EDEMA PULMONAL
Diajukan Oleh :
Dyki Dwi Anwar
17360100
Pembimbing :
dr. Silman Hadori , Sp.Rad , MH.Kes
0
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Kejadian
gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya
usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard.
Secara keseluruhan 50% dari total pasien meninggal dalam kurun waktu empat
tahun. Empat puluh persen yang datang ke rumah sakit dengan diagnosis gagal jantung,
meninggal atau mendapatkan rawat inap kembali dalam waktu satu tahun pertama. Oleh
karena itu perlu ditinjau bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan gagal
jantung akut dan kronis berdasarkan literatur yang mutakhir.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
No. RM 11.54.40
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Ng Masuk RS : 05 Januari 2019
Umur : 53 tahun Diagnosis Masuk : observasi dyspnea ec CKD on
Jenis Kelamin : Perempuan HD + CHF
TTL : 20-02-1965 Ruang Perawatan : Bangsal Bedah
Agama : Islam
Alamat : Pesawaran
Status : Menikah
Bangsa : WNI
Pekerjaan : IRT
I. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
2. Keluhan Tambahan
Batuk , pusing , mual muntah , lemas , tidak nafsu makan , keringat dingin ,
mudah lelah , BAB hitam
2
udara dingin dan bekerja terlalu berat. Malam hari pasien kadang-kadang
terbangun karena sesak nafas, dengan posisi tidur bantal ditinggikan membuat
pasien agak lega .
± 1 hari SMRS keluhan semakin memberat ditambah dengan keluhan
mual , muntah ± 3 x , batuk , pusing , mual muntah , lemas , tidak nafsu makan
. BAB berwarna hitam seperti aspal . Os diketahui memiliki riwayat darah tinggi
tidak terkontrol dan sedang dalam pengobatan CKD on HD . Karena sesak yang
tidak tertahankan disertai keringat dingin , Os di bawa oleh keluarganya ke IGD
RS Pertamina Bintang Amin pada tanggal 05 Januari 2019 pukul 12.47 WIB .
A. STATUS UMUM
PEMERIKSAAN FISIK
TANDA VITAL
3
Tekanan darah : 190/110 mmHg
Nadi : 104 x/menit
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 36,6 C
LEHER
o Kelenjar getah bening : pembesaran KGB (-) , nyeri tekan (-)
o Kelenjar thyroid : pembesaran kelenjar tiroid (-) , benjolan (-) ,
nyeri (-) , bising (-)
o JVP :5+3
o Trakea : tanda deviasi (+)
4
DADA (Thorax : Jantung dan paru)
Paru-Paru
o Inspeksi
PD statis : simetris , tanda radang (-) , massa (-) ,
, gerak tertinggal (-) PD kanan = PD kiri
PD dinamis : simetris , PD kanan = PD kiri , penggunaan
otot bantu nafas (+)
o Palpasi : ketinggalan gerak lapang paru (-), nyeri
tekan sela iga (+) , fremitus meningkat (+)
o Perkusi : Redup di paru kanan atas sampai tengah
lapang paru kanan dan kiri
o Auskultasi : Tracheabronkial ditrakea (+) ,
Bronkhovesikuler didaerah bronkus (+) ,
Bronkial (+/+) , Ronkhi Basah halus (+) ,
wheezing (-)
Jantung
o Inspeksi : Jantung terkompensasi
gerakan tertinggal (-) , ictus cordis (+)
o Palpasi : Pulsasi (-) , nyeri tekan (-) , letak IC bergeser
o Perkusi : Kesan melebar
Batas jantung kiri :
o atas : ICS III parasternal sinistra
o bawah : ICS VI medial linea midklavikula sinistra
Batas jantung kanan:
o atas : ICS III parasternal dextra
o bawah : ICS IV parasternal dextra
o Auskultasi : interval : normal , keteraturan : ritmis (+) , S3 (+)
ABDOMEN
o Inspeksi : tanda radang (-) , Dinding dada//Dinding
perut , distensi (-) , asites (-), mengempis saat
ekspirasi dan menggembung saat inspirasi .
umbilikus = normal .
