Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

Penyakit Paru Obstruksi Kronik


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian
Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh:
Afina Tsalis Maraya NPM : 119810004
Sri Utami Fauziah NPM : 119810049
Kelompok XI-A

Pembimbing :
dr. Doddy Rizqi Nugraha., Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM 


RSUD WALED CIREBON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON
2021
KATA  PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa karena
atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas  laporan kasus ini.

Laporan kasus ini mengulas tentang penyakit Penyakit Paru Obstruksi Kronik
yang meliputi definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi. Diharapkan
dengan mengetahui tentang penyakit tersebut dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa program pendidikan profesi dokter.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Doddy Rizky Nugraha Sp.PD
selaku konsulen yang telah membimbing kami dalam proses diskusi, tak lupa penulis
ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyusun laporan
kasus ini.

Semoga  referat  ini  bermanfaat  untuk  memberikan  kontribusi  kepada 


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmu penyakit dalam sebagai  bekal  ke depannya. 
Dan  tentunya referat  ini  masih  sangat  jauh  dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan  kritik dan masukan yang membangun demi perbaikan pembuatan
referat dimasa yang akan datang.

                                              Cirebon, April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronis atau PPOK sudah bukan suatu hal yang
asing terdengar di telinga masyarakat. PPOK adalah istilah yang menggambarkan
sejumlah penyakit yang menyerang paru-paru dalam jangka waktu yang panjang
dan ditandai dengan obstruksi aliran udara dan hiperinflasi paru. PPOK tergolong
penyakit tidak menular dan menjadi penyebab kematian terbesar ke-4 di dunia,
setelah penyakit kardiovaskuler, kanker, dan diabetes. Lebih dari 3 juta jiwa
meninggal karena PPOK di tahun 2016 dan menyumbang 6% dari seluruh
kematian, sehingga diprediksi pada 2020 penyakit PPOK akan menduduki
peringkat ketiga sebagai penyebab utama kematian di Dunia.

Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 mencatat sebesar 3,7 persen
penduduk Indonesia menderita PPOK dimana prevalensi lebih tinggi pada laki-
laki. Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan
adanya keterkaitan penderita PPOK dengan kebiasaan merokok dan keterpajanan
asap rokok secara pasif di Indonesia, yang mana semakin tinggi prevalensi
merokok akan semakin tinggi resikoresiko terjadinya PPOK.

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease


(GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai penyakit gangguan saluran napas 2 yang
bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi oleh karena gas atau
partikel iritan tertentu. Pada tahun 2014, PPOK tidak lagi dimasukkan
terminologi penyakit bronkitis kronis dan emfisema, sehingga GOLD
mendefinisikan ulang PPOK sebagai gabungan penyakit saluran napas kecil dan
destruksi parenkim yang bersifat progresif dengan gejala yang hampir mirip
seperti bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis.
Permasalahan yang kerap kali ditemui yaitu penurunan nilai Arus Puncak
Ekspirasi (APE). APE menjadi salah satu indikator fungsi paru yang dapat
mendiagnosis adanya PPOK melalui pemeriksa Peak Expiratory Flow Rate
(PEFR), yaitu parameter pada spirometri yang mengukur kecepatan aliran udara
maksimal yang terjadi pada tiupan paksa maksimal yang dimulai dari paru
dengan keadaan inspirasi maksimal. Nilai APE dapat dipengaruhi oleh adanya
obstruksi pada saluran napas yang dialami penderita yang mana dapat memicu
terjadinya hiperinflasi yang berdampak pada penurunan kapasitas inspirasi paru.
Dampak tersebut diperparah dengan kebiasaan penderita PPOK yang seringkali
tanpa sadar mencondongkan tubuhnya kedepan dan membungkukkan bahu. Oleh
sebab itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatkan nilai APE
dimulai dari meningkatkan kapasitas inspirasi dengan memperbaiki postur
thoraks penderita.
BAB II
KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 68 Tahun
Alamat : Tawangsari
Pekerjaan : petani
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 11 januari 2021
No. RM : xx-xx-xx
Perawatan : Ruang teratai

