Tuberkulosis
Laporan Kasus
Oleh :
Yuly Rahmawati
Pembimbing :
Dr. Retno Asih Setyoningrum, dr., SpA(K)
Arda Pratama Putra Chafid, dr., Sp.A
Rika Hapsari, dr., Sp.A
2
2. LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : An. SR
TTL : 12 Maret 2012
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sumenep, Madura
Pekerjaan : Sekolah
Status pernikahan :-
Ruangan : R. Bona
Tanggal MRS : 1 April 2022
Anamnesis
Keluhan utama : Sesak
napas
Heteroanamnesis:
Pasien rujukan dari RS Sumenep. Seorang anak perempuan usia 10 tahun
6 bulan, dirujuk dengan diagnosis awal penyakit jantung bawaan, decompensatio
cordis, edema paru dan pneumonia. Pasien dibawa ke rumah sakit dengan keluhan
sesak yang dirasa memberat dalam 5 hari. Sebelum sesak pasien mengeluhkan
pilek, batuk berdahak berwarna kuning dan demam naik turun selama 3 hari.
Pasien mengeluhkan penurunan berat badan, tidak ada penurunan nafsu makan,
mual maupun muntah.
Keluhan sesak pasien mulai sering dirasakan sejak satu tahun terakhir.
Pasien juga berulang kali dirawat dengan keluhan sesak napas. Sempat didapatkan
batuk darah, beberapa bulan yang lalu, saat ini sudah tidak ada. Saat usia 40 hari
pasien pernah dirawat selama 2 minggu karena demam. Usia 3 tahun pasien
dirawat 6 hari kerena batuk dan demam. Pasien kembali dirawat sekitar usia 5
3
tahun selama 2 minggu, saat itu pasien didiagnosis menderita kelainan jantung
dan paru. Pasien kemudian rutin kontrol ke poli Anak di RSUD Sumenep setiap
bulan.
Riwayat psikososial:
Pasien diasuh oleh paman dan bibinya, tinggal serumah dengan nenek,
kakak pasien dan istrinya. Sumber penghasilan keluarga berasal dari paman pasien
yang bekerja sebagai petani.
Pemeriksaan fisik:
2. Status Gizi
4
Berat badan : 16 kg ((BBI 80%)
Tinggi badan : 116 cm
BBI : 20 kg
3. Kulit
Warna : sawo matang
Sianosis : tidak ada
Hemangioma : tidak ada
Turgor : normal
Kelembaban : cukup
Pucat : ada
4. Kepala
Bentuk : normocephal
Rambut : hitam, jarang, tidak mudah dicabut
5. Wajah
a. Mata : cekung (+), palpebra edema -/-, konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik-/-, refleks pupil +/+, isokor -/-
b. Hidung
Bentuk : simetris
Pernapasan cuping hidung : (-)
c. Faring
Hiperemi : (-)
Edema : (-)
Membran/pseudo membran : (-)
d. Tonsil
Warna : hiperemis (-)
Pembesaran : T1/T1
Kripta/ detritus : (-/-)
Abses/ tidak : tidak ada
Membran/ pseudo membran : (-)
e. Uvula
Warna : hiperemis (-)
5
Letak : di tengah
Edema : (-)
6. Leher
Vena jugularis pulsasi : tidak terlihat
Tekanan : tidak meningkat
Pembesaran kelenjar leher : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
Torikolis : tidak ada
7. Thoraks
a. Dinding dada/ paru
Inspeksi : retraksi +/+, napas dengan otot-otot bantu pernapasan
Palpasi : fremitus fokal : simetris, nyeri tekan -/-
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi: suara dasar: vesikuler +/+
Suara tambahan: rhonki +/+, wheezing -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis : tidak terlihat
Palpasi : Apeks : tidak teraba
Thrill : tidak ada
Perkusi Batas kanan : ICS IV linea Parastrenalis dextra
Batas kiri : ICS V linea Midklavikula sinistra
Batas atas : ICS II linea parasentranalis dextra
Auskultasi: suara dasar : BJ I-II murni, regular
Bising : tidak ada
8. Abdomen
Inspeksi : bentuk datar
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
6
Ginjal : Nyeri ketok (-)
Massa : tidak ada
9. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), CRT < 2’’, jari tabuh (+)
10. Neurologi : tidak ada kelainan
11. Susunan saraf : N.cranialis I- XII normal
12. Genitalia : tidak ada kelainan
13. Anus : tidak ada keluhan
Pemeriksaan penunjang
- Lab 31/3/2022 (IGD)
Na 140/ K 3.7/ Cl 96 / Ca 8.11
Alb 3.33 / BUN 6 / SK 0.35 / SGOT 25 / SGPT 7
Hb 11 / WBC 9820 / PLT 290.000/ HCT 37.6
CRP 3.86
Swab PCR Covid tidak terdeteksi.
