Oleh:
Pembimbing
dr. Niken Dyah AK., Sp. THT-KL., M.Kes
Disusun oleh:
Victoria Tasya A.G. (G992208045)
Zahra Saliha Izzati (G992208046)
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher RS UNS - Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Staff Pembimbing
STATUS PASIEN
A. Anamnesis
1. Identitas
Nama : An. D
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kauman 4/9 Ngadirejo
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Suku/ras : Jawa
No. RM : 0167xxxx
2. Keluhan Utama
Tenggorok terasa mengganjal
7. Riwayat Kebiasaan
Pola makan pasien teratur 3x sehari, namun porsi makannya hanya sedikit. Pasien
memiliki riwayat makan chiki dan minum es dalam beberapa hari terakhir. Sebelum dan
sesudah makan, pasien sering mencuci tangan namun jarang menggunakan sabun.
Setiap hari minggu, pasien rutin jalan sehat bersama orang tuanya. Pasien istirahat
cukup 8-9 jam per hari. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6 (Compos mentis)
b. Keadaan umum : Sakit ringan
c. Tanda vital
Berat badan : 15,8 kg
Suhu : 36,4°C
SpO2 : 98%
d. Thorax : bentuk normal, pengembangan dinding dada simetris
e. Jantung : BJ1 dan BJ2 normal
f. Paru-paru : suara napas vesikuler, irama napas reguler
g. Abdomen : bentuk datar, nyeri tekan (-)
2. Status THT-KL
a. Telinga
Gambar
b. Hidung
Cavum nasi Lapang, benda asing (-) Lapang, benda asing (-)
Discharge sekret (+) serous bening sekret (+) serous
bening
Konka nasalis Hipertrofi (-), edema (-), Hipertrofi (-), edema (-),
inferior hiperemis (-) hiperemis (-)
Meatus nasi medius Discharge (+), Massa (-) Discharge (+), Massa
(-)
Meatus nasi inferior Discharge (+), Massa (-) Discharge (+), Massa (-)
c. Mulut
Subjek Hasil
Bibir Mukosa bibir lembab, sianosis (-), ulkus (-), drooling (-)
Gigi Tidak ada yang tanggal, berdarah (-), gigi berlubang (-)
Gambar
Tonsil T3, hiperemis (+), detritus (-), T3, hiperemis (+), detritus (-),
kripte melebar (+) kripte melebar (+)
Faring
Hiperemis (-), granulasi (-), Clot darah (-), post nasal
drip (-)
Adenoid Fenomena palatum molle (+) Fenomena palatum molle (+)
e. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening regional (-)
3. Resume
Pasien datang dengan keluhan tenggorok terasa mengganjal. Keluhan dirasakan hilang
timbul sejak 2 tahun yang lalu dan memberat seminggu terakhir. Keluhan dirasakan terus-
menerus sampai mengganggu aktivitas. Pasien mengeluhkan bahwa tenggorok terasa
mengganjal ketika menelan makanan, namun masih bisa makan dan minum. Keluhan disertai
dengan demam berulang yang terjadi setidaknya dua kali dalam tiga bulan serta keluhan batuk
dan pilek yang dirasakan memberat di malam hari. Pasien memiliki riwayat sering makan
chiki dan minum es.
ibu pasien mengaku bahwa keluar cairan encer dari hidung berwarna jernih dan tidak
berbau. Pasien mengonsumsi obat vicks sirup untuk meredakan batuknya. Keluhan nyeri telan
(-), suara serak (-), bau mulut (-), tidur dengan suara mengorok (+), nafsu makan menurun (+),
pusing (-), dan mual-muntah (-). Keluhan hidung dan telinga disangkal.
Dari hasil pemeriksaan tenggorok ditemukan tonsil yang membesar dengan ukuran
T3/T3. Pada kedua tonsil, terlihat hiperemis dan kripte yang melebar.
