PENDAHULUAN
Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang terjadi pada bayi terutama
pada usia 2-24 bulan, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik, dan wheezing.
Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada usia 2 sampai
dengan 6 bulan. Kejadian bronkiolitis ini meningkat terutama pada musim dingin atau hujan.1
Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi berupa
nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial. Bronkiolus menjadi
edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular debris sehingga dapat menyebabkan
kolaps saluran napas bagian distal baik parsial maupun total. Pada keadaan ini juga dapat
terjadi hipereaktivitas dari saluran napas. Produksi mukus, edema saluran napas dan
hipereaktivitas saluran napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara.2
Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala batuk
pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun. Setelah RSV
sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis dengan gejala yang ditimbulkan
akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif
dan paroksismal. Pada auskultasi dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir
inspirasi dan awal ekspirasi. Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang.1
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan hitung jenis umumnya
dalam batas normal. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan hiperinflasi paru, sela iga
melebar, penekanan diafragma dan sudut costoprenikus menyempit.1
1
Diagnosis dari bronkiolitis tidak begitu sulit. Adapun diagnosa banding daripada
bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia, bronkitis akut, gagal jantung, dan aspirasi
benda asing. Terapi yang diberikan biasanya bersifat suportif berupa oksigen, bronkodilator,
kortikosteroid, antibiotika dan juga terapi cairan karena penyebab utamanya adalah infeksi
virus.1
Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik bila tanpa disertai penyakit yang
lain. Karena bayi lahir prematur mudah sekali terserang bronkiolitis, pemberian antibodi
protektif dianjurkan sebagai pencegahan.5
BAB II
LAPORAN KASUS
2
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. KN
Umur : 4 bulan
Alamat : Rendang
II. HETEROANAMNESA
(IBU) Keluhan utama :
Sesak napas
Pasien dikeluhkan sesak napas sejak 3 hari SMRS, sesak dirasakan hilang
timbul dengan adanya suara ngik-ngik. Sesak semakin hari semakin memberat
terutama beberapa jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Tidak tampak adanya tanda-
tanda kebiruan diseluruh tubuh. Sejak 4 hari yang lalu pasien juga dikeluhkan batuk
disertai dahak yang sulit untuk dikeluarkan dan terdapat pilek dengan hidung mampet
tanpa adanya ingus.
Sejak sakit pasien sulit tidur, semakin rewel dan tampak lemas. Namun minum
asi dikatakan seperti biasa. Keluhan panas disangkal (ibu pasien sempat mengecek
dan suhunya 36,5 ᵒC. Buang air besar dan buang air kecil seperti biasa. Keluhan
muntah dan diare tidak ada.
Pasien memiliki riwayat pilek saat berumur 2 bulan. Namun pilek dialami sekitar satu
minggu dan mengalami perbaikan tanpa diberikan obat. Riwayat sesak disangkal.
Riwayat tersedak juga disangkal. Pasien pernah dirawat di Rumah sakit di ruang
3
NICU pada saat baru lahir. Riwayat operasi dan transfusi darah disangkal. Riwayat
alergi makanan ataupun obat-obatan tidak pernah.
Riwayat pengobatan :
Pasien sempat dibawa berobat ke Klinik karena sakit yang dialami. Dikatakan pasien
mendapatkan obat puyer, amoxicilin sirup dan ambroxol sirup namum keluhan tidak
berkurang.
Riwayat keluarga :
Ibu pasien mengeluhkan batuk, batuk tidak berdahak dan dirasakan sejak 1 minggu
yang lalu. Tidak ada keluarga yang menderita batuk lama maupun batuk darah,
riwayat sesak napas, alergi pada kulit, alergi debu dan dingin disangkal.
Keluarga pasien berjumlah 4 orang yang tinggal serumah. Pasien adalah anak ke-2
dari 2 bersaudara. Pasien tinggal satu kamar dengan kedua orang tuanya dan sering
tidur bersama dengan saudaranya. Dirumah terdapat hewan peliharaan yaitu anjing.
Kasur pasien terbuat dari busa. Dikatakan kamar tidur pasien mendapatkan cahaya
matahari yang cukup, tidak lembab, dan ventilasi cukup. Di lingkungan sekitar rumah
pasien tidak ada yang menderita batuk lama, batuk berdarah maupun hal yang serupa
dengan pasien. Ayah pasien seorang perokok.