- Lab 3/4/2022
BGA pH 7.24; pO2 86; pCO2 98; HCO3 42; BE 14.6; SO2 95%; AaDO2 ; P/F
Procalcitonin 0.021
- Lab 4/4/2022
PCR Covid19 tidak terdeteksi
Anti HIV 1 (Advia) Reaktif > 12.000
Anti HIV 2 Reaktif
Anti HIV 3 Reaktif
- Lab 5/4/2022
Na 143/ K 4.2 / Cl 99/ Ca 4.2/ BUN 7/ SK 0.25 / Asam urat 1.12
Hb 10.3 / WBC 9050 / Neut 54.9 / Limf 30.9 / PLT 400.000/ HCT 36.2
- Lab 9/4/2022
PCR COVID19 tidak terdeteksi
7
Radiologi
Foto toraks
28/8/2021
10/9/2021 14/9/2021
RSUD Sumenep
29/3/2022 31/3/2022
8
Ekspertise CT scan toraks :
Tampak konsolidasi disertai tree in bud di lobus superior paru kanan kiri
Tampak konsolidasi dengan air bronchogram disertai varicose bronchiectasis di
segmen anterior, lateral, posterobasal lobus inferior paru kiri
Tampak konsolidasi disertai varicose dan cystic bronchiectasis di segmen
posterobasal lobus inferior paru kanan, dan di lobus medius paru kanan
Kesimpulan :
- Emfisema sentrilobular di segmen apical dan posterior lobus superior kanan
- Subsentimeter lymphnode prevascular dan subcarina
Echocardiografi
29/1/21 (Sumenep) 1/4/22 (IGD) 8/4/22 (Irna)
Trikuspid Regurgitasi Pulmonal Regurgitasi Normal echo
Sedang Ringan Efusi pericard minimal
Hipertensi Pulmonal
Sedang
Diagnosis:
9
Tuberkulosis klinis, HIV, moderate malnutrition, efusi perikard minimal,
bronkiektasis.
Prognosis
Quo ad vitam : dubia
Quo ad Functionam : malam
Quo ad sanationam : malam
3. DISKUSI
Sebagian besar infeksi HIV pediatri diakibatkan transmisi dari ibu ke
anak. Infeksi HIV pada bayi berhubungan dengan risiko perburukan klinis lebih
cepat, namun sepertiga bayi dengan HIV adalah ‘slow progressor’ dengan
perkiraan median survival sepuluh tahun atau lebih.7 Pasien ini baru saja
terdiagnosis HIV, saat ini usia pasien adalah sepuluh tahun. Ibu pasien meninggal
dunia saat pasien berusia 2.5 tahun, tanpa diketahui jelas penyakitnya. Bibi pasien
menyebutkan bahwa ibu pasien mengalami sesak napas dengan foto toraks terlihat
baik.
Kerusakan Paru pada Infeksi HIV
Sistim imun innate. HIV menginfeksi epitel bronkus dan menyebabkan
disfungsi epitel saluran napas. Protein surfaktan D dan A membantu transfer
material virus HIV dari sel dendritik ke sel limfosit T CD4. HIV juga mengifeksi
makrofag menyebabkan gangguan fagositosis, dan kemampuan membunuh respon
imum terhadap patogen. Infeksi HIV terhadap makrofag membuat HIV dapat
menetap dalam paru dan mengganggu pelepasan sitokin makrofag.8
Sistim imun adaptif. Sel dendritik yang terinfeksi HIV akan mengaktifkan
sel T. Aktifasi imun yang berlangsung kronis menyebabkan influks limfosit CD8
spesifik HIV sehingga menurunkan rasio CD4/CD8, menganggu respons
proliferasi, dan kelelahan sel T. HIV mempengaruhi diferensiasi sel CD4 melalui
perantara sitokin dan faktor transkripsi. Aktifasi sistim imun akibat HIV
menimbulkan pergeseran pada respons sel T dengan menghambat produksi sitokin
Th1 dan meningkatkan respons Th2. HIV juga meningkatkan aktivasi sel B
sehingga menimbulkan gangguan respons serologis (antibodi).8
10
Human immunodeficiency virus-1 (HIV) menginduksi kerusakan paru
melalui beberapa mekanisme, yaitu :
1. HIV dapat meningkatkan inflamasi sistemik. Peningkatan marker
inflamasi terlarut seperti CRP, IL-6, IL-8 dan TNF reseptor ditemukan
pada penderita HIV dan berhubungan dengan manifestasi yang lebih berat.
