Disusun Oleh:
42160076
1. IDENTITAS
Nama : NN. EK
Tanggal Lahir : 02/04/1994
Usia : 24 tahun
Jeniskelamin : Perempuan
Alamat : Banguntapan
Pekerjaan : Pegawai Swasta
No.RM : 0100XXX
2. ANAMNESIS
Tanggal : 12 Maret 2018
A. Keluhan Utama
Keluar darah saat bersin dan meludah, nyeri saat menelan.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik THT RS Bethesda dengan keluhan keluar darah
saat bersin dan meludah, nyeri saat menelan. Keluhan dirasakan setelah menjalani
operasi tonsil di RSPAU Hardjolukito pada tanggal 23 Februari 2018 atau 2 minggu
sebelum datang ke poliklinik THT. Keluhan pasien saat periksa ke poliklinik THT
adalah nyeri saat pasien menelan. Keluhan tenggorakan yang dirasakan tanpa
disertai Demam (-), mual (-), muntah (-), pilek (+).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Batuk lama : (-)
Alergi : (-)
Maag : (+)
Riwayat trauma telinga : (-)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa : (-)
Hipertensi : (+)
DM : (-)
E. Riwayat Pengobatan
Riwayat Mondok : (+) operasi tonsil
Riwayat Penggunaan obat : (+) antibiotic, anti nyeri.
1
F. Life style
Pasien adalah pegawai swasta.
Pola makan pasien 3x sehari. Lauk pauk, dan sayur.
Tidak ada riwayat merokok dan konsumsi alkohol.
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
BB : 43 kg
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/80 mmhg
Nadi : 92 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 36,80 C
A. STATUS GENERALIS
1. Kepala
Ukuran Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
injeksi konjungtiva (-/-)
Hidung : Deformitas (-), rhinorhea (-), nyeri tekan (-),
krepitasi (-)
Mulut : Mukosa basah (+), Sianosis (-), faring hiperemis
(+)
Telinga : Discharge (-), Deformitas (-), nyeri tekan
mastoid (-/-), Nyeri tekan auricular (-/-)
2. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (+), pembesaran kelenjar tiroid (-), nyeri
tekan (-).
3. Thorax
Inspeksi : simetris, tidak terdapat kelainan bentuk dada, tidak ada
ketinggalan gerak
Perkusi : sonor +/+
Palpasi : nyeri (-), krepitasi (-)
2
Auskultasi : suara paru vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
suara jantung S1 dan S2 terdengar bising (-), gallop (-)
4. Abdomen
Inspeksi : supel, luka (-), benjolan/ massa (-)
Auskultasi : peristaltik usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan (-)
5. Ekstremitas
Atas : Akral teraba hangat, edema (-), CRT< 2 detik
Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT< 2 detik
STATUS LOKALIS
Pemeriksaan Telinga
Mastoid Edema (-), nyeri ketok (-) Edema (-), nyeri ketok (-)
3
Hidung dan Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
HIDUNG
Dorsum Nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Rhinoskopi Anterior
Meatus Nasi Inferior Edema (-), hiperemis (+), Edema (-), hiperemis (+),
discharge (+) discharge (+)
Konka Inferior Edema (+), hiperemis (+) Edema (+), hiperemis (+)
Meatus Nasi Media Hiperemis (+), discharge (+), Hiperemis (+), discharge (+),
edema (-) edema (-)
Konka Media Edema (-), hiperemis (+) Edema (-), hiperemis (+)
Fossa Rossenmuller
Torus Tubarius
Muara Tuba
Eustachius
Adenoid
Konka Superior
Choana
SINUS PARANASAL
4
Oropharynx
CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Bibir sianosis dan kering (-), stomatitis (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)
Uvula Dbn
Tonsila Palatina T0, hiperemis (-), detritus - T0, hiperemis (-), detritus -
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Faring Hiperemis (+), discharge (-)
Kesan: faring tampak inflamasi
4. DIAGNOSIS
Rhinitis akut
Faringitis akut
Epistaksis
5. DIAGNOSIS BANDING
Rhinitis alergi
Faringitis kronik
6. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
Antibiotik : Amoksisilin 3 x 500mg
Analgesik : Kalium diklofenak 3 x 50mg
Sucralfat 4 x 1 gr sebelum makan
b. Non Farmakologi
Istirahat yang cukup
Pemberian cairan adekuat, perbanyak minum hangat
Kumur dengan air hangat
5
7. EDUKASI
Istirahat total untuk proses pemulihan yang lebih optimal.
