PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
1; IDENTITAS
Nama : Ny. R
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 31 tahun
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan : SMA
Suku : Jawa
Alamat : Jl. Lokomotif, Kota Pekan Baru, Lampung
Agama : Islam
No. RM 439472
Tanggal Pemeriksaan : 21 Desember 2015
2; PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Keluhan Utama
Kurang pendengaran pada telinga kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Abdoel Moeloek dengan keluhan telinga kiri kurang
mendengar, yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Gejala ini dirasakan hilang timbul
dan terasa seperti penuh pada telinga. Keluhan juga dirasakan pada telinga kanan
pasien, namun tidak seberat telinga kiri.
Pasien juga mengeluhkan adanya telinga berdengung pada telinga kiri. Keluhan
tersebut juga dirasakan hilang timbul. Sejak 2 bulan sebelumnya pasien mengalami
pilek yang terus-menerus, dan hidung tersumbat namun saat ini sudah mulai
membaik. Keluhan sering dirasakan saat pasien bekerja dan terkena debu sehari –
hari.
Keluhan keluarnya cairan dari telinga disangkal oleh pasien. Keluhan adanya trauma
telinga atau di kepala disangkal pasien. Keluhan hidung meler dan batuk disangkal
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat ISPA berulang : sejak 2 bulan lalu
- Riwayat alergi makanan/obat : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat HT : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
Riwayat Kebiasaan
Pasien bekerja sebagai buruh pabrik yang terpapar debu
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dilingkungan yang baik
3; PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 80 x/ menit
Tensi : 110/80 mmHg
RR : 20 x/ menit
Suhu : 36,2 °C
Status Lokalis
Telinga
Pemeriksaan Rutin Umum Telinga
Dextra Sinistra
Aurikula Bentuk normal Bentuk normal
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Preaurikula Nyeri tragus (-) Nyeri tragus (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Retroaurikula Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Mastoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Oedem (-) Oedem (-)
CAE Oedem (-) Oedem (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Discharge (-) Discharge (-)
Serumen (-) Serumen (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Membran Timpani
Dextra Sinistra
Keutuhan Intak Intak
Warna Putih keabu-abuan Putih keabu-abuan
mengkilat seperti mutiara mengkilat seperti mutiara
Bentuk Retraksi (+) Retraksi (+)
Cone of light (+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Hidung
Pemeriksaan Rutin Umum Hidung
Cavum Dextra Cavum Sinistra
Hidung Bentuk normal
Sekret Seromukus Seromukus
Mukosa Livid Livid
Konka
Media Merah muda Merah muda
Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Inferior Merah muda Merah muda
Hipertrofi (+) Hipertrofi (+)
Meatus
Media Merah muda Merah muda
Sekret (-) Sekret (-)
Inferior Merah muda Merah muda
Sekret (-) Sekret (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)
Tenggorok
Pemeriksaan Rutin Umum Tenggorok
Mukosa buccal
Merah muda
Gingiva
Merah muda
Gigi geligi Gangren (-), Karies (-) Molar 1 kanan bawah
Palatum durum & molle Merah muda
Lidah 2/3 anterior Merah muda
4; PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
5; RESUME
A; Pemeriksaan Subjektif
B; Pemeriksaan Objektif
a; Kepala – leher : Dalam batas normal
b; Telinga
Pemerksaan Rutin Umum Telinga : membran timpani retraksi (+/+)
Pemeriksaan Rutin Khusus : Tidak dilakukan
c; Hidung :
o Pemeriksaan Rutin Umum Hidung : konka inferior dan media hipertrofi (+/
+), mukosa livid (+/+)
o Tenggorok:
Pemeriksaan rutin umum : Dalam batas normal
Pemeriksaan rutin khusus : Tidak dilakukan
DIAGNOSIS SEMENTARA
Oklusi Tuba e.c. Rhinitis Alergi
DIAGNOSIS BANDING
OMA stadium oklusi tuba
Tuli konduksi
PENATALAKSANAAN
Menghindari stimulus / faktor pencetus
Medikamentosa :
BNS 4x3 puff KNDT
Iliadin Nasal spray 2x2 puff
PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Quo ad fungtionam : ad bonam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir. Epitel organ pernapasan yang
biasanya berupa epitel kolumnar bersilia, bertingkat palsu, berbeda- beda pada
bagian hidung.pada ujung anterior konka dan septum sedikit melampaui os
internum masih dilapisi oleh epitel berlapis gepeng tanpa silia, lanjutan epitel
kulit vestibulum nasi. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi
kolumnar; silia pendek agak irreguler. Sel – sel meatus media dan inferior
yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki silia yang panjang yang
tersusun rapi (Dhingra, 2007).
