Anda di halaman 1dari 8

TUTORIAL 6 BLOK 2.

I. TERMINOLOGI
1. Transfusi darah : proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu
orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah berhubungan dengan
kondisi medis seperti kehilangan darah dalam jumlah besar disebabkan trauma,
operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah

2. Packed red cell (PRC) : PRC adalah sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit,
leukosit dan sedikit plasma. PRC didapatkan dengan memisahkan sel darah merah dari
plasma, sehingga didapatkan sel darah merah dengan nilai hematokrit tinggi (69-70%)

3. Crossmatch mayor :
- cross match dilakukan untuk mendeteksi ketidakcocokan antara darah donor dan
darah resipien yang tidak dapat ditemukan pada proses penggolongan darah
sebelumnya.
- mayor cross match adalah pengujian antara serum pasien dengan sel-sel donor
untuk mengetahui apakah pasien memiliki antibodi yang dapat menyebabkan
reaksi transfusi hemolisis atau penurunan ketahanan sel-sel donor
- mayor cross match adalah serum penerima dicampur dengan sel donor

4. Crossmatch minor : minor cross match adalah pengujian antara sel-sel pasien dengan
plasma donor untuk mengetahui apakah terdapat antibodi di dalam plasma donor
yang berfungsi melawan antigen yang terdapat di dalam sel pasien. minor cross match
adalah serum donor dicampur dengan sel penerima.

5. Autocontrol :

6. Acral : ujung ekstremitas

7. Protap : prosedur tetap atau SOP

8. Reaksi hipersensitivitas : reaksi imun yang patologik, tidak normal, yang terjadi akibat
respon imun yang berlebihan terhadap suatu pajanan antigen yang sama untuk kedua
kalinya, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.

9. Imunodefisiensi : keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun


normal.

10. Inkompabilitas : ketidakcocokan

11. Coomb’s test : pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi adanya antibody pada
permukaan eritrosit dan anti-ab eritrosit dalam serum

12. Systemic Lupus Erythematosus : SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun,
dan disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh
II. Identifikasi Masalah
1. Apa yang terjadi pada kondisi patah tulang terbuka?
Patah tulang atau dengan bahasa medis di sebut fraktur, di definisikan berupa
terputusnya jaringan tulang, baik seluruhnya atau hanya sebagian.Patah tulang
digolongkan menjadi 2 macam, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka.
Pada patah tulang tertutup, tulang yang patah tidak sampai keluar melewati kulit.
Sedangkan pada patah tulang terbuka, sebagian atau keseluruhan tulang yang patah
terlihat menembus kulit. Kasus ini dapat berbahaya karena korban kemungkinan akan
kehilangan banyak darah dan rawan infeksi.

Penanganan awal saat terjadi patah tulang terbuka adalah menghentikan perdarahan
jika terjadi. Sebagaimana konsep CAB yang kini telah disepakati. Tindakan berikutnya
adalah melakukan immobilisasi. Perban donat menjadi solusi agar tidak terjadi
gesekan antara tulang jika tulang patah keluar tubuh. Kemudian berikan balut tekan
untuk menghentikan perdarahan selama transportasi pasien ke rumah sakit.
Terjadinya perdarahan saat kondisi pra hospital, harus segera mendapatkan resusitasi
cairan yang adekuat. Resusitasi harus setara dengan estimasi jumlah cairan yang
hilang selama perdarahan. Setelah sampai di rumah sakit, konsultasi bedah segera
dilakukan. Pemberian antibiotik diberikan segera untuk mencegah infeksi lebih lanjut.