Antibiotik harus dihabiskan
Bersin dan batuk jangan terlalu keras
Konsumsi makan lunak, hindari makanan pedas, berminyak, dan es
Menjaga higienitas rongga mulut termasuk kebersihan lidah dan gigi
8. PLANNING
Pemeriksaan usap dan kultur tenggorokan
Pemeriksaan darah rutin
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
6
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
a. Anatomi Hidung
7
2) Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os
nasal, os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
prosesus frontalis besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang
dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
3) Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum
dan lamina pterigoideus medial.
4) Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka; celah
antara konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior; celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka
keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior,
dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian
superior dan palatum.
c. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-
sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior
dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
d. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang
lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral
terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum.
8
Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan
meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.
Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang
berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas
infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh
salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara
di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
kadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum.
e. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm dibelakang batas posterior nostril.
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid
dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang
irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya
menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus
alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian
inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh
pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium
dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.
9
1.2. Kompleks Ostiomeatal (KOM)
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior
yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media
dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal.
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus
dan konka media.
10
1.4. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
a. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal.
b. Fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu.
c. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
d. Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas.
e. Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
b. Anatomi Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung
ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus
laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Unsur-unsur
faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot. Berdasarkan
letaknya, faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
11
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di
rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen
sekum.
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di
bawah valekula terdapat epiglotis. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.
B. Rinitis akut dan faringitis akut
a) Rinitis Akut
Rinitis akut adalah radang pada mukosa hidung yang berlangsung akut,
kurang dari 12 minggu, dapat disebabkan karena infeksi virus, bakteri, ataupun
iritan, yang sering ditemukan karena menifestasi dari rinitis simplek (commen
cold), influenza, penyakit eksantem (seperti morbili, variola, varicela, pertusis),
penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau trauma.
12
a.2. Epidemiologi
Ada tiga hal yang dipandang dapat mempengaruhi keadaan klinis dari
pasien-pasien dengan rinitis akut. Hal tersebut termasuk usia, jenis kelamin, dan
variasi musim terjadinya penyakit tersebut. Menurut penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa 70% pasien yang didiagnosa dengan penyakit hidung
nonalergik terdapat pada usia dewasa > 20 tahun. Tetapi belum diketahui
penyebab pasti dari hubungan antara usia dengan rinitis alergik.
Jenis kelamin dapat menjadi faktor risiko dari rinitis nonalergik. Settipane
dan Klein mengatakan bahwa 58% dari pasien rinitis nonalergik adalah wanita.
Enberg menemukan 74% pasien rinitis nonalergik adalah wanita. National
rinitis Classification Task Force (NRCTF) menemukan 71% pasien dengan
rinitis nonalergik adalah wanita.
1. Rinitis Virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:
Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera diikuti
dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien
merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Awalnya, secret hidung (ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi
bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi sekunder bakteri, seperti
13
Streptococcus Haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus
Influenzae, Klebsiella Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.
b. Rinitis Influenza
Virus influenza A, B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi
bakteri sering terjadi.
c. Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis,
dimana didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.
2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:
a. Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.
b. Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri
dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat
terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus
dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap.
14
Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program imunisasi yang
semakin meningkat.
3. Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang
bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa
manipulasi intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada
rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate
catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat.
Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau
dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan
akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.
a.4. Stadium
15
4) badan tak enak.
Pemeriksaan cavum nasi lebih sempit, sekret mukopurulen. Mukosa
lebih udem dan hiperemis.
c. Stadium Penyembuhan (resolusi) hari kelima sampai ketujuh:
Gejala-gejala di atas berkurang (udem dan hiperemis berkurang, obstruksi
berkurang, sekret berkurang). Kadang-kadang rinitis akut didahului gejala
nasofaringitis sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya
faringitis atau laringitis akut tidak selalu didahului oleh rinitis akut.
a.5. Manifestasi Klinis
Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan
antara tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di
dalam hidung, bersin, hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer
hingga mukopurulen. Mukosa hidung dan konka berubah warna menjadi
hiperemis dan edema. Biasanya diikuti juga dengan gejala sistemik seperti
demam, malaise dan sakit kepala.
Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit
pada otot. Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik
atau ruam muncul. Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada
rinitis iritan.
a.6. Patofisiologi
16
beberapa karekteristik yang khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri,
diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.
a.8. Penatalaksanaan
Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan
setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan
lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan
antihistamin disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi khusus tidak
diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri,
maka antibiotik perlu diberikan.
Pentobarbital 0,015 g
a.9. Pencegahan
17
dianjurkan, seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
eksantematous.