2. Antigen HIV dapat menyebabkan inflamasi lokal dan kerusakan paru
dengan dilepaskannya matrix metalloproteinases (MMPs) dan mediator
inflamasi lokal seperti intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1).
3. HIV yang menetap dalam paru dapat mengganggu fungsi imun yang lama
kelamaan akan menimbulkan penyakit dan jejas paru kronis.8
Tuberkulosis akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada anak
dengan infeksi HIV. Diagnosis tuberkulosis pada anak dengan HIV mempunyai
tantangan tersendiri karena gejala klinis tuberkulosis dan HIV yang mirip,
gambaran foto toraks tidak khas dan sering terjadi koinfeksi oleh kuman lain,
serta hasil uji tuberkulin seringkali negatif karena kondisi imunokompromais. 9
Gejala tuberkulosis yang didapatkan pada pasien selain dapat tumpang tindih
dengan HIV juga dengan kelainan jantung yang diderita. Pasien sering sesak sejak
usia 5 tahun saat terdiagnosis sakit jantung, namun sejak 1 tahun terakhir pasien
mulai mengeluhkan sesak, batuk berulang dan penurunan berat badan. Hasil tes
tuberkulin pasien tidak menunjukkan indurasi.
Bronkiektasis pada Anak dengan HIV
Beberapa faktor pencetus yang pernah dilaporkan berperan dalam
terjadinya bronkiektasis pada anak dengan HIV di antaranya imunosupresi berat
(CD4<100), pneumonia berulang, unresolved pneumonia, lymphocytic interstitial
pneumonitis (LIP), Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), infeksi sekunder
organisme berkapsul, dan kerusakan paru akibat HIV langsung.10 HIV sendiri
dapat menyebabkan bronkiektasis tanpa adanya infeksi lain, kemungkinan karena
defek imunitas inate akibat HIV diikuti dengan inflamasi jalan napas neutrofilik.
Bayi dan anak usia dini adalah masa kritis perkembangan organ dan sistim imun.
Disregulasi imun akibat HIV membuat anak berisiko tinggi mengalami kerusakan
paru, terutama pada anak yang tidak diobati, dan pneumonia berulang akan
semakin mempercepat penurunan fungsi paru.11 Faktor risiko yang ditemukan
11
pada pasien kasus ini adalah infeksi paru berulang yang membuat pasien beberapa
kali rawat inap sejak usia 3 tahun. Diagnosis HIV juga terlambat diketahui,
sehingga pasien belum pernah mendapat terapi antriretroviral di usianya yang
sudah 10 tahun.
Gejala bronkiektasis pada anak cukup beragam. Batuk kronis adalah gejala
yang paling umum ditemukan. Anak biasanya tidak bisa mengeluarkan dahak,
maka batuk akan kurang produktif dan lebih bersifat basah. Prediktor lain yang
dapat ditemukan pada anak yaitu failure to thrive dan kelainan bentuk dinding
dada, bronkitis bakterial rekuren (> 3 kali per tahun), batuk basah yang tidak
membaik dengan antibiotik, hemoptisis, mengi dan jari tabuh.3 Pasien kasus ini
mengalami sesak dan batuk berulang sejak satu tahun terakhir, sempat disertai
hemoptisis, serta ditemukan jari tabuh.
Mekanisme patofisiologi bronkiektasis diperkenalkan oleh Cole pada
tahun 1986 sebagai vicious circle yang merupakan ‘lingkaran setan’ infeksi,
inflamasi dan kerusakan jaringan. Hal ini menyebabkan bersihan mukus menurun,
kolonisasi bakteri persisten, obstruksi jalan napas, inflamasi dan kerusakan
jaringan progresif (gambar 1).
12
menyertainya (Signet ring sign), penebalan dinding dan saluran napas berkelok-
kelok, penebalan dinding disertai kista.12
Temuan gambaran foto toraks yang didapatkan pada pasien ini adalah
bayangan bulat berbatas tegas menunjukkan penebalan dinding bronkus di
paracardial kanan dan kiri, opasitas nodular difuse, juga tampak gambaran
bronkus yang melebar (gambar 3).