Riwayat persalinan
Pasien lahir normal di rumah sakit ditolong oleh dokter, saat lahir bayi langsung
menangis, BBL : 2600 gram. Panjang badan 50 cm, lingkar kepala 34 cm lingkar dada
35 cm.
Riwayat imunisasi :
Pasien mendapatkan imunisasi BCG 1 kali, Hepatitis B 4 kali, Hib 3 kali, DPT 3 kali,
dan polio 4 kali. Imunisasi lengkap sesuai umur.
4
Riwayat nutrisi :
ASI ekslusif : Pasien minum ASI sejak baru lahir sampai dengan saat ini, diberikan
sesuai kebutuhan.
Susu formula : Pasien tidak pernah diberikan susu formula sejak lahir.
Pasien belum makan bubur susu, nasi tim maupun makanan dewasa.
Pasien sudah bisa menegakkan kepala sejak umur 2 bulan, tengkurap sejak umur 3
bulan, namun belum bisa membalikkan badannya sendiri. Pasien saat ini bisa
diposisikan duduk dengan bantuan. Bisa memegang mainan, tertawa dan berteriak
serta memandang tangannya.
Data Antropometri
5
Status general :
6
- Perkusi : Ascites (-), timpani pada keempat kuadran
- Palpasi : Hepar / Lien tidak teraba, nyeri tekan (+),
turgor normal (< 2 detik)
Extremitas : akral hangat (+), edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
o Kulit : sianosis (-) ikterik (-)
V. PLANNING DIAGNOSTIK
▪ Darah Lengkap
▪ GDS
VI. DIAGNOSIS KERJA
Bronkiolitis
VII. PLANNING TERAPI
▪ MRS
▪ O2 2 L/mnt nasal
▪ IVFD D5 ¼ NS 20 tetes per menit (mikro)
▪ Nebulizer combivent 0,6 cc + NaCl @ 6 jam
▪ Dexametason bolus 4 mg IV dilanjutkan 3 x 1,5 mg IV
▪ Ampicilin 4 x 300 mg IV
▪ Ambroxol drop 3 x 0,2 ml
FOLLOW UP
7
Tanggal S O A P
Extremitas : Hangat,edema(-)
Darah lengkap
8
WBC : 12.61 10^3/uL
HGB : 11,2
gr/dL HCT :
10^3/uL
Extremitas : Hangat,edema(-)
Extremitas : Hangat,edema(-)
Extremitas : Hangat,edema(-)
Darah lengkap
HGB : 10,7
gr/dL HCT :
33,0 %
11
PLT : 627 10^3/uL
Extremitas : Hangat,edema(-)
Extremitas : Hangat,edema(-)
13
BAK (+) THT : Tonsil hiperemi (-),
lancar sekret (-), kesan tenang
Extremitas : Hangat,edema(-)
RESUME
14
disertai suara dahak yang dikeluhkan sulit untuk dikeluarkan.
Pasien juga pilek sejak 4 hari SMRS dengan hidung mampet.
Dikatakan pasien semakin rewel dan tampak lemas.
Pasien memiliki riwayat pilek saat berumur 2 bulan. Namun pilek dialami
sekitar satu minggu dan mengalami perbaikan tanpa diberikan obat.
