (-), nyeri tekan
auricular (-) auricular (-)

MAE Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),


furunkel (-), sekret (-) tipe furunkel (-), sekret (-), corpus
mukoid, corpus alineum (-) alineum (-)

Membran Membrane timpani utuh, Membrane timpani utuh,


Timpani hiperemis (-), secret (-), retraksi hiperemis (-), secret (-),
(-), bulging (-), cone of light retraksi (-), bulging (-), cone
terlihat of light terlihat

Mastoid Edema (-), nyeri ketok (-) Edema (-), nyeri ketok (-)

Tes Garpu tala Dextra Sinistra


Rinne + +
Weber Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Scwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Kesan : Telinga dalam batas normal

3
 Hidung dan Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra

HIDUNG

Dorsum Nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)

Cavum Nasi Discharge (-), polip (-) Discharge (-)

Rhinoskopi Anterior

Vestibulum Nasi Discharge (-), edema (-), hiperemis (-)

Septum Nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)

Meatus Nasi Inferior Edema (-), hiperemis (+), Edema (-), hiperemis (+),
discharge (+) discharge (+)

Konka Inferior Edema (+), hiperemis (+) Edema (+), hiperemis (+)

Meatus Nasi Media Hiperemis (+), discharge (+), Hiperemis (+), discharge (+),
edema (-) edema (-)

Konka Media Edema (-), hiperemis (+) Edema (-), hiperemis (+)

Rhinoskopi Posterior : tidak dilakukan

Fossa Rossenmuller

Torus Tubarius

Muara Tuba
Eustachius
Adenoid

Konka Superior

Choana

SINUS PARANASAL

Inspeksi Eritem (-), edema (-) Eritem (-), edema (-)

Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)

Transluminasi Terang pada kedua sinus

Kesan : nasal tampak inflamasi.

4
 Oropharynx

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Bibir sianosis dan kering (-), stomatitis (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Dbn
Tonsila Palatina T0, hiperemis (-), detritus - T0, hiperemis (-), detritus -
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Faring Hiperemis (+), discharge (-)
Kesan: faring tampak inflamasi

4. DIAGNOSIS
 Rhinitis akut
 Faringitis akut
 Epistaksis

5. DIAGNOSIS BANDING
 Rhinitis alergi
 Faringitis kronik

6. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
 Antibiotik : Amoksisilin 3 x 500mg
 Analgesik : Kalium diklofenak 3 x 50mg
 Sucralfat 4 x 1 gr sebelum makan
b. Non Farmakologi
 Istirahat yang cukup
 Pemberian cairan adekuat, perbanyak minum hangat
 Kumur dengan air hangat

5
7. EDUKASI
 Istirahat total untuk proses pemulihan yang lebih optimal.
 Antibiotik harus dihabiskan
 Bersin dan batuk jangan terlalu keras
 Konsumsi makan lunak, hindari makanan pedas, berminyak, dan es
 Menjaga higienitas rongga mulut termasuk kebersihan lidah dan gigi

8. PLANNING
 Pemeriksaan usap dan kultur tenggorokan
 Pemeriksaan darah rutin

IX. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

6
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
a. Anatomi Hidung

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os


internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.
a. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa;
bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, Krista palatine
serta krista sfenoid.
b. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
1) Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan
prosesus horizontal os palatum.

7
2) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
prosesus frontalis besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang
dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
3) Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.
4) Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka
keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior,
dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superior dan palatum.
c. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-
sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior
dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
d. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum.

8
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh
salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara
di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum.
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm dibelakang batas posterior nostril.
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid
dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya
menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium
dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.

9
1.2. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media.

1.3. Perdarahan Hidung


Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan da ri a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a
.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a.etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.

10
1.4. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
b. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu.
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
d. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
e. Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

b. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung
ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus
laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Unsur-unsur
faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot. Berdasarkan
letaknya, faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan

11
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di
bawah valekula terdapat epiglotis. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.
B. Rinitis akut dan faringitis akut
a) Rinitis Akut

a.1. Definisi Rinitis Akut

Rinitis akut adalah radang pada mukosa hidung yang berlangsung akut,
kurang dari 12 minggu, dapat disebabkan karena infeksi virus, bakteri, ataupun
iritan, yang sering ditemukan karena menifestasi dari rinitis simplek (commen
cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili, variola, varicela, pertusis),
penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau trauma.

12
a.2. Epidemiologi

Rinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan walaupun


sering dianggap sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala rinitis secara signifikan
mempengaruhi kualitas hidup pasien karena gejala-gejala sistemik yang
menyertainya seperti fatigue, sakit kepala, dan gangguan kognitif.