o Auskultasi : peristaltik (+), bising usus (+) 14 x/mt ,
metallic sound (-)
o Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), supel (+) ,
distensi (-), opistotonus (-) , massa (-) , tidak
teraba hati dan lien . nyeri ketok CVA (-)
o Perkusi : timpani pada lapang perut
5
GENITALIA : Tidak dilakukan
EKSTREMITAS
o Superior :
simetris, kekuatan otot 5/5, gerakan bebas . nyeri tekan (+) , tanda
radang (+) , benjolan/massa (-) , nyeri sendi (-) , oedem pitting (-) ,
ptekie (-) , akral dingin (+) . Refleks biceps (+) , triceps (+) ,
contusio (-)
o Inferior :
kaki kanan dan kiri DBN, kekuatan otot 5/5 , benjolan/massa (-) ,
nyeri sendi (-) , oedem pitting (-/+) , ptekie (-) , contusio (-) , akral
dingin (+) , CRT <2 detik
MUSKULOSKELETAL
Deformitas (-) , nyeri tekan (-) , tulang belakang : DBN .
B. STATUS LOKALIS
Darah rutin
6
Hematokrit : 17 %
Trombosit : 152.000 uL
MCV : 85 fl
MCH : 31 pg
MCHC : 37 g/dl
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan Rontgen Thorax PA : cor, pulmo, tulang . Hasil :
- Posisi trakea agak ke kiri
- Mediastinum superior tidak melebar
- Jantung tampak membesar kelateral kiri dengan apex tertanam
pada diafragma , pinggang jantung mendatar
- Aorta masih tampak normal
- Sinus costophrenicus normal bilateral
- Sinus cardiophrenicus normal bilateral
- Diafragma bilateralnormal
Pulmo :
- Hilus kanan dan kiri kabur
- Corakan bronkovaskular bertambah
- Tampak perbercakan lunak dididaerah 2/3 medial kedua lapang
paru (batwing’s appearance)
- Kranialisasi (+)
Kesan :
- Kardiomegali (LV , LA) disertai bendungan paru dan edema paru
alveolar bilateral
- Scoliosis vertevrae thoracalis
7
IV. RESUME
8
ditemukan konjungtiva mata anemis +/+ . Pada pemeriksaan fisik paru ,
ditemukan adanya penggunaan otot bantu nafas , disertai nyeri tekan sela iga
dengan vokal fremitus meningkat . Pada perkusi ditemukan redup terutama pada
lapang paru tengah kanan dan lapang paru tengah pada paru kiri disertai bunyi
nafas bronkial dengan ronkhi basah halus (+) , pada pemeriksaan jantung
ditemukan kesan melebar dan ditemukan akral dingin dan pusat pada
pemeriksaan ekstremitas .
Pada pemeriksaan penunjang , Lab rutin ditemukan adanya Hb : 6,3 gr%,
leukosit 15.200 uL , eritrosit 2,0 juta/uL , hematokrit 17% Urea: 88 , Kreatinin
: 5,7 . Pemeriksaan radiologi didapatkan adanya deviasi trakea ke kiri , CTR
>50% dan gambaran hilus kanan dan kiri kabur dengan corakan bronkovaskuler
meningkat dan adanya perbercakan lunak dididaerah 2/3 medial kedua lapang
paru (batwing’s appearance) , kranialisasi (+) menunjukkan kesan Kardiomegali
(LV , LA) disertai bendungan paru dan edema paru alveolar bilateral dan Scoliosis
vertevrae thoracalis .