2.1.2 Definisi
Rinitis alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang diperantarai oleh IgE
dengan mukosa hidung sebagai organ sasaran utama setelah terpapar dengan
aeroalergen (Dhingra, 2007; Bousquet, et al., 2008)
2.1.3 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang memberi dampak
10-20% populasi. Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di
Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10% (Madiadipoera,
2009). Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% dan cenderung
mengalami peningkatan setiap tahunnya (Nurcahyo dan Eko, 2009).
Lazo Saenz, et al., (2005) melaporkan penelitian mengenai disfungsi tuba
Eustachius pada subjek rinitis alergi pada 80 orang subjek rinitis alergi dan 50
orang normal dilakukan pemeriksaan skin prick test dan timpanometri, dilaporkan
hasil timpanometri yang signifikan pada subjek rinitis alergi (P<0.05) terutama
pada anak umur di bawah 11 tahun, di kelompok rinitis alergi didapatkan 16%
timpanogram abnormal (13% tipe C dan 3% tipe B) sedangkan di kelompok
kontrol seluruhnya dengan timpanogram tipe A.
Karya, et al., (2007) dalam studi mengenai pengaruh rinitis alergi sesuai
klasifikasi ARIA-WHO 2001 terhadap fungsi ventilasi tuba Eustachius pada 30
orang subjek rinitis alergi dan 30 orang normal yang dilakukan pemeriksaan
timpanometri menemukan rinitis alergi terdiri atas rinitis alergi intermitten ringan
4 orang (13,3%), rinitis alergi persisten ringan 11 orang (36,7%), rinitis alergi
intermitten sedang-berat 1 orang (3,3%), rinitis alergi persisten sedang- berat 14
orang (46,7%). Dari subjek rinitis alergi ada 1 orang (3,3%) timpanogram tipe B,
3 orang (10%) timpanogram tipe C dan sisanya 26 orang (86,7%) tipe A. Dari
semua subjek yang ada kelainan timpanometri, semuanya adalah dengan persisten
sedang-berat. Pada kelompok kontrol semuanya normal.
2.1.4 Patofisiologi
Alergi merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, alergen yang masuk kedalam
tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Reaksi ini diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi yang
ditimbulkan terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi
alergi fase lambat (RAFL). Reaksi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah
kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca pajanan
alergen, sedangkan RAFL berlangsung 2-4 jam kemudian, dengan puncak reaksi
pada 6-8 jam setelah pajanan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Tahap Sensitisasi. Reaksi alergi dimulai dengan respons pengenalan alergen oleh
sel darah putih, yaitu sel makrofag, monosit atau sel dendritik. Sel-sel tersebut
berperan sebagai antigen presenting sel (APC) atau sel penyaji dan berada di
mukosa saluran napas. Sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel pada
permukaan mukosa, yang kemudian setelah diproses akan dibentuk fragmen
pendek peptida imunogenik. Fragmen ini akan bergabung dengan molekul-
molekul HLA-kelas II membentuk kompleks peptid-MHC (Major
Histocompatibility Complex)-kelas II yang kemudian akan dipresentasikan pada
limfosit T yaitu helper T cell (sel Th0). Selanjutnya sel APC akan melepaskan
sitokin yang salah satunya adalah interleukin 1 (IL 1). Sitokin ini mengaktifkan
Th0 untuk berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 ini akan
memproduksi IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap
reseptornya pada permukaan sel B-istirahat (resting B cell), sehingga sel B
teraktivasi dan memproduksi immunoglobulin E (IgE). IgE disirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE dipermukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Individu yang
mengandung kompleks tersebut dianggap tersensitisasi, dan setiap saat akan
mudah masuk ke reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Parwati, 2009).
