Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KASUS

BRONKIOLITIS

dr. Desi Gloria Damanik


Intership RSUD Kefamenanu, TTU
Periode November 2018-2019
KASUS ANAK

Nama Peserta : dr. Desi Gloria Damanik

Nama Wahana : RSUD Kefamenanu NTT

Topik : Bronkiolitis
Tanggal kasus : 21 Agustus 2019
Presenter : dr. Desi Gloria Damanik
Pendamping : dr. B. Theresia A. J.
Tanggal Presentasi : 28 September 2019
Mulowato
Tempat Presentasi : -

Obyek Presentasi : -

◊ Keilmuan ◊ Ketrampilan ◊ Penyegaran ◊ Tinjauan Pustaka


◊ Diagnostik ◊ Manajemen ◊ Masalah ◊ Istimewa
◊ Neonatus ◊ Bayi ◊ Anak ◊ Remaja ◊ Dewasa ◊ Lansia ◊ Bumil
◊ Deskripsi :
Pasien datang dibawa oleh orang tua dengan keluhan batuk sejak 1 minggu SMRS
dan memberat dalam 1 hari terakhir SMRS. Batuk disertai dahak berwarna putih.
Batuk berdarah tidak dijumpai. Orang tua mengaku, pasien juga mengeluh sesak
napas sejak 3 hari SMRS dan memberat tadi malam SMRS sehingga pasien tidak
dapat tidur. Napas bunyi seperti terjepit dijumpai. Orang tua pasien mengaku pasien
demam sebelumnya, sudah dapat obat dari klinik namun belum ada perubahan.
Makan dan minum sebelumnya baik, namun tadi malam nafsu makan menurun. BAB
dan BAK tidak ada keluhan.
◊ Tujuan :
Mengetahui definisi, penyebab, manifestasi klinis, kriteria diagnosis, tatalaksana,
komplikasi, serta prognosis bronkiolitis
Bahan Bahasan ◊ Tinjauan Pustaka ◊ Riset ◊ Kasus ◊ Audit
Cara Membahas ◊ Diskusi ◊ Presentasi & Diskusi ◊ E-mail ◊ Pos
Data Pasien ◊ Nama : an. S.B. S. ◊ 3 tahun 3 bulan
Nama RS : RSUD
Telp. : - Terdaftar sejak :-
Kefamenanu
Data Utama Untuk Bahasan Diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :Pasien datang dalam keadaan sadar dengan
keadaan umum sedang. Nadi : 149 kali per menit, Pernapasan: 28 kali per
menit, Suhu: 37.9⁰C, SpO2 96% free air, BB : 12 kg, TB : 86.6 cm
2. Riwayat Pengobatan : -
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit : -
4. Riwayat Keluarga / Lingkungan : disangkal
5. Lain – lain :
Hb : 13,5
Hct : 41,3
Wbc : 13.700
Plt : 206.000