V. DAFTAR MASALAH
- Sesak
- Batuk
- Nyeri perut
- Mual (+) Muntah (+)
- Lemas , nafsu makan menurun
- Keringat dingin
- BAB hitam (melena)
- Hb :6,3 gr %
- Leukosit : 15.200 uL
- Urea : 88
- Kreatinin : 5,7
- Ht 17%
- CKD on HD
- Kardiomegali (LV,LA) batwing’s appearance
9
VI. DIAGNOSIS KERJA
IGD :
IVFD RL xx tpm
Inj. Furosemid 3x1
Inj. Ondancenteon 2x1
As. Folat 3x1
CaCO3 2x1
Bicnat 3x1
Amlodipin 10 mg 1x1
Ruangan :
Inj. Furosemid 3x1 Clonidin
Inj. Ondancenteon 2x1
As. Folat 3x1
CaCO3 2x1
Bicnat 3x1
Amlodipin 10 mg 1x1
Omeprazole 2x1
Sucralfat
10
X. PROGNOSIS
XI. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
11
XII. ANALISA KASUS
Anamnesa :
makan, keringat dingin, mudah lelah, yang lalu pasien mengeluh sesak nafas
Sesak nafas muncul jika pasien Sejak + 2 tahun os lebih nyaman tidur
terlalu berat. Malam hari pasien tersusun. Namun saat ini os lebih
sesak nafas, dengan posisi tidur bantal duduk (orthopneu). Tanda tanda gagal
ditinggikan membuat pasien agak lega jantung kiri pada pasien ini yaitu :
12
aspal. Os diketahui memiliki riwayat
Pemeriksaan fisik
13
eritropoesis seperti mengurangi
haemoglobin.
PD dinamis : simetris , PD
14
bantu nafas (+) kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Palpasi : ketinggalan gerak paru (-), Kriteria mayor meliputi: dari hasil
dengan perubahan posisi (dx dan ronki basah halus pada kedua basal
sin) paru.
Auskultasi : Tracheabronkial
sinistra (CHF).
Perkusi :
dx
15
sinistra
LPS dx
sirkulasi darah.
16
kiri dengan apex tertanam pada jantung untuk meningkatkan cardiac
17
bagian luar paru dapat terpisah, edema
18
Antagonis kalsium
jantung.
mudah kelelahan
19
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Gagal jantung adalah suatu kumpulan gejala kompleks karena adanya kelainan
fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan dan atau kemempuannya hanya ada kalau disertai peninggian
tekanan pengisian ventrikel kiri1.
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dengan tampilan gejala
nafas yang pendek saat melakukan istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau
kelelahan, tanda-tanda retensi cairan seperti kongesti paru atau edema pergelangan kaki,
adanya bukti obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak
lagi mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh pada tekanan pengisian yang normal, padahal aliran balik vena (venous return) ke
jantung dalam keadaan normal2.
Pada referat ini yang akan dibahas adalah gagal jantung akut dan gagal jantung kronik.
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari
gejala-gejala atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi
dengan atau tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa
disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau
ketidakseimbangan dari preload atau afterload. Gagal jantung akut dapat berupa acute
de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya)
atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik.
20
Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis5:
Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui
gagal jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru
dan sistemik.
Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya
fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis
dengan takikardi dan vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang tepat
dan mortaliti rumah sakitnya rendah.
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with pulmonary
edema)
Pasien yang datang dengan distress pernafasan berat, takipnoe, dan ortopnoe,
dengan ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya <
90° pada udara ruangan sebelum diterapi oksigen.
Ditandai tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang sangat
cepat (penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget,
iatrogenik), dengan perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah
yang rendah seperti pada syok septik.
21
Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral
tanpa disertai kongesti paru.
Banyak pasien gagal jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti
laboratoris sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner
akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut.
Ada beberapa klasifikasi lain Gagal Jantung Akut yang biasa dipakai di
perawatan intensif, yaitu klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto
thoraks, serta klasifikasi Forrester berdasarkan gambaran klinis dan dan status
hemodinaik pada infark miokard akut. Tabel berikut menggambarkan mengenai
klasifikasi gagal jantung pada infark miokard akut3
Klasifikasi Forrester
Klasifikasi yang lain telah divalidasi pada perawatan kardiomiopati, yang berdasarkan
sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion), diklasifikasikan menjadi
22
B. Gagal Jantung Kronik
Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung
kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas pada
disfungsi ventrikel.
23
Gambar 1. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan abnormalitas struktural
jantung (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas
fungsional (NYHA)
Tabel 2. Perbandingan antara gagal jantung akut dan gagal jantung kronik
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi penting
untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di negara maju penyakit arteri koroner dan
hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang
24
menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan penyakit jantung akibat
malnutrisi6.
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat
berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya
rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai factor risiko independent
perkembangan gagal jantung.