2. Pertolongan pertama seperti apa dan tatalaksana yang dilakukan pada kondisi pasien?
Lima indikasi umum transfusi darah:
• Kehilangan darah akut, bila 20–30% total volume darah hilang dan
perdarahan masih terus terjadi.
• Anemia berat
• Syok septik (jika cairan IV tidak mampu mengatasi gangguan sirkulasi darah
dan sebagai tambahan dari pemberian antibiotik)
• Memberikan plasma dan trombosit sebagai tambahan faktor pembekuan,
karena komponen darah spesifik yang lain tidak ada
• Transfusi tukar pada neonatus dengan ikterus berat.
Tujuan transfusi darah pada penderita secara umum : 1. Memperbaiki kemampuan
pengangkutan oksigen (oxygen carryng). 2. Mengembalikan volume cairan darah yang
hilang. 3. Memperbaiki faal bekuan darah. 4. Memperbaiki kemampuan fagositosis
dan menambah sejumlah protein darah
Indikasi transfusi darah dan komponen-konponennya adalah :
1. Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan
cairan.
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain.
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen.
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma subtitute
atau larutan albumin.

Dalam pedoman WHO (Sibinga, 1995) disebutkan :


1. Transfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat.
2. Transfusi hanya diberikan berupa komponen darah pengganti yang hilang/kurang.

Berdasarkan pada tujuan di atas, maka saat ini transfusi darah cenderung memakai
komponen darah disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya kebutuhan akan sel darah
merah, granulosit, trombosit, dan plasma darah yang mengandung protein dan
faktor-faktor pembekuan. Diperlukan pedoman dalam pemberian komponen-
komponen darah untuk pasien yang memerlukannya, sehingga efek samping transfusi
dapat diturunkan seminimal mungkin.(1,3,12)
Lansteiner, perintis transfusi mengatakan : “Transfusi darah tidak boleh
diberikan,kecuali manfaatnya melebihi resikonya”. Pada anemia, transfusi baru layak
diberikan jika pasien menunjukkan tanda “Oxigen Need” yaitu rasa sesak, mata
berkunang, berdebar (palpitasi), pusing, gelisah atau Hb <6 gr/dl.(12) Pemberian sel
darah merah, sering digunakan apabila kadar Hb kurang dari 6 gr%, dan hampir tidak
diperlukan bila Hb lebih dari 10 gr% dan kalau kadar Hb antara 6-10gr%, maka
transfusi sel darah merah atas indikasi keadaan oksigenasi pasien. Perlu diingat bahwa
kadar Hb bukanlah satu-satunya parameter, tetapi harus diperhatikan pula faktor-
faktor fisiologi dan resiko pembedahan yang mempengaruhi oksigenasi pasien
tersebut.(2) Kehilangan sampai 30% EBV umumnya dapat diatasi dengan cairan
elektrolit saja.(3,5,12). Kehilangan lebih daripada itu, setelah diberi cairan elektrolit
perlu dilanjutkan dengan transfusi jika Hb<8 gr/dl.(2,12)
Habibi dkk memberikan petunjuk bahwa dengan pemberian satu unit PRC akan
meningkatkan hematokrit 3-7%. Indikasinya adalah : (2)
1. Kehilangan darah >20% dan volume darah lebih dari 1000 ml.
2. Hemoglobin < 8 gr/dl.
3. Hemoglobin <10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama : (misalnya empisema, atau
penyakit jantung iskemik)
4. Hemoglobin <10 gr/dl dengan darah autolog.
5. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.

Dapat disebutkan bahwa :


Hb sekitar 5 adalah CRITICAL
Hb sekitar 8 adalah TOLERABLE
Hb sekitar 10 adalah OPTIMAL

Transfusi mulai diberikan pada saat Hb CRITICAL dan dihentikan setelah mancapai
batas TOLERABLE atau OPTIMAL.

3. Apa interpretasi hb 6.2 gr/dl?


Anemia sedang

4. Apa indikasi dilakukan transfuse darah ?

5. Mengapa dokter meminta 4 unit PRC? Apa indikasi dari transfuse PRC?

6. Apa interpretasi dari Crossmatch mayor negates, crossmatch minor negative, dan
autocontrol negative ?
Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor. Maksudnya
apakah sel donor itu akan dihancurkan oleh antibody dalam serum pasien.
Minor crossmatch adalah serum donor dicampur dengan sel penerima. Yang dengan
maksud apakah sel pasien akan dihancurkan oleh plasma donor.

