Anda di halaman 1dari 19

MINI CEX

OTITIS MEDIA AKUT STADIUM PERFORASI

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Pada Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Zakharia Ardi
42180282

Dosen Pembimbing Klinik :


dr. Arin Dwi Iswarini, Sp.THT-KL., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN RUMAH SAKIT BETHESDA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
YOGYAKARTA
2019
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. P
No RM : 0068XX
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sleman
Tanggal Kunjungan : 4 Juli 2019

II. ANAMNESIS
2.1. Keluhan Utama
Keluar cairan pada telinga.
2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan awalnya berupa nyeri, rasa penuh, gatal, bergemuruh, atau
berdenging, disertai demam di telinga 3 minggu lalu dan diderita selama 1
minggu, lalu gejala tersebut menurun semenjak 1 minggu lalu, berganti dengan
gejala cairan keluar dan penurunan pendengaran yang semakin memburuk.
Pasien datang dengan alasan keluhan keluar cairan pada telinga kanan. Cairan
dari telinga berwarna kekuningan, agak kental, berbau. Keluhan disertai
penurunan pendengaran pada telinga kanan.

2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat keluhan serupa :-


• Alergi :-
• Maag :-
• Asma :-
• Riwayat trauma kepala :-
• DM, Hipertensi :-
• Batuk kronik :-
• Pilek : +, terakhir 2 minggu yang lalu
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
• Keluhan serupa :-
• DM, Hipertensi, Jantung :-
• Alergi, Asma :-

1
2.4. Riwayat Pengobatan
• Riwayat Operasi :-
• Riwayat Obat :-

2.5. Lifestyle
• Tidak ada riwayat merokok, konsumsi alkohol, dan obat-obatan
• Pasien tidak rutin berolahraga

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Ringan
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
BB : 55 kg
TB : 156 cm

Tanda Vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37,3˚ C

STATUS GENERALIS
A. Kepala
 Kepala : Normochepali
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), injeksi konjungtiva
(-/-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+), gerakan bola mata baik
 Hidung : Sesuai status lokalis
 Mulut : Sesuai status lokalis
 Telinga : Sesuai status lokalis
 Leher : Limfonodi tidak teraba, nyeri tekan (-), pembesaran tyroid (-)

B. Thorax
 Inspeksi : Dada simetris, barel chest (-), ketinggalan gerak (-)
 Palpasi : Fremitus kanan-kiri normal, ictus cordis teraba di SIC 5
linea midclavicularis sinistra
 Perkusi : Sonor +/+, batas jantung normal
 Auskultasi : Suara paru vesikuler(+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-), suara jantung S1 & S2 reguler tunggal, bising (-)
C. Abdomen
 Inspeksi : Tidak dilakukan
 Auskultasi : Tidak dilakukan

2
 Perkusi : Tidak dilakukan
 Palpasi : Tidak dilakukan

D. Ekstremitas
 Atas : Akral teraba hangat, edema (-) , CRT< 2 detik
 Bawah : Akral teraba hangat, edema (-), CRT < 2 detik

STATUS LOKALIS
 Telinga
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Auricula dbn, deformitas (-) dbn, deformitas (-)
Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Planum mastoidium Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Glandula limfatik Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Can. Aud. Externa Serumen (+), edem (-), Serumen (+), edem (-),
hiperemis (+), sekret (+) Hiperemis (-),
kekuningan, kental
Membrana timpani Perforasi (+) tipe sentral Perforasi (-), Hiperemis
(-), Warna doff, Refleks
Cahaya arah pukul 9,
Retraksi (+)

Kesan: Perforasi central membran timpani auricula dextra

3
Tes Pelana Dextra Sinistra

Rinne - +

Weber Lateralisasi ke kanan

Scwabach Memanjang Sama dengan pemeriksa

Kesan : Tuli konduktif auricula dextra


• Hidung dan Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
HIDUNG
Dorsum Nasi Deformitas (-), krepitasi (-), jejas (-), nyeri tekan (-)
Cavum Nasi Discharge bening (+) Discharge bening (+)
minimal minimal
Rhinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi Discharge bening (+) minimal, edema (-), hiperemis (-)
Septum Nasi Deviasi septum (-), perforasi (-)
Meatus Nasi Inferior Hiperemis (-), discharge Hiperemis (-), discharge
bening (+) minimal bening (+) minimal
Konka Inferior Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Meatus Nasi Media Hiperemis (-), polip (-), Hiperemis (-),polip (-),
edema (-) edema (-)
Konka Media Edema (-), hiperemis (-) Edema (-), hiperemis (-)
Rhinoskopi Posterior
Tidak dilakukan
SINUS PARANASAL
Inspeksi Eritem (-), edema (-) Eritem (-), edema (-)
Perkusi Nyeri ketok (-) Nyeri ketok (-)
Transluminasi Tampak cahaya terang

 Oropharynx

CAVUM ORIS-TONSIL-FARING
Bibir Bibir sianosis (-), kering (-), stomatitis (-)
Mukosa Oral Stomatitis (-), warna merah muda
Gusi dan Gigi Warna merah muda, karies dentis (-), ulkus (-)
Lingua Simetris, atrofi papil (-), lidah kotor (-), ulserasi (-)
Atap mulut Ulkus (-), Edema palatum mole (-)
Dasar Mulut Ulkus (-)

4
Uvula Edema (-) hiperemis (-)
Tonsila Palatina T0 T0
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Faring Hiperemis (-)

IV. PLANING
- Audiometri

V. DIAGNOSIS
- Utama : Otitis Media Akut stadium Perforasi Auricula Dextra
- Tambahan : Tuli Konduktif Auricula Dextra

VI. DIAGNOSIS BANDING


- OMSK auricula dextra
- Otosklerosis

VII. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
1. Antibiotik : Eritromisin 500 mg (3x1)
2. Dekongestan : Pseudoefedrin 30 mg (3x1)
3. Mukolitik : Ambroxol 30 mg (3x1)
b. Nonfarmakologi
1. Pencuci telinga : Solutio H2O2 3%

VIII. EDUKASI
1. Menjelaskan mengenai penyakit yang diderita, penatalaksanaan penyakit (obat
yang dikonsumsi secara rutin), dan prognosisnya.
2. Telinga tidak boleh kemasukkan air, dapat menggunakan penutup telinga ketika
mandi.
3. Hindari bepergian dengan pesawat atau kegiatan menyelam
4. Kontrol untuk evaluasi setelah 5 hari.