B. ANAMNESIS

a) Keluhan Utama : sesak nafas 1 minggu SMRS


b) Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang IGD RSUD Waled dengan keluhan Pasien laki-laki usia
68 tahun datang ke IGD RSUD Waled diantar oleh keluarganya karena sesak
nafas. Sesak nafas sudah dialami 1 minggu SMRS. Awalnya sesak nafas
dirasakan oleh pasien Ketika melakukan aktivitas seperti ke kamar mandi dan
jalan disekitar rumah. Sesak nafas berkurang saat pasien istirahat. Pasien juga
merasa terkadang saat tidur sesak nafas, dan berkurang saat duduk. Pasein
juga merasakan terkadang keluar keringat dingin, dan tangan kakinya dingin,
sudah kurang lebih 1 minggu. Dan juga sesak nafas di perberat apabila
menghisap rokok.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak 1 minggu SMRS, semakin
memberat dan sering. Dengan dahak berwarna putih kental batuk berkurang
jika pasein minum obat, dan minum air hangat. Pasien juga merasa perutnya
tidak nyaman sehingga tidak mau makan. Satu tahun yang lalu pasien juga
pernah mengeluhkan sesak dan batuk berdahak. Tetapi dulu sesak nafasnya
tidak disebabkan oleh aktivitas dan tidak dipengaruhi posisi. Pasien juga
pernah di rawat di RS sebelumnya.
c) OLDCART
O: 1 minggu yang lalu
L : dada kanan dan kiri
D: Hilang timbul
C : keluar keringat dingin
A : saat beraktivitas dan merokok
R : saat duduk dan istirahat
T : sudah berobat
d) Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat hipertensi (-) , diabetes (-), penyakit jantung (-), penyakit ginjal
(-), asma (-), stroke disangkal.

e) Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (-). Riwayat keluarga
dengan hipertensi (+) ibu pasien, diabetes (-), penyakit jantung (-), asma
(-), penyakit ginjal (-)

f) Riwayat pribadi dan sosial


Pasien sehari- hari tinggal dengan anaknya. Sebelum sakit pasien berkerja
sebagai petani, tetapi sekarang pasien sudah tidak berkerja lagi. Dulu
pasien adalah perokok, tetapi sekarang berhenti kurang lebih 2 tahun yang
lalu, untuk kegiatan sehari- hari pasien hanya berjalan- jalan di rumah dan
sekitarnya saja. Di lingkungan rumah pasien sering ada asap bakaran dari
sampah, pasien tidak mengkonsumsi alkohol.
C. PEMERIKSAAN FISIK

a) Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
b) Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 75x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 36oC
SpO2 : 95 %

c) Pemeriksaan Kepala dan Leher


Kepala : Normocephali
Mata : Ca (+/+), Si(-/-)
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), Sekret (-), septum deviasi (-/-)
Mulut : Bibir Pucat (-), sianosis (-).
Leher : Perbesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid(-), deviasi
trakea (-), JVP meningkat (-)

d) Pemeriksaan Thoraks
Paru-paru
• Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
• Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus simetris kanan
dan kiri
• Perkusi : sonor pada lapang paru kanan dan kiri
• Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (+/+)
Jantung
• Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea
midclavicularis sinistra
• Auskultasi : S1, S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

e) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : d.b.n
Auskultasi : BU (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : NT (-), hepatomegali (-), splenomegali(-)

f) Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, edema tungkai -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Darah Rutin Tanggal 11/01/2021
HASIL

Hb 11,3 gr%

Hematokrit 37%

Trombosit 359

Leukosit 10,3

MCV 72,9

MCH 22,6

MCH 22,6

MCHC 31,0

Basofil 0%

Eosinofil 4%

Neutrofil Batang 0%

Neutrofil Segmen 71%

Limfosit 19%

Monosit 6%

GDS 135 mg/dl

Na 136,4

K 3,82

Cl 93,0

SGOT 18,7

SGPT 3,0

Ureum 58,0

Kreatinin 3,0

Cholesterol 187,8

HDL-cholesterol 29,7
b) Hasil pemeriksaan EKG: (11-01-2022)

Interpretasi
Atrial Fibrilasi
b) Pemeriksaan Radiologi
Rontgen Thorax AP/PA
Interpretasi : Bronkitis , besar Cor normal
E. DIAGNOSIS KERJA
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
CHF