25
dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan preload) sedangkan stenosis
aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagagl jantung dan dihubungkan
dengan kelainan struktural termasuk hioertropi ventrikel kiri. Atrial fibrilasi dan gagal
jantung seringkali timbul bersamaan.
III. PATOGENESIS
Kerja jantung diatur oleh dua sistem yang berbeda. Sistem pertama adalah
regulasi secara intrinsik yang melibatkan respon miokard untuk meregangkan serat otot
jantung sebelum proses kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan
proses pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir. Respon
miokard untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah kontraksi dimulai disebut
afterload. Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik yang melibatkan respon
jantung terhadap kondisi-kondisi seperti stimulasi neural, hormon, obat dan penyakit.
Setiap perubahan pada kedua sistem tersebut menyebabkan gagal jantung. Selain itu,
sirkulasi paru dan perifer juga dapat memperburuk kondisi hemodinamik dari gagal
jantung.
26
Gambar 2. Kerja jantung diatur oleh dua mekanisme, yaitu regulasi intrinsik
(preload dan afterload) dan regulasi ekstrinsik yang melibatkan stimulasi neural
dan hormon
Hukum ini pertama kali dicetuskan oleh Frank dan Starling, menyebutkan
bahwa pada kondisi fisiologi normal, tekanan yang dihasilkan oleh otot yang
berkontraksi akan lebih besar bila sebelumnya otot mengalami peregangan. Hal ini
mengakibatkan selama diastolik, jika terjadi pengisian darah yang lebih besar ke dalam
ventrikel dapat menyebabkan kontraksi berikutnya menjadi penuh tekanan.
27
Gambar 3. Hukum Starling menyatakan bahwa peningkatan pada volume
diastolik akhir (preload) menyebabkan jantung memulai kontraksinya pada
tekanan dan volume lebih tinggi
Pada kasus terjadi gagal jantung sistolik terdapat kontraktilitas ventrikel kiri
yang terganggu sehingga terjadi pengurangan kemampuan meningkatkan volume stroke
dengan meningkatkan preload dan terjadi pergerakan kurva lebih ke sebelah kanan/
bawah dari posisi normal. Jika kondisi ventrikel kiri memburuk, tekanan volume
jantung akan terus meningkat dan menyebabkan kongesti vena paru. Setiap
pengurangan pada preload, dengan peningkatan afterload atau peningkatan tekanan
inotropik atau keduanya akan menyebabkan pengurangan tekanan pengisian ventrikel
dan kerja ventrikel akan membaik.
Pada fase awal gagal jantung terdapat 2 mekanisme yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki kontraktilitas miokard, yaitu:
1) mekanisme Starling
28
Selanjutnya akibat hipertropi miokard, pelemahan sistem saraf simpatik dan
pengeluaran peptida natriuretik atrium mengkompensasi peningkatan tekanan dinding
jantung.
Jika penyakit bertambah parah, hipertropi menyebabkan perburukan fungsi jantung dan
menyebabkan abnormalitas aliran koroner, morfologi kapiler, karakteristik mitokondria
dan penghantaran fosfat berenergi tinggi. Selain itu, terjadi iskemia subendokard akibat
peningkatan tekanan intraluminal, vasokontriksi akibat norepinefrin dan angiotensin II,
dan juga apoptosis yang menyebabkan fibrosis. Semua ini memperburuk kondisi gagal
jantung.
Gagal jantung akibat disfungsi diastolik diperoleh dari dinding jantung yang
menebal sehingga jantung tidak dapat mengisi darah dengan normal, akibatnya akan
terjadi penempatan cadangan darah pada atrium kiri dan pembuluh darah paru yang
kemudian menyebabkan kongestif.
29
Mekanisme Respon kompensasi jangka Respon maladaptif jangka
pendek panjang
Sistem saraf simpatik bekerja melalui reseptor α dan β adrenergik, yang pada
awalnya memperbaiki curah jantung. Namun aktivitas yang tertahan dari sistem saraf
simpatik merubah gagal jantung kompensasi menjadi gagal jantung simptomatik yang
mengakibatkan efek yang tidak diinginkan, yaitu mempengaruhi kinerja ventrikel.
