Anda di halaman 1dari 58

Laporan Kasus

DECOMPENSATIO CORDIS /GAGAL JANTUNG +

EDEMA PULMONAL

Diajukan Oleh :
Dyki Dwi Anwar
17360100

Pembimbing :
dr. Silman Hadori , Sp.Rad , MH.Kes

BAGIAN ILMU RADIOLOGI RS PERTAMINA BINTANG AMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Kejadian
gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya
usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard.

Studi Farmingham memberikan gambaran yang cukup jelas tentang gagal


jantung. Pada studi ini disebutkan bahwa, kejadian gagal jantung per tahun pada orang
berusia > 45 tahun adalah 7,2 kasus setiap 1000 orang laki-laki dan 4,7 kasus setiap
1000 orang perempuan. Di Amerika hampir 5 juta orang menderita gagal jantung9.

Prevalensi gagal jantung pada keseluruhan populasi antara 2 sampai 30%.


Angka prevalensi disfungsi ventrikel asimptomatik menyerupai prevalensi gagal
jantung, sehingga membuktikan dalam total populasi prevalensi gagal jantung atau
disfungsi ventrikel asimptomatik sekitar 4%. Angka prevalensi meningkat tajam pada
populasi usia 75 tahun, sehingga prevalensi pada kelompok usia 70-80 tahun sekitar 10-
20%.

Secara keseluruhan 50% dari total pasien meninggal dalam kurun waktu empat
tahun. Empat puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung,
meninggal atau mendapatkan rawat inap kembali dalam waktu satu tahun pertama. Oleh
karena itu perlu ditinjau bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan gagal
jantung akut dan kronis berdasarkan literatur yang mutakhir.

1
BAB II
LAPORAN KASUS
No. RM 11.54.40

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Ng Masuk RS : 05 Januari 2019
Umur : 53 tahun Diagnosis Masuk : observasi dyspnea ec CKD on
Jenis Kelamin : Perempuan HD + CHF
TTL : 20-02-1965 Ruang Perawatan : Bangsal Bedah
Agama : Islam
Alamat : Pesawaran
Status : Menikah
Bangsa : WNI
Pekerjaan : IRT

I. ANAMNESIS

Diambil dari : Autoanamnesis dan Alloanamnesa

Tanggal : 06 Januari 2019

Pukul : 21.00 WIB

1. Keluhan Utama

Sesak memberat 2 hari SMRS

2. Keluhan Tambahan
Batuk , pusing , mual muntah , lemas , tidak nafsu makan , keringat dingin ,
mudah lelah , BAB hitam

3. Riwayat Penyakit Sekarang

± 2 hari SMRS Os mengalami sesak nafas yang dirasakan kambuh-


kambuhan sudah sejak 2 tahun terakhir, sesak nafas dirasakan saat istirahat,
memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan
karena pasien menjadi cepat lelah . Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian,

2
udara dingin dan bekerja terlalu berat. Malam hari pasien kadang-kadang
terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat
pasien agak lega .
± 1 hari SMRS keluhan semakin memberat ditambah dengan keluhan
mual , muntah ± 3 x , batuk , pusing , mual muntah , lemas , tidak nafsu makan
. BAB berwarna hitam seperti aspal . Os diketahui memiliki riwayat darah tinggi
tidak terkontrol dan sedang dalam pengobatan CKD on HD . Karena sesak yang
tidak tertahankan disertai keringat dingin , Os di bawa oleh keluarganya ke IGD
RS Pertamina Bintang Amin pada tanggal 05 Januari 2019 pukul 12.47 WIB .

4. Riwayat Keluarga : (-)

5. Riwayat Alergi Obat : (-)

6. Riwayat Lingkungan : Os tinggal bersama anaknya dengan keadaan ekonomi


yang cukup.

7. Riwayat masa lampau


a. Penyakit terdahulu : CKD , Hipertensi , DM , Anemia
b. Trauma terdahulu : (-)
c. Operasi : (+) Operasi kista ovarium
d. Sistem saraf : (-)
e. Sistem Kardiovaskular : (-)
f. Sistem gastrointestinal : (-)
g. Sistem urinarius : (-)
h. Sistem genitalis : (-)
i. Sistem muskuloskeletal : (-)

II. GENERAL STATUS

A. STATUS UMUM

Kesadaran : Compos Mentis


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kulit : cokelat sawo

PEMERIKSAAN FISIK

 TANDA VITAL

3
Tekanan darah : 190/110 mmHg
Nadi : 104 x/menit
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 36,6 C

 KEPALA DAN WAJAH


o Bentuk dan ukuran
normocephali , massa (-) , rambut (+)
o Mata
Konjungtiva : Anemis (+/+)
Sklera : putih , ikterik (-)
Pupil : isokhor , reflek pupil baik, diameter 3 mm
Eksoftalmus (-) , Strabismus (-) , Ptosis (-/-) , Nistagmus (-)
Nyeri tekan (-) , benjolan (-)

o Telinga : tidak ada kelainan


Lesi (-) , Cerumen fisiologis (+) , Massa (-) , Bengkak (-)
Nyeri tekan tragus (-)
Membran timpani : warna putih mengkilat , datar dan utuh

o Hidung : tidak ada kelainan


Bentuk simetris (+) , benjolan (-) , tanda radang (-) , Septum nasi
(+) Polip (-) , Nyeri tekan (-) , PCH (-)
Nyeri tekan sinus (frontalis,maxillaris,etmoidal,spenoidal) (-)

o Mulut , Gigi dan Tenggorokan : stomatitis dan gigi


berlubang
Bibir : Cyanosis (-) , lesi (-) , kering (-) , massa/benjolan (-) ,
sumbing (-) , lesi mukosa (+)
Gigi : karies gigi (-) , gigi berlubang M3 (+) , gigi palsu (-)
Uvula simetris (+) , tanda radang (-) , tonsil T2/T2 ,
hiperemis (-) , kripta melebar (-)

 LEHER
o Kelenjar getah bening : pembesaran KGB (-) , nyeri tekan (-)
o Kelenjar thyroid : pembesaran kelenjar tiroid (-) , benjolan (-) ,
nyeri (-) , bising (-)
o JVP :5+3
o Trakea : tanda deviasi (+)

4
 DADA (Thorax : Jantung dan paru)

Paru-Paru
o Inspeksi
PD statis : simetris , tanda radang (-) , massa (-) ,
, gerak tertinggal (-) PD kanan = PD kiri
PD dinamis : simetris , PD kanan = PD kiri , penggunaan
otot bantu nafas (+)
o Palpasi : ketinggalan gerak lapang paru (-), nyeri
tekan sela iga (+) , fremitus meningkat (+)
o Perkusi : Redup di paru kanan atas sampai tengah
lapang paru kanan dan kiri
o Auskultasi : Tracheabronkial ditrakea (+) ,
Bronkhovesikuler didaerah bronkus (+) ,
Bronkial (+/+) , Ronkhi Basah halus (+) ,
wheezing (-)
Jantung
o Inspeksi : Jantung terkompensasi
gerakan tertinggal (-) , ictus cordis (+)
o Palpasi : Pulsasi (-) , nyeri tekan (-) , letak IC bergeser
o Perkusi : Kesan melebar
Batas jantung kiri :
o atas : ICS III parasternal sinistra
o bawah : ICS VI medial linea midklavikula sinistra
Batas jantung kanan:
o atas : ICS III parasternal dextra
o bawah : ICS IV parasternal dextra
o Auskultasi : interval : normal , keteraturan : ritmis (+) , S3 (+)

 ABDOMEN
o Inspeksi : tanda radang (-) , Dinding dada//Dinding
perut , distensi (-) , asites (-), mengempis saat
ekspirasi dan menggembung saat inspirasi .
umbilikus = normal .
o Auskultasi : peristaltik (+), bising usus (+) 14 x/mt ,
metallic sound (-)
o Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), supel (+) ,
distensi (-), opistotonus (-) , massa (-) , tidak
teraba hati dan lien . nyeri ketok CVA (-)
o Perkusi : timpani pada lapang perut

5
 GENITALIA : Tidak dilakukan

 EKSTREMITAS
o Superior :
simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas . nyeri tekan (+) , tanda
radang (+) , benjolan/massa (-) , nyeri sendi (-) , oedem pitting (-) ,
ptekie (-) , akral dingin (+) . Refleks biceps (+) , triceps (+) ,
contusio (-)

o Inferior :
kaki kanan dan kiri DBN, kekuatan otot 5/5 , benjolan/massa (-) ,
nyeri sendi (-) , oedem pitting (-/+) , ptekie (-) , contusio (-) , akral
dingin (+) , CRT <2 detik

 PERIANAL : Tidak dilakukan

 MUSKULOSKELETAL
Deformitas (-) , nyeri tekan (-) , tulang belakang : DBN .