4. Diagnosis Banding
- Hipertrofi tonsil
- Adenoiditis kronis
- Faringitis kronis
5. Diagnosis:
Tonsilitis Kronis
6. Terapi
• Pemberian NAC ¼ tab (pulv)
• Pemberian Metilprednisolone ½ tab (pulv)
• Edukasi :
- mengurangi konsumsi makanan yang berminyak dan chiki
- menghindari konsumsi es
- menjaga kebersihan tangan dan oral (sikat gigi, kumur-kumur teratur)
- hidrasi yang cukup
7. Planning
- tindakan pembedahan tonsilektomi
- foto polos AP/Lateral → menyingkirkan diagnosis di adenoid
8. Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Tonsil merupakan organ limfatik dari cincin waldeyer yang terdiri atas tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, dan tonsil tuba Eustachius (Gerlach’s tonsil). Tonsil
berfungsi sebagai unit pertahanan tubuh yang membentuk respons imun terhadap patogen yang
masuk. Epitelium pada tonsil berbentuk kripta dengan kanal khusus yang mengandung sel
“M”. Sel ini yang akan mengambil antigen, membentuk vesikel, dan membawa antigen ke
dalam folikel limfoid sehingga bisa mengaktifkan limfokin dan immunoglobin. Karena hal ini,
tonsil memiliki peranan yang besar pada anak usia dini, yakni 3–10 tahun.
Cincin Waldeyer
Terjadinya peradangan di daerah tonsila palatina sering disebut dengan tonsilitis. Peradangan
yang terjadi disebabkan oleh patogen seperti bakteri atau virus yang disebarkan melalui udara
(air borne droplets) terutama ketika bersin, berbagi peralatan dengan orang yang terinfeksi,
atau dari kontak langsung tangan penderita. Tonsillitis dapat diderita segala usia, terutama pada
anak-anak (Ringgo, 2019).
B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Pada balita, tonsilitis lebih sering
disebabkan oleh infeksi virus, sedangkan infeksi bakterial sering terjadi pada anak-anak usia 5-
15 tahun yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus hemolitikus grup A dengan prevalensi 15-
30% (Georgalas, 2014). Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia < 2 tahun dan orang tua >40
tahun. Kelompok usia 11 – 20 tahun adalah usia terbanyak yang mengalami tonsilitis kronik.
Abu Bakar et al (2018) melaporkan bahwa angka kejadian tonsilitis kronis mencapai 11,7%
(95% CI, 11,0%-12,3%) dengan didominasi penderita berjenis kelamin perempuan.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT bulan September 2012 pada tujuh provinsi di
Indonesia, tonsilitis kronik menempati posisi tertinggi kedua (3,8%) setelah nasofaringitis akut.
Pada kasus peradangan yang berulang, bagian jaringan limfoid tonsil terkikis sehingga proses
penyembuhan digantikan dengan jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut dan menyebabkan
ruang kripta yang melebar diisi detritus. Kripta melebar menandakan bahwa seseorang sudah
mengalami tonsilitis kronis. Proses ini dapat meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris (Soepardi, et al., 2012).
Pathway Tonsilitis
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal pada penderita tonsilitis ialah nyeri di tenggorokan yang berlanjut menjadi
parah. Pada anak dengan tonsilitis yang tidak sembuh, akan cenderung mengalami demam,
penurunan nafsu makan dan berat badan, menangis terus menerus, dan nyeri saat menelan.
Gejala tonsilitis meliputi:
a. Nyeri di tenggorokan. Nyeri juga seringkali dirasakan di telinga (referred pain) sebagai
nyeri alih dari saraf nervus glosofaringeus.
b. Nyeri menelan (odinofagi). Rasa nyeri ketika menelan terjadi karena ketika menelan
sesuatu akan menyentuh daerah peradangan.
c. Sulit menelan. Peradangan di tonsil akan mengakibatkan pembesaran sehingga
penderita akan kesulitan menelan atau seperti ada yang mengganjal di tenggorok.
d. Pada anak, keadaan ini juga dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur
karena besarnya tonsil yang mengganggu pernafasan. Bahkan keluhan sesak nafas juga
dapat terjadi apabila pembesaran tonsil menutup jalur pernafasan.
e. Keluhan juga dapat disertai demam dengan suhu tubuh yang tinggi, tidak enak badan,
lesu, sakit kepala, muntah, nyeri perut, dan nyeri sendi (Ramadhan 2017; Nizar, 2016).