Riwayat pengobatan
Riwayat persalinan
Lahir normal, cukup bulan, langsung menangis, faktor resiko infeksi (-)
Data Antropometri
15
▪ Berat badan : 6,6 Kg
▪ PB : 65 cm
▪ Status Gizi : Baik
Status general :
o Kepala : dbn
o Mata : dbn
o THT
o Telinga : dbn
o Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)
o Tenggorokan : dbn
o Leher : dbn
o Thoraks
o Cor : dbn
o Pulmo : Retraksi Subcostal (+), Aukultasi
: wheezing +/
+
o Abdomen : dbn
o Extremitas : dbn
o Kulit : dbn
HGB : 11,2
gr/dL HCT :
10^3/uL
Diagnosis - Bronkiolitis
banding
- Asma bronkiale
Diagnosis Bronkiolitis
16
kerja
Terapi ▪ MRS
▪ O2 2 L/mnt nasal
▪ IVFD D5 ¼ NS 24 tetes per menit (mikro)
▪ Nebulizer ventolin 0,7 cc + NaCl @ 6 jam
▪ Dexametason bolus 4 mg IV dilanjutkan 3 x 1,5 mg IV
▪ Ambroxol drop 3 x 0,3 ml
▪ Ampicilin 4 x 300 mg IV
▪ Paracetamol drop 3 x 0,7 ml
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
BRONKIOLITIS
4.1 Definisi
17
Bronkiolitis adalah inflamasi pada bronkiolus terminalis yang umumnya
disebabkan oleh infeksi virus dengan karakteristik adanya mengi.4
2. Etiologi
3. Epidemiologi
Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada
usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kurang lebih 60 % mengenai laki-laki (laki-laki :
perempuan = 1,5 : 1). Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
angka insiden berdasarkan jenis kelamin. Kejadian bronkiolitis ini meningkat terutama
pada musim dingin atau hujan. Bronkiolitis merupakan penyebab perawatan terbanyak
diantara penyakit saluran napas lainnya pada anak.1 Hal ini sesuai dengan kondisi
penderita yang berusia 1 tahun 6 bulan. 1
Bronkiolitis banyak ditemukan pada anak yang sedikit atau tidak mendapat ASI,
tinggal di daerah pemukiman yang padat, pada anak yang lahir prematur, berat badan
lahir rendah, terpapar rokok, dan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Penderita memiliki
beberapa faktor resiko, antara lain terpapar rokok. 1
Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2 tahun di
AS pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di
rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan
17% dari semua kasus perawatan di RS pada bayi. Rata-rata insidens perawatan setahun
pada anak berusia dibawah 1 tahun adalah 21,7 per 1000, dan semakin menurun seiring
dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1-2 tahun.6
18
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang
daripada di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi
dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara
berkembang. Angka mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat
adalah 1-3%. 6
4. Patologi
5. Patofisiologi
19
penderita-penderita yang terserang hebat. Pada umumnya semakin tinggi kecepatan
pernafasan, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnia biasanya tidak
dijumpai hingga kecepatan pernafasan melebihi 60 x/menit yang kemudian meningkat
sesuai dengan takipne yang terjadi. 6,10,11
Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas disertai
dengan batuk, pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai demam atau demam
hanya subfebril. Kemudian dalam beberapa hari gejala tersebut makin berkembang
dengan didapatkan batuk makin menghebat, frekuensi nafas meningkat (sesak nafas),
pernafasan dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung disertai retraksi interkostal dan
suprasternal, rewel sampai gelisah, sianosis, sulit makan atau minum, mual-muntah
jarang sekali didapatkan pada penderita. Pada pemeriksaan didapatkan mengi/wheezing,
ekspirium memanjang, jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tak terdengar, ronki basah
halus nyaring, kadang-kadang terdengar pada akhir atau awal ekspirasi. Pada perkusi
didapatkan hipersonor, Ro foto thoraks menunjukkan hiperinflasi paru, diameter
anteroposterior membesar pada fotolateral, dapat terlihat bercak konsolidasi tersebar
yang disebabkan atelektasis atau radang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis
respiratorik maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
10,9,11
7. Diagnosis
1. Anamnesis
Pertama sekali dapat dicatat bahwa bayi dengan bronkiolitis menderita suatu
infeksi ringan yang mengenai saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran
sekret-sekret encer dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini biasanya akan
berlangsung selama beberapa hari dan disertai demam dari 38,50C hingga 390C, akan
20
tetapi bisa juga tidak disertai demam, bahkan pasien bisa mengalami hipotermi.
Pasien mengalami penurunan nafsu makan, kemudian ditemukan kesukaran
pernafasan yang akan berkembang perlahan-lahan dan ditandai dengan timbulnya
batuk-batuk, bersin paroksimal, dispneu, dan iritabilitas. Pada kasus ringan gejala
akan menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita yang
terserang lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam
serta perjalaan penyakitnya akan berlangsung berkepanjangan. Keluhan muntah-
muntah dan diare biasanya tidak didapatkan pada pasien ini.15
2. Pemeriksaan Fisik
Hepar dan lien akan teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang
iga. Keadaan ini terjadi akibatt pendorongan diafragma kebawah karena tertekan
oleh paru yang hiperinflasi. Suara riak-riak halus yang tersebar luas juga dapat
terdengar pada bagian akhir inspirasi. Fase ekspirasi pernafasan akan memanjang
dan suara-suara pernapasan juga bisa hampir tidak terdengar jika sudah berada
dalam kasus yang berat.1
Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai
derajat keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya
hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap.6
21
3. Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Jumlah dan hitung jenis leukosit
biasanya normal. Limfopenia yang biasanya berhubungan dengan penyakit-penyakit
virus, tidak ditemukan pada penyakit ini. Biakan-biakan bahan yang berasal dari
nasofaring akan menunjukkan flora normal. Virus dapat dapat diperlihatkan di dalam
sekresi nasofaring melalui fluresensi imunologis dalam suatu peningkatan titer-titer
darah atau dalam biakan.15
8. Diagnosis Banding
1. Asma Bronkial
a. Jarang ditemukan pada tahun pertama kehidupan, tetapi sering terjadi setelah
periode tersebut.