B. STATUS LOKALIS

III. LABORATORIUM RUTIN

 Darah rutin

Hemoglobin : 6,3 gr% Urea : 88


Leukosit : 15.200 uL Kreatinin : 5,7
Eritrosit : 2,0 juta/uL

6
Hematokrit : 17 %
Trombosit : 152.000 uL
MCV : 85 fl
MCH : 31 pg
MCHC : 37 g/dl

 Pemeriksaan Radiologis
 Pemeriksaan Rontgen Thorax PA : cor, pulmo, tulang . Hasil :
- Posisi trakea agak ke kiri
- Mediastinum superior tidak melebar
- Jantung tampak membesar kelateral kiri dengan apex tertanam
pada diafragma , pinggang jantung mendatar
- Aorta masih tampak normal
- Sinus costophrenicus normal bilateral
- Sinus cardiophrenicus normal bilateral
- Diafragma bilateralnormal
Pulmo :
- Hilus kanan dan kiri kabur
- Corakan bronkovaskular bertambah
- Tampak perbercakan lunak dididaerah 2/3 medial kedua lapang
paru (batwing’s appearance)
- Kranialisasi (+)

 Kesan :
- Kardiomegali (LV , LA) disertai bendungan paru dan edema paru
alveolar bilateral
- Scoliosis vertevrae thoracalis

7
IV. RESUME

± 2 hari SMRS Os mengalami sesak nafas yang dirasakan kambuh-


kambuhan sudah sejak 2 tahun terakhir, sesak nafas dirasakan saat istirahat,
memberat bila pasien bekerja sehingga membuat pasien membatasi pekerjaan
karena pasien menjadi cepat lelah . Sesak nafas muncul jika pasien kecapaian,
udara dingin dan bekerja terlalu berat. Malam hari pasien kadang-kadang
terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat
pasien agak lega .
± 1 hari SMRS keluhan semakin memberat ditambah dengan keluhan
mual , muntah ± 3 x , batuk , pusing , mual muntah , lemas , tidak nafsu makan
. BAB berwarna hitam seperti aspal . Os diketahui memiliki riwayat darah tinggi
tidak terkontrol dan sedang dalam pengobatan CKD on HD . Karena sesak yang
tidak tertahankan disertai keringat dingin , Os di bawa oleh keluarganya ke IGD
RS Pertamina Bintang Amin ..
Pada pemeriksaan fisik , didapatkan tanda vital tekanan darah : 190/110
mmHg , nadi takikardia : 104x/mt , RR : 30x/mt . Pada pemeriksaan fisik wajah

8
ditemukan konjungtiva mata anemis +/+ . Pada pemeriksaan fisik paru ,
ditemukan adanya penggunaan otot bantu nafas , disertai nyeri tekan sela iga
dengan vokal fremitus meningkat . Pada perkusi ditemukan redup terutama pada
lapang paru tengah kanan dan lapang paru tengah pada paru kiri disertai bunyi
nafas bronkial dengan ronkhi basah halus (+) , pada pemeriksaan jantung
ditemukan kesan melebar dan ditemukan akral dingin dan pusat pada
pemeriksaan ekstremitas .
Pada pemeriksaan penunjang , Lab rutin ditemukan adanya Hb : 6,3 gr%,
leukosit 15.200 uL , eritrosit 2,0 juta/uL , hematokrit 17% Urea: 88 , Kreatinin
: 5,7 . Pemeriksaan radiologi didapatkan adanya deviasi trakea ke kiri , CTR
>50% dan gambaran hilus kanan dan kiri kabur dengan corakan bronkovaskuler
meningkat dan adanya perbercakan lunak dididaerah 2/3 medial kedua lapang
paru (batwing’s appearance) , kranialisasi (+) menunjukkan kesan Kardiomegali
(LV , LA) disertai bendungan paru dan edema paru alveolar bilateral dan Scoliosis
vertevrae thoracalis .

V. DAFTAR MASALAH
- Sesak
- Batuk
- Nyeri perut
- Mual (+) Muntah (+)
- Lemas , nafsu makan menurun
- Keringat dingin
- BAB hitam (melena)
- Hb :6,3 gr %
- Leukosit : 15.200 uL
- Urea : 88
- Kreatinin : 5,7
- Ht 17%
- CKD on HD
- Kardiomegali (LV,LA) batwing’s appearance

9
VI. DIAGNOSIS KERJA

Diagnosis Fungsional: decompensatio cordis NYHA III


Diagnosa anatomi : Kardiomegali (LV dan LA)
Diagnosis Etiologi: Edema pulmo alveolar

VII. DIAGNOSIS BANDING


a. Bronkitis Kronik
b. Pneumonia
c. Asma
d. PPOK
e. Diabetic nefropati
f. Gagal ginjal

VIII. USULAN PEMERIKSAAN


- Lab darah , UC dan radiologi

IX. RENCANA TERAPI

IGD :
IVFD RL xx tpm
Inj. Furosemid 3x1
Inj. Ondancenteon 2x1
As. Folat 3x1
CaCO3 2x1
Bicnat 3x1
Amlodipin 10 mg 1x1

Ruangan :
Inj. Furosemid 3x1 Clonidin
Inj. Ondancenteon 2x1
As. Folat 3x1
CaCO3 2x1
Bicnat 3x1
Amlodipin 10 mg 1x1
Omeprazole 2x1
Sucralfat

10
X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad malam


Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : dubia ad malam

XI. FOLLOW UP

Tanggal S O A P

05/01/2019 Sesak nafas yang td : 190/110 Obs IVFD RL xx tpm


memberat setelah hr : 84 x/mt dyspnea ec Inj. Furosemid 3x1
aktivitas . mual muntah rr : 32x/mt CKD + Inj. Ondancenteon 2x1
(+) , batuk s : 37c CHF As. Folat 3x1
Lab : CaCO3 2x1
Hb : 6,3dr/dl Bicnat 3x1
Ht : 17% Amlodipin 10 mg 1x1
Urea : 88
Kreatinin : 5,7

06/01/2019 Sesak . mual muntah (+) Td : 190/110 Obs - IVFD RL xx tpm


, nyeri sendi , BAB hitam hr : 84 x/mt dyspnea ec - Inj. Ondancenteon 2x1
rr : 32x/mt CKD + - As. Folat 3x1
s : 37c CHF + - CaCO3 2x1
Lab : Melena - Bicnat 3x1
Hb : 6,3dr/dl - Amlodipin 10 mg 1x1
Ht : 17% - Omeprazole 2x1
Urea : 88 - Sucralfat
Kreatinin : 5,7 - Clonidin
- Tranfusi 400 mg

11
XII. ANALISA KASUS

Temuan Kasus Teori

Anamnesa :

 Keluhan utama : Sesak memberat 2  Dari anamnesis yang dilakukan

hari SMRS didapatkan sesak napas yang

Keluhan tambahan : Batuk, pusing dikeluhkan os mengalami

,mual muntah , lemas, tidak nafsu progresifitas, yaitu sejak + 2 tahun

makan, keringat dingin, mudah lelah, yang lalu pasien mengeluh sesak nafas

BAB hitam setelah melakukan aktivitas sehari-

 Riwayat penyakit sekarang : sesak hari (NYHA II). Keluhan sesak

nafas ini dirasakan kambuh-kambuhan tersebut akan berkurang dengan

sudah sejak 2 tahun terakhir, sesak istirahat (dyspneu de effort). Os juga

nafas dirasakan saat istirahat, mengeluhkan sering terbangun di

memberat bila pasien bekerja sehingga malam hari dikarenakan sesak

membuat pasien membatasi pekerjaan. (paroxysmal nocturnal dyspnoe).