Berarti Darah OS Kompatibel dengan darah donor, Darah Boleh dikeluarkan


7. Mengapa hendra menggigil, sesak nafas, acral dingin, dan tekanan darahnya turun
setelah 15 menit transfuse berjalan?
Reaksi hemolitik akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas
(ketidakcocokan) sel darah merah dimana eritrosit donor lisis karena adanya antibodi
pada resipien. Reaksi ini terjadi ketika antibodi resepien berikatan dengan antigen
eritrosit donor dan mengaktifkan komplemen, membentuk membrane attack
complex (C5-C9) dan melisiskan eritrosit donor. Berbagai kompenen yang dilepaskan
selama hemolisis seperti interleukin (IL-1, IL-6) dan tumor necrosis factor (TNF)-α
menjadi perantara terjadinya demam, hipotensi dan aktivasi endotelial. Meskipun
volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka
akan semakin meningkatkan risiko.

Reaksi hemolisis akut akan timbul segera, biasanya dalam 15 menit, atau beberapa
jam setelah transfusi dalam bentuk demam, menggigil, nyeri dada atau hipotensi.
Gejala lain yang jarang terjadi adalah rasa panas di wajah (flushing), nyeri punggung
bawah, sesak nafas, nyeri perut, muntah dan diare. Pada kasus yang berat, dapat
terjadi gangguan pembekuan darah (koagulopati) dan gagal ginjal.

8. Mengapa dokter langsung menghentikan transfusi ?

9. Bagaimana dokter memperbaiki keadaan darurat sesuai dengan protap pada kondisi
seperti pak hendra?
Apabila gejala dan tanda tersebut di atas muncul maka harus segera dilakukan
pemeriksaan direct antiglobulin test (DAT) pada sampel darah pasien yang baru
diambil. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan untuk menentukan jumlah
hematokrit, bila perlu diikuti dengan pemeriksaan serial hematokrit. Serum laktat
dehidrogenase (LDH), bilirubin dan level haptoglobin harus dimonitor untuk bukti
adanya hemolisis. Perlu dilakukan pemeriksaan teliti identitas donor dan resipien
karena penyebab tersering adalah kesalahan klinis, terutama kesalahaan pemberian
label spesimen.

Pada hemolisis intravaskuler yang baru terjadi, hemoglobulin bebas dapat mewarnai
plasma dan urin. Laboratorium dapat mengkonfirmasi peningkatan hemoglobulin
bebas dengan adanya methemalbumin atau penurunan haptoglobin serum. Indikator
terbaik adanya hemolisis intravaskuler adalah adanya peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi (indirek) dan kegagalan hematokrit mencapai kadar yang diharapkan
setelah transfusi.

Penatalaksanaannya adalah segera menghentikan transfusi dan pasien mendapat


terapi suportif. Oksigen dan cairan harus diberikan secara tepat, produksi urine
dipantau dan dijaga, bila memungkinkan dipertahankan pada 70-100 mL/jam untuk
mempertahankan fungsi ginjal.

Reaksi sedang-berat (karena hipersensitivitas yang sedang, reaksi non-hemolitik,


pirogen atau kontaminasi bakteri)
Tanda dan gejala:
Urtikaria berat
Kulit kemerahan (flushing)
Demam > 38°C (demam mungkin sudah timbul sebelum transfusi diberikan)
Menggigil
Gelisah
Peningkatan detak jantung.

Tatalaksana:
Stop transfusi, tetapi biarkan jalur infus dengan memberikan garam normal
Beri hidrokortison 200 mg IV, atau klorfenamin 0.25 mg/kgBB IM, jika tersedia
Beri bronkodilator, jika terdapat wheezing (lihat halaman 100-102)
Kirim ke bank darah: perlengkapan bekas transfusi darah, sampel darah dari
tempat tusukan lain dan sampel urin yang terkumpul dalam waktu 24 jam
Jika terjadi perbaikan, mulai kembali transfusi secara perlahan dengan
darah baru dan amati dengan seksama
Jika tidak terjadi perbaikan dalam waktu 15 menit, tangani sebagai reaksi
yang mengancam jiwa (lihat bagian bawah) dan laporkan ke dokter jaga
dan bank darah.