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Molekul IgE dalam sirkulasi darah akan
memasuki jaringan dan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan
mastosit/basofil, sehingga akan teraktifasi. Bila ada 2 light chain IgE berkontak
dengan alergen spesifiknya, maka akan terjadi degranulasi sel yang berakibat
terlepasnya mediator-mediator alergi yang terbentuk (Preformed Mediators),
terutama histamin. Histamin yang terlepas akan menyebabkan hipersekresi
kelenjar mukosa. Efek lain adalah vasodilatasi dan penurunan permeabilitas
pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa. Selain histamin juga akan
dikeluarkan Newly Formed Mediators, antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Faktor (PAF), serta
berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL6, Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Faktor (GM-CSF), dan lain-lain. Sel mastosit juga akan melepaskan
molekul-molekul kemotaktik. Molekul-molekul tersebut terdiri
dari ECTA (Eosinophil Chemotactic Faktor of Anaphylactic) akan menyebabkan
penumpukan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.
Reaksi Alergi tipe Lambat (RAFL). Reaksi alergi fase cepat dapat berlanjut terus
sebagai RAFL dengan tanda khas, yaitu terlihatnya penambahan jenis dan jumlah
sel inflamasi yang berakumulasi di jaringan sasaran, seperti eosinofil, limfosit,
basofil dan mastosit. Hal tersebut juga disertai dengan peningkatan sitokin seperti
IL3, IL4, IL5, dan GM-CSF dan ICAM-1 (Parwati, 2009).
Hidung dan telinga tengah sama-sama dilapisi oleh mukosa respiratorik dan
secara anatomi terdapat struktur yang menghubungkan rongga hidung dengan
telinga tengah, yaitu tuba Eustachius (Bousquet et al, 2008).
2.1.5 Klasifikasi
Rinitis dibagi dua menurut waktu terpajan, yaitu rinitis perennial (terjadi
sepanjang tahun) yang berhubungan erat dengan jenis antigen bulu/ serpihan kulit
binatang, tungau, kecoa dan tungau debu rumah sedangkan rinitis seasonal
(musiman) yang berhubungan dengan jenis antigen serbuk sari dan jamur
(Bousquet et al, 2001; Karya, Aziz, Rahardjo, & Djufri, 2007).
Bousquet, et al (2008) dalam Allergic Rinitis and Its Impact on Asthma (ARIA
– WHO) membagi rinitis alergi berdasarkan lamanya serangan menjadi rinitis
alergi intermiten dan rinitis alergi persisten sedangkan berat ringannya gejala
berdasarkan pada kualitas hidup subjek diklasifikasikan ringan (mild) dan
sedang–berat (moderate – severe)
Tabel.1.1 Klasifikasi rinitis alergi menurut ARIA-WHO :
Classification of allergic rhinitis according to ARIA
1; Intermittent means that the symptoms are present <4 days a
week Or for <4 consecutive weeks
2; Persistent means that the symptoms are present More than 4
days a week And for more than 4 consecutive weeks
3; Mild means that none of the following items are present:
1 • Sleep disturbance
2 • Impairment of daily activities, leisure and/or sport
3 • Impairment of school or work
4 • Symptoms present but not troublesome
4; Moderate/severe means that one or more of the following items
are present:
1 • Sleep disturbance
2 • Impairment of daily activities, leisure and/or sport
3 • Impairment of school or work
4 • Troublesome symptoms
2.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis alergi mencakup pencegahan kontak dengan alergen,
obat-obatan, imunoterapi, penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang
memperburuk dan terapi bedah
Pencegahan kontak dengan allergen
Untuk pencegahan ini, diperlukan identifikasi alergen dan menghindari
alergen penyebab (avoidance). Dalam pengelolaan alergi inhalan, menganjurkan
penderita untuk menghindari alergen penyebab tidaklah mudah. Terdapat banyak
sekali alergen yang berhubungan dengan rinitis alergi, yang paling banyak hasil
penelitian adalah tungau debu rumah.
