Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Disusun oleh:
dr. David Restu P Manik

Pembimbing:
dr. Zarfiardy, Sp. P

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

RS BHAYANGKARA TK III PEKANBARU

PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini. Laporan kasus ini disusun
sebagai rangkaian Program Internsip Dokter Indonesia.

Laporan kasus ini berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronik”, semoga


laporan kasus ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum


sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya, oleh karena itu
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.

Penulis

dr. David Restu P Manik

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................. 1

BAB II LAPORAN KASUS......................................................... 4

BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................. 13

BAB IV PEMBAHASAN............................................................. 42

DAFTAR PUSTAKA.................................................................... 44

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di

saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversible. Hambatan aliran udara ini bersifat

progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau

gas yang beracun atau berbahaya. Gejala PPOK antara lain batuk, produksi

sputum, sesak nafas, dan keterbatasan aktivitas. Efek kerusakan terhadap saluran

napas paru dapat bersifat akut dan kronik. Besar dan luasnya kerusakan

tergantung pada jenis zat, konsentrasi zat, lama paparan, dan ada atau tidaknya

kelainan saluran napas atau paru sebelumnya. 1 Diagnosis PPOK dimulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks,

spirometri, dan lain-lain). Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri

akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai derajat (ringan, sedang, dan

berat). 2

World Health Organization (WHO) memperkirakan terjadinya

peningkatan angka kematian akibat PPOK lebih dari 30% dalam 10 tahun, bila

intervensi untuk menghindari faktor risiko, khususnya pajanan asap rokok tidak

dilakukan dengan baik. Pada tahun 2020, PPOK bahkan diperkirakan menjadi

penyebab kematian terbanyak ketiga di dunia setelah penyait jantung dan penyakit

serebrovaskular. Melihat besarnya masalah yang ditimbulkan oleh PPOK, para

ahli terus berusaha menyempurnakan pemahaman mengenai tatalaksana kondisi

ini untuk dapat menangani dan mencegah perburukan. 3

1
Studi Penyakit Global melaporkan prevalensi kasus PPOK sebesar 384

juta pada tahun 2010. Dengan estimasi prevalensi global sebesar 11,7%. Dan

diperkirakan meninggal 3 juta setiap tahunnya. Pada tahun 2012 terjadi 3 juta

kematian akibat PPOK dan mencakup 6% dari total kematian secara global.

Diprediksikan tahun 2030 sekitar 4,5 juta manusia akan meningkal karena PPOK

dan meninggak setiap tahunnya. Prevalensi PPOK tertinggi dijumpai pada

perokok dan bekas perokok. Lebih dari 90% kematian PPOK terjadi di negara-

negara berpenghasilan rendah dan menengah.4

Di Indonesia Di Indonesia, angka kejadian PPOK telah mencapai 3,7%

dari total populasi. Pada tahun 2013, angka mortalitas PPOK telah mencapai

peringkat ke 6 dari 10 penyebab kematian. Prevalensi PPOK tertinggi ditemukan

di propinsi Nusa Tenggara Timur (10%), Sulawesi Tengah (8%), serta Sulawesi

Barat dan Sulawesi Selatan (6,7%).

Hasil laporan data Penyakit Tidak Menular oleh Sistem Informasi Rumah

Sakit (SIRS) tahun 2011, menunjukkan PPOK termasuk dalam 10 besar penyebab

kematian PTM rawat inap di rumah sakit Indonesia sebesar 6,74 %. 5

Ketepatan dalam jenis terapi pengobatan oleh dokter kepada pasien

merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan terapi serta

kualitas hidup pasien. Ketepatan pemilihan obat memiliki peranan penting dalam

pengelolaan PPOK untuk mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi akut dan

menurunkan tingkat kematian. 4 Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok

yang banyak dipastikan memiliki prevalensi PPOK yang tinggi. Namun sangat

disayangkan data prevalensi PPOK tidak dimiliki oleh Indonesia, oleh sebab itu

2
perlu dilakukan kajian PPOK secara komprehensip agar pencegahan PPOK dapat

dilakukan dengan baik.5

3
BAB II

LAPORAN KASUS

Nama : Tn. M
Tanggal lahir/ Umur : 18-10-1949/69 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl. Sail Gg. Luken-Tenayan Raya
MRS : 17 Juni 2019
No. RM : 02.87.85

Keluhan utama :

Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang :

Penderita datang ke poli paru RS Bhayangkara dengan keluhan sesak nafas


yang di derita sejak 3 hari SMRS. Sesak dirasakan semakin memberat dan
meningkat. Sesak dirasakan hebat saat pasien beraktifitas sedangkan saat
beristirahat terutama posisi duduk sesak terasa sedikit berkurang. Sesak nafas
diikuti oleh batuk berdahak. Ketika batuk, dahak sulit untuk dikeluarkan. Namun,
ketika bisa keluar pasien mengaku dahak berwarna putih kental. Nyeri dada (-),
berkeringat malam hari (-), Demam (-), mual (-), muntah (-) , nyeri disekitar perut
(-), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien adalah pasien poli paru RS
Bhayangkara dengan didiagnosa PPOK. Pasien berobat ke dokter spesialis di poli
paru. Kurang lebih 5 tahun yang lalu os sudah sering berobat ke beberapa dokter
spesialis paru di beberapa RS.