Ada tiga hal yang dipandang dapat mempengaruhi keadaan klinis dari
pasien-pasien dengan rinitis akut. Hal tersebut termasuk usia, jenis kelamin, dan
variasi musim terjadinya penyakit tersebut. Menurut penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa 70% pasien yang didiagnosa dengan penyakit hidung
nonalergik terdapat pada usia dewasa > 20 tahun. Tetapi belum diketahui
penyebab pasti dari hubungan antara usia dengan rinitis alergik.

Jenis kelamin dapat menjadi faktor risiko dari rinitis nonalergik. Settipane
dan Klein mengatakan bahwa 58% dari pasien rinitis nonalergik adalah wanita.
Enberg menemukan 74% pasien rinitis nonalergik adalah wanita. National
rinitis Classification Task Force (NRCTF) menemukan 71% pasien dengan
rinitis nonalergik adalah wanita.

a.3. Klasifikasi dan Etiologi

Rinitis akut terdiri atas 3 tipe, yaitu:

1. Rinitis Virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:

a. Rinitis Simplek (Pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)


Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui
droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus,
picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa
inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.

Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera diikuti
dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien
merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Awalnya, secret hidung (ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi
bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi sekunder bakteri, seperti

13
Streptococcus Haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus
Influenzae, Klebsiella Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.

Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan


membaik secara spontan setelah 2-3 minggu, tetapi kadang-kadang, komplikasi
seperti sinusitis, faringitis, tonsiitis, bronchitis, pneumonia dan otitis media
dapat terjadi.

b. Rinitis Influenza
Virus influenza A, B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi
bakteri sering terjadi.

c. Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis,
dimana didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.

2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:

a. Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.

1) Rinitis Bakteri Primer


Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi pneumococcus,
streptococcus atau staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan yang lengket
dapat terbentuk di rongga hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan
pendarahan.

2) Rinitis Bakteri Sekunder


Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut

b. Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri
dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat
terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus
dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.

14
Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program imunisasi yang
semakin meningkat.

Gejala rinitis akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan


mungkin ada paralisis otot pernafasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur
darah. Membrane keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi
bagian bawah, membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.
Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian atas dapat
terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan antitoksin
difteri.

3. Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang
bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa
manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada
rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate
catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat.
Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau
dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan
akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.

a.4. Stadium

a. Stadium prodromal, pada hari pertama:


1) rasa panas dan kering pada cavum nasi.
2) bersin-bersin.
3) hidung tersumbat.
4) sekret encer jernih seperti air.
Pemeriksaan (rhinoskopi anterior/RA)  cavum nasi sempit, terdapat
sekret serous dan mukosa udem dan hiperemis.
b. Stadium akut, hari kedua sampai keempat:
1) bersin-bersin berkurang.
2) obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hiposmia, gangguan
gustateris, rasa makanan tidak enak.
3) sekret kental kuning.

15
4) badan tak enak.
Pemeriksaan  cavum nasi lebih sempit, sekret mukopurulen. Mukosa
lebih udem dan hiperemis.
c. Stadium Penyembuhan (resolusi) hari kelima sampai ketujuh:
Gejala-gejala di atas berkurang (udem dan hiperemis berkurang, obstruksi
berkurang, sekret berkurang). Kadang-kadang rinitis akut didahului gejala
nasofaringitis sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya
faringitis atau laringitis akut tidak selalu didahului oleh rinitis akut.
a.5. Manifestasi Klinis

Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan
antara tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di
dalam hidung, bersin, hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer
hingga mukopurulen. Mukosa hidung dan konka berubah warna menjadi
hiperemis dan edema. Biasanya diikuti juga dengan gejala sistemik seperti
demam, malaise dan sakit kepala.

Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit
pada otot. Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik
atau ruam muncul. Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada
rinitis iritan.

a.6. Patofisiologi

Pada stadium permulaan terjadi vasokonstriksi yang akan diikuti


vasodilatasi, udem, dan meningkatnya aktifitas kelenjar seromucinous dan
goblet sel, kemudian terjadi infiltrasi leukosit dan deskuamasi epitel. Sekret
mula-mula encer dan jernih kemudian berubah menjadi kental dan lekat
(mukoid) berwarna kuning mengandung nanah dan bakteri (mukopurulen).
Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam darah dan limfe, menimbulkan
gejala-gejala umum. Pada stadium resolusi terjadi proliferasi sel epitel yang
telah rusak dan mukosa menjadi normal kembali.
a.7. Diagnosis

Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya. Walaupun


pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, tetapi terdapat juga

16
beberapa karekteristik yang khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri,
diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.

a.8. Penatalaksanaan

Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan
setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan
lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan
antihistamin disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi khusus tidak
diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri,
maka antibiotik perlu diberikan.

Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang banyak, membuat


pasien merasa lebih nyaman, namun tidak menyembuhkan. Tetes hidung
efedrin 1 % sangat menolong, bila hidung tersumbat. Oleh karena lisozim
dinonaktifkan dalam suasana basa, maka setiap obat hidung harus mempunyai
pH asam untuk mencegah terjadinya aktivitas silia dan lisozim. Pemberian obat
simtomatik oral sangat efektif dengan diberikan 4 jam sekali, suatu kapsul yang
terdiri dari :

Efedrin sulfat 0,015 g

Pentobarbital 0,015 g

Asam asetil salisilat* 0,300 g

*dapat digantikan dengan 300 mg Asetaminofen.

Preparat analgetik-antipiretik dapat meringankan gejala, dimana


antipiretik terpilih adalah asetaminofen.

a.9. Pencegahan

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut


adalah dengan menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat
terbentuknya system imuitas yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari
serangan za-zat asing. Istirahat yang cukup, mengkonsumsi makanan dan
minuman yang sehat dan olahraga yang teraturjuga baik untuk menjaga
kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi lengkap juga

17
dianjurkan, seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
eksantematous.

Pencegahan tergantung kepada :


a. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
b. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
c. Tidak berbagi sapu tangan, alat makan, atau gelas minum.
d. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
a.10. Komplikasi
a. Otitis media akut.
b. Sinusitis paranasalis.
c. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracho bronchitis,
pneumonia.
d. Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakti lain yaitu jantung dan asma
bronkhial.
a.11. Prognosis

Rinitis akut merupakan “self limiting disease” umumnya sembuh dalam 7


-10 hari. Tapi dapat lebih lama 3 minggu bila ada faringitis, laringitis atau
komplikasi lain.

B. FARINGITIS AKUT

Faring merupakan daerah dimana udara melaluinya dari hidung ke


laring juga dilalui oleh makanan dari rongga mulut ke esophagus. Oleh karena
itu, kegagalan dari otot-otot faringeal, terutama yang menyusun ketiga otot
faringis, akan menyebabkan kesulitan dalam menelan dan biasanya terjadi
aspirasi air liur dan makanan ke cabang trakeobronkial.

18
Gambar 1. Pembagian faring

b.1. Definisi Faringitis

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh


virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi
inflamasi lokal. Infeksi bakteri grup A, Streptokokus β hemolitikus dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepaskan
toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan
katup jantung, glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang
anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun.
Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah (droplet infection).

b.2. Patogenesis

Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung menginvasi


mukosa pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal
dengan gambaran inflamasi seperti kalor, dolor, rubor, tumor dan functio lasea.
Beberapa virus seperti rhinovirus, dapat mengiritasi mukosa rongga
tenggorokan. Peradangan ditandai oleh pelepasan dan invasi toksin
ekstraseluler lokal dan protease.
Pada stadium awal, terdapat hiperemia, edema, dan sekresi yang
meningkat. Eksudat mula-mula serosa tetapi menjadi menebal atau berbentuk
mukus dan kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding

19
faring. Dengan hiperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi melebar.
Bentuk sumbatan yang berwarna putih, kuning atau abu-abu terdapat dalam
folikel atau jaringan limfoid. Tidak adanya tonsila, perhatian biasanya
difokuskan pada faring dan tampak folikel atau bercak-bercak pada dinding
faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan
membengkak. Terkenanya dinding faring lateral disebut sebagai faringitis
lateral. Hal ini tentu saja mungkin terjadi bahkan adanya tonsila, hanya faring
saja yang terkena.
a. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.
Gejala dan tanda Faringitis Viral :

- Demam disertai rinorea


- Mual
- Nyeri tenggorokan
- Sulit menelan
Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxsachievirus tidak menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak.
Epstein Barr virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi
eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfe di
seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring
hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak
lemah.
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika
jika perlu dan tablet hisap.