ARIA WHO (2001) menyarankan beberapa hal berkaitan dengan mengurangi
paparan alergen tungau debu rumah diantaranya menyarungi kasur, bantal dengan
bahan yang mudah dicuci. Cucilah dengan air panas (55-600) seminggu sekali.
Gantilah karpet dengan bahan linoleum atau lantai kayu. Pakailah perabot dengan
bahan lapisan kulit, dan selalu membersihkan debu pada perabot dengan vacuum
cleaner atau kain lap yang basah. Gantilah gorden secara teratur dan gunakan
bahan yang yang mudah di cuci (Bousquet, et al., 2001).
Pengobatan simptomatis.
Diberikan bila pencegahan terhadap alergen penyebab tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Ada 4 golongan obat yang dapat di berikan, yaitu golongan
antihistamin, simpatomimetik, kortikosteroid dan stabilisator mastosit.
Imunoterapi
Pemberian imunoterapi dapat dipertimbangkan bila cara-cara konservatif tidak
berhasil. Dasar dari imunoterapi adalah menyuntikkan alergen penyebab secara
bertahap dengan dosis kecil yang makin meningkat untuk menginduksi toleransi
pada penderita alergi. Dari berbagai penelitian menunjukkan sekitar 60-90%
kasus memberikan respons dengan imunoterapi konvensional. Secara umum hasil
imunoterapi dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok, yaitu : 1) Penderita
mengalami perbaikan klinik sampai imunoterapi dihentikan. 2) Penderita
mengalami perbaikan klinik selama imunoterapi, tetapi kadang-kadang timbul
gejala yang dapat diatasi dengan terapi medikamentosa. 3) Hilangnya keluhan
selama imunoterapi tidak berbeda dengan keadaan sebelumnya. Ada beberapa hal
yang dapat menyebabkan kegagalan imunoterapi, yaitu tindakan menghindari
alergen yang kurang adekuat, pemilihan jenis alergen yang tidak tepat, dosis yang
diberikan kurang cukup dan diagnosis yang salah.
Kontra indikasi pemberian desensitisasi ialah golongan penyakit kolagen dan
glomerulonefritis karena dapat menyebabkan penyakit bertambah aktif. Pada
kehamilan pemberian imunoterapi harus lebih hati-hati. Beberapa penulis
menyatakan sebaiknya tidak diberikan, karena dapat menyebabkan malformasi
pada bayi yang dilahirkan. Sebaliknya ada yang menyatakan bahwa antigen yang
diberikan tidak dapat melalui sawar (barier) plasenta (Bousquet, et al., 2008).
Penatalaksanaan komplikasi atau faktor-faktor yang memperburuk.
Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu yang mendadak, infeksi yang
menyertai, deviasi septum dan paparan terhadap polutan udara lainnya yang dapat
mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala -gejala yang menyertai
rinitis alergi. Penanganan faktor-faktor ini sama pentingnya dengan pengobatan
yang ditujukan terhadap alerginya.
Terapi bedah
Pengobatan operatif baru dilakukan bila pengobatan medikamantosa gagal.
Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainase hidung serta mengupayakan
aliran hidung dan sinus yang memadai (Dhingra, 2007).
Pada daerah inferolateral tuba Eustachius terdapat bantalan lemak Otsmann yang
mempunyai peranan penting dalam penutupan tuba dan proteksi tuba Eustachius
dan telinga tengah dari arus retrograde sekresi nasofaring. Otot-otot yang
berhubungan dengan tuba Eustachius yang berperan penting dalam penutupan
dan pembukaan tuba Eustachius adalah m.tensor velli palatine, m.levator veli
palatine, m.salpingopharyngeus dan m.tensor timpani.