Sesak nafas muncul jika pasien Sejak + 2 tahun os lebih nyaman tidur

kecapaian, udara dingin dan bekerja dengan menggunakan 2 bantal

terlalu berat. Malam hari pasien tersusun. Namun saat ini os lebih

kadang-kadang terbangun karena nyaman tidur dengan posisi

sesak nafas, dengan posisi tidur bantal duduk (orthopneu). Tanda tanda gagal

ditinggikan membuat pasien agak lega jantung kiri pada pasien ini yaitu :

± 1 hari SMRS keluhan semakin dsypneu d`effort, fatigue, ortopneu,

memberat ditambah dengan keluhan dsypneu nocturnal paroksismal.

mual , muntah ± 3 x , batuk , pusing ,

mual muntah , lemas , tidak nafsu

makan . BAB berwarna hitam seperti

12
aspal. Os diketahui memiliki riwayat

darah tinggi tidak terkontrol dan

sedang dalam pengobatan CKD on

HD. Karena sesak yang tidak

tertahankan, Os di bawa oleh

keluarganya ke IGD RS Pertamina

Bintang Amin pada tanggal 05 Januari

2019 pukul 12.47 WIB .

Pemeriksaan fisik

 Tekanan darah : 190/100 mmHg  Hipertensi telah dibuktikan

meningkatkan resiko terjadinya gagal

jantung pada beberapa penelitian.

Hipertensi dapat menyebabkan gagal

jantung melalui beberapa mekanisme,

termasuk hipertrofi ventrikel kiri.

Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan

dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik

dan diastolic dan meningkatkan resiko

terjadinya infark miokard, serta

memudahkan untuk terjadinya aritmia.

 Konjungtiva anemis (+,+)  Inflamasi memegang peranan penting

dalam mekanisme terjadinya anemia

pada gagal jantung, dan menyebabkan

gangguan pada berbagai aspek

13
eritropoesis seperti mengurangi

sekresi eritropoetin serta menurunkan

aktifitas eritropoetin pada prekursos

eritrosit dalam sumsum tulang. Sitokin

proinflamasi juga meningkatkan kadar

hepcidin, suatu peptide yang

dihasilkan oleh hepatosit. Hepcidin

menyebabkan gangguan absorbs di

duodenum, meningkatkan ambilan

besi ke dalam makrofag serta

menghambat pelepasan besi dari

makrofag. Hal ini menyebabkan besi

terperangkap dalam makrofag

sehingga mengurangi bioavailabilitas

cadangan besi untuk sintesis

haemoglobin.

 Paru-Paru  Pada pemeriksaan fisik didapatkan,

Inspeksi ronkhi basah halus dikedua basal paru.

PD statis : simetris , Pada pemeriksaan jantung didapatkan

tanda radang (-) , massa (-) , kesan kardiomegali. Dari hasil

pernafasan anamnesis dan pemeriksaaan fisik

torakoabdomial (+), gerak tersebut, kesemuanya memenuhi

tertinggal (-) PD kanan = PD kiri gejala gagal jantung kongestif.

PD dinamis : simetris , PD

kanan = PD kiri , penggunaan otot Pada pasien ini didapatkan tiga

14
bantu nafas (+) kriteria mayor dan dua kriteria minor.

Palpasi : ketinggalan gerak paru (-), Kriteria mayor meliputi: dari hasil

nyeri tekan sela iga (+) , anamnesis didapatkan keluhan

fremitus paroxysmal nocturnal dyspnea. Dari

meningkat (+) hasil pemeriksaan fisik didapatkan.

Perkusi : Sonor di lapang paru atas, Perkusi jantung didapatkan adanya

redup pada regio medial , redup kardiomegali, yang dibuktikan oleh

berubah hasil rontgen. Auskultasi didapatkan

dengan perubahan posisi (dx dan ronki basah halus pada kedua basal

sin) paru.

Auskultasi : Tracheabronkial

ditrakea (+) , Bronkhovesikuler Sedangkan untuk kriteria minor

didaerah bronkus (+) , didapatkan dispnea d’effort yang

Bronkial (+) di lapang paru , didapatkan dari hasil anamnesis pasien

Ronkhi basah halus (+) , mengeluh sesak sehabis beraktifitas

wheezing (-) dan batuk pada malam hari. Oleh

 Jantung (kesan melebar) karena itu pada pasien ini kami

Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di SIC simpulkan diagnosis fungsionalnya

VI linea axillaris anterior adalah Congestive Heart Failure

sinistra (CHF).

Palpasi : Ictus Cordis teraba di SIC VI

Linea axillaris anterior sinistra

Perkusi :

Batas jantung kanan atas : SIC III LPS

dx

Batas jantung kiri atas : SIC III LMC

15
sinistra

Batas jantung kanan bawah : SIC V

LPS dx

Batas jantung kiri bawah : SIC VI

linea axillaris anterior sinistra

Auskultasi : BJ I-II reguler. Bising (-).

Auskultasi : interval : normal ,

keteraturan : ritmis (+) , S3 (+)

 Pemeriksaaan Penunjang  Inflamasi memegang peranan penting

Hb: 6,3 gr % dalam mekanisme terjadinya anemia

Leukosit : 15,200 uL pada gagal jantung.

Eritrosit : 2,0 juta/ uL  Kadar ureum dan kreatinin meninggi

Hematokrit : 17 % dikarenakan pasien ini memiliki

Urea : 88 riwayat CKD on HD, jadi fungsi

Kreatinin : 5,7 ginjal pada pasien ini juga mengalami

penurunan, sehingga ureum dan

kreatinin tidak dapat difiltrasi

sempurna di ginjal dan kembali ke

sirkulasi darah.

 Ro Thorax PA  Posisi agak ke kiri karena ditekan oleh


- Posisi trakea agak ke kiri cairan pada paru tersebut

- Jantung tampak membesar ke lateral  Kompensasi yang dilakukan oleh

16
kiri dengan apex tertanam pada jantung untuk meningkatkan cardiac

diafragma, pinggang jantung melebar output antara lain adalah meningkatkan

volume preload, menurunkan

beban afterload, dan meningkatkan

kontraktilitas jantung. Karena

beban afterload yang tinggi diakibatkan

resistensi vaskular yang tinggi pada

hipertensi, otot jantung meningkatkan

daya kontraktilitas atau daya pompa

darah dengan hipertrofi miokardium

ventrikel kiri. Peningkatan venous

return dari vena kava ke ruang jantung

kanan lalu ke sirkulasi pulmonal

meningkatkan kebutuhan oksigen

dan left ventricle end diastolic

pressure (LVEDP) sehingga dapat

meningkatkan stroke volume.

- Hilus kanan dan kiri kabur  Edema pulmonal alveolus. Dengan

- Tampak perbercakan lunak di daerah semakin meningkatnya tekanan vena,

2/3 medial kedua lapang paru cairan melewati rongga alveolus

(batwing`s appearance) (bayangan alveolus) dengan

- kranialisasi (+) kekaburan dan gambaran berkabut

pada regio perihilar; pada kasus yang

berat terjadi edema pulmonal di

seluruh kedua lapang paru. Sepertiga

17
bagian luar paru dapat terpisah, edema

sentral bilateral digambarkan sebagai

`bat’s wing` (sayap kelelawar)

 Penatalaksanaan  Tatalaksana pada pasien ini diberikan

IVFD RL xx tpm diuretik seperti furosemide yang

Inj. Furosemid 3x1 merupakan loop diuretic untuk

Inj. Ondancenteon 2x1 mengurangi edema paru

As. Folat 3x1


 Bicnat merupakan jenis obat yang
CaCO3 2x1
digunakan untuk menambah asupan
Bicnat 3x1
elektrolit yang kurang akibat
Amlodipin 10 mg 1x1
pengeluaran ion yang berlebih dari
Omeprazole 2x1
dalam tubuh. \
Sucralfat 3x1C

Clonidin 2 x 0,15 g  Clonidine adalah obat untuk

menurunkan tekanan darah tinggi,

membantu mencegah stroke, serangan

jantung, dan masalah ginjal. Obat ini

dapat digunakan sendiri atau

bersamaan dengan obat lain.

Clonidine termasuk ke dalam kelas

obat A (agonis alpha pusat) yang

bekerja pada otak untuk menurunkan

tekanan darah. Obat ini menurunkan

tekanan pembuluh darah sehingga

darah dapat mengalir lebih mudah.

18
 Antagonis kalsium

dikontraindikasikan pada gagal

jantung karena memiliki efek

inotropic negative yang dapat

memperburuk gejala gagal jantung.

Amlodipin merupakan satu satunya

antagonis kalsium yang dapat

menurunkan mortalitas pada gagal

jantung.

 Prognosis  Pada prognosis quo ad vitam dubia ad

Quo ad vitam : dubia ad malam malam dikarenakan tanda vital pasien

Quo ad functionam : dubia ad buruk diantara lain tekanan darah

malam tinggi, sudah terjadi edema paru,

Quo ad Sanactionam : dubia ad kardiomegali, dll

 Quo ad functionam dubia ad malam


malam
dikarenakan pasien untuk

menjalankan fungsinya sudah tidak

baik lagi sebagai contoh untuk

melakukan aktivitas sehari hari pasien

mudah kelelahan

 Quo ad sanactionam dubia ad malam

dikarenakan banyak penyakit penyerta

yang diderita oleh pasien ini sebagai

contoh DM, Hipertensi, CKD

19
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala kompleks karena adanya kelainan
fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemempuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekanan pengisian ventrikel kiri1.

Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dengan tampilan gejala
nafas yang pendek saat melakukan istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau
kelelahan, tanda-tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki,
adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak
lagi mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh pada tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke
jantung dalam keadaan normal2.

1.2. Klasifikasi Gagal Jantung

Pada referat ini yang akan dibahas adalah gagal jantung akut dan gagal jantung kronik.

A. Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari
gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi
dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari preload atau afterload. Gagal jantung akut dapat berupa acute
de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya)
atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik.

20
Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis5:

a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive heart failure)

Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui
gagal jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru
dan sistemik.

b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with hypertension/crisis


hypertension)

Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya
fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis
dengan takikardi dan vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang tepat
dan mortaliti rumah sakitnya rendah.

c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with pulmonary
edema)

Pasien yang datang dengan distress pernafasan berat, takipnoe, dan ortopnoe,
dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya <
90° pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.

d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome)

Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan


koreksi preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan paru
terjadi dengan cepat.

e. High output failure

Ditandai tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang sangat
cepat (penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget,
iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah
yang rendah seperti pada syok septik.

f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure)

21
Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral
tanpa disertai kongesti paru.

g. Sindrom koroner akut dan gagal jantung

Banyak pasien gagal jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti
laboratoris sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner
akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut.

Ada beberapa klasifikasi lain Gagal Jantung Akut yang biasa dipakai di
perawatan intensif, yaitu klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto
thoraks, serta klasifikasi Forrester berdasarkan gambaran klinis dan dan status
hemodinaik pada infark miokard akut. Tabel berikut menggambarkan mengenai
klasifikasi gagal jantung pada infark miokard akut3

Tabel 1. Klasifikasi Forrester gagal jantung

Klasifikasi Forrester

 Perfusi dan PCWP normal

 Hipovolemik (poor perfusion and low PCWP)

 Edema paru (near normal perfusion and high PCWP)

 Syok kardiogenik (poor perfusion and high PCWP)

Klasifikasi yang lain telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati, yang berdasarkan
sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion), diklasifikasikan menjadi

 Kelas I (A) : kering dan hangat (warm and dry)

 Kelas II (B) : basah dan hangat (wet and warm)

 Kelas III (L) : kering dan dingin (dry and cold)

 Kelas IV (L) : basah dan dingin (wet and cold)

22
B. Gagal Jantung Kronik

Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung
kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada
disfungsi ventrikel.

Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom


klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik
dalam keadaan istirahat atau aktivitas, edema dan tanda objektif adanya disfungsi
jantung dalam keadaan isrirahat.

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural jantung


(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional (NYHA)

23
Gambar 1. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural
jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas
fungsional (NYHA)

Tabel 2. Perbandingan antara gagal jantung akut dan gagal jantung kronik

Gagal jantung Decomp Chronic Gagal jantung


akut HF kronik

Derajat simptom Jelas jelas Ringan - sedang

Edema paru Sering Sering Jarang

Edema perifer Jarang Sering Sering

Overload volume Tidak ada Meningkat jelas Meningkat


cairan tubuh perubahan atau
meningkat ringan

Kardiomegali Jarang Lazim Lazim

Fungsi sistolik Hypo, normo, Menurun Menurun


ventrikel hiperkontraktilitas

Wall stress Meningkat Meningkat Meningkat

Aktivasi sistem Jelas jelas Ringan - sedang


saraf simpatis

Aktivasi aksis RAA Sering meningkat jelas Ringan – berat

1.3. Etiologi dan Faktor Presipitasi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi penting
untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di negara maju penyakit arteri koroner dan
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang

24
menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat
malnutrisi6.

Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya
rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai factor risiko independent
perkembangan gagal jantung.

Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada


beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa
mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan
dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang
menunjukkan hipertropi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal
jantung. Adanya krisis hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh


penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung congenital, katup ataupun
penyakit perikardial.

Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional : dilatasi (kongestif),


hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi
pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain
miokarditis virus, penyakit jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strtrauss dan
poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominant) meski secara sporadic masih memungkinkan. Ditandai adanya
kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris
yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik
obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolic (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel7. Kardiomiopati peripartum
menyebabkan gagal jantung akut.

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama


terjadinya gagal jantung adalah regurgutasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi mitral

25
dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan preload) sedangkan stenosis
aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagagl jantung dan dihubungkan
dengan kelainan struktural termasuk hioertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan.

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal


jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang berlebihan
dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkohol). Alkohol
menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan
malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung.
Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat
menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.

III. PATOGENESIS

Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan fungsi


jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan/ atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekanan pengisian ventrikel kiri (filling pressure).