4
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat diabetes melitus (-)
Riwayat penyakit asma (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat Minum OAT (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :


Hipertensi (-), diabetes melitus (-), penyakit asma (-), penyakit jantung (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaaan


OS bekerja sebagai wiraswasta, dengan kebiasaan merokok sejak usia 11
tahun. Kebiasaan merokok disebabkan karena pasien tinggal di lingkungan
pabrik rokok, bekerja di pabrik rokok, kemudian akhirnya mendirikan pabrik
rokok sendiri. Os mulai berhenti merokok di umur 46 tahun. Dalam sehari
pasien menghabiskan dua bungkus rokok.
Berdasarkan Indeks Brinkman: 35 tahun x 20 batang rokok: 700 (Berat)

Pemeriksaan Umum :
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang- Berat
Sensorium : Composmentis
Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 37.5°C
Pernafasan : 24 x/menit
Berat Badan : 45 kg
Tinggi Badan : 165 cm

Pemeriksaan Fisik
Kepala – leher
- Mata : Konjungtiva tidak anemis
Sklera tidak ikterik
Refleks pupil isokor

5
- Telinga – hidung- mulut : Pursed Lip Breathing
- Leher : JVP 5-2 cmH2O
Pembesaran KGB tidak ada

Toraks:

- Paru Anterior
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
sela iga melebar
Palpasi : Vocal fremitus simetris kiri-kanan
Perkusi : Hipersonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : wheezing (+/+) ronki basah (+/+)
Paru Posterior
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
pelebaran sela iga
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : hipersonor seluruh lapang paru
Auskultasi : wheezing +/+, rhonki basah +/+

- Jantung : Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat


Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicula
sinistra
Perkusi : batas kanan linea parasternalis dextra ICS 4
batas kiri 2 jari medial linea midclavicula ICS 5

6
Auskultasi : S1 (+), S2 (+), gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : datar, simetris
Auskultasi : BU (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-)
Hepar dan Lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema -/-

Pemeriksaan Penunjang (17/06/2019)

Darah lengkap
Hb : 12,1 g/dl
Leukosit : 8.900 /mm3
Trombosit : 259.000/mm3
Hematokrit : 36,3 %
Eritrosit : 4,3 juta/mm3
MCV : 91,6
MCH : 28,1
MCHC : 30,7
LYMF : 19
MID :8
GRAN : 73

Kimia Darah
KGDS : 245 mg %

7
Faal Hati
Albumin : 3,3 g/dL

Elektrolit
Natrium : 138 mEq/L
Kalium : 3,5 mEq/L
Chlorida : 92 mEq/L

RONTGEN PARU

Hasil rontgen toraks didapatkan :


 Identitas sesuai
 Foto PA

8
 Marker Right
 Kekerasan cukup
 Corakan bronkovaskuler meningkat
 Sinus kostoprenikus kanan sedikit tumpul
 Diafragma kanan mendatar dan kiri licin kebawah
 Tampak sela iga melebar, CTR <50%

ELEKTROKARDIOGRAM

Interpretasi

9
Ritme : sinus rhytme
Laju QRS : 109 x/i
Regularitas : Reguler
Axis : Normoaxis
Gelombang P : selalu diikuti kompleks QRS
PR Interval : 0,12 detik
QRS Durasi : 0,08 detik
ST Segment : normal
Gelombang T : normal
Kesan : EKG dalam batas normal

Diagnosis Banding : Asma Bronkial


TB paru
CHF
Diagnosis Kerja : PPOK Eksaserbasi Akut

Penatalaksanaan
- Diet ML TKTP
- O2 4 l/i
- IVFD D5% + drip aminofilin 2 amp /8 jam
- Inj Ranitidin 2x1 amp
- Combivent Nebu /8 jam
- Nacetylsistein 3x200 mg
- Curcuma 3x1

Follow Up

18/06/2019 S : Sesak nafas (+) batuk A: PPOK


berdahak (+) P:

10
O: - Diet ML TKTP
Ku : Sedang - O2 4 l/i
Kes : cm - IVFD D5% + drip
TD: 120/80 mmHg RR: 24x/i aminofilin 2 amp /8 jam
HR: 78x/I T : 36,8 C - Inj Ranitidin 2x1 amp
Mata: ca -/- si -/- - Combivent Nebu /8 jam
Leher tidak teraba pembesaran - Nacetylsistein 3x200 mg
KGB, JVP Normal - Curcuma 3x1
Thorax : cor : BJM reg,
murmur-, gallop-
Pulmo: BVS ki=ka, wh +/+ rh+/
+
Abdomen : datar, supel NT-,
BU+N
Ext: akral hangat crt<2s
19/06/2019 S : Sesak berkurang(+) batuk A: PPOK
berdahak berkurang(+)demam P:
(-) - Diet ML TKTP
O: - O2 4 l/i
Ku : Sedang - IVFD D5% + drip
Kes : cm aminofilin 2 amp /8 jam
TD: 120/80 mmHg RR: 22x/i - Inj Ranitidin 2x1 amp
HR: 90x/I T : 37 C - Combivent Nebu /8 jam
Mata: ca -/- si -/- - Nacetylsistein 3x200 mg
Leher tidak teraba pembesaran - Curcuma 3x1
KGB, JVP Normal
Thorax : cor : BJ reg, murmur-,
gallop-
Pulmo: BVS ki=ka, wh +/+ rh+/
+
Abdomen : datar, supel NT-,