1
2.2.2 Fisiologi
Tuba Eustachius mempunyai 3 fungsi fisiologik terhadap telinga tengah antara
lain :
1; Fungsi ventilasi telinga tengah untuk menyeimbangkan tekanan udara telinga
tengah dengan tekanan udara atmosfir.
2; Fungsi drainase dan clearance ke nasofaring dari sekret yang diproduksi
dalam telinga tengah
3; Fungsi proteksi dari tekanan bunyi dan sekret di nasofaring.
Fungsi Ventilasi
Fungsi ventilasi merupakan fungsi yang paling penting untuk menyeimbangkan
tekanan antara telinga tengah dengan udara luar. Tuba Eustachius yang normal
akan tertutup secara normal saat istirahat, dengan sedikit tekanan negatif pada
telinga tengah. Pembukaan tuba
Eustachius pada saat menelan atau menguap akan terjadi pertukaran gas dan
penyeimbangan tekanan antara udara luar dengan telinga tengah.
Fungsi drainase dan proteksi
Tuba Eustachius mengalirkan sekresi normal telinga tengah melalui sistem
transport mukosilier dengan penutupan dan pembukaan tuba yang berulang
sehingga memungkinkan sekresi mengalir ke nasofaring. Bila terjadi gangguan
drainase mengakibatkan sekresi tertahan dan cairan akan menumpuk di telinga
telinga tengah. Fungsi proteksi dimungkinkan karena secara fungsional tuba
tertutup pada keadaan istirahat sehingga bunyi-bunyi yang timbul di nasofaring
tidak akan masuk ke telinga tengah.
2.2.3 Definisi
Disfungsi tuba Eustachius adalah adanya gangguan pembukaan tuba sehingga
fungsi tuba terganggu. Sering juga disebut oklusi tuba dimana udara tidak dapat
masuk ke telinga tengah, sehingga tekanan udara diluar lebih besar dari pada
tekanan di dalam telinga tengah.
1
2.2.4 Patofisiologi
Tuba Eustachius dalam keadaan normal adalah tertutup dan terbuka saat
menelan, menguap dan bersin akibat kontraksi aktif m.tensor veli palatini. Udara di
telinga tengah mengandung oksigen, karbondioksida, nitrogen dan uap air. Saat
terjadi oklusi tuba, yang pertama diabsorbsi adalah oksigen, baru kemudian gas
lainnya CO2 dan nitrogen juga terdifusi ke dalam darah. Hal ini menyebabkan
tekanan negatif pada telinga tengah dan menyebabkan retraksi membran timpani.