b. Riwayat keluarga penderita asma bronkial.
c. Serangan awal yang mendadak tanpa tanda infeksi sebelumnya.
d. Serangan berulang.
e. Ekspirasi diperpanjang secara mencolok.
22
f. Eosinofilia pada darah dan usapan hidung.
g. Respon terhadap obat anti asma.
Pada bronkiolitis akut hanya 5% yang mempunyai klinis yang berulang.
2. Bronkopneumonia
a. Jarang dijumpai pada bayi sampai usia 6 bulan.
b. Riwayat anamnesis, perjalanan penyakit tidak terlalu mendadak, demam, batuk
ringan, nafsu makan/minum berkurang.
c. Didapatkan sumber penularan ISPA disekitarnya.
d. Setelah 5-7 hari timbul sesak nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis
e. Pemeriksaan fisik ditemukan :
Perkusi : Suatu gambaran normal sampai redup relatif
4.9 Penatalaksanaan
Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-
kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas
haemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal
prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen
dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SaO2) pada suhu
ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada
skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit. 3
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan diet
sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan
status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum,
panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian
retriksi cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak
23
akibat SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu
dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul. 3
Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit
atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine,
feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spectrum
luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan
bronkiolitis. Akan tetapi keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain
sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan
predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan diberikan antibiotika. 3
Ribavirin adalah purin nucleoside derivate guanosine sintetik, bekerja
mempengaruhi pengeluaran messenger RNA (mRNA). Ribavirin menghambat translasi
mRNA virus kedalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV
bisa meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena
virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase replikasi
aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi. 1-2. 3
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan
selama hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk
pengobatan bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortiko steroid. Dapat diberikan
nebulasi β agonis (salbutamol 0,1mg/kgBB/dosis, 4-6 x/hari) diencerkan dengan salin
normal untuk memperbaiki kebersihan mukosilier. 3
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison,
metilprrednisolon,
hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-
rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut dengan ekuivalen mg/kgBB
prednison. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6-6,3 mg/kgBB, dan rata-rata
total paparan antara 3,0-18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral,
intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan.3
4.10 Prognosis
Perjalanan klinis umumnya dapat teratasi setelah 48-72 jam. Angka kematian
pada penderita ini ditemukan < 1%. Kegagalan perawatan disebabkan apnea yang terjadi
berlangsung lama, asidosis respiratorius yang tidak terkoreksi, atau karena dehidrasi
yang disebabkan oleh takipnea dan kurang makan minum.7
24
Prognosis sangat tergantung oleh ketepatan diagnosis, fasilitas yang tersedia,
ketepatan tatalaksana, dan kecermatan pemantauan, sehingga sangat mungkin prognosis
semakin jelek pada penyakit ini dan akan meningkat di daerah perifer.7
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
1. Anamnesa
Pasien pada kasus ini dinyatakan bahwa sesak napas sejak 3 hari SMRS, yang
didahului oleh batuk berdahak dan pilek sejak 4 hari SMRS. Pasien sulit tidur, rewel
25
dan tampak lemas. Gejala-gejala yang dikeluhkan tersebut sesuai dengan gejala
bronkiolitis. Gejala bronkiolitis yang timbul pada pasien ini adalah sesak yang
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas disertai batuk dan pilek. Kemudian
dalam beberapa hari gejala tersebut makin berkembang dengan didapatkan batuk
makin menghebat, sesak napas, pernapasan dangkal dan cepat, pernapasan cuping
hidungdisertai retraksi interkostal dan suprasternal, rewel sampai gelisah, sianosis,
sulit makan atau minum, mual muntah jarang ditemukan.
Pasien pernah berobat dan diberikan obat antibiotik amoxicilin sirup dan
ambroxol sirup, namun tidak ada perubahan. Pengobatan yang diberikan ini memang
sudah tepat, namun kemungkinan karena faktor lainnya yang tidak diatasi sehingga
gejala pada pasien kasus ini tidak teratasi.