F. PENATALAKSANAAN
a. RL 500 mg/8 jam
b. Combivent 8/jam
c. Asering source /12 jam
d. Clanexi 3x1
e. Resvar 1x1
f. Sarconbin
g. Ranitidin 2x40mg
h. Amiodaron 1x100mg
i. Catopril
j. Levo
k. pantoprazole
G. PROGNOSIS
1. Ad vitam : bonam
2. Ad sanationem : dubia ad malam
3. Ad fungsionem : dubia ad malam
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi PPOK


a. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) atau Cronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu penyakit yang ditujukan
untuk mengelompokkan penyakit-penyakit paru yang mempunyai
gejala berupa terhambatnya aliran udara pernapasan yang dapat terjadi
pada saluran pernapasan maupun pada parenkim.
b. PPOK merupakan penyakit saluran pernapasan yang ditandai dengan
adanya penyumbatan saluran napas yang menimbulkan gejala serupa
satu dengan yang lainnya dan biasanya tidak bersifat reversibel dan
dalam waktu yang lama akan terjadi gejala akut yang memburuk yang
sering disebut dengan eksaserbasi.
c. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) adalah penyakit umum yang
dapat dicegah dan diobati yang biasanya ditandai dengan gejala
pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan
tersumbatnya jalan napas atau adanya kelainan alveolar. Biasanya
disebabkan oleh pemaparan yang signifikan terhadap partikel atau gas
berbahaya.
d. Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan suatu keadaan
penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak
bersifat reversible sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya
progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi abnormal pada paru
terhadap partikel atau gas yang berbahaya.
e. PPOK merupakan suatu penyakit kronis yang dikarenakan adanya
penyumbatan pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan
terhambatnya aliran udara yang disebabkan karena paparan yang lama
terhadap polusi maupun asap rokok. Penyakit ini merupakan istilah
lain untuk penyakit paru yang berlangsung. Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
merupakan penyakit paru yang disebabkan karena adanya obstruksi
atau penyumbatan aliran udara pada saluran pernapasan yang ditandai
dengan adanya gejala sesak napas dan dalam waktu yang lama akan
semakin memburuk yang disebut dengan eksaserbasi.
2.2 Kelompok penyakit yang masuk dalam jenis PPOK Klasifikasi penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK) antara lain :
a. Asma Asma merupakan penyakit obstruksi kronik saluran napas yang
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Asma
adalah penyakit inflamasi kronis jalan napas yang ditandai dengan
hiperresponsivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan. Asma
merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan bronkospasme episodik
reversible yang terjadi akibat respons bronkokonstriksi berlebih terhadap
berbagai rangsangan.
b. Bronkitis kronis Bronkitis kronis merupakan suatu keadaan adanya batuk
produktif lebih dari 250 ml sputum perhari selama minimal 3 bulan
pertahun selama 2 tahun berturut-turut, tanpa ada penyebab medis lain.
Sedangkan bronkitis kronis merupakan batuk produktif dan menetap
minimal 3 bulan secara berturut-turut dalam kurun waktu sedikitnya 2
tahun.
c. Emfisema Emfisema adalah suatu penyakit yang dimana terjadi
kehilangan elastisitas paru dan pembesaran abnormal dan permanen pada
ruang udara yang jauh dari bronkiolus terminal termasuk destruksi
dinding alveolar dan bantalan kapiler tanpa fibrosis yang nyata.
d. Bronkiektasis Bronkiektasis adalah gangguan pada saluran pernapasan
yang terjadi akibat adanya pelebaran bronkus dan bronkiolus akibat
kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau
berkaitan dengan infeksi nekrotikan kronis. Sekali terbentuk,
bronkiektasis menimbulkan kompleks gejala yang didominasi oleh batuk
dan pengeluaran sputum purulen dalam jumlah besar.
2.3 Etiologi PPOK Penyakit paru obstruksi kronik dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan dan gaya hidup yang sebagian besar bisa dicegah. Merokok
diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus pada laki-laki
dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling banyak menderita PPOK.
a. Usia PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis
sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang termasuk perkecualian yang