11
BU+N
Ext: akral hangat crt<2s
20/06/19 S : Sesak nafas (-), batuk (+), A: PPOK
demam (-) P:
O: - Diet ML TKTP
Ku : Sedang - O2 4 l/i
Kes : cm - IVFD D5% + drip
TD: 120/80 mmHg RR: 20x/i aminofilin 1 amp /8 jam
HR: 92x/I T : 36,7 C - Inj Ranitidin 2x1 amp
Mata: ca -/- si -/- - Combivent Nebu /8 jam
Leher tidak teraba pembesaran - Nacetylsistein 3x200 mg
KGB, JVP Normal - Curcuma 3x1
Thorax : cor : BJM reg, - Pasien BLPL dan
murmur-, gallop- disarankan rawat jalan
Pulmo: BVS ki=ka, wh -/- rh+/+
Abdomen : datar, supel NT-,
BU+N
Ext: akral hangat crt<2s

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kondis penyakit yang

dapat dicegah dan diobati, serta ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara

yang bersifat progresif dan berkaitan dengan respons inflamasi kronis pada saliran

nafas dan paru-paru akibat partikel atau gas yang beracun. 4 Keterbatasan aliran

udara kronis yang khas pada PPOK disebabkan oleh campuran penyakit saluran

napas kecil (bronkiolitis obstruktif) dan kerusakan parenkim (emphysema).

Bronkitis kronik adalah suatu kelainan saluran pernafasan yang digejalai oleh

batuk berdahak yang kronik selama minimal 3 bulan selama setahun, minimal dua

tahun berturut-turu dan gejala tersebut bukan disebabkan oleh penyakit lain.

Sedangkan emfisema adalah keadaan anatomis paru yang mengalami kelainan

ditandai dengan pelebaran jalan udara bagian distal dari bronkiolus terminal dan

disertai dengan kerusakan pada dinding alveoli.2

Gejala respiratori yang biasanya muncul antara lain dyspnea dan batuk

berdahak. Faktor risiko utama untuk kasus PPOK adalah rokok, akan tetapi

paparan dari lingkungan berupa gas hasil pembakaran dan polusi udara juga

berkontribusi dalam terjadinya PPOK. Pada kebanyakan pasien PPOK selalu

terjadi bersamaan dengan penyakit kronis lainnya, yang akan meningkatkan risiko

mortalitas dan morbiditas pada pasien. PPOK sering terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan perempuan dan paling banyak dijumpai pada usia ≥ 40

tahun.4

13
PPOK eksaserbasi akut adalah suatu kondisi akut yang ditandai dengan

perubahan pada kondisi pasien, yaitu terjadinya dispnea, batuh, dan sputum yang

melebi normal dari hari kehari, yang mana dapat terjadi serangan akut atau

perburukan gejala respiratori tersebut, sehingga memungkinkan terjadinya

perubahan medikasi ada pasien tergantung pada keadaan yang mendasarinya. 3,6

Penyebab tersering pada eksaserbasi akut adalah infeksi pada saluran

napas trakeobronkial (virus dan bekteri) dan polusi udara, namun pada sekitar

sepertiga kasus eksaserbasi akut tidak dapat diketahui penyebabnya. 3,6

3.2 Faktor resiko

a. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal

yang terpenting. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada dosis

merokok, yang dipengaruhi oleh umur saat seseorang mulai merokok,

jumlah rokok yang dihisap dalam sehari dan berapa lama orang tersebut

merokok. 2 Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian

jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok

dalam tahun :