Kerja jantung diatur oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah
regulasi secara intrinsik yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot
jantung sebelum proses kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan
proses pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon
miokard untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah kontraksi dimulai disebut
afterload. Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan respon
jantung terhadap kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat dan penyakit.
Setiap perubahan pada kedua sistem tersebut menyebabkan gagal jantung. Selain itu,
sirkulasi paru dan perifer juga dapat memperburuk kondisi hemodinamik dari gagal
jantung.

26
Gambar 2. Kerja jantung diatur oleh dua mekanisme, yaitu regulasi intrinsik
(preload dan afterload) dan regulasi ekstrinsik yang melibatkan stimulasi neural
dan hormon

3.1. Hukum Starling tentang Jantung

Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling, menyebutkan
bahwa pada kondisi fisiologi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang
berkontraksi akan lebih besar bila sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal ini
mengakibatkan selama diastolik, jika terjadi pengisian darah yang lebih besar ke dalam
ventrikel dapat menyebabkan kontraksi berikutnya menjadi penuh tekanan.

Menurut hukum Starling, suatu peningkatan pada volume diastolik akhir


(preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada tekanan dan volume yang
lebih tinggi. Volume sistolik akhir akan sedikit meningkat namun pada kondisi ini
jantung akan bekerja pada volume diastolik akhir yang lebih besar dan akibatnya akan
mengeluarkan volume stroke yang lebih besar juga.

Karena itu jantung mempunyai kemampuan intrinsik sendiri untuk mengontrol


volume stroke. Batas atas pada kontrol ini dicapai jika diperoleh volume diastolik akhir
tertentu tercapai, sehingga menghasilkan panjang jaringan miokard yang optimal8.

27
Gambar 3. Hukum Starling menyatakan bahwa peningkatan pada volume
diastolik akhir (preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada
tekanan dan volume lebih tinggi

3.2. Perubahan pada gagal jantung

Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik terdapat kontraktilitas ventrikel kiri
yang terganggu sehingga terjadi pengurangan kemampuan meningkatkan volume stroke
dengan meningkatkan preload dan terjadi pergerakan kurva lebih ke sebelah kanan/
bawah dari posisi normal. Jika kondisi ventrikel kiri memburuk, tekanan volume
jantung akan terus meningkat dan menyebabkan kongesti vena paru. Setiap
pengurangan pada preload, dengan peningkatan afterload atau peningkatan tekanan
inotropik atau keduanya akan menyebabkan pengurangan tekanan pengisian ventrikel
dan kerja ventrikel akan membaik.

Pada fase awal gagal jantung terdapat 2 mekanisme yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki kontraktilitas miokard, yaitu:

1) mekanisme Starling

2) aktivasi sistem saraf simpatik

28
Selanjutnya akibat hipertropi miokard, pelemahan sistem saraf simpatik dan
pengeluaran peptida natriuretik atrium mengkompensasi peningkatan tekanan dinding
jantung.

Jika penyakit bertambah parah, hipertropi menyebabkan perburukan fungsi jantung dan
menyebabkan abnormalitas aliran koroner, morfologi kapiler, karakteristik mitokondria
dan penghantaran fosfat berenergi tinggi. Selain itu, terjadi iskemia subendokard akibat
peningkatan tekanan intraluminal, vasokontriksi akibat norepinefrin dan angiotensin II,
dan juga apoptosis yang menyebabkan fibrosis. Semua ini memperburuk kondisi gagal
jantung.

3.3. Disfungsi Diastolik dan Sistolik

Gagal jantung akibat disfungsi sistolik merupakan akibat dari ketidakmampuan


jantung untuk berkontraksi secara normal. Jantung tidak dapat memompa darah jika otot
melemah sehingga menyebabkan penurunan volume darah yang dipompa ke seluruh
tubuh dan paru-paru, yang terutama akan menyebabkan pembesaran ventrikel kiri.

Gagal jantung akibat disfungsi diastolik diperoleh dari dinding jantung yang
menebal sehingga jantung tidak dapat mengisi darah dengan normal, akibatnya akan
terjadi penempatan cadangan darah pada atrium kiri dan pembuluh darah paru yang
kemudian menyebabkan kongestif.

3.4. Aktivasi Neurohormonal

Selama ini terdapat pengertian bahwa respon neurohormonal berperan dalam


patogenesis gagal jantung. Respon ini pada awalnya menguntungkan, namun
selanjutnya menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini menghasilkan
beberapa perubahan hemodinamik, seperti vasokontriksi dan retensi volume air. Selain
itu, respon ini juga menyebabkan reaksi inflamasi dan berpengaruh pada pertumbuhan.
Aktivasi reaksi neurohormonal dimulai dari aktivasi sistem saraf simpatik.

Tabel 3. Respon Neurohormonal

29
Mekanisme Respon kompensasi jangka Respon maladaptif jangka
pendek panjang

I. Hemodinamik Mempertahankan tekanan Menurunkan curah jantung


darah dan curah jantung dan peningkatan konsumsi
Vasokonstriksi
dengan meningkatkan energi miokard
afterload

Retensi caiaran dan Mempertahankan curah Menyebabkan edema dan


elektrolit jantung dengan kongesti paru
meningkatkan preload

Peningkatan efek Mempertahankan curah Menyebabkan nekrosis


adrenergik jantung kardiak, aritmia dan
kematian mendadak

II. Inflamasi Memberikan perlindungan Menyebabkan apoptosis


terhadap mikroorganisme kardiak, kaheksia dan
dan zat asing nekrosis

III. Pertumbuhan Hipertropi akibat Hipertropi yang selanjutnya


peningkatan jumlah menyebabkan peningkatan
sarkomer, menurunkan kebutuhan energi, apoptosis
kebutuhan dan kemampuan dan nekrosis jantung
menyimpan energi,
mempertahankan curah
jantung

3.3.1. Sistem Saraf Simpatik

Sistem saraf simpatik bekerja melalui reseptor α dan β adrenergik, yang pada
awalnya memperbaiki curah jantung. Namun aktivitas yang tertahan dari sistem saraf
simpatik merubah gagal jantung kompensasi menjadi gagal jantung simptomatik yang
mengakibatkan efek yang tidak diinginkan, yaitu mempengaruhi kinerja ventrikel.

30
3.3.2. Sistem Renin-angiotensin-aldosteron (Renin-angiotensin-aldosteron system/
RAAS)

Aktivasi RAAS berperan dalam patogenesis gagal jantung. Sistem ini


bertanggung jawab terhadap respon maladaptif jangka panjang yang mengakibatkan
perburukan gagal jantung. RAAS diaktifkan oleh sistem saraf simpatik, menurunnya
tekanan arteri renal, hiponatremi, diuretik dan vasopresin. Hal ini menyebabkan suatu
jalur reaksi proteolitik yang mengakibatkan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II
ini yang kemudian mengakibatkan berbagai respon maladaptif.

Fenomena pelepasan angiotensin

Penghambat ACE menurunkan tekanan darah dengan menurunkan kadar


angiotensin II dan aldosteron. Hal ini terjadi karena penghambatan proses perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II, yang dipengaruhi oleh enzim ACE, sehingga
akhirnya merusak sistem RAAS. Selain dengan mengurangi kadar angiotensin II, efek
antihipertensi juga dipengaruhi oleh penurunan pelepasan norepinefrin pasca sinaptik,
penghambatan RAAS pada pusat vasomotor di medula oblongata dan akumulasi
bradikinin. ACEI tidak menghambat produksi angiotensin II melalui mekanisme non-
ACE sehingga kadar angiotensin II tidak dapat ditekan secara total. Akibatnya, kadar
angiotensin II dapat kembali normal. Hal ini disebut fenomena pelepasan angiotensin.

 GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)

31
Gambar 4. Efek Sistem Renin-angiotensin-aldosteron

3.3.3. Jalur Asam Arakidonat

Jalur asam arakidonat menyebabkan peningkatan konsentrasi prostaglandin E2


dan I2, yang melindungi mikrosirkulasi glomerulus selama vasokonstriksi renal dan
menjaga filtrasi glomerulus melalui dilatasi pembuluh arteri glomerulus aferen.

3.3.4. Sistem Kalikrein-Kinin

Sistem kalikrein-kinin membentuk bradikinin menyebabkan vasodilatasi dan


natriuresis, dan stimulasi produksi prostaglandin. Prostaglandin selain menyebabkan
vasodilatasi juga menghambat agregasi platelet.

3.3.5. Aldosteron

Aldosteron disekresi oleh korteks adrenal. Mekanisme pelepasannya pada gagal


jantung bervariasi dengan angiotensin yang merupakan stimulus terkuat untuk
pelepasan aldosteron.

32
Peningkatan kardar aldosteron dalam serum pada kondisi gagal jantung menyebabkan :

 Potensiasi katekolamin

 Aritmia ventrikular

 Fibrosis miokard

 Ketidakseimbangan elektrolit

3.3.6. Peptida Natriuretik

Fungsi endokrin dari jantung telah diketahui sejak tahun 1950-an. Pada saat itu
ditemukan bahwa jantung mensekresi peptida natriuretik. Tidak seperti RAAS dan
aktivasi sistem saraf simpatik, peptida ini menahan perkembangan penyakit gagal
jantung. Kemajuan ilmu terkini menunjukkan bahwa peptida natriuretik terus meningkat
perannya sebagai molekul dan indikator diagnostik yang penting dalam terapi gagal
jantung11.

Terdapat tiga bentuk peptide natriuretik yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
natriuretic peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatasi. Pada manusia Brain Natriuretic peptide
(BNP) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip ANP. C-
type natriuretic terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek
terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. ANP dan BNP meningkat sebagai respon
terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap
angiotensin II pada tonus vaskuler,sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus
renal. Karena peningkatan peptide natriuretik pada gagal jantunng, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis,
bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung12.

3.3.6. Hormon Antidiuretik

33
ADH disintesis pada hipotalamus dan disimpan dalam pituitari merupakan
vasokonstriktor dan vasodilator kuat. Dengan berikatan pada resptor V1, vasopresin
menyebabkan vasokonstriksi dan jika berikatan dengan reseptor V2 menyebabkan
vasodilatasi. Vasopressin juga meningkatkan reabsorpsi air melalui duktus pengumpul
pada ginjal dan menghambat diuresis. Pada gagal jantung, pelepasan vasopressin
ditentukan oleh pengisian arteri dan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar vasopressin
menyebabkan hiponatremia akibat pengenceran.

3.3.7. Endotelin

Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah
ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma
akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure.

3.4. Remodeling Jantung

Modifikasi pada fungsi dan morfologi sel otot jantung

- Perubahan dalam anatomi sitoskeletal dan hipertropi miosit

- Abnormalitas dalam homeostasis kalsium

- Proses kontraksi-eksitasi

- Kematian Sel

3.5. Abnormalitas lain pada Gagal Jantung

3.5.1. Kaheksia jantung dan miopati otot skelet

Kaheksia jantung merupakan miopati otot skelet atau penyusutan fisik akibat
kehilangan massa otot yang menyebabkan rasa letih akibat kehilangan massa otot yang

34
menyebabkan rasa letih dengan adanya gagal jantung. Diduga kaheksia jantung terjadi
akibat abnormalitas yang disebabkan oleh peningkatan kadar sitokin. Sitokin ini
diproduksi dalam miokardium. Sitokin terakumulasi dalam miokardium setelah terjadi
overloading hemodinamik. Sitokin ini menimbulkan efek sitotoksik yang menyebabkan
miopati.

3.5.2 Perubahan vaskular

Endotelium vaskular yang mengatur denyut nadi dengan melepaskan factor


kontraksi dan relaksasi pada kondisi normal dan saat beraktivitas. Pada pasien dengan
gagal jantung kronis, trdapat peningkatan resisten perifer yang berhubungan dengan
perubahan kontrol otonom, meningkatnya denyut saraf simpatik, aktivasi RAS dan
penurunan pelepasan nitrit oksid.

IV. DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG

4.1 Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara


luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua criteria mayor atau satu
kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jira kriteria
minor tersebut tidak berrhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti hipertensi
pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindrom nefrotik.

Tabel 4. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Mayor:

Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea

Distensi vena leher

Rales paru

35
Kardiomegali pada hasil rontgen

Edema paru akut

S3 gallop

Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan

Hepatojugular reflux

Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung

Kriteria Minor:

Edema pergelangan kaki bilateral

Batuk pada malam hari

Dyspnea on ordinary exertion

Hepatomegali

Efusi pleura

Takikardi ≥ 120x/menit

4.2. Pemeriksaan Penunjang

Sebagai penunjang dari pemeriksaan klinis yang terperinci, pemeriksaan


penunjang diagnostik yang menyeluruh sangat perlu dilakukan pada pasien yang diduga
kuat terkena penyakit gagal jantung.

Pemeriksaan penunjang diagnostik juga sangat membantu pada pasien yang


mengalami sedikit gejala dan juga bermanfaat untuk mendiagnosis penyebab gagal
jantung. Ejeksi Fraksi juga ditentukan dari pemeriksaan penunjang.

36
5.2.1 Rontgen foto toraks

Rontgen toraks bermanfaat untuk mendiagnosis gagal jantung dan memantau respon
pengobatan.

Hal berikut yang dapat ditemukan pada hasil rontgen toraks:

Tabel 5. Kelainan rontgen toraks yang sering ditemukan pada Gagal Jantung

Kelainan Penyebab Implikasi Klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, Ekhokardiografi, doppler


ventrikel kanan, atria, efusi
perikard

Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, Ekhokardiografi, doppler


kardiomiopati hipertropi

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri


pengisian ventrikel kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan Gagal jantung kiri


pengisian ventrikel kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan Pikirkan diagnosis non


peningkatan pengisian kardiak
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan

Garis Kerley B Peningkatan tekanan Mitral stenosis atau gagal


limfatik jantung kronis

4.2.2. Elektrokardiogram

Hasil EKG bersama dengan gejala klinis dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis pada
pasien yang dicurigai menderita gagal jantung.

37
Tabel 6. Kelainan EKG yang sering pada gagal jantung

Kelainan Penyebab Implikasi klinis

Sinus takikardi Gagal jantung yang Penilaian klinis


terdekompensasi, anemia,
Pemeriksaan laboratorium
infeksi, hipertiroidiesme

Sinus bradikardi Obat β bloker, anti aritmia, Evaluasi terapi obat


sick sinus syndrome,
Pemeriksaan laboratorium
hipotiroidisme

Atrial takikardi/ flutter/ Hipertiroidisme, infeksi, Konduksi AV yang lambat,


fibrilasi gagal jantung konversi medical,
terdekompensasi, infark elektroversi, ablasi kateter,
antikoagulasi

Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan laboratorium


kardiomiopati, miokarditis,
Tes latihan beban
hipokalemiaa,
hipomagnesemi, overdosis Pemeriksaan perfusi
digitalis
Angiografi koroner

Pemeriksaan
elektrofisiologi, ICD

Isekmia/ Infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,


angiografi koroner,
revascularisasi

Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi


hipertropi, LBBB, pre-
Angiografi koroner
eksitasi

Hipertropi ventrikel kiri Hipertensi, penyakit katup Ekokardiografi, doppler


aorta, kardiomiopati

38
hipertropi

Blok AV Infark, intoksikasi obat, Evaluasi penggunaan obat,


miokarditis, sarcoidosis pacu jantung, penyakit
sistemik

Mikrovoltage Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiografi


perikard, amiloidosis
Rontgen tórax

Durasi QRS > 120 msec Disinkroni elektronik Ekokardiografi, CRT-P,


dengan morfologi LBBB CRT-D

4.2.3. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi rutin

Pemeriksaan ini diperlukan untuk menghilangkan kemungkinan, terutama, anemia pada


pasien gagal jantung lanjut. Anemia juga merupakan penyebab kesulitan bernafas dan
gagal jantung high output.