X. PROGNOSIS
• Ad Vitam : ad bonam
• Ad Fungsionam : dubia ad bonam
• Ad Sanationam : dubia ad bonam

5
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI TELINGA
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S,
dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira ± 2,5 - 3cm.
2. Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan bangunan berbentuk kubus yang terdiri dari:
 Membran timpani: yaitu membran fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara.
Berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik
terhadap sumbu liang telinga.
Membran timpani dibagi atas 2 bagian yaitu bagian atas disebut pars flaccida
(membrane Sharpnell) dimana lapisan luarnya merupakan lanjutan epitel kulit liang
telinga sedangkan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, dan pars tensa
merupakan bagian yang tegang dan memiliki satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan
yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin.
 Tulang pendengaran: yang terdiri dari maleus, inkus dan stapes. Tulang pendengaran
ini dalam telinga tengah saling berhubungan.
 Tuba eustachius: yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring.
3. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea

6
disebut helikotrema, yang berfungsi menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibule.
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule
sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktuskoklearis)
diantaranya. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media
berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner
Membrane) sedangkan skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak
organ corti yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer
pendengaran. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel
rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.

B. FISIOLOGI

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan daya tingkap
lonjong. Energi getar yang diamplikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan
menggetarkan tingkap lonjong sehigga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran
ini diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong edolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini
merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-
sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan lisrik dari
badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditoris sampai ke korteks pendengaran (area 39-
40) di lobus temporalis.

7
C. OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
Definisi

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media akut (OMA)
adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan
singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau
sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila
telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi
telinga tengah. Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai
dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada
membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di
mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis
otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media
yang lain adalah otitis media adhesive.

Klasifikasi

Sekema klasifikasi Otitis Madia berdasarkan waktu lamanya perjalanan penyakit.


Disebut OMA bila perjalanan penyakit kurang dari 3 minggu, subakut bila lebih dari
3 minggu, dan kronik bila lebih dari 2 bulan.

8
Sekema klasifikasi Otitis Media berdasarkan gejalanya.

Etiologi
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus
lain tergolong sebagai nonpatogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme
penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-
30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai
patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A
betahemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif.
Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada
anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang

9
dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-
anak.
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri
atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering
dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza
virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai
parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa
dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal,
meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan
menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan
menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific
enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi
dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus.

Patogenesis
Pathogenesis OMA pada sebagian besar dimulai oleh infeksi saluran pernapasan
atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas
atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga
terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung
lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam
telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba
Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika
terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan
terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya
OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga
tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah,
kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus
saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan
menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan
kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap
infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulangtulang pendengaran

10
tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak
akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi.

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal.


Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu
timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu,
sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor
ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid

Letak perforasi
Letak perforasi di membrane timpani penting untuk menentukan tipe/jenis OMA
stadium perforasi/OMSK. Perforasi membrane timpani dapat ditemukan di daerah
sentral, marginal, atau atik.
Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi
perforasi masih ada sisa membrane timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi
perforasi langsung berhubungan dengan annulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik
ialah perforasi yang terletak di pars flaksida.

11
Gejala klinis
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di
samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada
anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan
anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada
stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur
membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur
tenang.
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu
penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan dan menarik
telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau
bulging.

Stadium OMA

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus
menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba

12
Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani
kadangkadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan
dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi
demam pada stadium ini.

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi


Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi
berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan
tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh
dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,
tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai
dengan satu hari.
3. Stadium Supurasi
Ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah
dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin
hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum
timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta
rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak.
Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat
disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan
baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa
dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di
kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler
membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih
lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot. Keadaan stadium supurasi dapat
ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan
menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah
menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali,

13
sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali.
Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi.
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.
Setelah nanah keluar, gejala akan menurun, dan suhu tubuh juga menurun. Jika membran
timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga
minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan
tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka
keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik.
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya
dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal
hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang
dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun
tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi
kuman rendah. Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis
media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani
menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul. Otitis media
supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media
serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran
timpani.

Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium


awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah
untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati
gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan
memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik.

14
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5
% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl Universitas Sumatera
Utara efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang
dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik.

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik.
Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak
terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan
eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam empat
dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3
dosis.

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
rupture. Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut
atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari
serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan
menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari.

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi,
dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila
keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis.

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi
dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari,
atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat
terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko
terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat.

15
Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti
miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi..

1. Miringotomi Miringotomi
Ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase
sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat
dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila
terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika
terdapat pus di telinga tengah. Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah
nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis,
labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line
pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu
episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan
terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line,
untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
2. Timpanosintesis Menurut Bluestone
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia
lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis
adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi
baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi Adenoidektomi
Efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA
rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA
rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan
adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren.

16
Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses
subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut
biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Komplikasi OMA terbagi kepada
komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut, paresis nervus fasialis,
labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak,
tromboflebitis).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Keseharan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007
2. Djaafar ZA. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E, et al, Ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi VI. Balai Penerbitan FKUI, Jakarta. 2006:
p. 64-77.
3. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997:
88-118

18

Anda mungkin juga menyukai