F. KLASIFIKASI
Tonsilitis dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu
1. Tonsilitis akut merupakan peradangan dalam waktu kurang dari 3 minggu, bisa karena
virus atau bakteri. Gejala yang timbul berupa demam dengan suhu tubuh tinggi yang
disertai nyeri tenggorok, bau mulut, nyeri saat menelan, disfagia, limfadenopati, eritema
tonsil dan eksudat.
2. Tonsilitis membranosa merupakan salah satu jenis radang amandel akut disertai
pembentukan membran/ selaput pada permukaan tonsil dan dapat meluas. Menurut
jenisnya
a) Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Gejala umumnya berupa demam,
seperti gejala infeksi lainnya. Gejala yang tampak pada tonsil berupa
pembengkakan tonsil yang tertutup bercak putih kotor yang makin meluas hingga
membentuk membran semu. Bercak dapat menyebar ke palatum mole, uvula,
nasofaring, laring, trakea dan bronkus (bisa menyumbat saluran napas). Mukosa
sangat rentan dan mudah berdarah. Bila terus berlanjut, kelenjar limfa leher akan
membengkak yang terlihat menyerupai leher sapi (bull neck) atau Burgemeester.
b) Tonsilitis septik
Penyakit ini disebabkan karena bakteri Streptococcus hemolyticus pada susu sapi.
Hanya saja, di Indonesia kasus seperti ini jarang terjadi..
3. Tonsilitis kronis atau menahun merupakan pembesaran tonsil dalam jangka waktu lama
(berlangsung sampai bulan atau tahun). Penderita juga memiliki riwayat sakit
tenggorokan dengan gejala bau mulut dan nyeri saat menelan. Pada pemeriksaan, tampak
tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata dan kriptus melebar dengan detritus
(Manurung, 2016).
G. DIAGNOSIS
Diagnosis tonsilitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, temuan pemeriksaan klinis, atau
pemeriksaan penunjang (laboratorium atau tes lainnya).
a. Anamnesis
Anamnesis yang mendalam penting dilakukan untuk mengetahui penyebab keluhan
dasar dan menentukan apakah tonsilitis bersifat akut, berulang, atau kronik. Umumnya,
pasien datang dengan keluhan atipikal seperti nyeri tenggorokan, disfagia, odinofagia,
demam, hilang nafsu makan, limfadenopati servikal, suara serak, dan hialosis.
Tonsilitis akut memiliki gejala tipikal dan dapat disertai obstruksi jalan nafas seperti
mendengkur, gangguan tidur dan obstructive sleep apnea (OSA). Pada tonsilitis
berulang, memiliki gejala tipikal dan ditegakkan dengan kriteria Paradise. Sedangkan,
gejala pada tonsilitis kronik seperti nyeri tenggorokan kronik, halitosis, dan
limfadenopati servikal persisten.
b. Pemeriksaan Fisik
Penilaian tanda vital dan tanda dehidrasi perlu terutama pada anak-anak. Untuk
mengetahui kelainan pada tonsil, maka dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan
tenggorok. Pemeriksaan klinis tonsil dilakukan dengan bantuan spatula lidah. Pasien
diminta membuka mulut, lalu pemeriksa menilai karakteristik tonsil. Karakteristik yang
paling mudah dilihat adalah perubahan warna (kemerahan) pada tonsil, permukaan tidak
rata, dan pembengkakan. Selain itu, dinilai pelebaran muara kripta, ada tidaknya detritus,
nyeri tekan, dan hiperemis pada arkus anterior. Bisa juga ditemukannya eksudat
berwarna putih keabuan di tonsil sehingga menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan,
nyeri menelan, demam tinggi, bau mulut serta otalgia (Lanang, et al., 2015).
Kriteria Nilai
Suhu >38°C 1
c. Pemeriksaan Penunjang
IDSA (Infectious Disease Society of America) dan AHA (American Heart Association)
merekomendasikan untuk mengidentifikasi status bakteriologik dalam menegakkan
diagnosis tonsilitis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam menilai etiologi bakteri
ialah kultur swab tenggorok dan rapid antigen detection test (RAT).
Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan ACP (American
College of Physicians), kultur swab tenggorok atau RAT pada dewasa dilakukan apabila
gejala mengarah pada infeksi streptokokus, seperti demam persisten, keringat malam,
limfadenopati servikal anterior yang nyeri, nyeri wajah, petekie palatum dan discharge
nasal yang purulen.
a. Kultur Swab Tenggorok
Kultur swab tenggorok dilakukan dengan swab tunggal pada bagian tonsil dan
faring posterior, dengan menghindari mukosa bukal dan lidah. Hasil swab
kemudian dimasukkan ke dalam media transport dan dioleskan pada agar darah.
Pertumbuhan kultur berlangsung selama 18-48 jam.
Pemeriksaan swab tenggorok harus dilakukan sebelum antibiotik mulai diberikan
agar tidak terdapat false result. Hasil kultur positif swab tenggorok untuk GHBS
menunjukkan bahwa nyeri tenggorok yang terjadi diakibatkan oleh bakteri
streptokokus.
b. Rapid Antigen Test (RAT)
RAT dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi GABHS. RAT diambil dari
swab tenggorok pada dinding faring posterior dan kedua tonsil. Hasil didapatkan
dalam 10 menit. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang tinggi dan
sensitivitas yang mencapai 59-95% sehingga apabila diperoleh hasil yang
positif, maka kultur swab tidak perlu dilakukan lagi. Namun apabila hasil RAT
menunjukkan hasil yang negatif, kultur swab tenggorok diperlukan.
c. Pemeriksaan Titer Antibodi
Pemeriksaan titer antibodi anti streptokokus untuk diagnosis rutin tidak
dilakukan. Hal ini dikarenakan hasil yang diperoleh dapat menunjukkan infeksi
yang telah lampau, bukan infeksi sekarang. Titer anti-streptolisin O (ASO)
digunakan untuk mengidentifikasikan infeksi streptokokus grup A pada pasien
yang dicurigai memiliki demam reumatik atau komplikasi non-supuratif lainnya.
Titer ASO mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O pada darah. Streptolisin O
merupakan substansi yang diproduksi oleh GABHS. Hasil titer ASO >200 IU
atau lebih dari 166 Todd unit dinyatakan positif.
d. Pemeriksaan penunjang lain, seperti nasofaringo laringoskopi (RFL), foto polos
nasofaring lateral dan kepala AP/Lateral, CT Scan kepala leher (Stelter, 2014).
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Hipertrofi tonsil
Hipertrofi tonsil adalah keadaan dimana tonsil mengalami pembesaran. Kondisi ini sering
terjadi pada anak-anak. Pada pemeriksaan klinis, tonsil akan tampak membesar tanpa
disertai tanda peradangan.
2. Adenoiditis kronis
Adenoid merupakan salah satu organ limfatik di tenggorokan yang berfungsi melawan
kuman dan bakteri, terutama pada anak balita. Secara fisiologis, adenoid akan membesar di
usia 3 tahun dan mengecil pada usia 14 tahun. Namun pada beberapa kasus, adenoid
menetap dan bisa menyebabkan infeksi. Adenoid yang mengalami infeksi disebut dengan
adenoiditis. Adenoiditis umumnya terjadi pada anak dan biasanya bersamaan dengan infeksi
amandel (tonsilitis). Gejalanya ialah demam, nyeri tenggorokan, hipertrofi adenoid,
pembesaran KGB di leher, gejala flu (seperti hidung tersumbat, suara bindeng). Selain itu,
penderita akan mengalami kesulitan tidur, apnea tidur, maupun mendengkur. Untuk
menguatkan dugaan adanya pembesaran pada bagian adenoid, perlu dilakukan pemeriksaan
foto polos kepala.
3. Faringitis kronis
Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring yang disebabkan oleh virus
(Rhinovirus, influenza, parainfluenza), bakteri (GBHAS, Gonorrhea), atau jamur (candida).
