HIV
Topik : HIV
Tanggal kasus : 11 Juli 2022
Presenter : dr. M. Glaucia Polcyani Mentari Pepo
Pendamping : dr. B. Theresia A. J.
Tanggal Presentasi : 23 Agustus 2022
Mulowato
Tempat Presentasi : -
Obyek Presentasi : -
Leher:
Kel. Getah Bening : Tidak teraba, nyeri tekan (-)
Kel. Gondok : Tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)
Kaku Kuduk : (-)
Tumor : (-)
Dada:
- Inspeksi : Simetris hemithoraks kiri dan kanan
- Bentuk : Normothoraks
- Buah Dada : Tidak ada kelainan
- Sela Iga : Tidak ada pelebaran
- Lain-lain : Barrel chest (-), massa tumor (-)
Paru:
o Inspeksi :bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi
Intercostals (-), irama nafas regular
o Palpasi:
Fremitus Raba : Kiri ≠ Kanan
Nyeri Tekan : (-)
o Perkusi:
Paru Kiri : Beda
Paru Kanan : Beda
Batas Paru Hepar : ICS VI anterior dextra
Batas Paru Belakang Kanan :Vertebra thorakal IX
Batas Paru Belakang Kiri :Vertebra thorakal X
o Auskultasi:
Bunyi Pernapasan : Vesikuler
Bunyi Tambahan : Ronkhi + / + , Wheezing - / -
Cor:
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi :Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan:linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri: linea midclavicularis sinistra)
o Auskultasi :
BJ I/II : Murni reguler
Bunyi Tambahan : Bising (-)
Abdomen:
o Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, caput medusa (-), jejas (-)
o Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
o Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
o Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat
Genitalia : Tidak ada kelainan
Anus dan Rektum : Tidak ada kelainan
Skin : Tidak ada kelainan
Punggung : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
o Palpasi : Gibbus (-)
o Nyeri Ketok : (-)
o Auskultasi : Rh -/- Wh -/-
Ekstremitas
- Bentuk : Simetris, refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)
- Akral : Dingin, sianosis perifer (-),bintik pendarahan (-)
- Kuku dan jari : Lengkap, normal
- Capillary refil test : > 2’’
3. Assesment:
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis pasien ini mengarah pada HIV stage III. Pasien datang dengan keluhan sulit
makan dan menelan sejak 4 hari SMRS. Pasien mengeluh terdapat bercak putih di dalam
mulut sehingga pasien sulit makan. Pasien juga mengeluh sesak napas sejak 4 hari SMRS.
Pasien mengaku disertai batuk berdahak. Pasien sedang dalam pengobatan TB dan sedang
mengonsumsi OAT bulan ke-2. Pasien juga mengeluh BB menurun sejak januari dan
makin terlihat dalam 1 bulan terakhir SMRS. Pasien mengaku BAB lunak hingga cair
dijumpai dalam 2 hari terakhir, frekuensi 1-2x sehari, volume ¼ cup kecil. Riwayat mual
muntah disangkal. Pasien saat ini mengaku badan terasa lemas. Pasien belum pernah
berobat Sebelumnya Tes HIV pertama Kali Di puskesmas.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik
khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4
(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus. Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae,
genus Lentivirus.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae.
AIDS merupakan tahap akhir dari HIV (Sudoyo, 2009).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau
media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS,
apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai
infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal
dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
Riwayat yang dapat menjadi faktor risiko terpapar HIV, termasuk:
- Hubungan seksual tanpa kondom, hubungan seks dubur
- Memiliki pasangan seksual yang banyak/bergonta-ganti pasangan seksual
- Memiliki riwayat atau sedang mengalami penyakit menular seksual (PMS)
- Berbagi obat lewat intravena (IV) / suntikan
- Riwayat menerima donor darah
- Kontak mukosa dengan darah yang terinfeksi atau cedera akibat jarum suntik
- Infeksi pada ibu HIV (untuk bayi yang baru lahir, bayi, dan anak-anak)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang
yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hamper semua
orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan
system kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10
tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat
hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-progressor).
Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dan
lain-lain.
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan
gejala, secara bertahap system kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien
masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan
laten bila ditinjau dari sudut penyakit HIV. Manfestasi dari awal dari kerusakan system
kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan
infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan
hibridisasi in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10partikel setiap
hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang
resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi,
untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar
109 sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada
odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus
dengan infeksi pneumonia dan tuberculosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus
HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu
juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan
penyakitnya bisa lebih progresif.
Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada pengguna narkotika ini juga
tercermin dari hasil penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusumo pada 57 pasien HIV
asimptomatik yang berasal dari pengguna narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari
200sel/mm3. Ternyata 56,14% mempunyai jumlah virus dalam darah (viral load) yang
melebihi 55.000kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4
relatif masih cukup baik (Sudoyo, 2009).