30
3.3.2. Sistem Renin-angiotensin-aldosteron (Renin-angiotensin-aldosteron system/
RAAS)
31
Gambar 4. Efek Sistem Renin-angiotensin-aldosteron
3.3.5. Aldosteron
32
Peningkatan kardar aldosteron dalam serum pada kondisi gagal jantung menyebabkan :
Potensiasi katekolamin
Aritmia ventrikular
Fibrosis miokard
Ketidakseimbangan elektrolit
Fungsi endokrin dari jantung telah diketahui sejak tahun 1950-an. Pada saat itu
ditemukan bahwa jantung mensekresi peptida natriuretik. Tidak seperti RAAS dan
aktivasi sistem saraf simpatik, peptida ini menahan perkembangan penyakit gagal
jantung. Kemajuan ilmu terkini menunjukkan bahwa peptida natriuretik terus meningkat
perannya sebagai molekul dan indikator diagnostik yang penting dalam terapi gagal
jantung11.
Terdapat tiga bentuk peptide natriuretik yang berstruktur hampir sama yang
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
natriuretic peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatasi. Pada manusia Brain Natriuretic peptide
(BNP) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip ANP. C-
type natriuretic terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek
terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. ANP dan BNP meningkat sebagai respon
terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap
angiotensin II pada tonus vaskuler,sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus
renal. Karena peningkatan peptide natriuretik pada gagal jantunng, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis,
bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung12.
33
ADH disintesis pada hipotalamus dan disimpan dalam pituitari merupakan
vasokonstriktor dan vasodilator kuat. Dengan berikatan pada resptor V1, vasopresin
menyebabkan vasokonstriksi dan jika berikatan dengan reseptor V2 menyebabkan
vasodilatasi. Vasopressin juga meningkatkan reabsorpsi air melalui duktus pengumpul
pada ginjal dan menghambat diuresis. Pada gagal jantung, pelepasan vasopressin
ditentukan oleh pengisian arteri dan kadar angiotensin II. Peningkatan kadar vasopressin
menyebabkan hiponatremia akibat pengenceran.
3.3.7. Endotelin
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah
ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma
akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure.
- Proses kontraksi-eksitasi
- Kematian Sel
Kaheksia jantung merupakan miopati otot skelet atau penyusutan fisik akibat
kehilangan massa otot yang menyebabkan rasa letih akibat kehilangan massa otot yang
34
menyebabkan rasa letih dengan adanya gagal jantung. Diduga kaheksia jantung terjadi
akibat abnormalitas yang disebabkan oleh peningkatan kadar sitokin. Sitokin ini
diproduksi dalam miokardium. Sitokin terakumulasi dalam miokardium setelah terjadi
overloading hemodinamik. Sitokin ini menimbulkan efek sitotoksik yang menyebabkan
miopati.
Kriteria Mayor:
Rales paru
35
Kardiomegali pada hasil rontgen
S3 gallop
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan
gagal jantung
Kriteria Minor:
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
36
5.2.1 Rontgen foto toraks
Rontgen toraks bermanfaat untuk mendiagnosis gagal jantung dan memantau respon
pengobatan.
Tabel 5. Kelainan rontgen toraks yang sering ditemukan pada Gagal Jantung
4.2.2. Elektrokardiogram
Hasil EKG bersama dengan gejala klinis dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis pada
pasien yang dicurigai menderita gagal jantung.
37
Tabel 6. Kelainan EKG yang sering pada gagal jantung
Pemeriksaan
elektrofisiologi, ICD
38
hipertropi
Hematologi rutin
Urinalisis
Proteinuria biasa terjadi pada pasien gagal jantung yang dapat dilihat pada pemeriksaan
urin rutin.
Elektrolit serum
39
Profil Lipid
Akibat kerusakan pada gagal jantung dapat terjadi peningkatan enzim hati dan
penurunan albumin.
Kadar kreatinin serum dan kadar nitrogen urea pada darah harus dilakukan sebelum
memulai pengobatan gagal jantung. Peningkatan kadar kreatinin serum menandakan :
Pengobatan ACEI
Azotemia pre-renal
Gangguan fungsi tiroid merupakan penyebab gagal jantung high output. Oleh
karenanya, pemeriksaan profil tiroid disarankan pada pasien yang baru didiagnosis
gagal jantung.