20
Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes
simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian.

b. Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus β hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut
pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan tanda Faringitis bakterial :

- Nyeri kepala yang hebat


- Muntah
- Kadang-kadang disertai demam dengan suhu tinggi
- Jarang ditemukan batuk

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis


dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar,
kenyal, dan nyeri pada penekanan.
Terapi
 Antibiotik
Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A
Streptokokus β hemolitikus. Penicillin G Banzzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis
tunggal atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3x/hari selama 10 hari dan
pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari.
 Kortikosteroid
Deksametason 8-16 mg, IM 1 kali. Pada anak 0,08 – 0,3 mg/kgBB, IM 1 kali.
 Analgetika
 Kumur dengan air hangat atau antiseptik

21
Kriteria McIssac untuk diagnose faringitis akut

Determine the patient’s total sore throat


score by assigning points to the following:
Criteria Point
• Temperature > 1
38°C 1
• No cough 1
• Tender anterior 1
cervical adenopathy 1
• Tonsillar swelling 0
or exudate -1
• Age 3–14 years _______
• Age 15–44 years
• Age ≥45 years
Total score

c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
Gejala dan tanda
- Nyeri tenggorok
- Nyeri menelan
Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pada pembiakan jamur dilakukan dalam agar Sabouroud dextrosa.

Terapi

Nystatin 100.000-400.000 2 kali/hari dan analgetika.

d. Faringitis Gonore

22
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg IM.

b.3. KOMPLIKASI
1. Demam scarlet
2. Demam reumatik
3. Glomerulonefritis
4. Abses peritonsilar
5. Syok hipovolemik

b.4. PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini umumnya baik apabila penyakit cepat diketahui


dan diterapi dengan tepat dan dapat sembuh dengan sempurna. Akan tetapi bila
pasien datang terlambat dan penyakit sudah berlanjut maka prognosis akan
kurang baik.

c) Epistaksis

c.1. Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai
serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan
biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.

1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung,


umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat
menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia
serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong
dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta
pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping
itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor
baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan

23
terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan
yang terbaik.

c.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui
penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat
disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan
lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi
lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik
seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-
lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma
pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.

Kelainan pembuluh darah (lokal)


Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan
sel-selnya lebih sedikit.

Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur,
tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.

Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih
sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

24
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering
kali hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia,
trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.

Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Osler-Rendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.

Perubahan udara dan tekanan atmosfir


Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya
zat-zat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan


sistemik.
Etiologi lokal

25
 Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras,
mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
 Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
 Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan
berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal
tersering.

Eiologi lainnya yaitu :

 iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada
mukosa hidung;
 Keadaan lingkungan yang sangat dingin
 Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba
 Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
 Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral
clsertai Ingus berbau busuk.

Etiologi sistemik
 Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun.
 Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
 Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili,
demam tifoid dll.
Termasuk etiologi sistemik lain
 Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya
pada kehamilan, menarke dan menopause
 kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis
atau penyakit Rendj-Osler-Weber;

26
 Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung pada pasien dengan pengobatan
antikoagulansia.

c.3. Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang
pada orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua.
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.
Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu
pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada
anak- anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi
pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki berusia ≥ 50 tahun dengan penyakit
hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung
dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena
mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung
berdarah beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5
tahun, 56% umur 6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu
kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan
hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.

c.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior

 Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan


biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
 Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus
Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area
terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis
anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior. Terutama
pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial, mudah pecan
dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada anak.

Epistaksis posterior

27
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari.
Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian
besar darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon
posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut
dengan hipertensi.

c.5. Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
interna yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat
anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai
pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).
Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal

28
perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya
berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot
tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah
di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media)
yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya
epistaksis

c.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika
diperlukan bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis.
Setelah perdarahan berhenti, lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab.
Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan

29
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital,
pemeriksaan kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan
umum pasien baik, tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya
tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik
sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien
dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda
syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi
ke dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau
(3) nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan
superior.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa :


1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha
inferior harus diperiksa dengan cermat
2. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma
3. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang
4. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5. Skrinning terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin
parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan

30
c.6. Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya
epistaksis.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya,


nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan
perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari
anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien
anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak
dan tidak bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan
bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 – 1/10.000
dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk
menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan
tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi
vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian
anterior atau posterior hidung.

31
DAFTAR PUSTAKA

Broek, P.V.D, Feenstra L. 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan
Telinga Edisi 12. Jakarta: EGC.

Djaafar Z.A , Helmi, Restuti R.D , editor. 2017, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Ed. 7. Jakarta: Balai penerbit FKUI

IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014

Pearce, Evelyn C. 2008. Anatomi dan fisiologi untuk para medis. Jakarta: PT Gramedia.

Seeley, Stephens, Tate. 2017. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses 11th Ed.
The McGraw−Hill Companies, New York

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi manusia : dari sel ke system Edisi 6. Jakarta : EGC.

Soepardi, Efiaty A. et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggork
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : FK UI.

Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology :
Twelfth Edition. Asia: Wiley.

32

Anda mungkin juga menyukai