Manifestasi Klinis
Pasien dengan HIV dapat menunjukkan tanda-tanda dan gejala sesuai dengan
setiap tahap infeksi HIV.
Manifestasi klinik dapat meliputi:
- serokonversi akut bermanifestasi berupa flu-like syndrome seperti demam,
malaise, serta ruam generalisata
- Fase asimtomatik umumnya jinak
- limfadenopati generalisata adalah umum dan mungkin merupakan gejala yang
dapat muncul
- Manifestasi kondisi AIDS merupakan kejadian yang rekuren, berat, dan infeksi
yang sesekali dapat mengancam jiwa, atau kanker oportunistik
- Infeksi HIV dapat menyebabkan beberapa gejala sisa, termasuk AIDS terkait
demensia / ensefalopati dan HIV wasting syndrome (diare kronis dan
penurunan berat badan tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi).
4. Diagnosis
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi
klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans
epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya
didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.
Sebelum tes harus dikonseling dulu dan harus menandatangani surat persetujuan
(inform consent ). Konseling dapat dilakukan di :
Klinik Voluntary Conseing and testing (VCT ) oleh konselor terlatih
Tempat praktek, puskesmas oleh petugas kesehatan terlatih secara provider
initiative testing and conseling ( PITC ).
5. Tatalaksana
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan para
penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat
disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transkriptase inhibitor, nucleotide reverse
transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease.
Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa
menghilangkan virus yang telah berkembang (Djauzi dan Djoerban, 2006).
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
(bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau
belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV
adalah didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan
koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Tabel 4. Saat memulai terapi ARV pada ODHA dewasa
2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari panduan di bawah ini:
Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan untuk terapi
Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan pada Lini Pertama
hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi terhadap golongan NNRTI
(Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan untuk tidak menghilangkan kesempatan
pilihan untuk Lini Kedua. mengingat sumber daya yang masih terbatas.
Rekomendasi paduan lini kedua adalah: 2 NRTI + boosted-PI
Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah
ditambahi (boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan
kode ..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir)
Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis
dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan menjadi tinggi
sekali.
Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh
pemerintah adalah:
Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF +
(3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada panduan lini kedua.
Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai
dasar NRTI sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua.
Tabel 6. Efek Samping ARV
Pencegahan
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain hindari berganti-ganti
pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak seksual seseorang, lebih mungkin
terjadinya infeksi (Hutapea, 1995).
Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko penularan akan
meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan
pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan
obat tersebut.
Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai
pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung muka atau
masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan kebutuhan aktivitas
pekerjaan yang dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut kepada
bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI juga dapat
menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat n mengandung maka
ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu
tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih besar
tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi (Yatim, 2006).
Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka
dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat
pengobatan (MFMER, 2008).
Prognosis
Prognosis pada pasien dengan infeksi HIV yang tidak diobati adalah buruk, yakni
dengan tingkat kematian secara keseluruhan lebih dari 90%. Rata-rata waktu dari infeksi
sampai kematian adalah 8-10 tahun, meskipun variabilitas individu berkisar kurang dari 1
tahun untuk kondisi Long-term non progression. Banyak variabel telah terlibat dalam
tingkat perkembangan HIV perkembangan, termasuk kesehatan mental, bersamaan
penyalahgunaan obat atau alkohol, gizi, dan usia.
Setelah infeksi berkembang menjadi AIDS, masa hidup biasanya kurang dari 2
tahun pada pasien yang tidak diobati. Orang yang terinfeksi HIV namun kurang progresif
mungkin belum berkembang menjadi AIDS selama 15 tahun atau lebih, meskipun temuan
laboratorium menunjukkan penurunan CD4 T-sel atau disfungsi.
6. Plan
Diagnosis
HIV stage III
Diagnosis Sekunder
Trombositopenia
Anemia Ringan
TB Paru
Candidiasis oral
Pengobatan
Pada pasien ini diberikan tata laksana:
O2 4 lpm nasal canule
IVFD RL 20 tpm
Inj. Paracetamol 3 x 1gr IV (k/p)
Ceftriaxone 1x2 gr iv
Azitromisin 1x500 mg
Cotrimoxazole 1x960 mg
Nystatin drop 3 x 2 cc PO
OAT kategori 1
Pro rontgen thorax
Pendidikan
Kita menjelaskan prognosis dari penyakit tersebut, serta komplikasi yang mungkin
terjadi
Konsultasi
Konsultasi dengan spesialis penyakit dalam untuk penanganan lebih lanjut.
Rujukan
-
Peserta, Pendamping,