Daftar Pustaka :
Anonim, Bronchiolitis , [serial online] 2004 [ akses 2006 Okt 10 ]; [ Gambar 1]. Di akses dari
URL : www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?
id=&iddtl=943&idktg=19&idobat=&UID=20060926150740222.124.htm
Black PN, Scragg R. Relationship between serum 25-hydroxyvitamin d and pulmonary
function in the third national health and nutrition examination survey. Chest
2005;128(6):3792–8. [PubMed: 16354847]
Committee on Infectious Diseases and Bronchiolitis. Updated huidance for pavlizumab
prophylaxis among infants and young children at increased risk of hospitalization for
respiratory syncytial virus infection. American Academy of Pediatrics 2014;134:415-
20.
Camargo CA Jr, Rifas-Shiman SL, Litonjua AA, Rich-Edwards JW, Weiss ST, Gold DR, et
al. Maternal intake of vitamin D during pregnancy and risk of recurrent wheeze in
children at 3 y of age. Am J Clin Nutr. 2007;85(3):788–95. [PubMed:17344501]
DeNicola LK, Gayle M O, Bronchiolitis, [serial online ] Sept 1998 [ akses 2006 Okt 10 ];
[12 Halaman ]. Di akses dari : URL:
http://www.dcmsonline.org/jax-medicine/1998journals/september98/bronchiolitis.htm
Hartoyo E. Naning R. Mengi Berulang Setelah Bronkiolitis Akut Akibat Infeksi Virus [serial
Online] Jan 2002 [ akses 2006 Okt 10 ]; [ 7 Halaman]. Di akses dari: URL :
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012002/pus-1.htm
Hasan R, Alatas H, Bronkiolitis Akut, dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Volume 3,
Jakarta : Info Medika FK UI ; 1996. hal. 1233.
Howard EW, Acute Viral Bronchiolitis, Respiratory Illness in Children. Oxford : Blackwell
Scientific Publication; 1998. p. 41-48.
Louden M, Bronchiolitis, [serial online] Feb 2006 [akses 2006 Okt 10]; [8 halaman]. Di akses
di URL : http//:www.emedicine.com/bronchiolitis.htm
Mansbach JM. Respiratory viruses in bronchiolitis and their link to recurrent wheezing and
asthma. Clin Lab Med. 2009; 29(4): 741–55.
Mayfield S, Bogossian F, O’Malley L, Schibler A. High-flow nasal cannula oxygen therapy
for infants with bronchioltis: Pilot study. J Paediatrics and Child Health.
2014;50(5):373-8. doi: 10.1111/jpc.12509.
Mayo Foundation staff , Bronchiolitis, [serial online] Okt 2006 [akses 2006 Okt 10 ]; [15
Halaman]. Di akses dari : URL :
http://www.mayoclinic.com/health/bronchiolitis/DS00481/DSECTION=9.htmOrenste
in DM, Bronchiolitic. In Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of Pediatric, 15 th
edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-1485.
McIntosh K, Respiratory Syncytial Virus. In : Vaughan VC, et al (eds). Nelson Textbook. of
Pediatrics. 13 th ed. Toronto : WB Saunders Company; 1987.p . 1112 - 1114.
Orenstein DM, Obliterans Bronchiolitic. In Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of
Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1486.
Pianosi P, Diagnosis and Management of Bronchiolitis, [serial online] Okt 2006 [akses 2006
Okt 10]; [66 halaman]. Di akses dari URL :
http//:www.aap.org.us/Diagnosis_and_Management_of_Bronchiolitis_--
_subcommittee_on_Diagnosis_and_Management_of_Bronchiolitis_118_(4)_1774
_Pediatrics.htm
Plint AC, Johnson DW, Patel H, Wiebe N, Correll R, Brant R, et al. Epinephrine and
Dexamethasone in Children with Bronchiolitis. N Engl J Med 2009; 360:2079-89.
doi: 10.1056/NEJMoa0900544
Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, Alverson BK, Baley JE, Gadomski AM, et al.
Clinical practice guideline: The diagnosis, management, and prevention of
bronchiolitis. American Academy of Pediatrics 2014; 134(5):1474-502.
Technical updates of the guidelines on the Integrated Management of Childhood Illness
(IMCI): Evidence and recommendations for further adaptations. Geneva: WHO;
2005.
Walsh P, Rothenberg SJ. American Academy of Pediatrics 2014 bronchiolitis guidelines:
Bonfire of the evidence. Western J Emergency Med. 2015; 16(1):85-8.
Walker VP, Modlin RL. The vitamin D connection to pediatric infections and immune
function. International Pediatric Research Foundation, Inc; 2009.Wang TT, Nestel FP,
Bourdeau V, Nagai Y, Wang Q, Liao J, et al. Cutting edge: 1,25 dihydroxyvitamin D3
is a direct inducer of antimicrobial peptide gene expression. J Immunol
2004;173(5):2909–12. [PubMed: 15322146]
Watts KD, Goodman DM. Wheezing in infants: Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Arvin AM, editors. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: WB
Saunders; 2011. p. 1456-9.
Welliver RC. Bronchiolitis and infectious asthma. In: Feigin RD, et al. Feigin Textbook of
Pediatric Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2009. p. 277-85
World Health Organization. Pocket book of hospital care for children: Guidelines for the
management of common childhood illnesses. 2nd ed. 2013.
Hasil Pembelajaran :
1. Definisi, etiologi bronkiolitis
2. Diagnosis bronkiolitis
3. Tatalaksana, prognosis, dan pencegahan pasien dengan bronkiolitis

Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:


1. Subyektif:
Pasien datang dibawa oleh orang tua dengan keluhan batuk sejak 1 minggu SMRS dan
memberat dalam 1 hari terakhir SMRS. Batuk disertai dahak berwarna putih. Batuk
berdarah tidak dijumpai. Orang tua mengaku, pasien juga mengeluh sesak napas sejak 3
hari SMRS dan memberat tadi malam SMRS sehingga pasien tidak dapat tidur. Napas
bunyi seperti terjepit dijumpai. Orang tua pasien mengaku pasien demam sebelumnya,
sudah dapat obat dari klinik namun belum ada perubahan. Makan dan minum
sebelumnya baik, namun tadi malam nafsu makan menurun. BAB dan BAK tidak ada
keluhan.

