Anda di halaman 1dari 14

Clinical Report Session

Tuberkulosis paru, suspek kanker paru dan PPOK

Disusun oleh :
Astri Dwi Andini - 2040310269

Preseptor
dr. Russilawati, Sp.P (K)
dr.Oea Khairsyaf, Sp.P (K), FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Tuberkulosis paru, suspek kanker paru dan PPOK.” CRS ini
disusun untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis dan pembaca, serta
menjadi salah satu ilmiah dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Russilawati, Sp.P(K) dan dr. Oea
Khairsyaf, Sp.P(K), FISR selaku preseptor yang telah memberikan arahan dan
petujuk dalam pembuatan makalah ini. Penulis juga berterima kasih kepada semua
pihak yag telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah CRS ini masih memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata,
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua

Padang,
Februari 2021

Penulis

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pneumotoraks adalah salah satu kegawatdaruratan paru dimana terdapatnya udara
didalam rongga pleura yang pada keadaan normal tidak berisi udara. Pneumotoraks
ditandai dengan adanya sesak nafas dan nyeri yang berasal dari paru dan dinding dada.
Insidennya mencapai 2,4-17,8 per 100.000/tahun yang lebih sering pada laki-laki dan
usia dekade 3 dan 4.1
Pneumotoraks dapat terjadi primer atau traumatik. Pneumotoraks primer
selanjutnya dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan pneumotoraks spontan
sekunder. Pneumotoraks spontan sekunder didefinisikan sebagai pneumotoraks yang
terjadi akibat komplikasi pada penyakit yang mendasari, seperti chronic obstructive
pulmonary disease (COPD) dan tuberculosis (TB), tumor, sakroidosis, penyakit pleura,
limfangioleiomyomatosis (LAM), Langerhans sel histiositosis, dan obstruksi oleh benda
asing. Di negara berkembang TB paru merupakan penyebab utama terjadinya
pneumotoraks spontan sekunder2
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2019 diperkirakan 10 juta
orang menderita TB diseluruh dunia dengan rincian 5,6 juta laki laki, 3,2 juta wanita dan
1,2 juta anak anak. Pada tahun 2019, 30 negara dengan beban TB tinggi menyumbang
87% kasus TB paru, delapan negara menyumbang 2/3 total kasus, yakni India, Indonesia,
Cina, Filipina, Pakistan, Nigeria, Bangladesh dan Afrika Selatan.3 Menurut data TB
Kemenkes Indonesia tahun 2021, estimasi kasus TB di Indonesia mencapai 845,000
dengan mortalitas sebesar 12,469.
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan diperkuat
dengan pemeriksaan rontgent thoraks. Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan
keluhan pasien, menurunkan kecenderungan untuk berulang kembali dan pengobatan
terhadap penyakit dasar. Kelalaian dalam penatalaksanaan dapat berakibat timbulnya
komplikasi berupa emfisema subkutan, pneumomediastinum, gagal napas akut dan
bahkan sampai kematian. Emfisema subkutis dapat timbul akibat pemasangan thorax
tube saat menatalaksana pneumothoraks

1
2. Batasan Masalah
Makalah ini membahas kasus dari pneumotoraks spontan sinistra ec TB paru dengan
emfisema subkutis.

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan case report ini adalah untuk memahami dan menambah pengetahuan
mengenai pneumotoraks spontan yang diakibatkan oleh TB paru.

4. Metode Penulisan
Laporan kasus ini dibuat dengan metode diskusi yang merujuk dari berbagai referensi.

2
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. LU
Umur : 72 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Pekerjaan : Pegawai PNS
Alamat : Agung Koda Imantadi, Cagak Kerinci Jambi
Status perkahwinan : Kawin

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri dada yang menjalar dari dada kiri ke punggung kiri seperti tembakan

Riwayat Penyakit Sekarang


- Pasien nyeri dada sejak 1 bulan yang lalu, nyeri terasa seperti tembakan, nyeri bersifat
hilang timbul.
- Pasien sesak nafas meningkat sejak 1 hari yang lalu, riwayat sesak sejak 2 bulan yang
lalu, sesak meningkat saat batuk.
- Pasien batuk berdahak sejak 1 tahun yang lalu , batuk bersifat hilang timbul.
- Betuk darah sejak 5 bulan yang lalu, darah lengket dengan dahak, bersifat hilang timbul.
- Demam tidak ada, riwayat demam ada 2 hari yang lalu.
- Suara serak (-), keringat malam (-).
- Penurunan berat badan ada, tapi pasien tidak tau pasti berapa.
- BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Riwayat Penyakit dahulu


- Riwayat keganasan dari organ lain tidak ada
- Riwayat menderita Tuberkulosis tidak ada
- Riwayat hipertensi tidak ada
- Riwayat diabetes melitus tidak ada
- Tidak ada riwayat meminum obat OAT, keluarga juga tidak ada yang meminum obat
OAT