10. Mengapa bisa terjadi reaksi alergi pada hendra setelah diberikan antibiotika?
Pasien yang mengalami alergi antibiotik memiliki sel limfosit T yang
teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan
konsep p-i (pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan
interleukin 5 (IL-5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5 merupakan faktor
kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi eosinofil. Sementara
itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major histocompatibility complex
(MHC) kelasII pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan
mempresentasikan obat ke sel T CD4+.1
Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaianterhadap protein atau
enzim tertentu sehingga mempengaruhikerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung
berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan selT akan
mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadangreaksi yang timbul tidak
mengikuti kaidah respon imun yangada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan
pertama tanpamemerlukan proses sensitisasi sebelumnya.Penjelasan lain adalah
pada
reaksi eksantema makulopapular,reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi selT
helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkaitdengan sekresi IL-4, IL-5,
serta IL-13. Selain itu juga terdapathubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi
IL-4 danIL-13 akan meningkatkan produksi IgE.1
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien alergi antibiotik baik pada kulit
maupun organ terkait dengan peningkatanproliferasi klon limfosit T CD8 yang telah
teraktivasi terhadap antigen virus sebelumnya oleh obat pencetus.
Dugaanketerlibatan
infeksi virus tersebut juga berdasarkan gambaranklinis pasien alergi antibiotik
yaituadanya demam, edema pada wajah,limfadenopati, monositosis, mononukleosis,
serta
hepatitisyang konsisten dengan gambaran infeksi virus. PenelitianPicard et al
memperlihatkan bahwa sebesar 76% pasienalergi antibiotik mengalami reaktivasi
terhadap EBV, HHV-6, dan HHV-7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di
dalam darahserta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.Selain itu
limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaituTNF-a, IL-2, dan IFN-g.
Tingginya produksi sitokin tersebutterkait dengan gangguan organ dalam yang lebih
berat.1
Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut bertahan selama kurang
lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkinmenjelaskan memanjangnya periode gejala klinis
yang dialamipasien alergi antibiotik meskipun obat pencetus telah dihentikan.
Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkandengan peningkatan
transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitastranskripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda
dengan penelitilain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalamterjadinya
hipereosinofilia.1

11. Tipe hipersensitivitas?

12. Apa interpretasi dari crossmatch mayor positif 1, crossmatch minor positif2,
autocontrol positif2
Interpretasi Hasil Cross Match
No Mayor Minor AC/DCT Kesimpulan
1 – – – Darah keluar
2 + – – Ganti darah donor
3 – + – Ganti darah donor
4 – + + Darah keluar bila minor lebih kecil atau sama dengan
AC/DCT → inform consent
5 + + + Lihat keterangan no. 5
Keterangan:

Cross Macth Mayor, Minor, dan AC = negatif


Darah pasien kompatibel dengan darah donor. Darah boleh dikeluarkan.

Cross Macth Mayor = positif, Minor = negatif, dan AC = negatif


Periksa sekali lagi golongan darah pasien apakah sudah sama dengan donor, apabila
sudah sama artinya terdapat Irregular Antibody pada serum pasien. Ganti darah
donor, lakukan cross match lagi sampai mendapatkan hasil cross negatif pada mayor
dan minor. Apabila tidak ditemukan hasil cross match yang kompatibel meskipun
darah donor telah diganti, maka harus dilakukan screening dan identifikasi antibodi
pada serum pasien, dalam hal ini sampel darah dikirim ke UTD Pembina terdekat.

Cross Macth Mayor = negatif, Minor = positif, dan AC = negatif


Ada Irregular Antibody pada serum/plasma donor. Ganti dengan darah donor lain,
lakukan cross match lagi.

Cross Macth Mayor = negatif, Minor = positif, dan AC = positif


Lakukan Direct Coombs Test pada pasien. Apabila DCT = positif, hasil positif pada cross
match minor berasal dari autoantibodi. Apabila derajat postif pada minor sama atau
lebih kecil dari derajat positif pada AC/DCT, darah boleh dikeluarkan. Namun apabila
derajat positif pada minor lebih besar dibandingkan derajat positif AC/DCT, maka
darah tidak boleh dikeluarkan, ganti darah donor, lakukan cross match lagi sampai
ditemukan positif pada minor sama atau lebih kecil disbanding AC/DCT.