Gejala yang timbul ialah demam, nyeri tenggorokan, disfagia. Pada pemeriksaan klinis,
faring akan terlihat hiperemis dan edema (Rusmarjono & Soepardi, 2016).
I. TATALAKSANA
Penatalaksanaan dapat berupa tindakan konservatif (non medikamentosa dan medikamentosa)
dan operatif (tonsilektomi dan atau adenoidektomi).
1. Tindakan Konservatif
a) Non medikamentosa: dengan meningkatkan status gizi dan menjaga oral hygiene
b) Medikamentosa: dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk meredakan keluhan
● Analgesik dan antipiretik: Pada kasus tonsilitis yang disebabkan oleh virus,
umumnya penderita akan merasa demam sehingga perlu dilakukan tirah baring,
pemberian cairan adekuat, diet ringan, atau pemberian antivirus dan analgesik
(paracetamol atau ibuprofen) apabila keluhan memberat.
● Antibiotika: Tonsilitis yang dikarenakan bakteri, maka penting diberikan
antibiotik broad spectrum selama 10 hari (seperti penisilin atau eritromisin)
(Rusmarjono & Soepardi, 2016).
● ADS: anti serum difteri dapat diberikan jika ada kecurigaan penderita mengalami
tonsilitis difteri.
2. Tindakan Operatif
Pengobatan pasti tonsilitis kronis adalah dengan pembedahan. Tindakan ini dilakukan
apabila penatalaksanaan medis atau tindakan konservatif gagal dalam meringankan
gejala.
1) Tonsilektomi
Pada prosedur tindakan operasi, pengangkatan tonsila palatina dapat dilakukan sebagian
saja (tonsilotomi) atau mengambil tonsil secara keseluruhan termasuk kapsulnya
(tonsilektomi). Tonsilektomi, dapat dilakukan apabila ada indikasi yang terjadi pada
pasien. Tiga indikasi utama dilakukan tonsilektomi yaitu
a) Infeksi Tenggorokan Rekuren
Berdasarkan kriteria Paradise (American Academy of Otolaryngology–Head and
Neck Surgery/AAO-HNS), tonsilektomi dilakukan bila terjadi minimal frekuensi
berikut:
● ≥7 episode tonsilitis dalam 1 tahun
● ≥5 episode per tahun selama 2 tahun terakhir
● ≥ 3 episode per tahun selama 3 tahun terakhir
Minimal frekuensi harus disertai dengan presentasi klinis nyeri tenggorokan
dengan 1 atau lebih manifestasi berupa suhu >38,3°C, limfadenopati servikal
(pembesaran nodus limfa >2 cm), eksudat tonsilar, kultur positif dari
Streptococcus β hemoliticus group A (SBHGA).
b) Obstructive Sleep Disordered Breathing (OSDB) atau Obstructive Sleep Apnea
(OSA)
Gangguan pernapasan obstruktif saat tidur dan gangguan tidur menyebabkan
gangguan oksigenasi/ventilasi dan pola tidur pada anak. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, rekaman suara/video, dan
saturasi oksigen. Sedangkan tindakan tonsilektomi pada OSA dipertimbangkan
Hipertrofi tonsil dan adenoid dengan ukuran 3+ dan 4+ merupakan penyebab
tersering OSDB dan OSA pada anak.
c) Neoplasma
Bakar, MA. McKimm, J. Haque SZ. Majumdrr MAA. 2018. Chronic tonsillitis and biofilms: a brief
overview of treatment modalities, J Inflamm Res, 11:375.
Bailey B. J. Adenotonsilar Disease in Children In : Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fourth
Edition. Texas. Lippincott Williams & Wilkins. 2014 : 1430-1441.
Goldberg DC. Respiratory Disease or Quinsy. Canadian Health&Care Mall. Updated 15 Sept 2016.
Available from: https://mycanadianhealthcaremall.com/respiratory-disease-or-quinsy.html
Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications: Epidemiological, Clinical, and
Therapeutic Profiles. International Journal of Otolaryngology and Head & Neck Surgery, pp. 98-
103.
Lanang, S. M., Rizal, A. & Ramatryana, I. N. A., 2015. Simulasi Deteksi Tonsilitis Mengunakan
Pengolahan Citra Digital. JNTETI, 4(1), p. 1.