Jika tekanan negatif terus meningkat akan menyebabkan tuba “terkunci” dan dapat
menyebabkan terjadinya penumpukan transudat selanjutnya eksudat bahkan
hemoragik. Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara mekanik, fungsional
ataupun keduanya. Obstruksi mekanik dapat disebabkan oleh (a) faktor instrinsik
seperti inflamasi atau alergi atau (b) faktor ekstrinsik seperti tumor di nasofaring
atau adenoid. Obstruksi fungsional dapat disebabkan oleh kolapsnya tuba oleh
karena meningkatnya compliance tulang rawan yang menghambat terbukanya
tuba atau gagalnya mekanisme aktif pembukaan tuba Eustachius akibatnya
buruknya fungsi m.tensor veli palatine. Efek lamanya oklusi tuba dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 2.2.1 Efek yang terjadi pada oklusi tuba (Dhingra, 2007)
4; Tes Politzer
Tes ini dikerjakan dengan memberikan pada satu lubang hidung selang karet
yang dihubungkan dengan kantung udara sedangkan lubang hidung lainnya
ditekan dengan jari. Pasien diminta untuk menelan atau mengatakan secara
berulang huruf “K” untuk menutup pintu velofaringeal. Bila tes ini positif
tekanan yang berlebihan di nasofaring dihantarkan ke telinga tengah sehingga
membuat tekanan positif dalam telinga tengah dan menggerakkan membran
timpani ke lateral (Dhingra, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Hasil anamnesis yang di dapatkan, pasien datang dengan keluhan telinga kiri kurang
mendengar, yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu. Gejala ini dirasakan hilang timbul
dan terasa seperti penuh pada telinga. Keluhan juga dirasakan pada telinga kanan
pasien, namun tidak seberat telinga kiri. Pasien juga mengeluhkan adanya keluhan
berdengung pada telinga kiri yang dirasakan hilang timbul. Sejak 2 bulan
sebelumnya pasien mengalami pilek yang terus-menerus, dan hidung tersumbat
keluhan sering dirasakan saat pasien bekerja dan terkena debu sehari – hari. Pada
pemeriksaan fisik rutin umum pada telinga didapatkan membran timpani yang
retraksi pada telinga kanan dan kiri. Pada pemeriksaan rutin umum hidung
didapatkan konka inferior dan media pasien mengalami pembesaran pada hidung
kanan dan kiri.
Pasien di diagnosa sebagai oklusi tuba e.c. rhinitis alergi berdasarkan pada teori yang
diuraikan sebelumnya, gejala utama rinitis alergi adalah bersin, ingus encer dan
hidung tersumbat. Gejala alergi lainnya, antara lain hidung gatal, penciuman
berkurang, batuk kronis dan gangguan pendengaran. Gejala dan tanda tersebut dapat
disertai gejala lain apabila melibatkan organ sasaran lain seperti palatum, faring,
laring, telinga, kulit,mata dan paru. Pada pemeriksaan di hidung sering tampak
mukosa nasal pucat dan udematous, konka membengkak, ingus encer seperti air.
Sedangkan pada telinga sering di jumpai retraksi pada membran timpani dan otitis
media efusi sebagai akibat dari sumbatan pada tuba Eustachius (Dhingra, 2007).
Namun diagnosa pasti pasien tidak hanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik saja, terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membuktikan benar tidak adanya alergi pada pasien, baik secara in vivo atau in vitro.
Skin prick test adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak
digunakan untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit
kulit. Pemeriksaa penunjang yang dapat dianjurkan pada pasien dapat berupa skin
prick test. Tes ini sangat populer, cepat, simpel, tidak menyakitkan, relatif aman,
jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik, dapat
dilakukan banyak tes pada satu sisi, mempunyai korelasi baik dengan IgE spesifik.
Berdasarkan teori yang diuraikan mengenai hubungan oklusi tuba denga rhintis alergi,
adanya pajanan histamin intratimpanik mengakibatkan disfungsi tuba yang berakibat
terjadinya suatu reaksi inflamasi yang mempengaruhi tidak hanya mukosa hidung,
tapi hingga ke telinga tengah yang berakibat terjadinya perubahan pada telinga
tengah, sehingga terjadi disfungsi tuba. Perubahan tekanan pada telinga tengah ini
menyebabkan retraksi membran timpani yang keluhan umumnya dirasakan subjek
sebagai sensasi rasa tidak enak, rasa penuh, rasa tertutup atau kurang mendengar
(Bousquet, et al., 2001).
Tata laksana yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian obat semprot hidung
atau dekongestan yang topikal. Obat – obatan ini menyebabkan venokonstriksi dalam
mukosa hidung melalui reseptor α1 sehingga mengurangi voleume mukosa dan dengan
demikian, maka mengurangi penyumbatan hidung. Terapi paling ideal adalah dengan
menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
DAFTAR PUSTAKA
1; Bousquet, J. et al., 2008. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
2008 Update (In collaboration with the WHO). In : Journal allergy 63. (Suppl
86 ) : 8 – 160
2; Bousquet, J. et al., 2001. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)
2001 Update (In collaboration with the WHO). In : Journal allergy : vol 108
no.5.Nov 2001
3; Dhingra, PL., 2007a. Eustachian Tube and Its Disorder. Diseases of Ear, Nose
and Throat. Fourth Edition. Elsevier. India. 56-60
4; Dhingra, PL., 2007b. Anatomy of Nose. Disiases of Ear, Nose and Throat.