Urinalisis

Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat pada pemeriksaan
urin rutin.

Elektrolit serum

Hiponatremia, hipokalemia, hiperkalemia, dan hipomagnesia mungkin terjadi akibat


penggunaan diuretik. Ketidakseimbangan elektrolit ini dapat memicu aritmia.
Hiponatremia juga merupakan pertanda tingkat keparahan gagal jantung

39
Profil Lipid

Meupakan serangkaian pemeriksaan yang menentukan risiko penyakit jantung koroner.


Pemeriksaan ini meliputi kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, dan juga
perbandingan HDL/ kolesterol

Tes fungsi hati

Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan enzim hati dan
penurunan albumin.

Tes fungsi ginjal

Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus dilakukan sebelum
memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan kadar kreatinin serum menandakan :

 Pengobatan ACEI

 Pengobatan diuretik dosis tinggi

 Azotemia pre-renal

 Stenosis arteri ginjal

Hormon stimulasi tiroid

Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high output. Oleh
karenanya, pemeriksaan profil tiroid disarankan pada pasien yang baru didiagnosis
gagal jantung.

Peptida natriuretik

40
Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal jantung yang dapat
digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok
peptida natriuretik terdiri dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain
natiuretic peptide, BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat, urodilatin dari ginjal,
dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan bagian ujung aminonya dari projormon
N-terminal-pro-BNP (NT-proBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal
jantung. BNP berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung dan memperkirakan
prognosis.

Tabel 7. Kadar peptida natriuretik pada diagnosis gagal jantung

Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai untuk diagnosis gagal
jantung

Usia (tahun) Cenderung bukan Kemungkinan Kemungkinan


gagal jantung gagal jantung besar gagal
jantung

BNP semua <100 pg/mL 100-500 pg/mL >500 pg/mL

NT-proBNP < 50 <300 pg/mL 300-450 pg/mL >450 pg/mL

50-75 <300 pg/mL 450-900 pg/mL >900 pg/mL

>75 <300 pg/mL 900-1800 pg/mL >1800 pg/mL

4.2.4. Ekokardiografi

Ekokardiografi merupakan pengujian non invasif yang paling bermanfaat dalam


membantu menilai struktur dan fungsi jantung. Pemeriksaan ini merupakan standar
utama (gold standar) untuk menilai gangguan fungsi sistol ventrikel kiri dan membantu
memperkirakan hasil dan kemampuan bertahan kasus gagal jantung.

41
V. TATALAKSANA

Tujuan pengobatan gagal jantung :

a. Menurunkan mortalitas

b. Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup

c. Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresifitas kerusakan miokard,


remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi cairan, dan
perawatan di rumah sakit.

A. Tatalaksana Gagal Jantung Kronik

5.1 Tatalaksana Non Farmakologi

Perawatan Mandiri

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal


jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien,
kapasitas fungsional, well being, morbiditi dan prognosis. Perawatan mandiri dapat
didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi dini
gejala-gejala perburukan. Topik-topik penting dan perilaku perawatan mandiri sebagai
berikut:

Tabel 8. Topik-topik penting dalam edukasi pasien tentang keterampilan yang


diperlukan dan perilaku perawatan mandiri

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi gagal Memahami penyebab gagal jantung dan mengana
jantung keluhan-keluhan timbul

Gejala-gejala dan tanda-tanda Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

42
gagal jantung Mencatat berat badan setiap hari

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan

Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai


anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat


digunakan

Mengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko berhenti merokok, memantau tekanan darah

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas

Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur

Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan

Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor progmostik dan


membuat keputusan realistik

5.2 Tatalaksana Farmakologik

A. Gagal Jantung Kronik

Sudah diakui bertahun-tahun, obat golongan diuretik dan digoksin digunakan


dalam terapi gagal jantung. Obat-obat ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup, namun belum terbukti menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat
yang dapat mempengaruhi sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik,
morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung membaik13

5.2.1. Angiotensin converting enzyme (ACEI)

43
Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien,
menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan
meningkatkan angka keselamatan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

- LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

- Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Memulai pemberian ACEI :

- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau


hiperkalemia

- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan


secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

5.2.2. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF < 40% yang
masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta antagonis
aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung.
(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB direkomendasikan sebagai pilihan lain
pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
ARB menurunkan risiko kematian dengan penyebab kardiovaskular (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

- LVEF < 40%

- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

44
- Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:

- periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

- Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

- Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau


hiperkalemia

- Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan


secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

5.2.3. Diuretik

Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dan tanda-tanda klinis/


gejala kongesti (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).

Memulai pemberian diuretik :

- Periksa fungsi renal dan elektrolit serum

- Kebanyakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazide karena


efisiensinya lebih menginduksi diuresis dan natriuresis

- Penyesuaian sendiri dosis diuretik berdasarkan penghitungan berat harian dan


tanda klinis lainnya dari retensi cairan.

5.2.4. Antagonis Aldosteron

Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan


gagal jantung dan meningkatkan survival jika ditambahkan pada terapi yang sudah ada,
termasuk dengan ACEI. Jika tidak ada kontraindikasi, aldosteron antagonis

45
ditambahkan pada keadaan LVEF <35% dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

- LVEF < 35%

- Gejala menengah sampai berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

- Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

- Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

- Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan


dosis jika terjadi pernurukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

5.2.5. Beta bloker

Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik dan
LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk perburukan gagal jantung
dan meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah dimulai di RS
sebelum pasien dipulangkan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

- Mengurangi detak jantung : memperlambat pengisian diastolik sehingga


memperbaiki perfusi miokard.

- Meningkatkan LVEF

- Menurunkan pulmonary capillary wedge pressure

Pasien yang harus mendapatkan beta bloker :

- LVEF <40%

- Gejala ringan sampai berat

46
- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal

- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari dosis
diuretik).

Memulai pemberian beta bloker :

- Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien
yang dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A)

- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan
meningkatkan dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung,
hipotensi gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x /
menit) pada tiap kunjungan.

5.2.6. Glikosida jantung

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan


meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas
dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium intrasel
akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi kalsium
melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.

Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan untuk
mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C). Pada
penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan digoksin
(sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi angka masuk RS
karena perburukan gagal jantung namun tidak berpengaruh terhadap survival (Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). Digoksin memberikan keuntungan pada terapi
gagal jantung dalam hal :

- Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi


ventrikel kiri.

- Menstimulasi baroreseptor jantung

47
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.

- Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal


tone.

- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit, dan
saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.

5.2.7 Senyawa amin simpatomimetik

Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat digunakan


dalam penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis beta1 selektif
yang dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.

- efek inotropik positif

- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload

Efek dopamin sangat tergantung dosis:

- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan


diuresis

- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas


jantung dan detak jantung

- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan


meningkatkan tekanan darah.

Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi14.

5.2.8 Terapi vasodilator

48
A. Antagonis kalsium

Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki efek


inotropik negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin merupakan
satu-satunya antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung.

B. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida

Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan


kemudian mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload
menimbulkan peningkatan curah jantung17.

Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi


hipotensi. Karena itu penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan infark
miokard akut. Pada saat memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan monitoring
tekanan darah intra arteri.

C. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)

Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko kematian


(Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi
ventrikel dan kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).

Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN

- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi

- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah
mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron.

Memulai pemberian H-ISDN :

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada
hipotensi yang simtomatis.

49
E. Nitrogliserin intravena

Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan nitrogliserin


merupakan terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam
mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat
mengurangi afterload. Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal
yang baik untuk pasien dengan gagal jantung dekompensasi berat.

5.2.9 Peptida natriuretik

Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa peptida ini
bekerja menyebabkan :

- Natriuresis.

- Diuresis.

- Dilatasi vena dan arteri.

- Penghambatan sistem saraf simpatis.

- Antagonis protein pada rantai RAAS.

- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular.

5.2.10 Trombolitik

A. Antiplatelet

Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan. Aspirin


memperlihatkan perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses penghambatan
prostaglandin. Penelitian lain memperlihatkan bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika
diberikan bersamaan dengan aspirin18.

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan


gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa
kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan

50
risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
A).

B. Antikoagulan

Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan:

- Fibrilasi atrial

- Riwayat tromboembolik

- Trombus pada ventrikel kiri

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan


gagal jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa
kontraindikasi terhadap antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan
risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
A). Antikoagulan juga direkomendasikan pada penderita dengan trombus intrakardiak
yang dideteksi dengan imaging atau bukti emboli sistemik (Kelas Rekomendasi I,
Tingkat Bukti C).

Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

Obat Dosis awal Dosis target

ACEI

Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg

Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg

Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg

Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg

Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg

51
ARB

Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg

Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg

Beta bloker

Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg

Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg

Metoprolol succinat 1 x 12,5 – 25 mg 200 mg

Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg

Hidralazin – ISDN

Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg

Antagonis aldosteron

Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg

Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg

5.3. Alat dan Pembedahan

Prosedur revaskularisasi, pembedahan valvular dan ventricular, jika simtom klinis dari
gagal jantung muncul, kondisi koreksi secara bedah harus dideteksi dan dilakukan jika
ada indikasi.

5.3.1. Revaskularisasi pada pasien dengan gagal jantung

CABG atau PCI harus diperimbangkan pada pasien gagal jantung dengan CAD
terseleksi. Keputusan pilihan metode revaskularisasi harus berdasarkan pada evaluasi
mendetil terhadap faktor komorbiditi, risiko prosedur, anatomi koroner dan bukti dari

52
ekstensi miokardium yang maíz viable pada daerah yang akan direvaskularisasi, fungsi
ventrikel kiri dan keberadaan dari penyakit katup.

5.3.2. Operasi katup

Aortik stenosis

Direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan simtom gagal jantung dan aortic
stenosis berat. Durekomendasikan pada psien asimtomatis dengan AS dan perburukan
LVEF (<50%). Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan area katup yang tereduksi
berat dan disfungsi ventrikel kiri.

Aortik regurgitasi (AR)

Pembedahan direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan AR berat yang


mempunyai simtom gagal jantung. Direkomendasikan pada pasien asimtomatis dengan
AR berat dan perburukan sedang dari LVEF (<50%)

Mitral regurgitasi

Pembedahan direkomendasikan pada pasien dengan LVEF > 30% (perbaikan katup jika
memungkinkan) Dapat dipertimbangkan pada pasien terseleksi dengan fungsional MR
berat dan fungsi ventrikel kiri terdepresi berat, yang tetap mempunyai simtom walaupun
pengobatan medikal sudah optimal.

Regurgitasi Trikuspid

TR fungsional sangat biasa pada pasien gagal jantung dengan dilatasi biventrikular,
disfungsi sistolik dan hipertensi pulmoner.

5.3.3. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)

53
CRT-P direkomendasikan untuk mengurangi morbiditi dan mortaliti pada pasien NYHA
kelas III-IV yang simptomatik meski dengan terapi medikamentosa optimal, yang
memiliki penurunan fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan pemanjangan QRS (lebar QRS 120
ms). CRT dengan fungsi defibrilator (CRT-D) direkomendasikan untuk mengurangi
morbiditi dan mortaliti pada pasien NYHA kelas III-IV yang simptomatik meski dengan
terapi medikamentosa optimal, yang memiliki penurunan fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan
pemanjangan QRS.

5.3.4. Implantable cardioverter defibrilator (ICD)

Terapi ICD untuk pencegahan sekunder direkomendasikan pada survivors VF dan juga
pasien dengan VT tak stabil terdokumentasi dan atau VT dengan sinkop, LVEF 40%,
dalam terapi medikamentosa optimal dan dengan harapan hidup dengan status
fungsional yang baik lebih dari 1 tahun.

Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortaliti


pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri karena memiliki fraksi ejeksi 35%, NYHA
II-III, menerima terapi medikal optimal dan memiliki harapan survival dengan status
fungsional yang lebih baik dari 1 tahun.

Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortaliti


pada pasien kardiomiopati non iskemik dengan LVEF 35%, NYHA II-III, menerima
terapi medikal optimal dan memiliki harapan survival dengan status fungsional yang
lebih baik dari 1 tahun.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure. In : Libby P, Bonow
RO, Mann DL, Zipes DP. In : Braunwald’s heart disease. A textbook of
cardiovascular medicine. 8th. Ed.Saunders company, 2007: 561-580.

2. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure.


Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

3. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

4. Ong WT, Patacsil GB. Cardiology blue book 2nd ed. 2001.148-162

5. Teerlink JR. Diagnosis and management of acute heart failure. In : Braunwald’s


heart disease. A textbook of cardiovascular medicine. 8th. Ed.Saunders company,
2007 : 583-606.

6. Lip GHY, Gibbs FDR, Beevers DG. ABC of heart failure : aetiology. BMJ
2000; 320 : 104-107.

7. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in adult. In : Dec GW. Heart failure a


comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York :Marcel Dekker;
2005. 137-156.

8. Katz AM. Heart failure : pathophysiology, molecular biology and clinical


management. Lippincott Williams and Wilkins; 2000.

55
9. Teo WS, Kam R, Hsu LF. Treatment of heart failure-role of biventricular pacing
for heart failure not responding well to drug therapy. Singapore MedJ.
2003;44(3):114-122.

10. Watson RDS, Gibbs CR, LipGYH.ABC of heart failure clinical features and
complications. BMJ.2000;320(22):236-239.

11. De Lamos JA, McGuire DK, Drazner MH. B-type natriuretic peptide in
cardiovascular disease. The lancet 2003;36:316-322. Available at
www.thelancet.com

12. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:267-170

13. Bell DSH. Heart failure-the frequent, forgotten, and often fatal complication on
diabetes. Diabetes care. 2003;26:2433-2441.

14. Zevits ME. Heart failure. Webmed website. Available at


http://www.emedicine.com/med/topic3552.htm

15. Fogoros RN. The muga scan. Available at


http://heartdisease.about.com/cs/cardiactest/a/muga.htm.

16. Shamsham F, Michell J. Essentials of the diagnosis of heart failure. Am Fam


Physician.2000.Available at http://www.aafp.org/afp/200003.

17. Levin TN. Acute congestive heart failure. Postgraduate medicine.1997;101(1).


Available at http://www.postgradmed.com/issues/1997.

18. Cokkinos DV, Haralabopoulos GC, Kostic JB, Toutouzas PK. Efficacy of
antithrombotic therapy in chronic heart failure: The helas study. Eur J heart
failure;8:428-432.

19. ACC/AHA guideline for the diagnosis and management of heart failure in
adults; 2009. http://circ.ahajournal.org/cgi/content/full/119/14/ 1977.

56
57

Anda mungkin juga menyukai