jarang dari pernyataan umum ini seringkali berhubungan dengan sifat
yang terkait dengan difisiensi bawaan. Ketidakmampuan ini dapat
mengakibatkan seseorang mengalami emfisema dan PPOK pada usia
sekitar 20 tahun, yang beresiko menjadi semakin berat jika mereka
merokok,
b. Merokok Kebiasaan buruk (merokok), dimana merokok dapat
menyebabkan hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan
produksi mukus sehingga menyebabkan batuk produktif. Pada brokitis
kronik batuk produktif dapat terjadi selama lebih dari 3bulan/ tahun.
Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup
80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Diduga bahwa sekitar 20%
orang yang merokok akan mengalami PPOK, dengan resiko perseorangan
meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok yang dihisap.
Kebiasaan buruk merokok akan menekan aktivitas sel-sel pemangsa dan
mempengaruhi mekanisme pembersihan siliaris dari saluran pernapasan,
yaitu berfungsi untuk menjaga saluran pernapasan bebas dari iritan,
bakteri dan benda asing lainnya yang terhirup. Jumlah yang dihisap oleh
seseorang diukur dengan istilah pack years, satu pack years = menghisap
20 batang rokok perhari selama satu tahun. Dengan demikian , seseorang
yang merokok 40 batang rokok perhari selama satu tahun atau mereka
yang merokok 20 batang rokok selama dua tahun akan memiliki
akumulasi yang ekuivalen dengan 2 pack years.
c. Lapangan kerja berdebu Debu organik dan anorganik serta bahan kimia
dan asap dapat menjadi faktor resiko terjadinya PPOK.
d. Polusi udara Udara yang buruk akan menyebabkan partikel-partikel yang
dihirup masuk kedalam saluran pernapasan, sehingga dapat menyebabkan
total beban paru-paru menjadi lebih tingi. Dimana partikel yang dihirup
akan menumpuk kedalam saluran pernapasan sehingga menyebabkan
terjadinya penyumbatan.
2.4 Patofisiologi PPOK
Prinsip terjadinya penyakit paru obstruksi kronik yaitu adanya
keterbatasan jalan napas yang tidak sepernuhnya reversible. Secara progresif
terjadinya penyempitan jalan napas dan kehilangan daya elastisitas paru yang
berakibat pada terjadinya penurunan FEV (Forced Expiratory Volume,
ketidakadekuatan dalam pengosongan paru dan hiperinflasi. Adanya proses
penuaan yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru-paru. Keadaan
ini menyebabkan terjadinya penurunan elastisitas jaringan paru dan dinding
dada yang mengakibatkan terjadinya penurunan kekuatan kontraksi otot
pernapasan dan menyebabkan kesulitan dalam bernapas. Selain itu faktor
kebiasaan buruk merokok juga dapat menyababkan cedera pada sel epitel
jalan napas yang menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi, dimana pada
kandungan asap rokok dapat merangsang terjadinya peradangan kronik pada
paru-paru. Mediator peradangan dapat merusak struktur penunjang dari paru-
paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran pernapasan dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi paru berkuramg. Saluran udara yang mengalami kolaps terjadi
terutama pada saat ekspirasi dimana ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Apabila tidak terjadi
pengempisan pasif, maka udara akan terperangkap didalam paru-paru dan
saluran udara kolaps, Fungsi paru menentukan jumlah kebutuhan oksigen
yang masuk ke tubuh seseorang, yaitu jumlah oksigen yang diikat oleh darah
dalam paru-paru untuk digunakan oleh tubuh. Kebutuhan oksigen sangat erat
hubungannya dengan aliran darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-
paru juga disebabkan oleh berkurangnya fungsi sitem respirasi seperti fungsi
ventilasi paru. Faktor resiko merokok dan polusi udara menyebabkan proses
inflamasi bronkus dan juga dapat menimbulkan kerusakan pada dinding
bronkiolus terminalis. Terjadinya kerusakan pada dinding bronkiolus
terminalis dapat menyebabkan obstruksi pada bronkiolus terminalis yang
akan mengalami obstruksi pada fase awal ekspirasi. Udara yang masuk ke
alveoli pada saat inspirasi akan terjebak kedalam alveolus pada saat terjadi
ekspirasi sehingga akan menyebabkan terjadinya penumpukan udara ( air
trapping). Kondisi seperti ini yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan
sesak napas.
2.5 Derajat PPOK Klasifikasi derajat
PPOK menurut Global Initiative for Chronic Obstruktif Lung Disease