B. FARINGITIS AKUT
18
Gambar 1. Pembagian faring
b.2. Patogenesis
19
faring. Dengan hiperemia, pembuluh darah dinding faring menjadi melebar.
Bentuk sumbatan yang berwarna putih, kuning atau abu-abu terdapat dalam
folikel atau jaringan limfoid. Tidak adanya tonsila, perhatian biasanya
difokuskan pada faring dan tampak folikel atau bercak-bercak pada dinding
faring posterior atau terletak lebih ke lateral menjadi meradang dan
membengkak. Terkenanya dinding faring lateral disebut sebagai faringitis
lateral. Hal ini tentu saja mungkin terjadi bahkan adanya tonsila, hanya faring
saja yang terkena.
a. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.
Gejala dan tanda Faringitis Viral :
20
Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes
simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian.
b. Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus β hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut
pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan tanda Faringitis bakterial :
21
Kriteria McIssac untuk diagnose faringitis akut
c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
Gejala dan tanda
- Nyeri tenggorok
- Nyeri menelan
Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis. Pada pembiakan jamur dilakukan dalam agar Sabouroud dextrosa.
Terapi
d. Faringitis Gonore
22
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg IM.
b.3. KOMPLIKASI
1. Demam scarlet
2. Demam reumatik
3. Glomerulonefritis
4. Abses peritonsilar
5. Syok hipovolemik
b.4. PROGNOSIS
c) Epistaksis
c.1. Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai
serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan
biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
23
terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan
yang terbaik.
c.2. Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui
penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat
disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan
lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi
lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik
seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan
tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-
lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma
pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur,
tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih
sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
24
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering
kali hebat dan dapat berakibat fatal.
Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia,
trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis
Osler-Rendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.
Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
25
Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras,
mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas.
Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri
perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan
berulang ringan bercampur lendir atau ingus.
Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan
berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal
tersering.
iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada
mukosa hidung;
Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba
Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral
clsertai Ingus berbau busuk.
Etiologi sistemik
Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis.
Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab
epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun.
Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.
Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili,
demam tifoid dll.
Termasuk etiologi sistemik lain
Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya
pada kehamilan, menarke dan menopause
kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis
atau penyakit Rendj-Osler-Weber;
26
Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis,
pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung pada pasien dengan pengobatan
antikoagulansia.
c.3. Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang
pada orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua.
Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.
Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu
pada usia <10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada
anak- anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi
pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki berusia ≥ 50 tahun dengan penyakit
hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung
dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena
mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung
berdarah beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5
tahun, 56% umur 6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu
kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan
hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.
c.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
Epistaksis posterior
27
umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari.
Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian
besar darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon
posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut
dengan hipertensi.
c.5. Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris
interna yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat
anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai
pleksus kiesselbach (little’s area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir
keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat
belakang masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang).
Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal
28
perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya
berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga
perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut,terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot
tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.
Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah
terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan
dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah
di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media)
yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya
epistaksis
c.6. Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika
diperlukan bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis.
Setelah perdarahan berhenti, lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab.
Dari anamnesis yang dapat digali adalah :
1. Riwayat perdarahan sebelumnya
2. Lokasi perdarahan
3. Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?
4. Lama perdarahan dan frekuensinya
5. Kecenderungan perdarahan
29
6. Hipertensi
7. Diabetes mellitus
8. Penyakit hati
9. Penggunaan antikoagulan
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon
Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital,
pemeriksaan kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan
umum pasien baik, tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya
tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik
sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien
dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda
syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.
Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi
ke dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau
(3) nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan
superior.
30
c.6. Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulangnya
epistaksis.
31
DAFTAR PUSTAKA
Broek, P.V.D, Feenstra L. 2010. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan
Telinga Edisi 12. Jakarta: EGC.
Djaafar Z.A , Helmi, Restuti R.D , editor. 2017, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Ed. 7. Jakarta: Balai penerbit FKUI
IDI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. 2014
Pearce, Evelyn C. 2008. Anatomi dan fisiologi untuk para medis. Jakarta: PT Gramedia.
Seeley, Stephens, Tate. 2017. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses 11th Ed.
The McGraw−Hill Companies, New York
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi manusia : dari sel ke system Edisi 6. Jakarta : EGC.
Soepardi, Efiaty A. et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggork
Kepala dan Leher Edisi Ketujuh. Jakarta : FK UI.
Tortora, G.J. dan Derrickson, B.H. 2009. Principles of Anatomy and Physiology :
Twelfth Edition. Asia: Wiley.
32