Cross Macth Mayor, Minor, dan AC = positif


Periksa ulang golongan darah pasien maupun donor, baik dengan cell grouping
maupun back typing, pastikan tidak ada kesalahan golongan darah. Lakukan DCT pada
pasien, apabila positif bandingkan derajat positif DCT dengan Minor, apabila derajat
positif minor sama atau lebih rendah dari DCT, maka derajat positif pada minor
diabaikan, artinya positif tersebut berasal dari autoantibodi. Sedangkan, apabila
derajat positif terdapat pada mayor, maka positif tersebut disebabkan adanya
Irregular Antibody pada serum pasien. Ganti dengan darah donor baru hingga
ditemukan hasil mayor negatif.

13. Mengapa pada inkompabilitas tidak dapat dilakukan transfuse darah?

14. Mengapa dilakukan pemeriksaan coombs test? Apa interpretasi pada coombs test
positif?

15. Mengapa bisa terjadi SLE? Tatalaksana apa yang direncanakan pada kondisi wanita
tsb?
Merupakan penyakit autoimun yang menyerang seluruh organ tubuh, banyak
dijumpai pada wanita khususnya usia produktif (usia subur), karena penyakit ini
diduga berkaitan dengan faktor hormonal yaitu estrogen, prolaktin.
Namun pada umumnya inflamasi oleh karena sel kekebalan tubuh mengenali sel
sendiri sebagai antigen (benda asing). Kombinasi dari berbagai gen yang defek
menimbulkan individu peka terhadap penyakit autoimun apapun. Dalam hal ini gen-
gen yang terkait pada penyakit autoimun yaitu gen-gen sitokin proinflamasi, gen yang
mengatur kemokin dan gen-gen lain yang terkait dengan aktivasi sistem imun yaitu
gen pengendali apoptosis (kematian sel), gen pengendali siklus sel, serta gen
pengendali signaling intraseluler.

Bagaimana peran antibodi dalam menimbulkan penyakit ?


Peran antibodi dalam menimbulkan penyakit pada SLE masih belum jelas. Peran
antibodi tersebut diduga :
1. Merusak langsung sel target
2. Membentuk komplek imun dan mengaktivasi sistm komplemen yang akhirnya
menimbulkan inflamasi.

Patogenesis penyakit lupus terkait dengan faktor genetik dan adanya pemicu dari
faktor lingkungan dan hormonal.
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang diduga dapat memicu aktivitas penyakit lupus antara lain sinar
ultraviolet. Sinar ultraviolet ini akan menyebabkan kematian sel kulit yang kemudian
dianggap tubuh sebagai autoantigen. Penyebab lain yang diduga pemicu lupus adalah
faktor stres. Stres dapat meningkatkan berbagai hormon tubuh yaitu antara lain
tiroksin, anti diuretic hormone, hormon pertumbuhan, estrogen, dimana hormon-
hormon ini akan mempengaruhi sistem imun untuk reaktivasi dan memproduksi
antibodi.
Faktor hormonal
Pada penelitian hewan coba, bahwa estrogen dan prolaktin dapat memicu timbulnya
penyakit autoimun yang ditandai dengan autoreaktif sel B. Hal ini dapat menerangkan
kenapa pada penyakit lupus banyak dijumpai pada wanita pada usia produktif karena
aktivitas hormonal masih sangat tinggi, dan lupus dapat aktif pada kehamilan karena
pada kehamilan terjadi peningkatan hormonal.

Penatalaksanaan Umum
1. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup
2. Hindari Merokok
3. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
4. Hindari stres dan trauma fisik
5. Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
6. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
7. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen

Penatalaksanaan Medikamentosa
u/ SLE derajat Ringan;
Aspirin, dan obat anti inflamasi non steroid
Penambahan obat anti malaria, HANYA bila ada ruam kulit dan lesi di mukosa
membran
Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari. Dosis dapat diberikan secara
bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan

u/ SLE derajat berat;


Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai kelainan
organ sasaran yang terkena

Anda mungkin juga menyukai