Peptida natriuretik
40
Peptida natriuretik merupakan tanda biologis (biomarker) gagal jantung yang dapat
digunakan sebagai pemeriksaan pada keadaan gawat darurat dan rawat jalan. Kelompok
peptida natriuretik terdiri dari peptida natriuretik atrium, peptida natriuretik otak (brain
natiuretic peptide, BNP), natriuretik tipe-C dari sistem saraf pusat, urodilatin dari ginjal,
dan peptida natriuretik dendroaspis. BNP dan bagian ujung aminonya dari projormon
N-terminal-pro-BNP (NT-proBNP) juga penting dalam diagnosis dan pengobatan gagal
jantung. BNP berhubungan dengan tingkat keparahan gagal jantung dan memperkirakan
prognosis.
Pemeriksaan BNP dan NT-proBNP dengan indikator nilai untuk diagnosis gagal
jantung
4.2.4. Ekokardiografi
41
V. TATALAKSANA
a. Menurunkan mortalitas
Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi gagal Memahami penyebab gagal jantung dan mengana
jantung keluhan-keluhan timbul
42
gagal jantung Mencatat berat badan setiap hari
43
Pengobatan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien,
menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan
meningkatkan angka keselamatan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
ARB direkomendasikan pada penderita gagal jantung dengan LVEF < 40% yang
masih simptomatik dengan terapi optimal ACEI dan beta bloker serta antagonis
aldosteron. Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan
pasien dan menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung.
(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). ARB direkomendasikan sebagai pilihan lain
pada pasien yang tidak toleran terhadap ACEI (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
ARB menurunkan risiko kematian dengan penyebab kardiovaskular (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
- Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
44
- Atau pada pasien dengan gejala menetap (kelas fungsional II-IV NYHA)
walaupun sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
5.2.3. Diuretik
45
ditambahkan pada keadaan LVEF <35% dengan gejala gagal jantung yang berat (Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B).
Beta bloker diberikan pada semua penderita gagal jantung simptomatik dan
LVEF<40% bila tidak ada kontraindikasi. Beta bloker memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup pasien, menurunkan angka masuk RS untuk perburukan gagal jantung
dan meningkatkan harapan hidup. Terapi beta bloker seharusnya sudah dimulai di RS
sebelum pasien dipulangkan (Kelas rekomendasi I, tingkat bukti A)
- Meningkatkan LVEF
- LVEF <40%
46
- ACEI/ ARB sudah mencapai tingkat dosis optimal
- Pasien harus secara klinis stabil (contoh : tidak ada perubahan terbaru dari dosis
diuretik).
- Beta bloker dapat dimulai sebelum pemulangan dari rumah sakit pada pasien
yang dikompensasi dengan hati-hati.(Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A)
- Kunjungan tiap 2-4 minggu untuk meningkatkan dosis beta bloker. Jangan
meningkatkan dosis jika terdapat tanda-tanda perburukan gagal jantung,
hipotensi gejala atik (perasaan melayang) atau bradikardi berat (nadi < 50 x /
menit) pada tiap kunjungan.
Pada penderita gagal jantung simptomatik dengan AF, digoksin diberikan untuk
mengontrol rapid ventricular rate (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C). Pada
penderita gagal jantung dengan irama sinus dan LVEF < 40%, terapi dengan digoksin
(sebagai tambahan ACEI) memperbaiki fungsi ventrikel, mengurangi angka masuk RS
karena perburukan gagal jantung namun tidak berpengaruh terhadap survival (Kelas
Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B). Digoksin memberikan keuntungan pada terapi
gagal jantung dalam hal :
47
- Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
- Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat > 80x/ menit, dan
saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
- Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.
Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi14.
48
A. Antagonis kalsium
- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah
mendapatkan terapi ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron.
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada
hipotensi yang simtomatis.
49
E. Nitrogliserin intravena
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa peptida ini
bekerja menyebabkan :
- Natriuresis.
- Diuresis.
5.2.10 Trombolitik
A. Antiplatelet
50
risiko komplikasi tromboemboli termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti
A).