Fourth Edition. Elsevier. India. 129-32
5; Doyle, WJ., Boehm, S. dan Skoner DP., 1990. Physiologic Responses to
Intranasal Dose- Response Challenge With Histamine, Metacholine,
Bradykinin and Prostaglandin in Adult Volunteers with and without Nasal
Alergy. J Allergy Clin Immunol 86;924-935
6; Dykemicz, MS. dan Hamilos, DL., 2010. Rhinitis and Sinusitis. In: 2010
Primer on Allergic and Immunologic Disease. Supplemen to The Journal of
Allergy and Clinical Immunology. Volume 125.number2. Denver. Colorado. p:
103-15
7; Fireman, P. et al., 1997. Otitis Media and Eustachian Tube Dysfunction:
Connection to Allergic Rhinitis. In:Journal of Allergy and Clinical Immunology
99 (2): S787-97
8; Irawati, et al., 2001. Rhinitis alergi. Di dalam Soepardi et al (eds) Buku Ajar
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 103-104
9; Karya, IW. et al., 2007. Pengaruh Rhinitis Alergi (ARIA WHO 2001) terhadap
Gangguan Fungsi Ventilasi Tuba Eustachius. Tesis, Universitas Hassanuddin,
Makassar.
10; Katz, J. et al.,1994. Handbook of Clinical Audiology, 4thEd, Baltimore, William
& Wilkins, 283-4
11; Krouse, JH., 2006. Allergic and nonallergic Rhinitis. In: Bailey et al (eds),
head and Neck Surgery Otolaryngology. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins. p.356-57
12; Krause, HF., 2003. Allergy and Chronic Rhinosinusitis. In Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Universitas Pittsburgh. Pennsylvania.
13; Otolaryngol Pol.59(1):97-100. Kudelska, MR. et al., 2005. Assessment Of The
Hearing Organ In The Patients With Allergic Perennial And Seasonal Allergic
Rhinitis.
14; Lazo-Saenz, JG., et al., 2005. Eustachian Tube Dysfunction In Allergic
Rhinitis. Otolaryngol Head Neck Surg. 132(4);626-9.
15; Madiadipoera Ta., 2009. Diagnosis Rinitis alergi. Di dalam Seminar dan
Workshop Alergi dan Imunologi. Parapat Medan.
16; Madiadipoera Tb., 2009. Allergic March In Allergic Inflammation. Di dalam
Seminar dan Workshop Alergi dan Imunologi. Parapat Medan.
17; Mikolai, KT et al., 2006. A Guide For Tympanometry For Screening Hearing.
http://www.maicodiagnostics.com/eprise/main/downloads/com_en/Documentat
ion/Guide.Tymp.pdf
18; Nurcahyo H. dan Eko V., 2009. Rhinitis Alergi Sebagai Salah Satu Faktor
Risiko Rinosinusitis Maksilaris Kronik. Tesis, Universitas Gajah Mada.
19; Parwati DR., 2009. Peranan Kortikosteroid Intranasal pada Inflamasi Hidung.
Di dalam Seminar dan Workshop Alergi dan Imunologi. Parapat Medan.
20; Parwati DR., 2004. Tes Kulit dalam Diagnosis Rhinitis Alergi, Media Perhati.
Volume 10 Vol 10 no 3 :18-23.
21; Sumarman I., 2001. Patofisiologi Dan Prosedur Diagnostik Rhinitis Alergi. Di
dalam Kumpulan Makalah Simposium Current and Future Approach in the
Treatment of Allergic Rhinitis. Jakarta. Hal. 14-18.