Anda di halaman 1dari 22

Amenore : Panjang siklus haid yang memanjang dari panjang siklus haid klasik

(oligomenorea) atau tidak terjadinya perdarahan haid, minimal tiga bulan berturut-turut.
Infertilitas : kemandulan, adalah ketidak-mampuan secara biologis dari pasangan suami-istri
untuk menghasilkan keturunan yang lahir hidup. Infertilitas dapat berupa keadaan tidak dapat
menghasilkan suatu kehamilan sama sekali ataupun keadaan dapat hamil, namun kehamilan
berakhir lebih cepat dari waktu yang diperlukan sehingga anak lahir mati.
Dismenore : nyeri haid menjelang atau selama
haid, sampai wanita tersebut tidak dapat bekerja dan harus tidur. Nyeri bersamaan dengan rasa
mual, sakit kepala, perasaan mau pingsan, lekas marah .
Pemeriksaan Saline Infusion Sonohysterography :
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya kelainan pada rongga rahim dan saluran telur.
Pemeriksaan rahim menggunakan alat ultrasonografi dan memasukkan cairan saline steril ke
dalam rongga rahim.
SIS dilakukan pada pasien dengan masalah perdarahan uterus abnormal,
infertilitas/kekurangsuburan, keguguran berulang, kelainan bawaan rahim, evaluasi sebelum
dan sesudah tindakan/operasi pada rongga rahim, dicurigai adanya perlengketan rongga rahim,
dan evaluasi lebih lanjut jika ada kecurigaan pada pemeriksaan ultrasonografi.
Tuba patent : tidak ada sumbatan ada tuba
Teknologi reproduksi berbantuan (bahasa Inggris: assisted reproductive technology, ART),
disingkat TRB, adalah teknologi yang digunakan untuk mendapatkan kehamilan dengan
menggunakan prosedur seperti pengobatan fertilitas, fertilisasi in vitro ("bayi tabung", IVF),
dan surogasi. Teknologi reproduksi ini utamanya digunakan untuk perawatan infertilitas atau
ketidaksuburan, dan juga dikenal sebagai "perawatan fertilitas"

1. Apakah ada hubungan usia dengan Ny, Nedia belum memilih anak selama 7 thn?
2. Mengapa ny. Nedia belum punya anak? Apa faktor2 yang menyebabkan infertilitas?
Apa hubungan riwayat menarche, perdarahan abnormal, amenorea, dismenorea pada Ny.Nedia
yang belum hamil ?
3. Penanganan komprehensif apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah infertilitas?
4. Apa pemeriksaan penunjang pada kasus infertilitas?
5. Apa nilai2 standar dari pemeriksaan penunjang pada infertilitas?
6. mengapa dokter melakukan pemeriksaan saline infusion soshysterography? Apa indikasi dan
kontraindikasinya?
7. Apa arti dari kedua tuba patent dan apa ada hubungan dengan dokter mempertimbangkan
prosedur TRB?
8. Bagaimana prosedur TRB? Apa indikasi dan kontraindikasinya?

INFERTILITAS

1. DEFINISI

Infertilitas adalah kegagalan dari pasangan suami-istri untuk mengalami kehamilan setelah
melakukan hubungan seksual, tanpa kontrasepsi, selama satu tahun (Sarwono,497).

Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum mampu
memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali seminggu
dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi jenis apapun
(Djuwantono,2008, hal: 1).
Secara medis infertile dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Infertile primer

Berarti pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah memiliki anak setelah satu tahun
berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi
dalam bentuk apapun.

b. Infertile sekunder

Berrti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak sebelumnya tetapi saat ini belum
mampu memiliki anak lagi setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali
perminggu tanpa menggunakan alat atau metode kontrasepsi jenis apapun.

fertilisasi

(Djuwantono,2008, hal: 2).


pasangan suami istri dianggap infertile apabila memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Pasangan tersebut berkeinginan untuk memiliki anak.
b. Selama satu tahun atau lebih berhubungan seksual, istri sebelum mendapatkan kehamilan.
c. Frekuensi hubungan seksual minimal 2 – 3 kali dalam setiap minggunya.
d. Istri maupun suami tidak pernak menggunakan alat ataupun metode kontrasepsi, baik
kondom, obat-obatan dan alat lain yang berfungsi untuk mencegah kehamilan.
(Djuwantono,2008, hal: 3).

2. ETIOLOGI

Sebanyak 60% – 70% pasangan yang telah menikah akan memiliki anak pada tahun pertama
pernikahan mereka. Sebanyak 20% akan memiliki anak pada tahun ke-2 dari usia
pernikahannya. Sebanyak 10% - 20% sisanya akan memiliki anak pada tahun ke-3 atau lebih
atau tidak pernah memiliki anak.

Walaupun pasangan suami istri dianggap infertile bukan tidak mungkin kondisi infertile
sesungguhnya hanya dialami oleh sang suami atau sang istri. Hal tersebut dapat dipahami
karena proses pembuahan yang berujung pada kehamilan dan lahirnya seorang manusia baru
merupakan kerjasama antara suami dan istri. Kerjasama tersebut mengandung arti bahwa dua
factor yang harus dipenuhi adalah:

a. Suami memiliki system dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan
dan menyalurkan sel kelamin pria (spermatozoa) kedalam organ reproduksi istri

b. Istri memiliki system dan fungsi reproduksi yang sehat sehingga mampu menghasilkan sel
kelamin wanita (sel telur atau ovarium).

(Djuwantono,2008,2)

Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil penelitian membuktikan
bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian infertil, istri 40-55%, keduanya 10%,
dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena
kesalahan dari pihak wanita/istri.
Berbagai gangguan yang memicu terjadinya infertilitas antara lain :

a. Pada wanita

· Gangguan organ reproduksi

1. Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina akan membunuh sperma dan
pengkerutan vagina yang akan menghambat transportasi sperma ke vagina.

2. Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang mengganggu pengeluaran
mukus serviks. Apabila mukus sedikit di serviks, perjalanan sperma ke dalam rahim terganggu.
Selain itu, bekas operasi pada serviks yang menyisakan jaringan parut juga dapat menutup
serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke rahim

3. Kelainan pada uterus, misalnya diakibatkan oleh malformasi uterus yang mengganggu
pertumbuhan fetus, mioma uteri dan adhesi uterus yang menyebabkan terjadinya gangguan
suplai darah untuk perkembangan fetus dan akhirnya terjadi abortus berulang.

4. Kelainan tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi tuba falopii dan terjadi
obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak dapat bertemu.

· Gangguan ovulasi

Gangguan ovulasi ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan hormonal seperti adanya
hambatan pada sekresi hormone FSH dan LH yang memiliki pengaruh besar terhadap ovulasi.
Hambatan ini dapat terjadi karena adanya tumor cranial, stress, dan pengguna obat-obatan yang
menyebabkan terjadinya disfungsi hiotalamus dan hipofise. Bila terjadi gangguan sekresi
kedua hormone ini. Maka folikel mengalami hambatan untuk matang dan berakhir pada
gangguan ovulasi.

· Kegagalan implantasi

Wanita dengan kadar progesteron yang rendah mengalami kegagalan dalam mempersiapkan
endometrium untuk nidasi. Setelah terjadi pembuahan, proses nidasi pada endometrium tidak
berlangsung baik. Akibatnya fetus tidak dapat berkembang dan terjadilah abortus.

· Endometriosis

· Faktor immunologis

Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh ibu memberikan reaksi
sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini dapat menyebabkan abortus spontan pada
wanita hamil.
· Lingkungan

Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas ananstesi, zat kimia, dan pestisida dapat
menyebabkan toxic pada seluruh bagian tubuh termasuk organ reproduksi yang akan
mempengaruhi kesuburan.

b. Pria
Ada beberapa kelainan umum yang dapat menyebabkan infertilitas pada pria yaitu:
· Abnormalitas sperma; morfologi, motilitas
· Abnormalitas ejakulasi; ejakulasi rerograde, hipospadia
· Abnormalitas ereksi
· Abnormalitas cairan semen; perubahan pH dan perubahan komposisi kimiawi
· Infeksi pada saluran genital yang meninggalkan jaringan parut sehingga terjadi
penyempitan pada obstruksi pada saluran genital
· Lingkungan; Radiasi, obat-obatan anti kanker.

3. FAKTOR-FAKTOR INFERTILITAS YANG SERING DITEMUKAN

Factor-faktor yang mempengaruhi infertilitas pasangan sangat tergantung pada keadaan local,
populasi dan diinvestigasi dan prosedur rujukan.

a. Faktor koitus pria

Riwayat dari pasangan pria harus mencakup setiap kehamilan yang sebenarnya, setiap riwayat
infeksi saluran genital, misalnya prostates, pembedahan atau cidera pada genital pria atau
daerah inguinal, dan setiap paparan terhadap timbel, cadmium,radiasi atau obat
kematerapeutik. Kelebihan konsumsi alcohol atau rokok atau paparan yang luar biasa terhadap
panas lingkungan harus dicari.

b. Faktor ovulasi

Sebagian besar wanita dengan haid teratur (setiap 22 – 35hari) mengalami ovulasi, terutama
kalau mereka mengalami miolimina prahaid (misalnya perubahan payudara, kembung, dan
perubahan suasana hati).

c. Faktor serviks

Selama beberapa hari sebelum ovulasi, serviks menghasilkan lender encer yang banyak yang
bereksudasi keluar dari serviks untuk berkontak dengan ejakulat semen. Untuk menilai
kualitasnya, pasien harus diperiksa selama fase menjelang pra ovulasi (hari ke-12 sampai 14
dari siklus 28 hari).

d. Faktor tuba-rahim

Penyumbatan tuba dapat terjadi pada tiga lokasi: akhir fimbriae, pertengahan segmen, atau
pada istmus kornu. Penyumbatan fimbriae sajauh ini adalah yang banyak ditemukan.
Salpingitis yang sebelumnya dan penggunaan spiral adalah penyebab yang lazim, meskipun
sekitar separohnya tidak berkaitan dengan riwayat semacam itu. Penyumbatan pertengahan
segmen hamper selalu diakibatkan oleh sterilisasi tuba. Penyumbatan semacam itu, bila tak ada
riwayat ini, menunjukan tuberculosis. Penyumbatan istmus kornu dapat bersifat bawaan atau
akibat endometriosis, adenomiosis tuba atau infeksi sebelumnya. Pada 90% kasus,
penyumbatan terletak pada istmus dekat tanduk (kornu) atau dapat melibatkan bagian dangkal
dari lumen tuba didalam dinding organ.

e. Faktor peritoneum

Laparoskopi dapat menengali patologi yang tak disangka-sangka sebelumnya pada 30 sampai
50% wanita dengan infertilitas yang tak dapat diterangkan. Endometriosis adalah penemuan
yang paling lazim. Perlekatan perianeksa dapat ditemukan, yang dapat menjauhkan fimbriae
dari permukaan ovarium atau menjebak oosit yang dilepaskan.

(Cristina, 600-607)
4. PENATALAKSANAAN INFERTILITAS
A. Wanita
· Pengetahuan tentang siklus menstruasi, gejala lendir serviks puncak dan waktu yang
tepat untuk coital
· Pemberian terapi obat, seperti
1. Stimulant ovulasi, baik untuk gangguan yang disebabkan oleh supresi hipotalamus,
peningkatan kadar prolaktin, pemberian tsh .
2. Terapi penggantian hormon
3. Glukokortikoid jika terdapat hiperplasi adrenal
4. Penggunaan antibiotika yang sesuai untuk pencegahan dan penatalaksanaan infeksi dini
yang adekuat
· GIFT ( gemete intrafallopian transfer )
· Laparatomi dan bedah mikro untuk memperbaiki tuba yang rusak secara luas
· Bedah plastic misalnya penyatuan uterus bikonuate,
· Pengangkatan tumor atau fibroid
· Eliminasi vaginitis atau servisitis dengan antibiotika atau kemoterapi
B. Pria
o Penekanan produksi sperma untuk mengurangi jumlah antibodi autoimun, diharapkan
kualitas sperma meningkat
o Agen antimikroba
o Testosterone Enantat dan Testosteron Spionat untuk stimulasi kejantanan
o HCG secara i.m memperbaiki hipoganadisme
o FSH dan HCG untuk menyelesaikan spermatogenesis

o Bromokriptin, digunakan untuk mengobati tumor hipofisis atau hipotalamus

o Klomifen dapat diberikan untuk mengatasi subfertilitas idiopatik

o Perbaikan varikokel menghasilkan perbaikan kualitas sperma

o Perubahan gaya hidup yang sederhana dan yang terkoreksi. Seperti, perbaikan nutrisi, tidak
membiasakan penggunaan celana yang panas dan ketat
 Perhatikan penggunaan lubrikans saat coital, jangan yang mengandung spermatisida.
PATOFISIOLOGIS

a. Wanita

Beberapa penyebab dari gangguan infertilitas dari wanita diantaranya gangguan stimulasi
hipofisis hipotalamus yang mengakibatkan pembentukan FSH dan LH tidak adekuat
sehingga terjadi gangguan dalam pembentukan folikel di ovarium. Penyebab lain yaitu
radiasi dan toksik yng mengakibatkan gangguan pada ovulasi. Gangguan bentuk anatomi
sistem reproduksi juga penyebab mayor dari infertilitas, diantaranya cidera tuba dan
perlekatan tuba sehingga ovum tidak dapat lewat dan tidak terjadi fertilisasi dari ovum dan
sperma. Kelainan bentuk uterus menyebabkan hasil konsepsi tidak berkembang normal
walapun sebelumnya terjadi fertilisasi. Abnormalitas ovarium, mempengaruhi
pembentukan folikel. Abnormalitas servik mempegaruhi proses pemasukan sperma. Faktor
lain yang mempengaruhi infertilitas adalah aberasi genetik yang menyebabkan kromosom
seks tidak lengkap sehingga organ genitalia tidak berkembang dengan baik. Beberapa
infeksi menyebabkan infertilitas dengan melibatkan reaksi imun sehingga terjadi gangguan
interaksi sperma sehingga sperma tidak bisa bertahan, infeksi juga menyebebkan inflamasi
berlanjut perlekatan yang pada akhirnya menimbulkan gangguan implantasi zigot yang
berujung pada abortus.

b. Pria
Abnormalitas androgen dan testosteron diawali dengan disfungsi hipotalamus dan hipofisis
yang mengakibatkan kelainan status fungsional testis. Gaya hidup memberikan peran yang
besar dalam mempengaruhi infertilitas dinataranya merokok, penggunaan obat-obatan dan
zat adiktif yang berdampak pada abnormalitas sperma dan penurunan libido. Konsumsi
alkohol mempengaruhi masalah ereksi yang mengakibatkan berkurangnya pancaran
sperma. Suhu disekitar areal testis juga mempengaruhi abnormalitas spermatogenesis.
Terjadinya ejakulasi retrograt misalnya akibat pembedahan sehingga menyebebkan sperma
masuk ke vesika urinaria yang mengakibatkan komposisi sperma terganggu.

Penyebab infertilitas pada pria :


 Jumlah sperma rendah. Jumlah sperma di dalam air mani terlalu sedikit atau tidak ada.
 Motilitas sperma rendah. Sperma tidak bergerak seperti sperma normal.
 Malformasi sperma.
 Saluran sperma terhalang.

Masalah infertilitas umum lain pada pria adalah penurunan sementara dalam produksi sperma.
Hal itu terjadi mungkin karena testis terluka, misalnya: testis terkena panas tinggi dalam waktu
yang terlalu lama atau terpapar bahan kimia atau obat-obatan yang mempengaruhi produksi
sperma.Minum alkohol dan merokok juga dapat menurunkan jumlah sperma. Pria berusia lebih
dari 40 tahun memiliki kesuburan yang lebih rendah.

Penyebab Infertilitas pada wanita

Masalah infertilitas utama pada wanita adalah tidak berovulasi, yang berarti tidak melepaskan
sel telur dari ovarium. Penyebab utama dari tidak berovulasinya seorang wanita adalah karena
menderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS).Penyebab lain yang umum dari infertilitas
wanita adalah adanya masalah di saluran tuba, yaitu saluran yang menghubungkan sel telur
dari ovarium ke rahim. Kadang-kadang tuba terhalang oleh jaringan parut akibat infeksi atau
akibat kondisi medis yang disebut endometriosis.Jika sel telur dapat melalui saluran tuba, tetap
ada banyak hal yang dapat menghentikan sel telur untuk dibuahi dan menempel pada rahim,
misalnya lendir serviks yang dapat merusak sperma atau memperlambat laju sperma.Umur
wanita dapat juga menjadi penyebab masalah kesuburan. Hal ini karena, kesuburan wanita
menurun seiring bertambahnya usia, bahkan lebih menurun setelah usia 35 tahun. Karena itulah
wanita jarang hamil setelah usia 45 tahun. Berat badan berlebih atau kurus juga berpengaruh
terhadap kesuburan wanita

DISMENOREA

Dismenore adalah nyeri haid yang sedemikian hebatnya, sehingga memaksa penderita untuk
istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidup sehari-hari untuk beberapa jam atau
beberapa hari. Patofisiologi dismenore sampai saat ini masih belum jelas, tetapi akhir-akhir ini
teori prostaglandin banyak digunakan, dikatakan bahwa pada keadaan dismenore kadar
prostaglandin meningkat. Kram, nyeri dan ketidaknyamanan lainnya yang dihubungkan
dengan menstruasi disebut juga dismenore. Kebanyakan wanita mengalami tingkat kram yang
bervariasi; pada beberapa wanita, hal itu muncul dalam bentuk rasa tidak nyaman ringan dan
letih, dimana beberapa yang lain menderita rasa sakit yang mampu menghentikan aktifitas
sehari-hari. Dismenore dikelompokkan sebagai dismenore primer saat tidak ada sebab yang
dapat dikenali dan dismenore sekunder saat ada kelainan jelas yang menyebabkannya. Wanita
yang tidak berovulasi cenderung untuk tidak menderita kram menstruasi; hal ini sering terjadi
pada mereka yang baru saja mulai menstruasi atau mereka yang menggunakan pil KB.
Kelahiran bayi sering merubah gejala-gejala menstruasi seorang wanita, dan sering menjadi
lebih baik.

Ada 2 jenis dismenorea, yaitu dismenorea primer dan dismenorea sekunder. Pembagian
dismenorea adalah sebagai berikut : pertama dismenorea primer atau esensial, intrinsik,
idiopatik, yang pada jenis ini tidak ditemukan atau didapati adanya kelainan ginekologik yang
nyata; yang kedua dismenorea sekunder atau ekstrinsik, yaitu rasa nyerinya disebabkan karena
adanya kelainan pada daerah pelvis, misalnya endometriosis, mioma uteri, stenosis serviks,
malposisi uterus atau adanya IUD. menstruasi yang menimbulkan rasa nyeri pada remaja
hampir semuanya disebabkan dismenorea primer.

Dismenorea primer disebabkan karena gangguan keseimbangan fungsional, bukan karena


penyakit organik pelvis, sedangkan dismenorea sekunder berhubungan dengan kelainan
organik di pelvis yang terjadi pada masa remaja

ETIOLOGI

Diduga faktor psikis sangat berperan terhadap timbulnya nyeri. Dismenore primer umumnya
dijumpai pads wanita dengan siklus berovulasi. Penyebab tersering dismenore sekunder adalah
endometriosis dan infeksi kronik genitalia interns. Dismenore sekunder lebih jarang ditemukan
dan terjadi pada 25% wanita yang mengalami dismenore. Penyebab dari dismenore sekunder
adalah: endometriosis, fibroid, adenomiosis, peradangan tuba falopii, perlengketan abnormal
antara organ di dalam perut, dan pemakaian IUD, faktor psikologis yaitu stres.

a. Dysmenorrhea primer
Penyebab dari nyeri haid ini belum di temukan secara pasti meski telah banyak penelitian
dilakukan untuk mencari penyebabnya. Etiologi dari dysmenorrhea primer tersebut adalah:

- Faktor Psikologis

Biasanya terjadi pada remaja dengan emosi yang tidak stabil, mempunyai ambang nyeri yang
rendah, sehingga dekat sedikit rasa nyari dapat merasakan kesakitan.

- Faktor Endokrin

Pada umumnya hal ini dihubungankan dengan kontraksi usus yang tidak baik. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan pengaruh hormonal. Peningkatan produksi prostaglandin akan
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi sehingga menimbulkan
nyeri.

b. Dysmenorrhea sekunder

Dalam dysmenorrhea sekunder, etiologi yang mungkin terjadi adalah:

- Faktor konstitusi seperti anemia, pemakaian kontrasepsi IUD, benjolan yang


menyebabkan pendarahan, tumor atau fibroid.

- Anomali uterus konginental, seperti : rahim yang terbalik, peradangan selaput lendir
rahim.

- Endometriosis, penyakit yang ditandai dengan adanya pertumbuhan jaringan


endometrium di luar rongga rahim. Endometrium adalah jaringan yang membatasi bagian
dalam rahim. Saat siklus mentruasi, lapisan endometrium ini akan bertambah sebagai persiapan
terjadinya kehamilan. Bila kehamilan tidak terjadi, maka lapisan ini akan terlepas dan
dikeluarkan sebagai menstruasi.

KLASIFIKASI

Dysmenorrhea dapat di klasifikasikan menjadi dua, yaitu berdasarkan adanya atau tidaknya
kelainan ginekologis dan berdasarkan intensitas nyerinya.

1. Berdasarkan ada tidaknya kelainan ginekologis.

a. Dysmenorrhea primer yaitu dysmenorrhea yang terjadi tanpa disertai adanya kelainan
ginekologis. Pada wanita yang secara emosional tidak stabil, dysmenorrhea primer mudah
terjadi.

Dysmenorrhea primer timbul sejak menarche (pertama kali menstruasi), biasanya di tahun
pertama atau kedua menstruasi. Dysmenorrhea ini terjadi pada usia antara 15-25 tahun dan
kemudia akan hilang pada usia akhir 20an atau di awal 30an. Rasa nyeri biasanya terjadi
beberapa jam sebelum dan sesudah periode menstruasi dan dapat berlanjut hingga 48-72 jam.
Rasa nyeri di deskripsikan sebagai mirip kejang, spasmodik, berlokasi di perut bagian bawah
(area suprapubik), dapat menjalar ke paha dan pinggang bawah. Tidak itu saja, terkadang juga
disertai rasa mual, muntah, diare, sakit kepala, nyeri pinggang bawah, rasa lelah dan
sebagainya.

b. Dysmenorrhea sekunder yaitu rasa nyeri yang berkaitan dengan kelainan ginekologis,
baik secara anatomi maupun proses patologis dan pelvis. Dysmenorrhea sekunder biasa terjadi
beberapa saat setelah menarche. Dapat juga dimulai setelah usia 25 tahun. Rasa nyeri dimulai
sejak 1-2 minggu sebelum menstruasi dan terus berlangsung hingga beberapa hari setelah
menstruasi. Pada dysmenorrhea sekunder ditemui kelainan ginekologis seperti endometritis,
adenomiosis, kista ovarium, mioma uteri, radang pelvis dan lain-lain.

2. Berdasarkan intensitas nyeri.

a. Dysmenorrhea ringan, yakni dysmenorrhea dengan rasa nyeri yang berlangsung beberapa
saat sehingga perlu istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa nyeri, tanpa pemakaian obat-
obatan.

b. Dysmenorrhea sedang, yakni dysmenorrhea yang memerlukan obat untuk menghilangkan


rasa nyeri tanpa perlu men inggalkan aktivitas sehari-hari.

c. Dysmenorrhea berat, yakni dysmenorrhea yang memerlukan istirahat sedemikian lama


dengan akibat meninggalkan aktivitas sehari-hari selama satu hari bahkan lebih.

PATOFISIOLOGI

1. Dismenorea primer

(primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menarche (haid
pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle) ditetapkan/ditentukan.
Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing endometrial cells)
melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium
dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid
(menstrual fluid) pada wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini
memang meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga memiliki
peran yang sama. Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer adalah
karena prostaglandin F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang kuat (a potent
myometrial stimulant) dan vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori. Respon
terhadap inhibitor prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan
bahwa dismenorea diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti
kuat menghubungkan dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged uterine
contractions) dan penurunan aliran darah ke miometrium. Kadar prostaglandin yang meningkat
ditemukan di cairan endometrium (endometrial fluid) wanita dengan dismenorea dan
berhubungan baik dengan derajat nyeri.

Peningkatan endometrial prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler menuju
fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama menstruasi. Peningkatan
prostaglandin di endometrium yang mengikuti penurunan progesterone pada akhir fase luteal
menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan
Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas nyeri serabut
(pain fibers) di uterus . Jumlah leukotriene yang bermakna (significant) telah dipertunjukkan
di endometrium wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap pengobatan
dengan antagonis prostaglandin. Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada
hipersensitivitas miometrium, mereduksi (mengurangi) aliran darah uterus, dan nyeri (pain)
pada penderita dismenorea primer. Peranan vasopressin di endometrium dapat berhubungan
dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin.

2. Dismenorea Sekunder

Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche
(haid pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an, setelah tahun-tahun
normal, siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin dapat
berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by definition), penyakit pelvis
yang menyertai (concomitant pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk:
endometriosis, leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic
inflammatory disease, dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device).
sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis dismenorea sekunder. Kondisi patologis pelvis
berikut ini dapat memicu atau mencetuskan dismenorea sekunder :
a. Endometriosis
b. Pelvic inflammatory disease
c. Tumor dan kista ovarium
d. Oklusi atau stenosis servikal
e. Adenomyosis
f. Fibroids
g. Uterine polyps
h. Intrauterine adhesions
i. Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus)
j. Intrauterine contraceptive device
k. Transverse vaginal septum
l. Pelvic congestion syndrome
m. Allen-Masters syndrome

AMENORE
Gejala
Seorang wanita yang tidak mengalami periode menstruasi merupakan indikasi utama amenore.
Tergantung pada penyebab amenore, penderita mungkin mengalami tanda atau gejala sebagai
berikut:
– Keluarnya air susu
– Rambut rontok
– Sakit kepala
– Perubahan kemampuan penglihatan
– Rambut wajah berlebih

Penyebab
Amenore bisa terjadi karena berbagai alasan. Sebagian kasus merupakan hal yang normal,
sedangkan kasus lain muncul akibat efek samping dari suatu obat atau tanda masalah medis.

Berikut adalah beberapa penyebab utama amenore.


1. Amenore alami
Selama masa hidupnya, seorang wanita mungkin mengalami amenore karena alasan alami,
seperti:
– Kehamilan
– Menyusui
– Menopause

2. Kontrasepsi
Sebagian wanita yang minum pil KB mungkin tidak mengalami menstruasi.
Ketika kontrasepsi dihentikan, akan memakan waktu tiga sampai enam bulan agar ovulasi dan
menstruasi kembali berjalan normal.
Kontrasepsi yang disuntikkan atau ditanamkan juga dapat menyebabkan amenore.

3. Obat-obatan
Obat-obat tertentu bisa memicu berhentinya periode menstruasi, termasuk obat dari jenis:
– Antipsikotik
– Kemoterapi kanker
– Antidepresan
– Obat tekanan darah

4. Faktor gaya hidup


Faktor gaya hidup yang bisa memicu amenore antara lain:
– Stres
Stres mental dapat mengubah sementara fungsi hipotalamus atau area otak yang mengontrol
hormon yang mengatur siklus menstruasi.
Akibatnya, ovulasi dan menstruasi dapat berhenti. Periode menstruasi umumnya kembali
normal setelah tingkat stres mereda.
– Berat badan rendah
Berat badan yang terlalu rendah akan menghambat banyak fungsi hormonal dalam tubuh
sehingga berpotensi menghentikan ovulasi.
Wanita yang memiliki gangguan makan, seperti anoreksia atau bulimia, sering mengalami
berhenti menstruasi akibat terjadinya perubahan hormonal.
– Olahraga berlebihan
Wanita yang berpartisipasi dalam olahraga yang membutuhkan aktivitas fisik keras, seperti
balet, lari jarak jauh, atau senam, mungkin mengalami gangguan siklus menstruasi.
5. Ketidakseimbangan hormon
Banyak masalah kesehatan menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang memicu amenore,
termasuk:
– Sindrom ovarium polikistik ( polycystic ovary syndrome)
Sindrom ini menyebabkan tingkat hormon yang tetap tinggi, dibandingkan dengan tingkat
Berfluktuasi yang terlihat dalam siklus menstruasi normal.
– Kerusakan tiroid
Kelenjar tiroid yang terlalu aktif (hipertiroidisme) atau kurang aktif (hipotiroidisme) dapat
menyebabkan ketidakteraturan menstruasi, termasuk amenore.
– Tumor pituitary
Tumor jinak pada kelenjar pituitary dapat mengganggu keseimbangan hormon menstruasi.
– Menopause dini

Menopause biasanya terjadi antara usia 45 hingga 55 tahun. Pada beberapa wanita, produksi
sel telur mulai berkurang sebelum usia 40 tahun sehingga memicu berhentinya menstruasi.
6. Masalah struktural
Masalah dengan organ seksual itu juga bisa menyebabkan amenore, di antaranya:
– Jaringan parut di uterus
Sindrom Asherman, suatu kondisi di mana jaringan parut menumpuk di lapisan rahim bisa
memicu amenore.
– Organ reproduksi yang tidak lengkap
Seorang wanita mungkin mengalami masalah yang muncul selama perkembangan janin yang
menyebabkannya lahir tanpa beberapa bagian utama sistem reproduksi, seperti rahim atau leher
rahim.
Karena terdapat ketidaklengkapan sistem reproduksi, orang tersebut tidak akan memiliki siklus
menstruasi.
Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko amenore termasuk:
1. Riwayat keluarga
Wanita yang memiliki anggota keluarga yang mengalami amenore memiliki risiko lebih tinggi
mengalami masalah yang sama.
2. Gangguan makan
Seseorang yang mengalami gangguan makan, seperti anoreksia atau bulimia, berada pada
risiko lebih tinggi mengalami amenore.
3. Latihan fisik keras
Latihan fisik yang keras seperti pada atlet dapat meningkatkan risiko amenore.

Saline Infusion Sonohysterography (SIS) adalah pemeriksaan untuk mendeteksi adanya


kelainan pada rongga rahim dan saluran telur. Pemeriksaan rahim menggunakan alat
ultrasonografi dan memasukkan cairan saline steril ke dalam rongga rahim.

SIS dilakukan pada pasien dengan masalah perdarahan uterus abnormal,


infertilitas/kekurangsuburan, keguguran berulang, kelainan bawaan rahim, evaluasi sebelum
dan sesudah tindakan/operasi pada rongga rahim, dicurigai adanya perlengketan rongga rahim,
dan evaluasi lebih lanjut jika ada kecurigaan pada pemeriksaan ultrasonografi.

SIS tidak dapat dilakukan pada wanita yang sedang hamil atau adanya kecurigaan adanya
kehamilan. Tindakan ini juga tidak boleh dilakukan pada wanita dengan infeksi panggul aktif
atau nyeri panggul yang tidak jelas penyebabnya.

Bagaimana SIS dilakukan?

SIS biasanya dilakukan setelah haid, umumnya dilakukan pada haid hari ke 9-11. Bisa lebih
awal pada siklus haid yang lebih pendek. Untuk mengurangi rasa nyeri selama dan setelah
tindakan dapat diberikan obat anti nyeri. Prosedur dimulai dengan pemeriksaan USG
transvaginal. Kemudian kateter kecil dimasukkan ke dalam rongga rahim melalui mulut rahim.
Cairan saline steril dimasukkan melalui kateter bersamaan dengan pemantauan dengan USG.
teknik pemeriksaan SIS
Cairan yang ada dalam rongga rahim berfungsi untuk meningkatkan detail gambar dari rongga
rahim. Adanya kelainan seperti polip endometrium dan mioma submukosum biasanya sangat
baik ditampilkan dengan pemeriksaan ini. Selain itu saluran telur juga dapat dipantau
patensinya, apakah ada sumbatan atau tidak melalui mudah atau sukarnya cairan masuk ke
dalam rahim atau melalui aliran cairan saline yang dapat dipantau dengan mudah menggunakan
teknik color doppler.

Tampak Polip pada Pemeriksaan SIS


Adakah risiko dan komplikasi?

SIS adalah prosedur yang sangat aman. Namun kadang dapat ditemui kram perut ringan,
perdarahan, atau keluar cairan/keputihan. Komplikasi yang lebih serius yang mungkin adalah
terjadinya infeksi panggul, namun, ini terjadi kurang dari 1% dan biasanya ada masalah
kelainan/infeksi saluran telur sebelumnya. Hubungi dokter apabila dalam 2 hari timbul nyeri
atau demam.

Diagnosis dan Pemeriksaan Dasar

Tahapan diagnostik yang dilakukan pada tatalaksana infertilitas wanita.

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Langkah pertama dari tatalaksana infertilitas wanita adalah melakukan anamnesis yang baik
dalam rangka menggali informasi yang terkait dengan dengan infertilitas, seperti riwayat
penyakit yang pernah diderita, gaya hidup (merokok, alkohol atau kopi), riwayat haid, riwayat
kehamilan sebelumnya, riwayat abortus yang sebelumnya, obat apa saja yang sedang/pernah
diminum, riwayat penggunaan kontrasepsi dan sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik yang meliputi faktor-faktor sebagai berikut: faktor vagina, faktor serviks,
faktor uterus, faktor endometrium, faktor tuba, faktor ovarium, faktor peritoneum, faktor
imunologi, dan faktor endokrinologi.

2. Penentuan adanya ovulasi

Untuk menentukan adanya ovulasi, diperlukan suatu penilaian terhadap:

 kadar progesteron pada fase mid-luteal sebuah siklus haid


 pola suhu basal badan dalam kurun satu bulan
 kadar LH di urin wanita
 pengukuran diameter folikel ovarium pada fase pra-ovulasi dengan menggunakan
ultrasonografi (USG) transvaginal.

3. Pemeriksaan hormon reproduksi dan hormon lain

Pemeriksaan kadar hormon reproduksi memang diperlukan untuk mengetahui kelainan yang
terkait dengan infertilitas. Untuk penentuan kadar follicle stimulating
hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), prolaktin dan 17β-estradiol dalam plasma,
dilakukan pengambilan percontoh darah pada hari 3-5 dalam satu siklus haid, sedang untuk
mengetahui kadar progesteron pada fase lutela madya dilakukan pengambilan percontoh darah
pada hari ke 21 atau ke 22 dalam satu siklus 28-30 hari. Disamping itu jika diperlukan maka
dapat pula pemeriksaan ditambahkan untuk hormon testosteron atau DHEA/DHEAS atau
kortisol atau TSH, T3 bebas, T4 bebas, dan sebagainya.

Beberapa contoh kelainan yang dapat diperkirakan berdasarkan pemeriksaan hormon


reproduksi antara lain adalah:

 Jika dijumpai kadar FSH dan LH yang tinggi disertai kadar estradiol yang rendah maka
kemungkinan terdapat menopause prekoks pada pasien ini.
 Jika dijumpai kadar LH yang lebih tinggi daripada FSH maka kemungkinan pasien ini
menderita sindrom ovarium polikistik.

4. Clomiphene Challenge Test (CCT)

Jika diperkirakan telah terjadi insufisiensi fungsi ovarium maka dapat dilakukan uji klomifen
(clomiphene challenge test/CCT), yaitu dengan cara memberikan klomifen sitrat pada hari ke
5-9 siklus haid, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan kadar FSH pada hari ke 10 siklus haid.
Kadar FSH yang tinggi pada hari ke 3 atau ke 10 siklus haid menunjukkan kemungkinan telah
terdapat insufisiensi dari ovarium.

5. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan histerosalpingografi (HSG).

Pemeriksaan USG yang dilakukan terutama pada fase pra-ovulasi, dapat bermanfaat untuk
mengetahui adanya kelainan uterus (misal: mioma, adenomiosis, uteus arkuatus, polip
endometrium), kelainan ovarium (misal: fibroma, kista endometriosis, kista simpleks),
kelainan tuba (misal: hidrosalping) atau perlekatan genitalia interna. Pemeriksaan HSG yang
dilakukan pada hari ke 9 atau ke 10 siklus haid dapat bermanfaat untuk mengetahui kondisi
uterus, rongga uterus, tuba fallopii dan patensi dan tuba fallopii.

6. Pemeriksaan lain

Jika diperlukan maka seorang dokter dapat melakukan pemeriksaan lain yang terkadang
diperlukan untuk mengetahui adanya kelainan yang terkait dengan infertilitas pada wanita,
seperti pemeriksaan histeroskopi diagnostik, laparoskopi diagnostik atau pemeriksaan
kromosom/genetik.

Penatalaksanaan

1. Terapi Konvensional

a. Konseling

– Menurunkan berat badan

– Menghentikan kebiasaan merokok, alkohol, obat-obatan

– Menghindari zat-zat toksik

– Konsumsi makanan bergizi (empat sehat lima sempurna)

– Waktu koitus

b. Terapi Kausal

– Penyakit sistemik

– Infeksi

– Endokrinopati (hormonal)

c. Stimulasi ovulasi

– Klomifen sitrat

– Aromatase inhibitor

– GnRH agonis (Synarel, Buserelin, Tapros)

– r-FSH

– r-LH

d. Bedah

– Endometriosis
– SOPK

– Mioma uteri

– dll

2. Teknologi reproduksi berbantu

Bila dengan terapi konvensional pasutri tersebut belum juga memiliki anak, maka teknologi
reproduksi berbantu merupakan pilihan yang tepat. Keterangan lebih lengkap tentang TRB
akan dijelaskan pada LO 4.

3. Konseling kasus infertilitas pria dan wanita dan pemeriksaan penunjang

Konseling yang harus diberikan oleh dokter kepada pasangan infertile adalah:

1. Bersikap baik dan simpatik terhadap pasangan tersebut. Dokter harus memahami
psikologis pasangan tersebut yang menginginkan seorang anak. Dokter harus menyadari bahwa
mereka membutuhkan dukungan dan pengertian.

2. Memberikan pengertian terhadap pasangan tersebut untuk saling menghargai satu sama
lain. Jangan saling menyalahkan karena infertilitas adalah suatu kesatuan fungsi pasangan
tersebut dan bukan salah/akibat dari salah satu anggota pasangan saja.

3. Memberi support bahwa keadaan seperti ini tidak hanya menimpa satu pasangan saja.

4. Menjelaskan bahwa ada kemungkinan pasangan tidak infertil. Belum hamilnya sang istri
dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian waktu koitus dengan masa subur istri. Oleh karena itu,
dokter harus menjelaskan kepada pasangan tentang masa subur istri, sehingga mereka dapat
menyesuaikan jadwal koitus dengan masa subur istri.

5. Jika diagnosis infertil sudah ditegakkan (misalnya karena pasangan tersebut telah
mengatur jadwal koitus sesuai dengan masa subur istri dalam 12 bulan, namun istri masih
belum hamil juga), maka dokter harus menjelaskan tahapan-tahapan pemeriksaan yang harus
dilakukan untuk memastikan kausa infertilitas pasangan tersebut.

6. Dokter juga harus menjelaskan tatalaksana yang dapat dilakukan kepada pasangan infertil
tersebut (sesuai dengan kausanya).

7. Dokter harus menjelaskan bahwa penanganan kasus infertilitas untuk mendapatkan


keturunan memerlukan kesabaran dari segi waktu dan harus melibatkan pemeriksaan pasangan
pria-wanitanya. Oleh karena itu, pasangan tersebut harus saling bekerja sama (tidak boleh salah
satunya saja yang rutin kontrol, harus kedua-duanya).

8. Bagi pasangan yang mempunyai resiko infertil/ada riwayat penyakit pada sistem
reproduksi semasa kecil, ada riwayat keluarga kurang subur, atau adanya kelainan genetik,
sebaiknya tidak menunggu setelah 1 tahun. Pemeriksaan dini lebih bagus (tidak perlu
menunggu setelah 1 tahun perkawinan). Penundaan berarti usia pasangan wanitanya terus
bertambah dan akan menambah resiko terhadap kehamilannya.
4. Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) dan mekanismenya

Teknologi Reproduksi berbantu adalah penanganan terhadap gamet (ovum, sperma), atau
embrio (konsepsi) sebagai upaya untuk mendapatkan kehamilan di luar cara alami, tidak
termasuk tindakan kloning atau duplikasi manusia. TRB terbagi atas dua kelompok besar,
yaitu: Intra-Corporeal dan Extra-Corporeal.

Intra-Corporeal

1. Intra Uterine Insemination (IUI)

Intra Uterine Insemination (IUI) adalah cara memasukkan sel-sel sperma yang telah dipreparasi
(pencucian sperma supaya lebih aktif) langsung ke dalam rongga rahim dengan suatu kateter
pada saat menjelang ovulasi (masa subur). Indikasi dilakukannya IUI adalah:

a. Gangguan penyampaian sel2 sperma ke dalam vagina karena kerusakan anatomi pada
penis atau vagina, disfungsi seksual pada pria/wanita, atau ejakulasi retrograd (tertahan).

b. Hasil uji pasca sanggama yang buruk yaitu kemampuan sel-sel sperma untuk hidup dan
berenang di dalam cairan rahim wanita kurang baik.

c. Gangguan faktor lendir dan leher rahim. Dengan IUI, sperma dikirim langsung ke rahim
tanpa menyentuh vagina.

d. Berkurangnya jumlah, bentuk, dan gerakan sel-sel seperma (oligoasthenozoospermia)


tingkat sedang. Dengan IUI, perjalanan sel sperma melewati organ reproduksi wanita akan
terbantu. Namun keberhasilan IUI masih sangat ditentukan oleh jumlah sperma (idealnya
masih di atas 20 juta sperma/ml).

e. Gangguan hormon seperti gangguan fase luteal atau sindroma LUF dan setelah dicoba
dengan pengobatan selama beberapa bulan tetap tidak berhasil.

f. Endometriosis minimal.

g. Infertilitas yang belum diketahui sebabnya.

Syarat dilakukannya IUI adalah:

a. Pasangan suami istri sah dengan usia istri tidak lebih dari 45 tahun. Tapi idealnya usia
istri sebaiknya di bawah 35 tahun sehingga kemungkinan berhasilnya lebih tinggi.

b. Tidak ada kontraindikasi untuk hamil.

c. Reproduksi istri dapat merespon terhadap obat pemicu ovulasi.

d. Kedua tuba Fallopii normal.

e. Bebas dari infeksi TORSH-KM, hepatitis, sifilis, dan HIV/AIDS.


Pemeriksaan/persiapan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan prosedur IUI, antara
lain:

a. Anamnesis: Data diri pasien, riwayat kehamilan, dan siklus haid 6 bulan terakhir

b. Pemeriksaan ginekologis

c. Pemeriksaan USG transvaginal

d. Pemeriksaan HSG untuk melihat keadaan sal telur dan rahim

e. Pemeriksaan hormonal untuk melihat FSH, LH, Prolaktin, dan E2. Namun biasanya ini
dilakukan pada wanita dengan siklus haid tak teratur, amenorea, dan kurang respon terhadap
obat-obatan pemicu ovulasi

f. Trial sounding (sondase rahim) untuk mengetahui arah panjang leher dan rongga rahim

g. Analisa sperma pada suami (termasuk pemeriksaan antibodi sperma) untuk melihat
apakah memungkinkan untuk dilakukan IUI.

h. Pada istri diberi obat untuk memicu ovulasi (pemberian tergantung pada kasus).

i. Pasangan suami istri normal hanya diberi klomifen sitrat (serophene, dll) mulai hari ke
3-5 menstruasi selama 5 hari.

j. Pasangan suami istri dengan masalah seperti anovulasi atau gangguan hormon diberi
HMG atau FSH untuk memicu perkembangan sel telur. Dosis ini umumnya diberikan pada hari
ke 5-9.

k. Pemeriksaan USG vaginal untuk melihat perkembangan folikel.

l. Setelah dilihat dan sel telur ukurannya sudah mencapai minimal 18 mm maka akan
diberikan suntikan HCG untuk memecah sel telur. Ovulasi (pecahnya folikel dan mengeluarkan
sel telur) terjadi 36-42 jam setelah suntik HCG.

m. Pada hari perkiraan IUI, suami harus menahan ejakulasi setidaknya 2-3 hari untuk
mendapatkan jumlah dan kualitas yang baik pada sperma.

n. Minimal 2 jam sebelum IUI, cairan sperma sudah diberikan ke laboratorium untuk
dipreparasi (di”cuci”). Disarankan untuk dikeluarkan di klinik infertil (ada tempat khususnya).
Proses preparasi atau pencucian tersebut dilakukan untuk menghitung konsentrasi, motilitas,
dan morfologi sel sperma. Melalui pencucian, jumlah dan kualitas sperma akan sedikit
meningkat.

o. Tahap pelaksanaan, yaitu pemasukan sel-sel sperma yang telah dipreparasi ke rongga
rahim 36 jam setelah suntik HCG. Rincian tahap pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasien berbaring telentang di meja periksa khusus (meja untuk pemeriksaan obstetrik
dalam ibu hamil).
2. Pasien tidur dengan posisi pinggang lebih tinggi dari badan dan kepala. Kaki dalam
posisi terbuka dan tergantung pada penyangga kiri dan kanan.
3. Dokter memasukkan speculum ke dalam vagina sampai tampak mulut rahim.
4. Sperma dimasukkan melalui kateter, lalu ujung kateter dimasukkan melalui cervix,
canalis cervikalis, sampai ke cavum uteri secara hati-hati untuk menghindari cedera
lapisan rongga rahim.
5. Setelah ujung kateter berada di rongga rahim paling luas, sperma disemprotkan dari
dalam kateter. Lalu kateter yang telah kosong ditarik kembali.
6. Pasien tetap berbaring dengan posisi sama selama kurang lebih satu jam. Lalu pasien
diperbolehkan pulang (sebaiknya tetap dilakukan bedrest)

Tingkat keberhasilan IUI hanya sekitar 10%. Jika gagal lebih baik tidak diulang lebih dari 1
kali lagi (jadi IUI hanya boleh dilakukan sebanyak 2 kali). Hal ini didasarkan kepada hasil
penelitian bahwa IUI yang dilakukan 3 kali atau lebih akan tetap memberikan kegagalan pada
pelaksanaan selanjutnya. Oleh karena itu disarankan agar melakukan program lain seperti IVF.

2. Gamete Intra Fallopian Transfer (GIFT)

Pada metode GIFT, ovarium wanita distimulasi agar dapat memproduksi lebih banyak ovum
daripada jumlah normalnya melalui konsumsi obat-obatan tertentu, seperti Clomifene dan
Gonadotropin. Jika telah terdapat folikel yang matang, wanita tersebut akan disuntikkan Hcg
dan ovulasi akan terjadi ±36 jam setelahnya. Ovum yang berhasil diproduksi kemudian
dipindahkan dari ovarium dengan memasukkan jarum melalui dinding vagina (menggunakan
USG sebagai pedoman). Lalu, ovum tersebut (±3-4 ovum) dicampurkan dengan sperma pria
pasangannya (± 200.000 sperma motil) dalam cawan petri. Ovum dan sperma yang telah
dicampurkan tersebut secepatnya dipindahkan ke tuba Fallopii wanita dengan laparoskopi,
sehingga fertilisasi terjadi di dalam tubuh wanita. Dengan demikian, zigot hasil fertilisasi
tersebut dapat berkembang pada lingkungan naturalnya sejak dari tahap yang paling dini.

GIFT dapat menjadi pilihan TRB bagi pasangan infertil yang disebabkan oleh rendahnya
jumlah atau kemampuan motilitas sperma pria serta pasangan infertil yang penyebab
infertilitasnya tidak dapat ditentukan. Syarat dilakukannya GIFT adalah tuba Fallopii wanita
harus dalam kondisi sehat. GIFT biasanya dipilih oleh pasangan yang telah mencoba IUI,
namun tetap gagal. Keuntungaan dari GIFT adalah fertilisasi dapat terjadi di dalam tubuh,
sehingga prosesnya cenderung lebih “alamiah” daripada IVF. Namun, kerugiannya adalah
adanya prosedur laparoskopi, sehingga cenderung lebih rumit daripada IVF. Selain itu, resiko
terjadinya kehamilan ektopik juga lebih besar.

Extra-Corporeal

1. Zygote Intra Fallopian Transfer (ZIFT)

Secara garis besar, teknik ZIFT memiliki prosedur yang sama dengan GIFT. Namun, pada
ZIFT, yang dimasukkan ke dalam tuba Fallopii bukanlah campuran antara ovum dan sperma,
melainkan hasil fertilisasi antara keduanya, yaitu zigot. Kelebihan dari teknik ZIFT ini adalah
dokter dapat memastikan langsung apakah fertilisasi terjadi atau tidak. Namun, teknik ZIFT
memiliki kerugian yaitu memerlukan prosedur yang lebih invasif daripada GIFT maupun IVF.
Selain itu, resiko kehamilan ganda pada ZIFT juga lebih besar.

2. Tuba Embrio Transfer (TET)


Secara garis besar, prosedur TET sama dengan prosedur GIFT dan ZIFT, namun yang
dimasukkan ke dalam tuba Fallopii adalah embrio. Jika pada ZIFT zigot dimasukkan ke dalam
tuba 1 hari setelah fertilisasi, pada TET embrio dimasukkan ke dalam tuba 2 hari setelah
fertilisasi. TET dapat dilakukan pada wanita yang memiliki setidaknya satu tuba Fallopii yang
sehat namun tidak cocok dengan metode GIFT/teknik transfer embrio melalui vagina.

3. In Vitro Fertilization (IVF)

IVF juga merupakan salah satu TRB yang fertilisasinya terjadi di luar tubuh wanita. Prosedur
pengambilan ovum wanita pada IVF ini juga sama dengan prosedur pada GIFT, ZIFT, dan
TET. Perbedaan IVF dengan metode-metode tersebut adalah embrio hasil fertilisasi tidak
dimasukkan ke dalam tuba Fallopii, namun ke dalam uterus. Proses pemasukan 1-2 embrio
tersebut dilakukan ±6 hari setelah fertilisasi, dengan menggunakan kateter tipis melalui serviks
ke uterus (biasanya menggunakan USG sebagai panduan). Oleh sebab itu, IVF tidak
membutuhkan laparoskopi. Embrio yang dimasukkan Sebelum dilakukan proses pemasukan
embrio ke dalam uterus, wanita tersebut harus diberi progesterone, sehingga endometriumnya
menebal dan siap untuk menerima implantasi.

IVF dapat dilakukan jika terdapat hambatan pada tuba Fallopii pasangan wanita/malah tidak
memiliki tuba Fallopii sama sekali atau jika terdapat abnormalitas ringan pada sperma
pasangan pria. Selain itu, IVF juga dapat menjadi pilihan bagi pasangan infertile yang tidak
diketahui penyebab infertilitasnya serta pasangan yang telah mencoba IUI namun tetap belum
berhasil. Para pakar biasanya lebih menyarankan IVF daripada GIFT atau ZIFT karena IVF
lebih tidak invasif dan kualitas embrio yang dihasilkan lebih dapat dikontrol. Dibandingkan
dengan beberapa prosedur TRB lainnya, IVF lebih dahulu ditemukan sehingga lebih banyak
penelitian yang dilakukan terhadap metode IVF ini. Berdasarkan berbagai penelitian/studi
tersebut, diketahui bahwa sebagian besar anak yang lahir dari proses IVF ini sehat, namun
memiliki riwayat kontak dengan sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit, operasi, atau
intervensi medis lainnya) yang lebih banyak daripada anak yang lahir secara konsepsi alamiah.
Beberapa pakar menjelaskan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh komplikasi selama
kehamilan, seperti prematuritas atau kehamilan multiple. Kerugian lain dari metode ini adalah
lebih tingginya resiko kehamilan multiple.

4. Assisted Fertilization: Intra Cytoplasmic Sperm Injection (ICSI)

ICSI merupakan salah satu TRB yang dapat mengatasi masalah infertilitas pria, seperti jumlah
atau kemampuan motilitas sperma yang rendah, vas deferens yang rusak, serta pria yang pernah
melakukan vasektomi. Prosedur pengambilan ovum wanita pada ICSI sama dengan prosedur
GIFT, ZIFT, dan TRB lainnya. Namun, tidak seperti metode lain yang membiarkan sperma
menembus dinding ovum dengan tenaganya sendiri, pada ICSI sperma disuntikkan ke dalam
sitoplasma ovum. Embrio yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam uterus wanita.

Karena metode ICSI ini memungkinkan suatu sperma abnormal untuk membuahi ovum,
terdapat kekhawatiran bahwa anak yang dihasilkan melalui metode ICSI ini akan memiliki
kesehatan atau perkembangan yang terganggu, seperti BBLR, abnormalitas pada kromosom Y,
dan resiko keterbelakangan mental.

Pemeriksaan Infertilitas
Syarat-Syarat Pemeriksaan
Pasangan infertil merupakan satu kesatuan biologis sehingga keduanya sebaiknya dilakukan
pemeriksaan. Adapun syarat-syarat sebelum dilakukan pemeriksaan adalah:
1. Istri dengan usia 20-30 tahun baru diperiksa setelah berusaha mendapatkan anak selama 12
bulan.
2. Istri dengan usia 31-35 tahun dapat langsung diperiksa ketika pertama kali datang.
3. Istri pasangan infertil dengan usia 36-40 tahun dilakukan pemeriksaan bila belum mendapat
anak dari perkawinan ini.
4. Pemeriksaan infertil tidak dilakukan pada pasangan yang mengidap penyakit.
Langkah Pemeriksaan
Pertama kali yang dilakukan dalam pemeriksaan adalah dengan mencari penyebabnya.
Adapun langkah pemeriksaan infertilitas adalah sebagai berikut :
Pemeriksaan Umum
 Anamnesa, terdiri dari pengumpulan data dari pasangan suami istri secara umum dan khusus.
Anamnesa umum
Berapa lama menikah, umur suami istri, frekuensi hubungan seksual, tingkat kepuasan seks,
penyakit yang pernah diderita, teknik hubungan seks, riwayat perkawinan yang dulu, apakah
dari perkawinan dulu mempunyai anak, umur anak terkecil dari perkawinan tersebut.
Anamnesa khusus
Istri : Usia saat menarche, apakah haid teratur, berapa lama terjadi perdarahan/ haid, apakah
pada saat haid terjadi gumpalan darah dan rasa nyeri, adakah keputihan abnormal, apakah
pernah terjadi kontak bleeding, riwayat alat reproduksi (riwayat operasi,
kontrasepsi, abortus, infeksi genitalia).
Suami : Bagaimanakah tingkat ereksi, apakah pernah mengalami penyakit hubungan seksual,
apakah pernah sakit mump (parotitis epidemika) sewaktu kecil.
 Pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik umum meliputi tanda vital (tekanan darah, nadi,
suhu dan pernafasan).
 Pemeriksaan laboratorium dasar, pemeriksaan laboratorium dasar secara rutin meliputi
darah lengkap, urin lengkap, fungsi hepar dan ginjal serta gula darah.
 Pemeriksaan penunjang, pemeriksaan penunjang disini bias pemeriksaan roentgen ataupun
USG.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Ovulasi
Pemeriksaan ovulasi dapat diketahui dengan berbagai pemeriksaan diantaranya :
1. Penatalaksanaan suhu basal; Kenaikan suhu basal setelah selesai ovulasi dipengaruhi oleh
hormon progesteron.
2. Pemeriksaan vaginal smear; Pengaruh progesteron menimbulkan sitologi pada sel-sel
superfisial.
3. Pemeriksaan lendir serviks; Hormon progesteron menyebabkan perubahan lendir serviks
menjadi kental.
4. Pemeriksaan endometrium.
5. Pemeriksaan endometrium; Hormon estrogen, ICSH dan pregnandiol.
Gangguan ovulasi disebabkan :
1. Faktor susunan saraf pusat ; misal tumor, disfungsi, hypothalamus, psikogen.
2. Faktor intermediate ; misal gizi, penyakit kronis, penyakit metabolis.
3. Faktor ovarial ; misal tumor, disfungsi, turner syndrome.
Terapi : Sesuai dengan etiologi, bila terdapat disfungsi kelenjar hipofise ddengan memberikan
pil oral yang mengandung estrogen dan progesteron, substitusi terapi (pemberian FSH dan LH)
serta pemberian clomiphen untuk merangsang hipofise membuat FSH dan LH. Selain
clomiphen dapat diberikan bromokriptin yang diberikan pada wanita anovulatoir dengan
hiperprolaktinemia. Atau dengan pemberian Human Menopausal Gonadotropin/ Human
Chorionic Gonadotropin untuk wanita yang tidak mampu menghasilkan hormon gonadotropin
endogen yang adekuat.
Pemeriksaan Sperma
Pemeriksaan sperma dinilai atas jumlah spermatozoa, bentuk dan pergerakannya. Sperma yang
ditampung/ diperiksa adalah sperma yang keluar dari pasangan suami istri yang tidak
melakukan coitus selama 3 hari. Pemeriksaan sperma dilakukan 1 jam setelah sperma keluar.
 Ejakulat normal : volume 2-5 cc, jumlah spermatozoa 100-120 juta per cc, pergerakan 60 %
masih bergerak selama 4 jam setelah dikeluarkan, bentuk abnormal 25 %.
 Spermatozoa pria fertil : 60 juta per cc atau lebih, subfertil : 20-60 juta per cc, steril : 20 juta
per cc atau kurang.
Sebab-sebab kemandulan pada pria adalah masalah gizi, kelainan metabolis, keracunan,
disfungsi hipofise, kelainan traktus genetalis (vas deferens).
Pemeriksaan Lendir Serviks
Keadaan dan sifat lendir yang mempengaruhi keadaan spermatozoa adalah:
1. Kentalnya lendir serviks; Lendir serviks yang mudah dilalui spermatozoa adalah lendir yang
cair.
2. pH lendir serviks; pH lendir serviks ± 9 dan bersifat alkalis
3. Enzim proteolitik.
4. Kuman-kuman dalam lendir serviks dapat membunuh spermatozoa.
Baik tidaknya lendir serviks dapat diperiksa dengan :
 Sims Huhner Test (post coital tes), dilakukan sekitar ovulasi. Pemeriksaan ini menandakan
bahwa : teknik coitus baik, lendir cerviks normal, estrogen ovarial cukup ataupun sperma cukup
baik.
 Kurzrork Miller Test, dilakukan bila hasil dari pemeriksaan Sims Huhner Test kurang baik dan
dilakukan pada pertengahan siklus.
Terapi yang diberikan adalah pemberian hormone estrogen ataupun antibiotika bila terdapat
infeksi.
Pemeriksaan Tuba
Untuk mengetahui keadaan tuba dapat dilakukan:
1. Pertubasi (insuflasi = rubin test); pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan CO2 ke
dalam cavum uteri.
2. Hysterosalpingografi; pemeriksaan ini dapat mengetahui bentuk cavum uteri, bentuk liang tuba
bila terdapat sumbatan.
3. Koldoskopi; cara ini dapat digunakan untuk melihat keadaan tuba dan ovarium.
4. Laparoskopi; cara ini dapat melihat keadaan genetalia interna dan sekitarnya.
Pemeriksaan Endometrium
Pada saat haid hari pertama atau saat terjadi stadium sekresi dilakukan mikrokuretase.
Jika pada stadium sekresi tidak ditemukan, maka : endometrium tidak bereaksi terhadap
progesteron, produksi progesterone kurang.
Terapi yang diberikan adalah pemberian hormon progesteron dan antibiotika bila terjadi
infeksi.

Anda mungkin juga menyukai