2. Obyektif:
 Keadaan umum :
Sakit sedang
 Kesadaran :
Compos Mentis
 Tanda Vital :
Nadi : 149x/m
Respirasi : 28x/m
Suhu : 37.9° C
SpO2 : 96% free air
 Status Generalisata :
 Kepala:
Simetris Muka : Simetris
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam, lurus
 Mata:
Eksoptalmus/ Enoptalmus: (-)
Gerakan : Ke segala arah
Tekanan Bola Mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
Kelopak Mata : Edema palpebral (-), ptosis (-)
Konjungtiva ODS : Anemis (-/-)
Sklera ODS : Ikterus (-/-)
Kornea ODS : Jernih, reflex kornea (+/+)
Pupil ODS : Bulat, isokor 3mm; RCL +; RCTL +
 Telinga:
Bentuk : Simetris
Pendengaran : Dalam batas normal
Sekret : (-)
 Hidung:
Deviasi septum : (-)
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
Hiperemis : (-)
 Mulut:
Bibir : Kering (+), stomatitis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Gusi : Candidiasis oral (-), perdarahan (-)
Farings : Hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Lidah : Kotor (-), plak leukoplakia (-)
 Leher:
Kel. Getah Bening : Tidak teraba, nyeri tekan (-)
Kel. Gondok : Tidak ada pembesaran, nyeri tekan (-)
Kaku Kuduk : (-)
Tumor : (-)
 Dada:
- Inspeksi : Simetris hemithoraks kiri dan kanan
- Bentuk : Normothoraks
- Buah Dada : Tidak ada kelainan
- Sela Iga : Tidak ada pelebaran
- Lain-lain : Barrel chest (-), massa tumor (-)
 Paru:
o Inspeksi :bentuk simetris, pergerakan simetris, retraksi
Intercostals (-), irama nafas regular
o Palpasi:
 Fremitus Raba : Kiri = Kanan
 Nyeri Tekan : (-)
o Perkusi:
 Paru Kiri : Sonor
 Paru Kanan : Sonor
 Batas Paru Hepar : ICS VI anterior dextra
 Batas Paru Belakang Kanan :Vertebra thorakal IX
 Batas Paru Belakang Kiri :Vertebra thorakal X
o Auskultasi:
 Bunyi Pernapasan : Vesikuler
 Bunyi Tambahan : Ronkhi + / + , Wheezing + / +
 Cor:
o Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
o Perkusi :Pekak, batas jantung kesan normal (batas jantung kanan:linea
parasternalis dextra, batas jantung kiri: linea midclavicularis sinistra)
o Auskultasi :
 BJ I/II : Murni reguler
 Bunyi Tambahan : Bising (-)
 Abdomen:
o Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, caput medusa (-), jejas (-)
o Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan (-)
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Ballotement (-)
o Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)
o Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Genitalia : Tidak ada kelainan
 Anus dan Rektum : Tidak ada kelainan
 Skin : Tidak ada kelainan
 Punggung : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
o Palpasi : Gibbus (-)
o Nyeri Ketok : (-)
o Auskultasi : Rh -/- Wh +/+
 Ekstremitas
- Bentuk : Simetris, refleks fisiologis (+/+), refleks patologis (-/-)
- Akral : Dingin, sianosis perifer (-), bintik pendarahan (-)
- Kuku dan jari : Lengkap, normal
- Capillary refil test : < 2’’
3. Assesment:
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang,
diagnosis pasien ini mengarah pada bronkiolitis. Pasien datang dibawa oleh orang tua
dengan keluhan batuk sejak 1 minggu SMRS dan memberat dalam 1 hari terakhir SMRS.
Batuk disertai dahak berwarna putih. Batuk berdarah tidak dijumpai. Orang tua mengaku,
pasien juga mengeluh sesak napas sejak 3 hari SMRS dan memberat tadi malam SMRS
sehingga pasien tidak dapat tidur. Napas bunyi seperti terjepit dijumpai. Orang tua pasien
mengaku pasien demam sebelumnya, sudah dapat obat dari klinik namun belum ada
perubahan. Makan dan minum sebelumnya baik, namun tadi malam nafsu makan
menurun. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil. Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada banyak tempat
penyakit ini paling sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah sakit. Insidensi
tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini terjadi secara sporadik
dan endemik.
Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah
menyebabkan obstruksi dari saluran napas kecil.

Etiologi
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang
ditemukan dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 th yang menderita
bronkiolitis dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang menyebabkan bronkiolitis
termasuk didalamnya adalah virus para influenza tipe 1 dan 3, influenza B, para
influenza tipe 2, adenovirus tipe 1,2,5 dan mycoplasma yang paling sering pada anak-
anak usia sekolah. Terdapat pembuktian bahwa kompleks imunologis yang memainkan
peranan penting dari patogenesis dari bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1
dimediasi oleh antibodi Ig E hal ini dapat dihitung untuk signifikansi dari bronkiolitis.
Bayi yang meminum ASI dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig A
tampaknya lebih relaktif terproteksi dari bronkiolitis.
Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk
bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Swyer-James).
 Virus sinsisial respiratorik
VSR adalah virus RNA terikat membran berukuran medium yang berkembang
dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari
membran plasma. Berbagai strain VSR menunjukan beberapa heterogenitas
antigenik. Variasi ini terutama ditemukan pada hanya satu dari dua glikoprotein
permukaan dari virus menunjukan reaksi pada hospes manusia seperti satu
serotip. VSR menghasilkan sitopatologis sinsitial khas dalam biakan jaringan
spesimen dikirim dengan cepat dalam es basah karena labil.
 Adeno virus
Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi
subgena A sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgena A sampai E, tipe 40 adalah
subgenus F, dan tipe 41 adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus
ikosahedral yang tersusun dari berbagai protein, yang paling berlebihan darinya
adalah “hexon”, antigen biasa yang bereaksi silang dengan semua adenovirus
mammalia. “penton” memberi spesifisitas tipe, dan antibodi terhadapnya adalah
protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan, dan sifat sofatoksik
telah dianggap berasal darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga
diklasifikasikan dengan mencetakkan “sidik jari” DNAnya pada jelli sesudah
terdigesti dengan pembatasan endonuklease, dan klasifikasi ini biasanya sesuai
dengan tipe-tipe antigeniknya.
Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal embrional
manusia primer, dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa,
menghasilkan pengaruh sitopatik, destruktif khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip
lain juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal embrional manusia yang
kepadanya telah dimasukkan gena adenovirus “awal” tertentu.
Banyak tipe adenovirus, tetapi terutama tipe anak biasa (1,2 dan 5), dilepas
selama masa yang panjang dari saluran pernafasan maupun saluran cerna. Tipe
ini juga menyebabkan infeksi tonsil ringan dan kronik.
 Virus para influenza
Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada
manusia, ditandai tipe 1-4. Virus mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak
bersegmen dengan pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan
melalui membran sel. Bagian antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein
pembungkus yang menunjukan sifat-sifat hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel
(protein F).

Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
 Bronkiolitis akut
 Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus dan
saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan
menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan
fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada
transplantasi paru.

Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan menjelang
kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan dengan menjangkitnya
para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di daerah sub tropis dari Asia
Tenggara sepanjang tahun , dan memuncak antara bulan Oktober sampai Februari dan
berkurang pada bulan Maret sampai Juli. 2 dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe
A dan tipe B, dengan tipe yang paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B
biasanya mendominasi apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat
menular, penularan disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular
pada hari ke 6 sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2 - 5 hari.
Infeksi terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46 %, 98 % pada anak yang dititipkan
pada perawatan harian, 42 % pada staff rumah sakit dan sebanyak 45 % pada bayi yang
dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan
penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi penyebaran
infeksi nosokomial. 25 % anak umur dibawah 1 tahun dan 13 % anak umur antara 1
sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran nafas. Separuh dari angka tersebut
didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas. RSV dapat
ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di RS yang menderita infeksi tersebut dan 80
% nya berumur kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi yang sehat 80 % dirawat di RS
pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50 % perawatan di rumah sakit adalah bayi
antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5 % perawatan di RS pada neonatus, kemungkinan
dengan adanya antibodi yang masih terdapat dari transplasental-maternal. Faktor resiko
untuk onset yang dini dari penyakit ini dan kemungkinan perawatan intensif
dihubungkan dengan berat badan lahir rendah, prematuritas, sosio-ekonomi rendah,
hidup didaerah padat, orang tua perokok, tidak diberikannya ASI ekslusif, dan perawatan
harian.
Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggih dilakukan terhadap
populasi besar bayi-bayi normal. Analisis tindak lanjut menunjukan bahwa penyakit paru
mengi secara bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi yang hantaran pernafasan total
awalnya ada pada sepertiga terendah dari mereka yang diuji. Penurunan fungsi paru
dapat memainkan peran penting dalam menentukan bayi mana yang dengan infeksi virus
yang akan berkembang bronkiolitis.

Faktor resiko
Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur
kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh
berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan bronkiolitis
lebih sering dibanding anak-anak perempuan. faktor lain yang telah dihubungkan dengan
peningkatan resiko bronkiolitis pada anak-anak meliputi:
a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan
kekebalan dari ibu
b. Kelahiran prematur
c. Pajanan ke asap rokok
d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak,
panti asuhan
e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/ tempat bermain.

Bayi dengan ibu perokok pasif mempunyai peningkatan resiko infeksi RSV
dengan suatu perbandingan rintangan dilaporkan 3.87 untuk itu telah banyak studi atas
efek dari perokok pasif pada penyakit yang berhubungan dengan pernapasan di bayi dan
anak-anak. Di dalam suatu tinjauan ulang yang sistematis dari perokok pasif dan infeksi
saluran nafas bawah pada bayi dan anak-anak, Strachan Dan Cook menunjukkan suatu
perbandingan digabungkan dari 1.57 jika kedua orang tua perokok dan suatu
perbandingan dari 1.72 jika ibu yang merokok. Stock Dan Dezateux meninjau 20 kasus
studi dari fungsi berkenaan dengan paru-paru di bayi. Studi ini menunjukkan suatu
penurunan fungsi paru-paru di bayi para ibu yang merokok selama kehamilan. Aliran
Expirasi berkurang kira-kira 20%. ukuran lain-lain fungsi berkenaan dengan paru-paru
demikian juga abnormal. Bapak yang merokok juga mempunyai suatu efek, prevalensi
penyakit bidang berhubung pernapasan bagian atas meningkat dari 81.6% ke 95.2% di
bayi di bawah 1 tahun usia jika hanya bapak yang merokok.
Air susu ibu (ASI) telah menunjukkan mempunyai faktor kebal terhadap RSV
yang mencakup immunoglobulin G dan Suatu antibodies160 dan interferon-161. ASI
telah pula ditunjukkan untuk mempunyai menetralkan aktivitas melawan terhadap RSV.
Di satu studi merujukan ke rumah sakit yang relatif dengan RSV adalah anak-anak yang
tidak diberi ASI .Di dalam studi lain, 8 ( 7%) dari 115 anak-anak di opname dengan
infeksi RSV adalah disusui, dan 46 ( 27%) dari 167 pasien sebagai kendali disusui.
Suatu meta-analysis hubungan menyusui dengan opname untuk infeksi saluran
nafas bawah di (dalam) awal kelahiran menguji 33 studi, semua dari yang menunjukkan
suatu asosiasi bersifat melindungi antara menyusui dan resiko opname untuk infeksi
saluran nafas bawah. Sembilan studi dijumpai pada semua ukuran-ukuran pemasukan
analisa. Kesimpulan adalah bahwa bayi yang tidak disusui ASI hampir meningkatakan
resiko yang lebih besar lipat tiga diopname untuk infeksi saluran nafas bawah dibanding
yang disusui ASI eklusif untuk 4 bulan ( perbandingan resiko: 0.28).