Little P, et al. PRImary care Streptococcal Management (PRISM) study: in vitro study, diagnostic cohorts
and a pragmatic adaptive randomised controlled trial with nested qualitative study and cost-
effectiveness study. Health Technology Assessment. UK: Queen’s Printer and Controller of
HMSO. 2014;18(6):2
Manurung, R., 2016. Gambaran Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Pencegahan Tonsilitis pada
Remaja Putri di Akper Imelda Medan Tahun 2015. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA, 1(2), p.
2.
Nizar, M. N., 2016. Identifikasi Bakteri Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di BAgian THT
RSUD Ulin Banjarmasin. Berkala Kedokteran, p. 198.
Ramadhan, F. S. I. K., 2017. Analisa Faktor Risiko Kejadian Tonsilitis Kronik Pada Anak Usia 5 - 11
Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kota Kendari. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan,
Volume 2.
Ringgo, A. S., 2019. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Risiko Terjadinya Tonsilitis Konik Pada Anak
Sekolah Dasar di Bandar Lampung. Malahayati Nursing Journal, Volume 1, p. 188.
Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. In: A. A. Soepardi &
N. Iskandar, eds. Telinga Hidung Tenggorokan & Leher. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran UI, p. 200.
Stelter, K. 2014. Tonsillitis and Sore Throat in Children. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology, p.
9.
TUGAS
1. Jelaskan bagaimana cara menilai rasio pembesaran adenoid dengan foto polos nasofaring!
Menurut Ballinger (2010), gold standar untuk menilai pembesaran adenoid adalah
pemeriksaan radiografi foto polos kepala proyeksi true lateral (fokus adenoid di nasofaring) dan
laring faring lateral soft tissue. Alasan menggunakan pemeriksaan tersebut karena letak adenoid
yang berada di dinding posterior nasofaring akan terlihat lebih jelas dari posisi lateral. Pasien
diminta untuk ekstensi supaya sphenobasio occipital dengan palatum dalam posisi sebidang dan
keadaan buka mulut supaya nasofaring terlihat lurus sehingga tidak ada superposisi antara
jaringan adenoid dengan condyle mandibula (Amar, 2013).
Terdapat beberapa metode untuk mengukur hipertrofi adenoid, seperti metode Fujioka,
metode Kurien, metode Cohen-Konak, dan lain-lain. Metode yang paling sering digunakan
adalah metode Fujioka. Metode ini dilakukan dengan menilai Rasio Adenoid Nasofaring (RAN)
dari besarnya adenoid dan nasofaring (Vallur, 2019).
Keadaan hipertrofi adenoid dapat menjadi tanda bahwa tubuh sedang melawan infeksi.
Berikut ini merupakan grade dari pembesaran adenoid (Liu et al, 2021), yaitu
Amar, Muhammad A, Riskiana Djamin, Abdul Qadar P. 2013. Artikel Penelitian: Rasio Adenoid-
Nasofaring dan Gangguan Telinga Tengah Pada Penderita Hipertrofi Adenoid. Indonesia
Ballenger, M, S, MD. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher. Jilid 1. Edisi 9.
Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT RSCMFKUI Indonesia. Bina Rupa Aksara
Liu, H., Feng, X., Sun, Y. et al. Modified adenoid grading system for evaluating adenoid size in children:
a prospective validation study. Eur Arch Otorhinolaryngol 278, 2147–2153 (2021).
https://doi.org/10.1007/s00405-021-06768-8
Moideen, SP. Mytheenkunju, R. Nair, AG. Mogarnad, M. Afroze, MKH. 2019 Role of Adenoid-
Nasopharyngeal Ratio in Assessing Adenoid Hypertrophy. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg,
71(Suppl 1): 469–473. doi: 10.1007/s12070-018-1359-7.
Vallur, AA. Evaluation of Adenoid Hypertrophy by Lateral Radiograph for Nasopharynx and by Rigid
Nasal Endoscopy: A Prospective Comparative Study. RFPJENTAlliedSci. 2019; 4(2): 53–56.