Pada anggota keluarga pasien, ibu pasien mengalami batuk tidak berdahak
sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat nutrisi pasien dinilai dengan penilaian antropometri yang terdiri dari
berat badan / umur, panjang badan / umur, berat badan / panjang badan dan IMT /
umur. Pasien ini memiliki berat badan 6,6 kg dan panjang badang 65 cm. Berdasarkan
berat badan / umur status pasien adalah gizi bai, berdasarkan panjang badan / umur
status pasien normal, berdasarkan berat badan / panjang badan status pasien normal,
sehingga dapat disimpulkan bahwa status nutrisi pasien adalah gizi baik.
26
serta memandang tangannya. Perkembangan pasien tersebut sesuai dengan
perkembangan bayi usia 4 bulan, pada kasus ini tumbuh kembang pasien sesuai
dengan usianya.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan keadaan umumnya tampak sakit
sedang, dengan kesadaran masih compos mentis, pasien sesak dengan frekuensi napas
60 x / menit,suhu 37,0°C serta SpO2 90% tanpa O2 namun tidak sianosis, setelah
diberikan O2 meningkat menjadi 95-96%.
Pada pemeriksaan status generalis didapatkan ada napas cuping
hidung,
retraksi subcostal serta wheezing pada auskultasi paru. Berdasarkan hasil
pemeriksaan tersebut diagnosa pasien ini mengarah ke bronkiolitis sesuai
dengan Panduan Pelayanan Medis RSUP Sanglah yaitu tanda-tanda dari
bronkiolitis adalah napas cuping hidung, penggunaan otot bantu napas, retraksi dan
ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan penunjang
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap,
didapatkan leukositosis dengan kadar leukosit 12.610/uL. Hasil pemeriksaan ini
menandakan pasien kemungkinan terinfeksi bakteri.
4. Diagnosis
a. Diagnosis Banding
Pada kasus ini diambil diagnosa banding yaitu Asma bronkiale. Asma adalah
mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik
dan/atau kronik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya
faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain
pada pasien atau keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.
Penyebabnya adalah faktor genetik (keturunan) yang multipel, faktor lingkungan:
Inducers: Indoors allergen, alternaria, dll. Enhancers: rhinovirus, ozon, agonis-
β2. Triggers: olah raga, udara dingin, histamin, metakolin.
Pada pasien ini mengi memang ditemukan, tidak ada riwayat asma
pada orang tua maupun saudara, dan juga sesak yang dialami pasien tidak
murni melainkan didahului dengan batuk dan pilek dan disertai demam
subfebris sehingga diagnosa banding ini dapat disingkirkan.
27
b. Diagnosis Kerja
Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang menyerang anak-
anak usia di bawah 2 tahun, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik,
dan wheezing.1 Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada
saluran napas yang berukuran kecil (bronkiolus) yang ditandai dengan respiratory
distress dan overdistensi pada paru.
Pada pasien ini didiagnosa dengan bronkiolitis karena pasien berusia kurang
dari 2 tahun dan ditemukan sesak dengan frekuensi nafas 60x/menit, SpO2 90%,
subfebris dengan suhu 37,0oC, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan nafas
cuping hidung, retraksi subcostalis dan wheezing. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukositosis.
5. Penatalaksanaan
Pasien pada kasus ini dirawat inap karena memenuhi indikasi rawat inap pada
pasien dengan bronkiolitis, yaitu saturasi oksigen < 94%, sianosis, Frekuensi nafas
>60x/menit, distress pernapasan, keluarga tidak bisa merawat dirumah. Pada
pasien ini beberapa indikasi terpenuhi sehingga pasien dirawat inap.
Pemberian oksigen pasien dengan saturasi oksigen < 94% pada saat bernapas
dengan udara ruangan harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box,
atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%. Pasien yang
mendapatkan terapi oksigen harus di observasi setidaknya setiap 4 jam sekali,
termasuk pemeriksaan saturasi oksigen. Pada pasien ini diberikan O2 2 L/mnt dengan
nassal kanul.
Pada pasien dengan bronkiolitis cairan intravena diberikan bila pasien muntah
dan tidak dapat minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Sehingga pada pasien ini diberikan cairan IVFD D5 ¼ NS 20 tetes permenit mikro.
Selain itu perlu juga diberikan nebulisasi dengan β2 antagonis dan
atau NaCl
dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary clearance. Pada pasien ini
diberikan combivent dengan dosis 0,6 cc ditambah dengan NaCl tiap 6 jam.