B. Antikoagulan
- Fibrilasi atrial
- Riwayat tromboembolik
ACEI
Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
51
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg
Prosedur revaskularisasi, pembedahan valvular dan ventricular, jika simtom klinis dari
gagal jantung muncul, kondisi koreksi secara bedah harus dideteksi dan dilakukan jika
ada indikasi.
CABG atau PCI harus diperimbangkan pada pasien gagal jantung dengan CAD
terseleksi. Keputusan pilihan metode revaskularisasi harus berdasarkan pada evaluasi
mendetil terhadap faktor komorbiditi, risiko prosedur, anatomi koroner dan bukti dari
52
ekstensi miokardium yang maíz viable pada daerah yang akan direvaskularisasi, fungsi
ventrikel kiri dan keberadaan dari penyakit katup.
Aortik stenosis
Direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan simtom gagal jantung dan aortic
stenosis berat. Durekomendasikan pada psien asimtomatis dengan AS dan perburukan
LVEF (<50%). Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan area katup yang tereduksi
berat dan disfungsi ventrikel kiri.
Mitral regurgitasi
Pembedahan direkomendasikan pada pasien dengan LVEF > 30% (perbaikan katup jika
memungkinkan) Dapat dipertimbangkan pada pasien terseleksi dengan fungsional MR
berat dan fungsi ventrikel kiri terdepresi berat, yang tetap mempunyai simtom walaupun
pengobatan medikal sudah optimal.
Regurgitasi Trikuspid
TR fungsional sangat biasa pada pasien gagal jantung dengan dilatasi biventrikular,
disfungsi sistolik dan hipertensi pulmoner.
53
CRT-P direkomendasikan untuk mengurangi morbiditi dan mortaliti pada pasien NYHA
kelas III-IV yang simptomatik meski dengan terapi medikamentosa optimal, yang
memiliki penurunan fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan pemanjangan QRS (lebar QRS 120
ms). CRT dengan fungsi defibrilator (CRT-D) direkomendasikan untuk mengurangi
morbiditi dan mortaliti pada pasien NYHA kelas III-IV yang simptomatik meski dengan
terapi medikamentosa optimal, yang memiliki penurunan fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan
pemanjangan QRS.
Terapi ICD untuk pencegahan sekunder direkomendasikan pada survivors VF dan juga
pasien dengan VT tak stabil terdokumentasi dan atau VT dengan sinkop, LVEF 40%,
dalam terapi medikamentosa optimal dan dengan harapan hidup dengan status
fungsional yang baik lebih dari 1 tahun.
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Hess OM, Carrol JD. Clinical assessment of heart failure. In : Libby P, Bonow
RO, Mann DL, Zipes DP. In : Braunwald’s heart disease. A textbook of
cardiovascular medicine. 8th. Ed.Saunders company, 2007: 561-580.
3. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
4. Ong WT, Patacsil GB. Cardiology blue book 2nd ed. 2001.148-162
6. Lip GHY, Gibbs FDR, Beevers DG. ABC of heart failure : aetiology. BMJ
2000; 320 : 104-107.
55
9. Teo WS, Kam R, Hsu LF. Treatment of heart failure-role of biventricular pacing
for heart failure not responding well to drug therapy. Singapore MedJ.
2003;44(3):114-122.
10. Watson RDS, Gibbs CR, LipGYH.ABC of heart failure clinical features and
complications. BMJ.2000;320(22):236-239.
11. De Lamos JA, McGuire DK, Drazner MH. B-type natriuretic peptide in
cardiovascular disease. The lancet 2003;36:316-322. Available at
www.thelancet.com
12. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:267-170
13. Bell DSH. Heart failure-the frequent, forgotten, and often fatal complication on
diabetes. Diabetes care. 2003;26:2433-2441.
18. Cokkinos DV, Haralabopoulos GC, Kostic JB, Toutouzas PK. Efficacy of
antithrombotic therapy in chronic heart failure: The helas study. Eur J heart
failure;8:428-432.
19. ACC/AHA guideline for the diagnosis and management of heart failure in
adults; 2009. http://circ.ahajournal.org/cgi/content/full/119/14/ 1977.
56
57