3
- Pasien meminum obat Nafasin apabila sesak yang dibeli di warung.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama.
- Riwayat keluarga memiliki keganasan tidak ada
- Riwayat keluarga memiliki diabetes melitus tidak ada
- Riwayat keluarga memiliki hipertensi tidak ada

Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan (seperti merokok, narkoba, sex bebas, dll)
- Pasien tidak bekerja sejak tahun 2000an, sebelumnya pasien merupakan mandor di pabrik
padi.
- Pasien perokok. Mulai tidak merokok 3 bulan yang lalu. Riwayat merokok 3-4 bungkus
dalam satu hari, pasien sudah merokok sejak SD. (IB Berat)
- Pasien suka begadang setiap hari dan suka minum kopi.

2.3 Pemeriksaan Umum


Vital Sign
▪ Keadaan umum : Sedang
▪ Kesadaran : CMC
▪ Suhu : 36.7
▪ Tekanan darah : 110/70mmHg
▪ Frekuensi napas : 22x/i
▪ Frekuensi nadi : 90x/i
▪ Tinggi badan : 162 cm
▪ Berat badan : 45 kg

Status Generalisata
▪ Kepala : Normosepal, rambut tidak mudah rontok
▪ Mata : Konjungtiva anemis tidak ada, sklera ikterik tidak ada
▪ Leher
o JVP : 5-2 cmH2O
o Trakea : Tidak ada deviasi
o KGB : Tidak ada pembesaran KGB
▪ Jantung

4
o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : terdapat nyeri tekan di RIC V Midclavicula sinistra
o Perkusi : Pekak, batas jantung normal
o Auskultasi : Bunyi Jantung SI-II regular, murmur (-), gallop (-)
▪ Paru depan (dada)
o Inspeksi
▪ Statis : Funnel chest, pernafasan abdomen, terdapat scar di dada
kanan.
▪ Dinamis: pergerakan dinding dada sama
o Palpasi

 Nyeri tekan pada RIC V mid clavicula sinistra


 Tidak ada krepitasi
 Fremitus dada kiri melemah dari yang kanan
 Tidak ada massa.

o Perkusi
Kanan : sonor
Kiri : Redup di RIC V midclavicula sinistra.
o Auskultasi
Kanan : bronkovesikuler, rh (+), wh (-)
Kiri : bronkovesikuler, rh (+), wh (-)
▪ Paru belakang (punggung)
o Inspeksi
▪ Statis : Simetris kiri dan kanan
▪ Dinamis: Pergerakan dinding dada sama
o Palpasi : fremitus dada kiri melemah dari kanan
o Perkusi

Kanan : sonor

Kiri : redup di RIC V Midskapula sinistra.

o Auskultasi
Kanan : bronkovesikuler, rh (+), wh (-)
Kiri : bronkovesikuler, rh (+), wh (-)

5
▪ Abdomen
o Inspeksi : Supel, tidak ada distensi.
o Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus normal
▪ Genitalia : dalam batas normal
▪ Ekstremitas : Edema Tidak ada, clubbing finger tidak ada

2.4 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan TCM: TCM + sensitive Ref (rifampisin) dengan hasil Mtb terdeteksi
sangat rendah dan terdeteksi resisten rifampisin
 Patologi anatomi:
o Mikroskopik: sputum berwarna putih, keruh berlendir volume 2 cc.
o Makroskopik: Tampak sebaran ringan – sedang sel – sel eputel gepeng serta
beberapa limfosit, neutrofil dan kelompokan kuman coccus dengan latar belakang
debris.
Kesan: Tidak tampak sel – sel tumor ganas pada sediaan ini.

 Laboratorium
Darah Rutin
▪ Hb : 10,9 g/dL
▪ Leukosit : 17,82 x 103/mm3
▪ Trombosit : 212 x 103/mm3
▪ Ht : 30%
▪ DC : 0/2/81/12/5/0

AGD dan elektrolit


 PH : 7,427
 PCO2 : 45,3 mmHg
 PO2 : 120,1 mmHg
 HCO3- : 30,2 mmol/L
 Na : 132 mmol/L
 K : 3,7 mmol/L
 Cl : 98 mmol/L

6
Faal Hepar
 Bilirubin total : 0.2 mg/dL
 Bilirubin direct : 0.1 mg/dL
 Bilirubin indirect: 0.1 mg/dL
 Albumin :3,6 g/dL
 Globulin : 3,7 g/dL
Kesan : Anemia, Leukositosis dengan neutrofilia, Natrium menurun.