13
Gambar 2. Gambaran radiologis pada pasien. Atas : foto torax. Bawah : CT
scan toraks potongan koronal.
Bronkiektasis memiliki tiga tipe berbeda yaitu, tipe silindris atau tubuler
bila penebalan dan pelebaran dinding bronkus merata hingga ke perifer, tipe
varicose bila bronkus menyempit di beberapa tempat sehingga tampak berkelok-
kelok, tipe kistik adalah yang paling berat dimana bronkus melebar seperti balon
dan menyatu satu sama lain sehingga tampak seperti sekelompok massa kistik
(Gambar 2). Gambaran CT scan toraks pada pasien ini memperlihatkan kerusakan
paru berat dengan tipe bronkiektasis varicose dan cystic di paru kanan dan kiri
yang tampak pada gambar 3 (panah putih dan hitam).
Terapi
Bronkiektasis memiliki prognosis baik bila mendapat terapi sedini
mungkin. Manajemen bronkietasis bertujuan mencegah kerusakan saluran napas
lebih lanjut, mencegah perburukan respirasi, memperbaiki kualitas hidup,
mengurangi eksaserbasi dan mencegah komplikasi. Idealnya menajemen harus
dilakukan bersama dengan tim lain seperti perawat, fisoterapis, nutrisi dan petugas
sosial. Bakteri di saluran napas bawah berhubungan dengan gejala, eksaserbasi
dan inflamasi yang lebih parah dan sering. Antibiotik akan menurunkan beban
bakteri sehingga memutus siklus infeksi dan inflamasi. Antibiotik dapat mencegah
dan mengatasi eksaserbasi akut serta infeksi pseudomonas.13
Gejala respirasi kronis diatasi dengan pemberian antibiotik obat anti
tuberkulosis pada wilayah dengan beban TB tinggi. Pencegahan infeksi dengan
14
pemberian vaksinasi rutin, memulai antriretroviral lebih awal dan pemberian
cotrimoksazole dapat menurunkan beban penyakit paru kronis pada anak dan
remaja.11 Anak pada kasus ini mendapat levofloksasin selama 10 hari saat rawat
inap, klinis berangsur membaik dan saat akhir masa perawatan diberikan terapi
amoxiclav, obat antituberkulosis (OAT) anak kategori 1 dan rencana pemberian
antiretroviral setelah mendapat OAT selama 2 minggu.
4. KESIMPULAN
Bronkiektasis pada anak penderita HIV dapat langsung disebabkan oleh
infeksi HIV pada paru. Imunitas innate dan adaptif yang melemah akibat HIV
membuat paru rentan terhadap serangan patogen dari luar, sehingga akan sering
ditemukan infeksi berulang, termasuk tuberkulosis. Gabungan HIV, infeksi
berulang dan tuberkulosis menjadi faktor risiko bronkiektasis yang ditemukan
pada pasien kasus ini. Terapi antibiotik, OAT dan antiretroviral diberikan untuk
memutus rantai infeksi dan inflamasi. Tatalaksana non medikamentosa juga
penting diberikan seperti nutrisi yang baik, fisioterapi dada serta menjaga
lingkungan rumah bebas asap rokok dan debu.
DAFTAR PUSTAKA
15
8. Cribbs SK, Crothers K, Morris A. Pathogenesis of hiv-related lung disease:
Immunity, infection, and inflammation. Physiol Rev [Internet] 2020 [cited
2022 Apr 15];100(2):603–632. Available from:
https://journals.physiology.org/doi/full/10.1152/physrev.00039.2018
9. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan tatalaksana TB Anak.
Minist. Heal. Repub. Indones. 2016;3.
10. Berman DM, Mafut D, Djokic B, Scott G, Mitchell C. Risk factors for the
development of bronchiectasis in HIV-infected children. Pediatr Pulmonol
2007;42(10):871–875.
11. Attia EF, Miller RF, Ferrand RA. Bronchiectasis and other chronic lung
diseases in adolescents living with HIV. Curr Opin Infect Dis [Internet]
2017 [cited 2022 Apr 15];30(1):21. Available from:
/pmc/articles/PMC5408733/
12. Kirchner J. Bronchiectasis. In: Chest Radiology : A Resident Manual.
Stuttgart: Thieme; 2011. p. 86.
13. Chang AB, Bush A, Grimwood K. Bronchiectasis in children: diagnosis
and treatment. Lancet [Internet] 2018;392(10150):866–879. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(18)31554-X
16