Pasien juga mengeluh batuk sehingga diberikan ambroxol drop
dengan dosis
0,5 mg/kgBB/kali pemberian, dengan berat badan 6,6 kg. Dengan sediaan
ambroxol drop yang mengandung 15 mg/ml diberikan 3 x 0,2 ml.
28
Antibiotik juga diberikan pada pasien ini, karena pasien dirawat inap sehingga
dapat diberikan injeksi, dan juga untuk menghindari obat dimuntahkan bila diberi obat
oral banyak sehingga diberikan cefotaxim 3 x 250 mg.
Pada pasien juga diberikan kortikosteroid yaitu deksametason
bolus 4 mg
intravena dilanjutkan 3 x 1,5 mg intravena.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien dikeluhkan sesak napas sejak 3 hari SMRS, sesak dirasakan hilang timbul
namun sesak tidak berkurang dengan perubahan posisi. Sesak juga disertai suara ngik-ngik.
Sesak dikatakan memberat sejak beberapa jam sebelum dibawa kerumah sakit. Pasien juga
dikeluhkan batuk sejak 4 hari SMRS. Batuk disertai suara dahak yang dikeluhkan sulit untuk
29
dikeluarkan. Pasien juga pilek sejak 4 hari SMRS dengan hidung mampet. Dikatakan pasien
semakin rewel dan tampak lemas.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan keadaan umumnya tampak sakit sedang,
dengan kesadaran masih compos mentis, pasien sesak dengan frekuensi napas 60 x / menit,
subfebris dengan temperatur 37,0 0C, serta SpO2 90% tanpa O2 namun tidak sianosis, setelah
diberikan O2 meningkat menjadi 95-96%. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ada napas
cuping hidung, retraksi subcostal serta wheezing pada auskultasi paru. Pada pemeriksaan
penunjang laboratorium didapatkan leukositosis.
Daftar Pustaka
1. Chernick V, Boat TF, Edwin L. Disorders of The Respiratory Tract in Children. 6th ed.
USA: WB Saunders Company. 1998; 22:473-483.
2. Ali J, Summer WR, Levidzky MG. Pulmonary Pathophysiology. USA: Mc Graw Hill.
1999; 12:277-280.
30
3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia:
WB Saunders Company. 2002; 378:1415-1417.
4. SMF Ilmu kesehatan Anak. Alergi Makanan. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Denpasar: Badan Penerbit SMF Ilmu kesehatan Anak FK Universitas
Udayana ; 2010.
5. Hay WW, et al. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 16th ed. Singapore: Mc Graw
Hill. 2003; 18:520-521.
6. Rahajoe, Nastiti N., dkk, 2010, Bronkiolitis, dalam Buku Ajar Respirologi, Badan Penerbit
IDAI, Jakarta, hal. 333-347.
8. Behrman, R.E, 2010, Bronchiolitis, in the book, Nelson : Essentials of Pediatrics, W.B
Sounders Company, Philadelphia, pg. 431-3.
9. Behrman, R.E, 2002, Bronkiolitis, dalam Ilmu Kesehatan Anak, ed. 12 bag. 2, alih bahasa
Radja M.M, EGC, Jakarta, hal. 614-7.
10. Anonim, 2005, Bronkiolitis akut, dalam Buku Kuliah Jilid 3 Ilmu Kesehatan Anak, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak, FK UI, Jakarta, 1233-4.
11. Mansjoer, A., dkk, 2007. Bronkiolitis Akut, dalam buku Kapita Selekta Kedokteran. ed.
Ketiga jilid pertama Media Aesculapius, FK UI, Jakarta, hal. 468-9.
12. Anonim, 2005. Bonkiolitis Akut, dalam Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito,
Medika, FK UGM, Yogyakarta, hal. 138-9.
13. Schwartz, M.W., 2006, Respiratory Distress in the book Clinical Handbook of Pediatrics,
Williams & Wilkins, A Waverly Company, Philadelphia, pg. 576.
14 Anonim, 2007, Respiratory in the book, Paediatric Handbook, Royal Children’s Hospital,
Melbourne, Australia, pg. 117.
15. Orenstein DM, Bronchiolitic. Dalam Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of Pediatric,
15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-85.
31
16. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of Two Different
Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis . The Internet Journal of
Pediatrics and Neonatology. 2003 Volume 3 Number 1
32