Patogenesis
Bronkiolitis akut ditandai dengan obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh
edema dan kumpulan mukus dan oleh invasi bagian-bagian bronkus yang lebih kecil oleh
virus. Karena tahanan/ resistensi terhadap aliran udara didalam saluran besarnya
berbanding terbalik dengan radius/ jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang sedikit
sekali pun pada dinding bronkiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran udara.
Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan ekspirasi, namun
karena selama ekspirasi jalan nafas menjadi lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi
pernafasan katup yang menimbulkan udara terperangkap dan overinflasi. Atelektasis
dapat terjadi ketika obstruksi menjadi total dan udara yang terperangkap diabsorbsi.
Proses patologis menggangu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi
ventilasi yang tidak seimbang mengakibatkan hipoksemia, yang terjadi pada awal
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi kecuali pada
pasien yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernapasan melebihi 60/menit;
selanjutnya hiperkapnia berkembang menjadi takipnea.
Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor faktor pada
patogenesis bronkiolitis yang disebabkan VSR : (1) bayi yang sekarat karena bronkitis
telah menunjukkan imunoglobulin maupun virus dalam jaringan bronkiolus yang
terjejas; (2) anak yang mendapat vaksin RSV yang diberikan secara parenteral sangat
antigenik, inaktif pada pemajanan RSV berikutnya, penyakitnya menjadi lebih berat dan
lebih sering kambuh dibandingkan anak-anak lainnya ; (3) bronkiolitis yang bergabung
kedalam asma pada bayi yang lebih tua, dan RSV seringkali merupakan serangan asma
akut yang dikenali pada anak usia 1-5 tahun; dan (4) antibodi imunoglobulin E (IgE)
yang mengarah langsung ke RSV ditemukan pada sekresi konvalesen pada bayi dengan
bronkiolitis.
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai, belum
jelas peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada kebanyakan
bayi dengan bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial, pengalaman klinis
memberi kesan bahwa bakteri memainkan peran yang tidak berarti.
Penyakit ini juga berkembang pada bayi-bayi yang biasanya terdapat titer
antibodi maternal (IgG) menetralkan RSV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik (IgA)
pada saluran nafas, sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi terhadap
infeksi RSV. Fakta tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta tersebut penyebab
alamiah terjadinya bronkiolitis.
Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi udem
saluran napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang dewasa
jarang terjadi bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus.
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun
antara antibodi non-neutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan
pengamatan di mana terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda, terutama
kurang dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari ibu masih cukup
tinggi.
Gambar 1. Pembengkakan Bronkiolus akibat Infeksi RSV

Manifestasi Klinis
 Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer,
batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa hari,
kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal, mengi, dispneu,
dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas cepat sehingga
menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3
hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa hari dan perjalananya sangat
cepat. Kadang-kadang, bayi tidak demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres
pernapasan dengan frekuensi napas 60 x/menit, terdapat napas cuping hidung,
penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang sianosis. Retraksi
biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam
paru). Hepar dan lien bisa teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru.
Mungkin terdengar ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan
mengi kadang-kadang terdengar dengan jelas.
Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter
anteroposterior meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan bercak-bercak
pemadatan akibat atelektasis sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi alveolus.
Leukosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering
ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang
berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan hiperkapnia, karena
karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi bronkiolus.
 Bronkiolitis Obliterans
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis dimana
sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus.Pada mulanya dapat terjadi batuk, kegawatan
pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata yang singkat.
Penyakit yang progresif terlihat dengan bertambahnya dispnea, batuk, produksi sputum,
dan mengi. Polanya dapat menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau pneumonia.
Temuan rontgenografi dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi
kesan tuberkulosis milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan dijumpainya
hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru pada sekitar 10%
kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan sedikit atau tidak ada
bahan kontras yang mencapai perifer paru. Tomografi terkomputasi (CT) dapat
menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada banyak penderita. Temuan-temuan uji
fungsi paru bervarisasi, yang paling sering adalah obstruksi berat, namun demikian
retreksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi dapat ditemukan. Diagnosis dapat
dikonfirmasikan melalui biopsi paru.

4. Diagnosis
Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan VSR pada setiap penyakit anak
tertentu dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan dan adanya
wabah khas pada saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu adalah umur anak
(selain VSR, satu-satunya virus respiratori yang sering menyerang bayi umur beberapa
bulan pertama adalah virus parainfluenza tipe-3) dan epidemiologi keluarga.
Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan
keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan atau
infiltrat tidak tampak pada roentgenogram, ada kemungkinan infeksi komponen dengan
bakteri. Pada bayi usia 1-4 bulan, pneumonitis interstisial dapat disebabkan oleh
chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini mungkin riwayat konjungtivitis, dan penyakit
cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering tetapi tidak ada mengi dan tanpa
demam.
Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal dari
bakteri sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada pneumonia bakteri
adalah kenaikan angka neutrofil, depresi jumlah sel darah putih bila ada penyakit berat,
ileus atau tanda-tanda perut lain, demam tinggi, dan kolaps sirkulasi.
Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus
dalam sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung dibawa ke
laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan pada suatu sel yang
rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior ( nasal washing ) merupakan
spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok juga dapat diterima. Aspirat
trakhea tidak perlu.

Diagnosis Banding
Keadaan yang paling lazim terancu dengan bronkiolitis akut adalah asma, satu
atau lebih dari yang berikut ini mendukung diagnosis asma, riwayat keluarga asma,
episode berulang kali pada bayi yang sama, mulainya mendadak tanpa infeksi yang
mendahului, ekspirasi sangat memanjang, eosinofilia, dan respons pembaikan segera
pada pemberian satu dosis albuterol aerosol. Serangan berulang menggambarkan titik
pembeda yang penting kurang dari 5% serangan berulang bronkiolitis klinis mempunyai
penyebab infeksi virus. Wujud lain yang dapat terancukan dengan bronkiolitis akut
adalah gagal jantung kongesif, benda asing di dalam trakhea, pertusis, keracunan
organofosfat, kistik fibrosia, dan bronkopneumonia bakteri yang disertai dengan
overinflasi paru obstruktif menyeluruh.

Pemeriksaan penunjang
 Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel darah
putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis mungkin
normal atau bergeser kekanan atau kekiri
 Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai balance
cairan dan kemungkinan dehidrasi.
 Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh infeksi/peradangan
tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.
 Analisa gas darah
Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat, terutama
yang menuntut ventilasi mekanik atau buatan.
 Radiologi
Foto sinar x dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan lateral.
dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)
o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah nonspesifik dan
mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit asma, pneumonia
yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi cairan.
o Ateletaksis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar x dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk diagnosa
banding, seperti pneumonia lobaris , gagal jantung kongestif, atau aspirasi
benda asing.
 Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada
umumnya di dalam 30 min) dan akurat ( kepekaan 87-91%, ketegasan 96-
100%) dalam pendeteksian RSV.
o Kultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil percobaan dapat
mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname
dan anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.
o Kultur RSV lebih sedikit sensitip ( 60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV
atau lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody atau
dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat untuk pertimbangan
yang berikut:
 Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
 Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
 Karena tujuan epidemiologik.
5. Tatalaksana (Penatalaksanaan dan Pengobatan)
Penatalaksanaan
Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress pernafasan
sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan kadar SpO2 kurang dari 92 %, tidak
dapat mempertahankan hidrasi oral, dan meningkatkan angka respirasi, atau mempunyai
riwayat penyakit kardio-respiratori yang kronik. Desaturasi di 40 %O2 (3-4 l/mnt)
biasanya muncul sianosis, gejala extra pulmonal, apnea dan asidosis merupakan tanda
bayi di rawat di ruang rawat intensif. Hipoksemia merupakan tanda kelainan
laboratorium yang tampak untuk itu diperlukan tambahan oksigen bagi pasien. Arah
utama untuk pengobatan pasien dengan bronkiolitis adalah dengan penggantian cairan
dan suplemen cairan. Pada pasien tersebut biasanya mengalami dehidrasi ringan
dikarenakan berkurangnya asupan cairan dan banyak kehilangan cairan melalui demam
dan takipnea. Pengguanan cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi
edema paru. Terapi supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan
perhatian khusus terhadap demam pada neonatus.

Pengobatan
Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan distres
pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal prongs, kateter
nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30 – 40%. Apabila tidak ada
oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi,
sebaiknya dengan uap dingin (mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan.
Terapi oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia hilang.
Penggunaan kateter nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat
menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).8 Penggunaan
kateter nasal serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat
sedasi.
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis perlu
memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena tujuannya adalah untuk
pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang terganggu akibat obstruksi yang mengganggu
perfusi ventilasi paru.
Transient oxygen desaturation pada anak umum terjadi saat anak tertidur,
durasinya <6 detik, sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung terjadi
dalam hitungan jam sampai hari.

Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik dan
respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat keluarnya cairan
melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan
kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa
melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat
menyebabkan aspirasi, dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh
lambung yang terisi cairan.
Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena perlu pada anak
bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.

Bronkodilator dan Kortikosteroid


Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus diberikan.
Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di Amerika menemukan bahwa
bronkodilator dapat meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi penyembuhan
penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama perawatan, sehingga dapat disimpulkan
tidak ada keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan.
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun 2009
menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada anak dengan
bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah sakit, dan
durasi penyakit.
Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat.5 Nebulisasi
ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk membersihkan lender
dan debris-debris seluler yang terdapat pada saluran pernapasan.
 Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator merupakan kontroversi pada neonatus dan bayi. Pada
tahun 1993 editorial dari Lancet masih tidak memperkenankan penggunaan
bronkodilator pada pasien-apsien bronkiolitis yang jelas tidak efektif. Kellner dkk.,
mereka menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan ringan dari perbaikan sementara
pada pasien dengan bronkiolitis sedang sampai berat.
 Kortikosteroid
Disamping aturan utama inflamasi sebagai patoghenesis terjadinya sumbatan
saluran nafas, kortikosteroid sebagai anti inflamsi tidak terbukti menguntungkan untuk
meningkatkan status klinis pada studi klinis multi-instusional. Dibuktikan dalam
penelitan yang ada maka penggunaan dexamethasone atau glukokortikosteroid lain pada
anak-anak tidak dapat didukung. Nebulasi ephinefrin (0,1 mg/Kg BB) ditemukan lebih
efektif daripada B-agonis salbutamol pada bayi dengan bronkiolitis akut. Pada studi yang
dilakukan henderson dkk, tidak ditemukannya peningkatan signifikan fungsi respirasi
pada penggunaan inhalasi adrenalin. Kesimpulan yang didapat bahwa adrenalin inhalasi
tidak mengurangi obstruksi saluran nafas. Berdasarkan percobaan random terkontrol
untuk membandingkan subcutaneus ephinefrin dan nebulalisasi ephinefrin dengan
plasebo ditemukan peningkatan yang signifikan pada pasien yang diterapi dengan
ephinefrin dalam hal peningktan perbaikan oksigenasi dan tanda klinis.
 Antikolinergik
Ipratropium bromide adalah zat antikolinergik dalam bentuk aerosol, tidak dapat
menunjukkan bukti dapat membantu dalam manajemen dari bayi yang sakit. Hal ini
menunjukkan tidak ada keuntungan klinis dibandingkan dengan pengobatan albuterol
tersendiri pada kasus bronkiolitis sedang sampai berat.

Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin dari
antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah ke arah lebih
buruk dan menunjukkan kenaikan dari hitung sel darah putih kedepannya menunjukkan
tanda-tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari darah, urine, dan cairan LCS sebaiknya
diambil dan di follow up segera dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Penelitian
yang dilakukan oleh Kupperman dkk. dari 156 bayi dibawah umur 24 bulan yang
sebelumnya sehat dengan sedikit demam dan menderita bronkiolitis, menunjukkan
bahwa bayi-bayi ini mau tidak mau menderita bakteremia dan menderita infeksi saluran
kemih.penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari bronkiolitis.
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh virus,
kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering digunakan
berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi, padahal hal ini
justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten terhadap antibiotik
tersebut; sehingga penggunaannya diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian
antibiotik dapat dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik yang dipakai
biasanya yang berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan
eritromisin.

Heliox
Heliox (campuran antara helium dengan oxygen) telah digunakan pada pasien
asma akut. telah ada laporan kasus yang menyatakan dan menjelaskan tentang
penggunaan heliox pada bayi laki-laki umur 4 bulan dengan bronkiolitis positif RSV.
Heliox mungkin bermanfaat sebagai tambahan untuk terapi konvensional pada pasien
bronkiolitis dalam keadaan kritis. Bagaimanapun studi klinis dari terapi ini sangat
diperlukan untuk mengetahui keefektifan terapi ini. Hal ini dimungkinkan bahwa heliox
dengan terapi nebulalisasi dapat sangat berguna pada bayi dengan bronkiolitis berat atau
pasien terpasang intubasi dan tidak merespon dengan terapi konvensional.

Ventilasi mekanik
Bayi dengan bronkiolitis kadang-kadang memerlukan ventilasi mekanik
khususnya pada kasus apneu berulang atau peningkatan usaha nafas pada gagal nafas.
Terapi pada pasien seperti ini adalah terapi suportif , dengan pemberian oksigen yang
adekuat baik continous positive airway pressure (CPAP) dan intermitent mandattory
ventilation (IMV) dengan possitive end-distending pressure (PEEP) telah digunakan dan
sukses sebagai terapi pada bayi tersebut. Penyapihan awal pada hari ke-2 sampai ke-3
biasanya tidak sukses setelah kesakitan berkurang, untuk itu penyapihan dilakukan
segera. Bayi dengan hypoxemia progresiv tidak merespon ventilasi konvensional
biasanya merespon penggunaan ventilasi frekuensi tinggi atau extracorporeal oksigenasi
membran. experimen terapi terkini untuk bayi dengan insuffisiensi pulmonal dari
bronkiolitis meliputi surfaktan dan nitrit oksida.

Antivirus ( Ribavirin
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih
kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya.
The American Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin
pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik,
imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan
sejak awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20
mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3-7 hari.
Ribavirin (1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah analog
nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin tampaknya di buat untuk
mempengaruhi RNA massenger dan menghambat sintesis protein virus. Ribavirin
mempunyai spektrum luas aktivitas antiviral invitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV
masih kontroversial dikarenakan masih ada penggunaan aerosol, harga yang relatif
mahal, toxisitas dan efek samping.
Saat ini rekomendasi dari AAP terapi dengan ribavirin aerosol sedang
dipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan resiko tinggi penderita penyakit karena RSV :
a. Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital termasuk
didalamnya hipertensi portal dan juga mereka yang menderita displasie
bronkopulmonar, kistik fibrosis dan penyakit paru kronik lainnya.
b. Mereka yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun.
c. Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu
dengan penyakit penyerta seperti anomali kongenital multipel atau penyakit
neurologi metabolik.

Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tapi mahal, efisiensi dan
keefektifannya tidak tampak jelas menunjukan dalam penelitian. Penggunaan ribavirin
secara rutin pada saat ini kurang direkomendasikan.

Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi ataupun perkusi
(5trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain pengurangan durasi
pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret daerah nasofaring untuk meredakan
sementara kongesti nasal atau obstruksi saluran napas atas, namun sebuah studi
retrospektif menyatakan deep suctioning berhubungan dengan durasi rawat inap lebih
lama pada anak usia 2 – 12 bulan.
Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene perorangan meliputi
desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan sabun sebelum
dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu yang berdekatan dengan
pasien. Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta polusi udara serta pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu dilakukan edukasi
anggota keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan bronkiolitis sesuai
evidence-base. 5 Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap infeksi
paru, terutama yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak yang memiliki
risiko tinggi terinfeksi agen tersebut. Palivizumab perlu dibatasi pada anak yang
dilahirkan sebelum usia kehamilan 29 minggu, kecuali dengan penyakit jantung yang
signifikan atau penyakit paru kronik akibat prematuritas; dosis maksimum palivizumab
15 mg/kgBB/dosis diberikan 1 dosis setiap bulan, dapat diberikan 5 bulan berturut-turut
selama musim RSV pada anak yang memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada tahun
pertama kehidupan.5,6 Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam
perjalanan penyakit bronkiolitis. Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada
922 anak-anak Selandia Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin D
(25 [OH] D) darah tali pusat berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernapasan dan
mengi berulang.
Selain itu, studi case-control oleh Karatekin, dkk. menemukan bahwa pada bayi
baru lahir dengan kadar 25-hydroxyvitamin D (25 [OH] D) <10 ng/mL memiliki risiko
lebih besar terkena infeksi saluran napas bawah. Hal ini terkait dengan peran vitamin D
dalamaktivitas sistem kekebalan bawaan. Sistem kekebalan tubuh bawaan, khususnya
aktivitas cathelicidin, membantu mencegah infeksi bakteri dan virus. Wang, et al,
menunjukkan bahwa vitamin D adalah pemicu langsung gen cathelicidin ini. The
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU
setiap hari untuk bayi baru lahir dilanjutkan sampai memasuki usia remaja.
Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak langsung dengan sekret
pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit seperti perhatian
khusus terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan petugas rumah sakit
tampaknya dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah sakit. Saat ini menggunaan
RSV imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500-750 mg/Kg BB) tampaknya dapat
mencegah RSV pada pasien resiko tinggi, sebagai tambahan RSV imunoglobulin intra
venus dalam bentuk aerosol dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan
bronkiolitis karena RSV. Dalam penelitian baru oleh Rimensberger, dkk., menyimpulkan
bahwa dosis tunggal RSV imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan
keuntungan untuk bronkiolitis akut karena RSV.Saat ini tampaknya ada kerugian yang
ditimbulkan oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin antibodi spesifik
pada bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara intra vena antara 2-4 jam.
Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus bronkiolitis karena RSV terjadi pada
bayi umur 2-5 bulan untuk itu vaksinasi dapat menstimulasi keefektifan setelah bayi
berumur 2 bulan.

Prognosis
Beberapa studi telah mencatat peningkatan risiko asma bronkiale pada anak-anak
yang awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah karena bronkiolitis
atau faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk asma dan faktor lingkungan
seperti asap rokok.
Pada sebagian besar kasus, mengi biasanya disebabkan oleh virus. Riwayat
episode mengi berulang dan keluarga atau riwayat penyakit asma, riwayat alergi, atau
eksim membantu mendukung diagnosis asma. Beberapa bayi akan memiliki episode
berulang mengi selama masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu virus
sama dengan asma bronkial.
 Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah batuk
dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu terjadi
pada bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada. Sesudah periode
klinis, perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara drastis. Penyembuhan selesai
dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah 1%, kematian dapat merupakan
akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis respiratorik berat yang tidak
terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan penguapan air dan takipnea serta
ketidak mampuan minum cairan.
Bayi yang memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital,
displasia bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai
angka morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas.
Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang “beresiko tinggi” seperti di masa yang
silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita bronkiolitis. VSR
ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5% pada tahun 1988. Komplikasi
bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media, tidak lazim terjadi. Kegagalan
jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada anak yang memiliki dasar penyakit
jantung.
Ada proporsi yang bermakna bahwa bayi-bayi yang menderita bronkiolitis
mengalami hiperreaktivitas saluran pernafasan selama akhir masa anak-anak, tetapi
hubungan antara kedua hal ini, jika ada belum dimengerti. Kesan bahwa satu episode
bronkiolitis dapat mengakibatkan kelainan saluran pernafasan kecil yang jangkanya
sangat lama memerlukan pengamatan lebih lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan
melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki hantaran pernafasan total rendah lebih
mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya terhadap infeksi virus pernafasan.
Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran pernafasan reaktif
kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan alergi, episode bronkiolitis
akut lama, dan terpajan asap rokok.
 Bronkiolitis Obliterans
Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, penderita keadaan
umumnya menjelek sampai meninggal, tetapi kebanyakan bertahan hidup, beberapa anak
menderita kecacatan kronis.
6. Plan
Diagnosis
Bronkiolitis
Diagnosis Sekunder
-
Pengobatan
Pada pasien ini diberikan tata laksana:
 O2 2 lpm nasal canule
 IVFD D5 ½ NS 15 tpm makro
 Nebul Ventolin 1,5 cc + NaCl 0,9% 2,5 cc /8jam
 Inj. Ceftriaxone 2x500 mg IV
 Inj. Dexamethasone 3x4 mg IV
 Inj. Paracetamol 3x120 mg IV
 Ambroxol syr 3 x ½ Cth PO
 Pro rontgen thorax PA

Pendidikan
Kita menjelaskan prognosis dari penyakit tersebut, serta komplikasi yang
mungkin terjadi

Konsultasi
Konsultasi dengan spesialis anak untuk penanganan lebih lanjut.

Rujukan
-

Peserta, Pendamping,

dr. Desi Gloria Damanik dr. B. Theresia A. J. Mulowato

Anda mungkin juga menyukai