(GOLD, 2011) antara lain :
a. Derajat 0 (berisiko) Gejala : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis,
produksi sputum dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : normal
b. Derajat I (Ringan) Gejala : batuk kronis dan ada produksi sputum tapi
tidak sering. Pada derajat ini pasien tidak menyadari bahwa dirinya
menderita PPOK. Sesak napas derajat 0 sampai derajat sesak napas 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
c. Derajat II ( sedang) Gejala : sesak napas mulai terasa pada saat
beraktivitas terkadang terdapat gejala batuk dan produksi sputum.
Biasanya pada derajat ini pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas) Spiromteri :
FEV1/FVC < 80%
d. Derajat III (berat) Gejala : sesak napas terasa lebih berat, terdapat
penurunan aktivitas, mudah lelah, serangan eksaserbasi bertambah sering
dan mulai memberikan dampat terhadap kualaitas hidup. Sesak napas
derajat 3 sampai 4. Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri : FEV1/
FVC
bergantung pada oksigen. Kualitas hidup mulai memburuk dan dapat
terjadi gagal napas kronik pada saat terjadi eksaserbasi dehingga dapat
mengancam jiwa pasien. Spirometri : FEV1/ FVC < 30% atau <50%.
2.6 Tanda-tanda klinis penyakit PPOK
Tanda cronic obstructive pulmonary disease (COPD) antara lain batuk,
produksi sputum berlebih (pada jenis bronkitis kronik), dispnea (sesak napas),
obstruksi saluran napas yang progresif dan nderita PPOK akan mengalami
hipoksemia, hipercapnea sampai dengan pada gangguan kognitif. Gejala
PPOK yang berkaitan erat dengan respirasi yaitu batuk kronik. Batuk kronik
merupakan batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan
pengobatan. Sesak napas, terutama terjadi pada saat melakukan aktivitas,
seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat
progresif lambat sehingga sesak napas ini tidak di keluhkan.
2.7 Penatalaksanaan PPOK Beberapa teknik penatalaksanaan yang berbeda, yang
berkisar dari latihan olahraga, konseling nutrisi, dan penyuluhan, sampai
dengan tetapi obat, penggunaan oksigen dan pembedahan, dapat efektif dalam
terapi PPOK.
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah bagian penting penatalaksanaan gejala pada pasien
PPOK dan diresepkan sesuai kebutuhan atau secara teratur untuk mencegah
atau mengurangi gejala. Bronkodilator memperbaiki pengosongan paru,
mengurangi hiperinfasi pada saat istirahat dan selama latihan, dan
memperbaiki performa latihan. Bronkodilator meningkatkan FEV1 dengan
memperlebar tonus otot polos jalan napas, bukan dengan mengubah sifat
recoil elastis paru. Bronkodilator kerja lama paling sesuai untuk kondisi ini.
Inhalasi merupakan rute pemberian yang lebig dipilih. Agens bronkodilator
utama adalah agonis beta2 adrenergik, antikolinergik, dan tefilin. Pilihan
bentuk tertentu terapi bronkodilator bergantung pada ketersediaan dan
respons pasien dalam hal pengurangan gejala dan efek samping. Terapi
kombinasi, bukan peningkatan dosis agens tunggal, dapat menyebabkan
perbaikan efektivitas dan penurunan resiko efek samping.
b. Glukokortikoid Terapi inhalasi glukokortikoid yang rutin untuk PPOK hanya
sesuai pada pasien dengan penyakit sistomatik dan respons spirometrik yang
tercatat terhadap glukokortikoid atau pada pasien dengan FEV1 kurang dari
50% yang diprediksi dan eksaserbasi berulang yang memerlukan terapi
dengan antibiotik atau glukokortikosteroid oral. Terapi inhalasi
glukokortikosteroid yang lama dapat mengurangi gejala, namun tidak
mengubah penurunan jangka panjang FEV1 yang biasanya terlihat pada
pasien PPOK. Hubungan dosis-respons dan keamanan jangka panjang inhalasi
glukokortikosteroid pada PPOK tidak diketahui sepenuhnya, dan tidak ada
rekomendasi terapi glukokortokosteroid jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. GOLD. 2013. Global Strategy For The Diagnosis, Management, And
Prevention Of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Global Initiative
for Cronic Obstruktive Lung Disease. (GOLD).
2. RASKEDAS. 2013. Penyakit Tidak Menular. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Jakarta. 1
Desember 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS).
3. Watchie Joanne. Cardiovascular and Pulmonary Physical Therapy.
Clinical Manual. 2nd ed. Saunders Elsilver. United States of America.

Anda mungkin juga menyukai