 Rontgen Thoraks

Rontgen pasien laki – laki 72 tahun, foto diambil tanggal 4 Februari 2021 di RSUP Dr.M.
Djamil Padang, rontgen AP, simetris, sentris, densitas sedang, tampak gambaran massa
dengan batas tegas dan sudut antara garis yang sejajar midline dan garis pinggir massa < 90o
di paru sinistra.
Kesan: Suspek Tumor paru sinistra. Tampak gambaran infiltrat di kedua apeks paru dan di
lapangan paru dekstra dan sinistra, kesan: Tuberculosis paru.

7
2.5 Diagnosis Kerja
- Tuberkulosis paru kasus baru terkonfirmasi bakteriologis dalam pengobatan OAT
Kategori I Hari ke-7.
- Suspek kanker paru jenis sel belum diketahui T4MxNx stage III A Ps I.
- CAP
- PPOK Eksaserbasi akut tipe I

2.6 Rencana Pengobatan

- Follow up hasil kultur sputum


- Follow up hasil sitologi sputum
- IVFD Nacl 0,9% 12 jam/kolf
- Inj. Seftriaxon 2 x 1 gram
- Drip aminophilin 15 cc + 35 cc
- Paracetamol 3 x 500 mg
- N-asetilsistein 2 x 200 mg
- Laxadine 3 x 1 cth
- MST 3 x 15 mg
- Rifampisin 1 x 450 mg
- INH 1 x 300 mg
- Pirazinamid 1x 500 mg
- Etambutol 1 x 1000 mg
- Drip NTG 1 amp + 50 cc Nacl 0,9% kecepatan 3 cc/jam via syringe pump

8
BAB 3
DISKUSI

Telah dirawat pasien laki laki 51 tahun dengan pneumotoraks spontan sekunder ec TB
paru dengan emfisema subkutis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami sesak napas meningkat secara tiba
tiba dan tidak menciut, keluhan yang dialami pasien dapat dicurigai sebagai pneumotoraks
spontan. Pneumothoraks merupakan kelainan dimana terdapatnya udara pada rongga pleura
yang ditandai dengan nyeri dada tiba-tiba yang disertai dengan sesak napas. Pneumothoraks
dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau tajam pada dada, prosedur medis, atau kerusakan
akibat penyakit paru yang sudah ada sebelumnya. Pneumothoraks spontan adalah
pneumothoraks yang terjadi bukan karena trauma dan selanjutnya diklasifikasikan menjadi
pneumothoraks spontan primer dan pneumothoraks spontan sekunder. Pneumothoraks
spontan primer terjadi pada pasien yang tidak memiliki kelainan pulmonal sebelumnya,
sedangkan pneumothoraks spontan sekunder terjadi akibat adanya kelainan pulmonal yang
mendasari, seperti PPOK, cystic fibrosis, tuberkulosis, kanker paru, pneumpoitis interstitial,
dan HIV associated pneumonia. Kecurigaan pasien mengalami pneumotoraks sekunder juga
didasari oleh keterangan pasien yakni pasien mengalami batuk dan mempunyai riwayat batuk
berdahak berwarna putih kental sejak 2 bulan yang lalu, keringat malam, demam hilang
timbul, serta terjadi penurunan nafsu makan dan berat badan lebih dari 10 kg dalam waktu 2
bulan. Klinis pasien tersebut merujuk ke satu penyakit, yakni TB paru. 4

Dari pemeriksaan fisik paru pasien ini didapatkan paru asimtetris, dada kanan lebih
cembung dari kiri (statis), pergerakan dada kiri tertinggal dari dada kanan (dinamis). Hal ini
menandakan bahwa dada kiri tertinggal akibat dari penekanan udara yang terkumpul di
rongga pleura sebelah kiri sehingga terjadi gangguan pengembangan paru.1 Hasil
pemeriksaan taktil fremitus paru kiri lebih lemah dibanding kanan, dan didapatkan krepitasi

9
pada dinding dada kanan maupun kiri. Krepitasi pada dada pasien, mengindikasikan terjadi
emfisema subkutis. Emfisema subkutis merupakan infiltrasi udara bebas di bawah jaringan
subkutis. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh komplikasi dari penyakit atau saat
pemasangan thorax tube. Pada pemasangan thorax tube dapat mengakibatkan komplikasi
cedera pada pleura parietal yang memungkinkan aliran udara ke jaringan pleura dan
subkutan5 Pada perkusi didapatkan didapatkan paru kiri hipersonor dan suara napas melemah.
Hal ini disebabkan karena adanya pengumpulan udara di rongga pleura sebelah kiri sehingga
menyebabkan surara hipersonor saat perkusi.1

Pada RS sebelumnya, yakni di RSUD Lubuk Sikaping, pasien dilakukan pemeriksaan


TB paru dengaan TCM (tes cepat molecular) atau Xpert MTB/RIF. Pemeriksaan ini
digunakan sebagai tes diagnostik awal yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi
M.Tuberculosis dan rifampisin.4 Hasil pemeriksaan didapatkan TCM (+) Rifampisin sensitive
dan diberikan pengobatan OAT kategori 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada pasien
terjadi pneumotoraks spontan sekunder karena TB paru. Hal ini sesuai dengan keluhan
berupa sesak yang meningkat secara tiba tiba tanpa adanya trauma paru, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang mendukung.