14
- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

Penelitian di bangsal paru RSUP M. Djamil yang menyatakan

indeks brinkman pada penderita PPOK yang terbanyak adalah derajat

berat dengan presentase 71,7% dari 120 sampel. Berdasarkan penelitian ini

dapat dilihat bahwa dari seluruh penderita PPOK derajat ringan, sebanyak

satu orang (20%) dengan derajat merokok ringan, satu orang (20%) derajat

merokok sedang, dan tiga orang (60%) derajat merokok berat. 7

Kebisaan merokok yang kronis menyebabkan saluran pernapasan

dan paru kerap terpapar oleh ROS (Reactive Oxygen Species), yang akan

memicu produksi ROS yang lain, sehingga makin memperberat stres

oksidatif, kerusakan jaringan, produksi lemak dan inflamasi di paru dan

saluran pernapasan.8

b. Faktor Genetik

Faktor genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-

1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Ditemukan pada usia

muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi

paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan

kekurangan alpha-1 antitrypsin yang berat. Meskipun kekurangan alpha-1

antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini

menggambarkan adanya interaksi antar gen dan pajanan lingkungan yang

menyebabkan PPOK.. 8

15
c. Sosial Ekonomi

Sosial Ekonomi Sosial ekonomi dianggap sebagai faktor yang

meningkatkan risiko PPOK. Hal ini berkaitan dengan kemiskinan karena

pemenuhan status gizi, kepadatan pemukiman, paparan polusi, akses

masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dan infeksi. 9

d. Riwayat Pekerjaan

Seseorang yang memiliki masalah kesehatan disfungsi paru akan

semakin berisiko untuk menderita penyakit PPOK jika terpapar debu

berbahaya dalam melakukan pekerjaanya. Hal ini dikarenakan debu yang

dihasilkan dari proses pekerjaan tersebut akan mengendap dan dalam

jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan


7
paru. Pengaruh partikel yang terhirup oleh sel pernafasan tergantung

pada sifat fisik dan sifat kimia partikel serta tergantung kepada kepekaan

orang yang menghirup partikel tersebut. 8

e. Polusi Udara

Zat yang paling banyak pengaruhnya terhadap saluran pernapasan

dan paru adalah sulfur dioksida (SO₂), nitrogen dioksida (NO₂). dan ozon.

Ketiga zat tersebut dapat menurunkan faal paru. Sulfur dioksida terbentuk

dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara, dan

industri yang memakai bahan baku sulfur. Nitrogen dioksida (NO₂) lebih

sukar larut dalam air, sehingga efek yang ditimbulkan terutama terjadi di

saluran napas bagian bawah. Nitrogen dioksida terbentuk dari pembakaran

minyak yang tidak sempurna pada temperatur yang tinggi. Kejadian

16
infeksi saluran napas meningkat pada orang yang terpapar dengan nitrogen

dioksida. Hal itu disebabkan karena terjadi kerusakan silia, gangguan

sekresi mukus dan fungsi makrofag alveolar, serta gangguan imunitas

humoral. 9

3.3 Patogenesis

Adanya paparan dari berbagai faktor risiko menyebabkan interaksi faktor

host dengan faktor lingkungan sehingga menyebabkan perubahan patologi berupa

pathological triad pada PPOK, yaitu inflamasi yang menetap, gangguan

keseimbangan protease-antiprotease dan stres oksidatif. Respon peradangan pada

saluran udara perifer dan parenkim paru akibat paparan asap rokok akan dapat

menyebabkan iritasi pada saluran napas. Pada pathogenesis terjadinya PPOK,

makrofag memiliki peranan utama. Makrofag merupakan salah satu sistem

pertahanan tubuh yang dapat melepaskan mediator inflamasi dan faktor

kemotaktik berupa tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin IL -6, interleukin

IL -8, leukotriene LTB4, Monocyte Chemotactic Peptide (MCP)-1 dan spesies

oksigen reaktif, serta memicu pengeluaran enzim proteolitik terutama MMP-9 dan

MMP-12. Pengaruh faktor kemotaktik yang disekresikan terutama IL-8 dan LTB-

4, dapat merangsang pergerakan neutrofil menuju saluran pernapasan dan

menyebabkan hipersekresi mukus pada submukosa dan sel goblet pada saluran

napas.10

17
Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal

Pada PPOK, proses inflamasi ini terjadi akibat paparan asap rokok dan

gas-gas berbahaya lainnya. Meskipun kebiasaan merokok sudah dihentikan, tetapi

prose inflamasi tersebut masih bertahan lama. Berbagai sel inflamasi yang

berkaitan dengan PPOK antara lain, neurofil, eosinofil, makrofag, limfosit

18
mencakup TC1, Th1, Th17. Makrofag yang telah diaktivasi akan mengeluarkan

beberapa mediator inflamasi dan faktor kemotaktik yang akan menarik sel

inflamasi ke paru. 10

Gambar 2. Diagram terjadinya PPOK

3.4 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila
timbul tanda dan gejala seperti berikut ini:4, 5
1. Sesak. Sesak yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama
semakin bertambah berat) dan biasanya bertambah berat dengan
aktivitas. Sesak yang dirasakan bersifat persisten atau menetap
sepanjang hari. Biasanya pasien merasakan susah bernapas atau
terengah-engah.
2. Batuk kronik. Batuk yang dirasakan pasien biasanya hilang timbul dan
bisa berdahak ataupun tidak berdahak.

19
3. Batuk kronik berdahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK.
4. Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu
terutama asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta asap
dapur.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti:
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum

3.5 Diagnosis

Penyakit PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang memiliki

gejala dypnea, batuk kronis dan berdahak, dan/atau mempunyai riwayat terpanjan

faktor risiko yang lama. Diagnosis PPOK ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan

riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk memastikan


3,4,9
diagnosa serta faktor risiko yang ada (Gambar 2.1) Spirometri diperlukan

dalam membuat diagnosis; dijumpainya FEV1/FVC setelah pemberian

bronkodilator <0,7 menandakan adanya keterbatasan aliran udara yang persisten.4

20
Beberapa kondisi yang dapat dipertimbangkan pada penegakan diagnosa PPOK

dapat dilihat pada Tabel 2.1 4

Tabel 2.1 Indikator Penilaian PPOK

Secara klinis, seseorang dinyatakan mengidap PPOK, apabila sekurang-

kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko

disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas, terutama pada saat

melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.
9

a) Anamnesis.

Dari hasil anamnesis, gejala klinis yang biasa ditemukan pada pasien

PPOK adalah sebagai berikut :

21
1) Batuk kronik

Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun

terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat

terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam

hari 2

2) Batuk berdahak kronik Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi

sputum. Karakteristik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari

ketika bangun tidur.2

3) Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah

mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat

sehingga sesak ini tidak dikeluhkan.

b) Riwayat penyakit.

1) Adanya riwayat merokok atau bekas perokok

2) Riwayat terpajan zat-zat berbahaya

3) Riwayat penyakit terdahulu (asma, alergi, sinusitis, polip nasal)

4) Riwayat PPOK atau penyakit pernapasan lain di keluarga

5) Adanya faktor predisposisi pada saat bayi/anak (BBLR, infeksi

berulang saluran napas, lingkungan dengan polusi udara)

6) Riwayat ekaserbasi atau hospitalisasi akibat penyakit sistem pernapasan

7) Adanya penyakit penyerta.

c) Pemerikaan fisik

1) Inspeksi.

22
(a) Pursed-lips breathing (mulut mencucu)

(b) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal

sebanding)

(c) Penggunaan otot bantu pernapasan

(d) Pelebaran sela iga

(e) Terlihat denyut vena jugularis (bila telah terjadi gagal jantung

kanan)

(f) Tampak tampilan pink puffer & blue bloater

Catatan: = Pink puffer, gambaran khas pada emfisema: pasien kurus, kulit

kemerahan dan pernapasan dengan mulut mencucu/pursed-lips breathing),

sianosis, edema tungkai (+), ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

= Pursed-lips breathing, bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi

memanjang. Sikap ini merupakan upaya tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2

yang terjadi pada gagal napas kronik.

2) Palpasi.

Bila sudah terjadi emfisema: fremitus suara melemah dan sela iga

melebar

3) Perkusi.

Bila sudah terjadi emfisema: hipersonor dan batas jantung

mengecil, diafragma letak rendah, hepar terdorong ke bawah

4) Auskultasi

(a) Suara pernapasan vesikular normal atau melemah

23
(b) Terdapat ronki dan atau mengi pada saat bernapas biasa atau

pada ekspirasi paksa

(c) Ekspirasi memanjang

(d) Suara jantung terdengar jauh

Sedangkan diagnosis eksaserbasi berdasarkan pada presentasi klinis pasien

mengeluh perubahan akut gejala (sesak napas, batuk, dan atau produksi sptum)

yang melebihi variasi gejala keseharian. 6

Tabel 2.2 Penilaian Eksaserbasi PPOK (catatan kesehatan) 6

 Derajat Keparahan PPOK berdasarkan tingkat pembatasan aliran napas


 Lamanya perburukan atau simptom baru
 Jumlah episode sebelumnya (keseluruhan/perawatan)
 Komorbiditas
 Regimen perawatan saat ini
 Penggunaan ventilator mekanik sebelumnya

Tabel 2.3 Penilaian Eksaserbasi PPOK (Tanda-tanda keparahan) 6

 Penggunaan otot pernapasan tambahan


 Gerakan dinding dada paradoks
 Perburukan atau onset baru sianosis sentral
 Timbulnya edema perifer
 Ketidakstabilan hemodinamika
 Perburukan status mental

Pemeriksaan Penunjang

Spirometri adalah alat pengukur keterbatasan aliran udara di saluran

pernapasan yang non-invasif dan paling reproducibel. Spirometri harus dapat

24
mengukur volume udara yang dihembuskan secara paksa sesudah inspirasi

maksimal (kapasitas vital paksa/FVC) dan volume udara yang dihembuskan

selama detik pertama manuver ini (volume ekspirasi paksa dalam satu detik,

FEV1), dan rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC) harus dihitung. 11

Tes berikut yang perlu dipertimbangkan untuk menilai beratnya eksaserbasi 6

- Pulse oxymetri berguna untuk menyesuaikan terapi suplemen oksigen.

Penilaian AGD penting jika ditemukantanda akut ( PaO2 < 8.0 kPa

(60mmHg) dengan atau tanpa PaCo2 > 6.7 kPa (50 mmHg) pada

konsentrasi udara ruangan. Pemeriksaan AGD ini harus dilakukan sebelum

tindakan ventilasi mekanik

- Foto toraks berguna dalam menyingkirkan diganosis alternatif

- EKG membantu dalam mendiagnosis problem kardiak yang menyertai

- Pemeriksaan darah lengkap dapat mengidentifikasi adanya leukositosis

- Sputum purulen selama eksaserbasi cukup sebagai indikasi terapi

antibiotik empirik. Haemophilus influenza, moraxella catharrhalis, S.

pneumoniae merupakan mikroorganisme yang sering ditemukan pada

eksaserbasi.

- Tes abnormalitas biokimia termasuk gangguan elektrolit dan

hiperglikemia bisa berhubungan dengan eksaserbasi.

25
3.6 Klasifikasi PPOK
Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan tingkat keparahan
keterbatasan aliran udara, dampak penyakit pada status kesehatan pasien dan
risiko kejadian dimasa depan (seperti eksaserbasi, perawatan diruah sakit dan
kematian), serta sebagai patokan untuk memberikan terapi 4

26
27
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga, antara lain : 4
1. Tipe I (eksaserbasi berat), terdapat peningkatan gejala sesak nafas,
peningkatan produksi sputum, dan peningkatan purulensi sputum
2. Tipe II (eksaserbasi sedang) hanya memiliki 2 gejala diatas
3. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan
infeksi saluran nafas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernafasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

3.7 Diagnosis Banding

Berbagai hal yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik

pasien PPOK banyak yang mirip dengan kondisi panyakit repiratori lainnya,

seperti pada penyakit asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis dan lain-lain.

Dengan demikian pemeriksaan harus dilakukan secara seksama untuk

28
12
membedakan penyakit tersebut. Setiap penyakit mempunyai ciri-ciri tersendiri,

tetapi ciri-ciri tersebut bukanlah penentu absolut, misalnya ada seorang pasien

PPOK yang tidak merokok, tetapi mungkin ada faktor risiko lain yang sangat

berpengaruh selain merokok (misalnya paparan asap ketika memasak dengan kayu

di dalam rumah yang ventilasinya sangat minim. Selain itu, asma misalnya, lazim

ditemui pada masa kanak-kanak, tetapi dapat juga terjadi pada orang dewasa,

bahkan orang tua.11

Tabel 2.5 PPOK dan diagnosis banding4


Diagnosis Gambaran klinis
PPOK 1. Onset pada usia pertengahan
2. Gejala semakin progresif
3. Terdapat riwayat merokok atau terpajan oleh
polusi yang berbahaya.
Asma 1. Onset pada awal usia dini
2. Gejala bervariasi dari hari ke hari
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Gagal jantung 1. Ronki halus di basal paru
kongesti 2. Foto thorak memperlihatkan pembesaran
jantung, edema paru
3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus

29
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
Panbronkiolitis 1. Dominan pada keturunan etnis asia
difuse 2. Umumnya laki-laki, riwayat sinusitis kronis

Berikut perbedaan klinis dan hasil pemeriksaan spirometri pada PPOK, asma

bronkial dan gagal4

3.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan PPOK adalah semaksimal mungkin


mengurangi gejala (menghilangkan gejala, memperbaiki toleransi latihan,
memperbaiki kualitas hidup) dan mengurangi risiko (mencegah progresifitas
penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mengurangi kematian).
Penatalaksanaan PPOK stabil secara umum meliputi : edukasi, program berhenti
merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, dan nutrisi. 12

30
Tujuan tatalaksana PPOK eksaserbasi akut adalah untuk meminimalisir
akibat eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadi eksaserbasi berikutnya.
Tabel berikut memperlihatkan indikasi dilakukan perawatan inap pada penderita
eksaserbasi PPOK 13

Tabel 2.7 Indikasi Perawatan di Rumah Sakit

 Peningkatan yang nyata dari intensitas gejala seperti terjadinya sesak


napas mendadak saat istirahat
 PPOK berat
 Onset baru tanda fisik (sianosis, edema perifer)
 Kegagalan respon terhadap terapi medikal inisial
 Adanya komorbid yang serius (gagal jantung atau aritmia baru)
 Eksaserbasi sering
 Usia tua
 Support di rumah yang tidak cukup

Terapi untuk PPOK Stabil dan Eksaserbasi


Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, menurunkan
frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta memperbaiki toleransi terhadap
latihan fisik dan status kesehatanTiga kelas obat yang biasa digunakan untuk
eksaserbasi pada PPOK adalah bronkodilator, kortikosteroid dan antibiotik. 3,4,6

31
32
Tabel 2.8 Tatalaksana PPOK eksaserbasi akut berat namun tidak
mengancam nyawa

33
Tentukan beratnya gejala, periksa AGD, foto toraks
Berikan suplemen oksigen dan periksa AGD serial
Bronkodilator :
Tingkatkan dosis dan atau frekuensi short-acting broncodilator
Kombinasi short acting broncodilator dan anticolinergic
Gunakan nebulizer
Tambahkan kortokosteroid oral atau intravena
Pertimbangkan antibiotik (jika ada tanda infeksi bakteri)
Pertimbangkan non invasive ventilasi mekanik
Dari keseluruhan :
Monitor keseimbangan cairan dan nutrisi
Pertimbangkan heparin subkutan atau LMWH
Identifikasi dan terapi kondisi yang berhubungan (gagal jantung, aritmia)
Monitor ketat kondisi pasien

Short-acting Broncodilator
Short acting ß2 agonist inhalasi dengan atau tanpa short acting
antikolinergik biasanya merupakan bronkodilator pilihan untuk terapi eksaserbasi.
Methyl-xantine intravena (Teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai pilihan
kedua, hanya digunakan pada kasus tertentu jika respon terhadap short acting
bronkodilator tidak cukup. 6
Pada GOLD 2017 LABA/LAMA baik tunggal maupun kombinasi lebih
direkomendasikan untuk terapi awal pada sebagian besar grup PPOK stabil.
Penggunaan ICS dibatasi hanya untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi
walaupun sudah diterapi adekuat dengan LABA/LAMA. Pembatasan penggunaan
ICS dilakukan dengan pertimbangan antara risiko dan keuntungannya. Pada
penelitian WISDOM menunjukaan bahwa LAMA+LABA dibandingkan dengan
LAMA+LABA+ICS sebanding dalam mengurangi risiko eksaserbasi sedang
hingga berat pada pasien PPOK berat/sangat berat dengan riwayat eksaserbasi.
Pada studi WISDOM juga menunjukan bahwa ICS dapat memberikan manfaat
tambahan hanya kepada pasien dengan karakteristik berikut : PPOK berat/sangat
berat, riwayat eksaserbasi ≥ dua kali pertahun, dan jumlah eosinofil darah ≥ 300
sel/μl 4

34
Kortikosteroid
Data dari penelitian secondary health care mengindikasikan bahwa
kortikosteroid pada PPOK eksaserbasi akut memperpendek waktu penyembuhan,
memperbaiki fungsi paru , dan hipoksia arterial, serta mengurangi risiko relaps,
kegagalan terapi dan panjangnya waktu perawatan di RS. Dosis 30-40 mg
prednisolone perhari untuk 10-14 hari direkomendasikan. Nebulisasi budesonide
bisa sebagai alternatif. 12

Antibiotik
Antibiotik harus diberikan pada pasien dengan PPOK eksaserbasi akut
yang memiliki 3 gejala kardinal : sesak napas yang makin bertambah, jumlah
sputum meningkat, dan sputum purulen. Mempunyai 2 gejala kardinal, jika
peningkatan sputum purulen merupakan salah satu dari 2 gejala atau memerlukan
ventilasi mekanik. Waktu pemberian antibiotik yang direkomendasikan adalah 5-
10 hari. 12
Pilihan antibiotik harus berdasarkan gambaran resistensi bakterial lokal.
Biasanaya terapi empirik inisial adalah aminopenisilin dengan atau tanpa asam
klavulanat, makrolid atau tetrasiklin. Rute pemberian antibiotik (oral atau
intravena) tergantung pada kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik
obat. 10

35
36
Terapi non Farmakologis
Oksigen terapi
Hal ini merupakan komponen kunci dari terapi eksaserbasi di rumah sakit.
Suplemen oksigen harus dititrasi untuk memperbaiki gejala hipoksemia dengan
target saturasi 88-92%. Ketika oksigen diberikan, AGD harus diperiksakan 30-60
menit berikutnya untuk memastikan kecukupan oksigen tanpa retensi
karbondioksida atau asidosis. 12

Support ventilasi
Ventilator support pada kondisi eksaserbasi bisa berupa non invasif (nasal
atau face mask) atau invasif (oro tracheal tube atau tracheostomy). 6
Tabel 2.9 Indikasi Perawatan ICU 13

 Sesak napas berat dengan respon yang tidak adekuat terhadap terapi inisial
emergensi
 Perubahan status mental (confusion, letargi, koma)
 Hipoksemia persisten atau memburuk (PaO2 < 40 mmHg) dan atau
perburukan atau asidosis respirasi berat (Ph < 7,25) meskipun dengan
suplemen oksigen dan ventilasi non invasif
 Membutuhkan ventilasi mekanik invasive
 Hemodinamik tidak stabil

Ventilasi mekanik Non Invasiv


Ventilasi mekanik Non Invasiv (INV) memperbaiki asidosis respirasi dan
menurunkan respiratory rate, sesak napas, komplikasi seperti VAP, dan waktu
perawatan di RS. 6

Tabel 2.10 Indikasi Ventilasi Mekanik Non Invasiv

37
 Sekurang-kurangnya satu dari hal berikut :
 Asidosis respirasi (Ph arteri < 7,35 atau PaCo2 > 45 mmHg
 Sesak napas berat dengan tanda klinis kemungkinan respiratory muscle
fatique, peningkatan usaha napas atau keduanya, seperti penggunaan otot
pernapasan tambahan, pergerakan paradox dari abdomen, atau retraksi
interkostal

Tabel 2.11 Indikasi Ventilasi Mekanik Invasiv


 Tidak bisa mentoleransi NIV atau kegagalan NIV
 Respiratori atau cardiac arrest
 Henti napas dengan kehilangan kesadaran
 Berkurangnya kesadaran, agitasi psikomotor yang tidak bisa dikontrol
dengan sedasi
 Aspirasi massif
 Ketidakmampuan persisten dalam membersihkan sekresi respirasi
 HR<50 x/menit dengan kehilangan kesadaran
 Hemodinamik tidak stabil berat tanpa respons terhadap cairan dan obat
vasoaktif
 Aritmia ventrikel yang berat
 Hipoksemia mengancam jiwa yang tidak bisa di toleransi oleh NIV
Hospital discharge dan follow up
Tabel 2.12 Kriteria Pulang Dari Rumah Sakit 6
 Bisa menggunakan long acting bronkodilator, baik ß2 agonis dan atau
antikolinergik dengan atau tanpa kortikosteroid inhalasi
 Terapi short acting ß2 agonis diperlukan tidak lebih dari 4 jam
 Pasien bisa berjalan melintasi ruangan
 Pasien bisa makan dan tidur tanpa sering bangun karena sesak napas
 Pasien secara klinis stabil untuk 12-24 jam
 AGD stabil dalam waktu 12-24 jam

Pencegahan Eksaserbasi Pada PPOK

38
PPOK eksaserbasi bisa dicegah. Berhenti merokok, vaksinasi influenza
dan pneumokokus, pengetahuan mengenai terapi terbaru termasuk teknik inhalasi
dan terapi dengan long acting broncodilator inhalasi dengan atau tanpa
kortikosteroid inhalasi untuk mengurangi sejumlah eksaserbasi perawatan di
rumah sakit.2

3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 10

39
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :


Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah. 10
Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan 10

BAB IV

40
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki usia 69 tahun datang ke IGD RS Bhayangkara Polda


Pekanbaru pada tanggal 17 Juni 2019. Pada kasus ini diambil beberapa
pembahasan :
Diagnosis pada kasus ini adalah PPOK eksaserbasi akut. Dari anamnesa diketahui
pasien dengan keluhan sesak nafas semakin meningkat sejak 3 hari sebelum
masuk rumah sakit. Sesak semakin dirasakan saat beraktifitas. Riwayat sesak
dialami sudah 5 tahun terakhir. Sesak dirasakan hilang timbul dan berulang. Sesak
juga disertai batuk berdahak. Batuk berdahak berwarna putih kental yang terasa
semakin kuat dari 3 hari yang lalu. Pasien memiliki riwayat merokok sejak usia 11
tahun dan dapat menghabiskan 2 bungkus rokok dalam sehari. Oleh karena itu,
diapatkan perhitungan Indeks Brinkman pada pasien ini adalah 700 yang termasuk
dalam kategori berat. Kebisaan merokok yang kronis menyebabkan saluran
pernapasan mengalami kerusakan jaringan dan inflamasi di paru.
Dari pemeriksaan fisik paru didapatkan pursed lip breathing
(menghembuskan nafas melalui bibir yang mengerut) ,sela iga melebar,retraksi
dinding dada akibat terjadi hasil hiperinflasi paru, RR 26 x/i, hipersonor pada
lapangan paru kanan, wheezing (+/+) dan ronki basah (+/+). Pada pemeriksaan
penunjang rontgen toraks didapatkan corakan bronkovaskular meningkat, bercak
berawan pada paru kanan lobus inferior, sela iga melebar. Hal ini memperkuat
diagnosis PPOK pada pasien ini.
Pada PPOK eksaserbasi akut ditemukan gejala berupa sesak bertambah,
produksi sputum meningkat dan perubahan warna sputum (sputum menjadi
purulen). Pada kasus ditemukan 3 gejala tersebut.
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi dan mencegah terjadinya gagal napas. Terapi oksigen yang adekuat,
pemberian obat-obatan bronkodilator, kortikosteroid dan antibiotik.
Penatalaksanaan pada kasus ini sesuai dengan prinsip penatalaksanaan PPOK
eksaserbasi akut.

41
DAFTAR PUSTAKA

1. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institutes.

2010. Global Iniatiative for Chronic Obstructive Lung Disease.

NHLBI/WHO.

2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. Diagnosis dan

Penatalaksaan PPOK. Edisi 2006, Penerbit Universitas Indonesia.

3. A.S. Oliveira, J. Munha, A. Bugalho, M. Guimaraes, G. Reis, A. Marques.

2018. Identification and assessment of COPD exacerbations.

Pulmonology. Pulmonol;24(1):42-47. Portugal.

4. GOLD. 2019. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease.

Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of

Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

5. Kemenkes RI. 2012. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif

Kronik. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

6. B. Setyohadi, S. Nasution, M. P. Arsana. Kegawatdaruratan Penyakit

Dalam. Dalam : Buku 2 Eimed Dasar. FK Univerisitas Brawijaya, 2019 :

156-160

7. Devi, Y. P. (2016). Gambaran Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik

(PPOK) Eksaserbasi Akut yang Dirawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil

Padang Periode 1 Januari 2013-31 Desember 2014 (Doctoral dissertation,

Universitas Andalas).

8. M. Tyler, M. M. David, M. Elisha, T. M. Byron, W. John, S. A. Robert, S.

K. James. 2015. Characteristics of Chronic Obstructive Pulmonary

42
Disease (COPD) Patients Reporting Alpha-1 Antitrypsin Deficiency in the

WebMD Lung Health Check Database. Journal of the COPD Foundation.

Washington, D.C.

9. S. Y. Arto, S. Hendarsyah. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Ina J

Chest Crit and Emerg Med Vol. 1, No. 2. RS Dr Hasan Sadikin – FK

Unpad. Bandung.

10. A. S. Price, M. L. Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit, Edisi Ke-6. Jakarta: EGC.

11. J. M. Wibisono, Winariani, S. Hariadi. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.

Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya, 2010: 37-51.

12. B.R. Cell, W. Macnee , and committee members. Standars for diagnosis

and treatment of patient with COPD : a summary of ATS/ERS paper, Eur

Respir J 2004;23: 932-946

43

Anda mungkin juga menyukai