Pada orang yang sehat, tekanan pleura lebih negatif dibandingkan dengan tekanan
atmosfer selama siklus pernapasan. Perbedaan tekanan antara alveoli dengan rongga pleura
disebut dengan tekanan transpulmonal dan tekanan inilah yang menyebabkan recoil elastis
dari paru. Pada pneumothoraks spontan sekunder akibat TB, terjadi hubungan hubungan
antara alveoli dan rongga pleura. Penyebab tersering dari pneumothoraks spontan karena TB
adalah robeknya kavitas ke rongga pleura, penyebab lainnya adalah terbentuknya fistula
bronkuspleura akibat terjadinya caseous necrosis dan yang paling jarang adalah tubercular
pneumatocele yang robek ke rongga pleura.1,2,6

Penatalaksanaan pneumotoraks pada prinsipnya adalah evakuasi udara dari rongga


pleura. Pemasangan drainase pada pneumotoraks bergantung kepada gejala dan luasnya
pneumotoraks yang terjadi. Pneumotoraks dengan luas kurang dari 20% dan asimptomatik
biasanya tidak dilakukan pemasangan water seal drainage (WSD), sedangkan pada
pneumotoraks yang luas (>20%) atau menimbulkan gejala harus dilakukan pemasangan
WSD.1

Menurut klasifikasi oleh PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) berdasarkan


riwayat pengobatan sebelumnya, pasien ini dikategorikan sebagai pasien baru. Pasien baru

10
merupakan orang yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah
mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Penatalaksaan TB pada pasien baru, paduan obat
yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis setiap hari. Pada pasien dengan
riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan
secara individu.7 Pada pasien ini, hasil pada pemeriksaan TCM didapatkan sensitive
rifampisin. Sehingga pada penatalaksaan untuk mengobati TB paru pasien, diberikan OAT
kategori I lini I.

BAB 4
KESIMPULAN

1. Pneumothoraks merupakan kelainan dimana terdapatnya udara pada rongga pleura


yang ditandai dengan nyeri dada tiba-tiba yang disertai dengan sesak napas.
2. Pneumothoraks spontan adalah pneumothoraks yang terjadi bukan karena trauma dan
diklasifikasikan menjadi pneumothoraks spontan primer dan pneumothoraks spontan
sekunder.
3. Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab tersering dari penumothoraks spontan
sekunder.
4. Penyebab tersering dari pneumothoraks spontan karena TB adalah robeknya kavitas
ke rongga pleura, penyebab lainnya adalah terbentuknya fistula bronkus-pleura akibat
terjadinya caseous necrosis dan yang paling ja rang adalah tubercular pneumatocele
yang robek ke rongga pleura.
5. Pada pneumothoraks terjadi perubahan tekanan intrapleural sehingga udara masuk
dari alveolus ke rongga pleura yang mengakibatkan paru kolaps, perubahan
pengembangan dari dinding dada, menurunkan kapasitas vital paru, mediastinum
bergerak kearah yang berlawanan, memperluas thoraks pada daerah yang sakit, dan
menekan diafragma.
6. Penatalaksanaan pneumotoraks pada prinsipnya adalah evakuasi udara dari rongga
pleura.
7. Penatalaksanaan TB disesuaikan dengan status pasien yang dilihat dari riwayat
pengobatan sebelumnya.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Choi W Il. Pneumothorax. Tuberc Respir Dis (Seoul). 2014;76(3):99–104.

2. Singh SK, Tiwari KK. Analysis of clinical and radiological features of tuberculosis
associated pneumothorax. Indian J Tuberc [Internet]. 2019;66(1):34–8. Tersedia pada:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ijtb.2017.01.009

3. WHO. Tuberculosis [Internet]. World Health Organization. 2020 [dikutip 12 Februari


2021]. Tersedia pada: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis

4. International Standards for Tuberculosis Care. 3 ed. The Lancet. TB Care; 2014.

5. Kukuruza K, Aboeed A. Subcutaneous emphysema. StatPearls [Internet]. 2018;


Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK542192/

6. Freixinet JL, Caminero JA, Marchena J, Rodríguez PM, Casimiro JA, Hussein M.
Spontaneous pneumothorax and tuberculosis: Long-term follow-up. Eur Respir J.
2011;38(1):126–31.

7. PDPI. Tuberkulosis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai