Anda di halaman 1dari 16

Referensi Literatur

MANAJEMEN GAGAL NAPAS PADA COVID-19

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Stase Anestesi

Disusun Oleh :

Dinabestika Roidani

G992003043

Pembimbing :

dr. Andy Nugroho, Sp.An., M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK STASE ANESTESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIF

PROGRAM PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNS

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Coronavirus disease 2019 atau sering disebut sebagai COVID-19


merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus baru yakni Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2 pertama kali
ditemukan saat Tiongkok melaporkan kasus pneumonia misterius yang tidak
diketahui penyebabnya pada 31 Desember 2019. Sampel isolat dari pasien
menunjukkan infeksi coronavirus, jenis betacoronavirus tipe baru, yang awalnya
diberi nama 2019 novel Coronavirus (2019-nCoV) sebelum WHO memberi nama
menjadi SARS-CoV-2 per tanggal 11 Februari 2020 (PDPI, 2020).

Menurut data Kemenkes RI, hingga 25 Maret 2020 192 negara/wilayah


melapurkan adanya kasus dengan total kasus terkonfirmasi sejumlah 414.179 dan
terdapat 18.440 kematian (CFR4,4%) dimana Indonesia melaporkan 790 kasus
konfirmasi. Sedangkan pada dataInfeksi Emerging Kemenkes per tanggal 26 April
2020 terdapat 2.719.897 kasus konfirmasi secara global dengan kematian
sejumlah 187.705 (CFR 6,9%) pada 213 negara terdampak, termasuk Indonesia
dengan 8.882 kasus 743 kematian, CFR 8,4% (Kemenkes, 2020).

Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 diantaranya adalah gejala


gangguan pernapasan akut seperti batuk, demam, dan sesak napas. Masa inkubasi
rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Namun, pada kasus
yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal,
hingga kematian. Tanda gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus
adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, serta hasil
rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru (Kemenkes. 2020).

Kasus COVID-19 yang berat mengalami perburukan secara cepat dan


progresif, seperti acute respiratory distress syndrome (ARDS), syok septik,
asidosis metabolik yang sulit dikoreksi, dan perdarahan atau disfungi sistem
koagulasi dalam beberapa hari (PDPI, 2020). Keadaan yang berat ini dapat
berakibat gagal napas pada pasien COVID-19, sehingga manajemen gagal napas
pada pasien COVID-19 menjadi sangat penting untuk mengurangi angka kematian
akibat COVID-19. Referensi literatur ini disusun untuk menambah wawasan
tenaga medis mengenai manajemen gagal napas pada COVID-19.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan WHO-China Joint Mission terhadap 55.924 kasus terkonfirmasi di


China, 6.1% diklasifikasikan ke dalam kategori kritis dengan manifestasi berupa
gagal napas, syok, dan kegagalan atau disfungsi organ multipel sedangkan 13,8%
diklasifikasikan dalam kategori berat dengan manifestasi berupa dispnea, laju
napas ≥ 30 kali per menit, saturasi oksigen ≤93%, rasio PaO2/FiO2 <300 mmHg,
dan peningkatan infiltrat pru >50% dalam 24 hingga 48 jam. Gagal napas akut
hipoksemia – yang dapat disertai hiperkapnia – dari acute respiratory distress
syndrome (ARDS) merupakan komplikasi terbanyak yakni 60-70% dari pasien
ICU, disusul dengan syok (30%), disfungsi miokard (20-30%), dan gangguan
ginjal akut (10-30%). Pada pasien geriatri, dapat terjadi keadaan hipoksemia tanpa
distress pernapasan. Dalam studi yang sama dilaporkan 53% kematian terjadi
terkait dengan kegagalan pernapasan, 7% terkait syok, 33% terkait keduanya, dan
7% lainnya karena mekanisme yang belum diketahui (Phua et al., 2020).

Pengenalan dini dan rujukan pasien dengan perburukan fungsi pernapasan


pada terapi oksigen konvensional seperti simple face masks atau masker dengan
kantong reservoir penting untuk memastikan bantuan pernapasan yang aman dan
tepat waktu. Optimalisasi perawatan dan perawatan ICU direkomendasikan pada
pasien (ANZICS, 2020).

Terapi yang dapat dipertimbangkan dalam manajemen gagal napas pada


Covid-19 adalah sebagai berikut :

1. Suplementasi oksigen
Pasien dengan severe acute respiratory infection (SARI), distress
pernapasan, hipoksemia, atau syok perlu diberikan terapi oksigen
segera dengan terapi oksigen pertama sekitar 5L/menit dengan target
SpO2 ≥ 90% pada pasien tidak hamil dan ≥ 92-95% pada pasien
hamil. Pada pasien anak dengan tanda gawat harus diberikan terapi
oksigen selama resusitasi dengan target SpO2 ≥ 94%, jika tidak
dalam kondisi gawat target SpO2 ≥ 90%. Tanda gawat tersebut
meliputi tidak ada napas atau obstruksi, sianosis sentral, distress
pernapasan berat, syok, kejang, dan koma (PDPI, 2020).
2. Pengenalan gagal napas hipoksemi pada pasien distress pernapasan
yang mengalami kegagalan terapi oksigen standar
Gagal napas hipoksemi pada ARDS terjadi karena tidak sesuainya
ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan, biasanya membutuhkan
ventilasi mekanik karena dengan pemberian oksigen sungkup tutup
muka dengan kantong reservoir (10 – 15 L/menit, aliran minimal
yang dibutuhkan untuk mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60
dan 0,90) tetap mengalami peningkatan kerja napas atau hipoksemi
(Kemenkes, 2020).
3. Oksigen nasal aliran tinggi (High flow nasal oxygen / HFNO)
Menurut ANZICS, 2020 HFNO merupakan terapi yang
direkomendasikan untuk hipoksia pada COVID-19 selama tenaga
medis menggunakan alat pelindung diri airborne yang optimal
dengan ruangan bertekanan negatif.
Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan
FiO2 sampai 1,0. HFNO dapat mengurangi kebutuhan akan tindakan
intubasi bila dibandingkan dengan terapi oksigen standar. Namun,
pada pasien dengan hiperkapnia (edema paru kardiogenik,
eksaserbasi PPOK), penurunan kesadaran, kegagalan multi organ,
dan ketidakstabilan hemodinamik seharusnya tidak menggunakan
HFNO meskipun data terbaru menyatakan HFNO mungkin aman
pada pasien hiperkapia ringan-sedang tanpa perburukan (Kemenkes,
2020).
Pasien dengan HFNO harus dipantau oleh petugas yang terlatih
melakukan intubasi endotrakeal sebab bila pasien megalami
perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan dalam 1 jam
maka dilakukan intubasi segera (Kemenkes, 2020). HFNO dapat
menurunkan angka intubasi tanpa memengaruhi mortalitas pada
gagal napas hipoksemia akut, akan tetapi delayed intubation karena
penggunaan HFNO dapat meningkatkan mortalitas pasien (Phua et
al., 2020)
4. Ventilasi non-invasif (Non-invasive ventilation/NIV)
Penggunaan NIV secara rutin tidak direkomendasikan karena NIV
pada gagal pernapasan hipoksia Covid-19 berkaitan dengan angka
kegagalan yang tinggi, keterlambatan intubasi, kemungkinan
peningkatan proses aerosolisasi, volume tidal yang besar, dan injuri
parenkim paru akibat barotrauma. Pasien dengan ketidakstabilan
hemodinamik, kegagalan multi organ, dan penurunan kesadaran
tidak dapat menggunakan NIV. Selain itu, pasien dengan NIV atau
CPAP menunjukkan tanda klinis usaha inspirasi yang berlebih,
sehingga intubasi diprioritaskan untuk mencegah tekanan negatif
intratoraks yang berlebih dan cedera paru. Pasien yang mengalami
perburukan atau tidak mengalami perbaikan dalam 1 jam harus
segera dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik invasif.
Ruangan bertekanan negatif lebih diutamakan pada pasien yang
menerima terapi NIV. Publikasi menunjukkan HFNO dan NIV
dengan interface sesuai wajah sehingga tidak ada kebocoran
mengurangi risiko transmisi airborne. Pasien dengan terapi NIV ini
sudah ditentukan rencana bila terjadi kegagalan terapi. (ANZICS,
2020; Kemenkes, 2020; Gattinoni, 2020).
5. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan oleh petugas terlatih dan
berpengalaman. Pasien dapat mengalami desaturasi dengan cepat
selama intubasi sehingga dilakukan pre-oksigenasi sebelum intubasi
dengan FiO2 100% selama 5 menit melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV, dan kemudian
dilanjut dengan intubasi. Rapid sequence intubation perlu dilakukan
segera setelah penilaian jalan napas tidak ada kesulitan intubasi
(WHO, 2020; Kemenkes, 2020). Penggunaan laringoskop secara
direk dihindari, bila memungkinkan maka laringoskopi dengan video
dapat digunakan (Jamil et al., 2020).
Intubasi pada pasien Covid-19 dapat meningkatkan transmisi virus
pada tenaga medis sehingga pelatihan intubasi sangat penting.
Intubasi dilakukan oleh operator yang paling terampil dengan APD
lengkap dan persiapan untuk kesulitan airway. Jumlah asisten
dibatasi untuk mengurangi paparan. Ventilasi dengan bagmask yang
menghasilkan aerosol harus diminimalkan dengan pre-oksigenasi,
filter virus dapat ditempatkan di antara katup pernapasan dan
masker. Rapiq sequence induction dengan relaksan otot dilakukan
untuk mengurangi batuk. Suction tertutup pada post-intubasi dapat
menurunkan terjadinya aerosolisasi (Phua et al., 2020).
Pada pasien Covid-19 dengan gagal napas hipoksemia, pengambilan
keputusan untuk melakukan intubasi sangat penting. The Chinese
Society of Anesthesiology Task Force on Airway Management
mempublikasikan rekomendasi intubasi endotrakeal pada pasien
dengan :
a. Tanpa perbaikan distress pernapasan
b. Takipnea (laju napas > 30 kali per menit)
c. Oksigenasi yang buruk PaO2/FiO2 <150 mmHg setelah HFNO
atau NIV selama 2 jam
d. Kriteria tambahan berupa SpO2 < 93% dalam udara ruangan dan
PaO2/FiO2 < 300 mmHg bertujuan untuk memfasilitasi persiapan
intubasi untuk mencegah intubasi yang tidak siap yang dapat
meningkatkan risiko seperti infeksi silang (Meng et al., 2020)
Kriteria intubasi pada ruangan non-operasi selama wabah Covid-19
dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1. Kriteria Intubasi pada Ruangan Non-Operasi selama
Wabah Covid-19 (Meng et al., 2020).
Persiapan intubasi dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya
infeksi silang dan dapat meningkatkan keberhasilan intubasi.
Perisapan intubasi pada pasien Covid-19 dapat dilihat pada gambar
2.2 sebagai berikut.

Gambar 2.2. Persiapan Intubasi pada Covid-19 (Meng et al., 2020).


6. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik dengan volume tidal rendah (4-8 ml/kg prediksi
berat badan, predicted body weight/PBW) dan tekanan inspirasi
rendah (tekanan plateau <30 cm H2O) sangat direkomendasikan
untuk pasien ARDS dan disarankan pada pasien gagal napas akibat
sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS. Inisiasi volume tidal
yakni 6 ml/kg PBW, volume tidal hingga 8 ml/kg PBW
diperbolehkan jika efek samping yang tidak diinginkan terjadi
seperti disinkroni, pH<7,15. Hiperkapnia diperbolehkan jika pH
7,30-7,45. Pada pasien anak, target tekanan plateau lebih rendah
(<28 cm H2O) dan target pH yang lebih rendah (7,15-7,30). Volume
tidal disesuaikan dengan keparahan penyakit, 3-6 ml/kg PBW pada
komplians sistem respirasi yang rendah, dan 5-8 ml/kg PBW pada
komplians yang lebih baik (WHO, 2020)
a. Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60],
wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci) – 60]
b. Pilih mode ventilasi mekanik
c. Atur ventilasi mekanik untuk mencapai volume tidal awal (8
ml/kg PBW)
d. Kurangi volume tidal awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu
≤ 2 jam sampai mencapai volume tidal 6 ml/kg PBW
e. Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih
dari 35 kali/menit)
f. Atur volume tidal dan laju napas untuk mencapai target pH dan
tekanan plateau (Kemenkes, 2020)

Protokol ventilasi mekanik harus tersedia. Sedasi dapat digunakan


untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal
(Kemenkes, 2020). Pencegahan cedera paru karena ventilator saat
pertukaran gas menjadi fokus dalam ventilasi mekanik pasien Covid-
19 (Phua et al., 2020)

Pelepasan ventilator mekanik dari pasien dihindari karena dapat


menyebabkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Apabila perlu
dilakukan suctioning, in-line catheter dapat digunakan serta jika
ventilator perlu dilepas misalnya memindahkan ke ventilator
transport, maka klem pipa endotrakeal dapat digunakan (WHO,
2020; PDPI, 2020).
Terapi PEEP (positive end expiratory pressure) yang lebih tinggi
(>15 cm H2O) lebih disarankan dibandingkan dengan PEEP yang
lebih rendah. Titrasi PEEP membutuhkan pertimbangan antara
manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen
alveolar) dengan risiko (overdistensi yang menyebabkan cederaparu
dan resistensi vaskular paru yang meningkat) yang ditimbulkan
(PDPI, 2020). Selain itu, PEEP yang tinggi pada paru dengan
rekrutmen buruk, dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik
yang berat dan retensi cairan (Gattinoni, 2020).
Recruitment manouevres (RMs) dilakukan secara berkala dengan
CPAP (continous positive airway pressure) 30-40 cm H2O.
Peningkatan PEEP dilakukan dengan pertimbangan manfaat dan
risiko. Monitoring pasien dilakukan untuk mengidentifikasi pasien
yang merespon terhadap PEEP yang lebih tinggi, atau protokol RM
yang berbeda, dan menghentikan intervensi ini pada pasien yang
tidak merespon terapi (WHO, 2020).
Pasien dengan gagal napas hipoksemia karena Covid-19 di Wuhan
memiliki toleransi yang buruk terhadap PEEP tinggi karena adanya
kerusakan paru secara langsung dan berat oleh virus dan reaksi
inflamasi. Praktik yang digunakan adalah setelah recruitment
manuevers, yakni mengatur PEEP pada 20 cm H2O dan dititrasi
turun 2-3 cm H2O setiap beberapa waktu hingga mencapai target
oksigenasi, tekanan plateau, dan komplians tercapai. Terdapat
literatur yang menyebutkan bahwa ventilasi dengan oscillator
frekuensi tinggi dapat menjadi opsi untuk injuri paru karena virus
(Meng et al., 2020).
Pembebasan dari ventilasi mekanik harus mengikuti protokol
penyapihan standar. HFNO dan/atau NIV dapat dianggap sebagai
terapi penghubung paska ekstubasi, tetapi harus dilengkapi dengan
APD udara yang ketat (ANZICS, 2020).
7. Blokade neuromuskular (Neuromuscular blockade / NMB)
Blokade neuromuskular dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
hipoksia atau hiperkapnia yang memburuk dan pada keadaan dimana
pernapasan pasien tidak dapat diatur dengan sedasi saja yang
berakibat pada disinkroni ventilator dan kerusakan paru (ANZICS,
2020). Namun, blokade neuromuskular melalui infus secara
kontinyu tidak disarankan untuk rutin dilakukan (PDPI, 2020). Pada
pasien ARDS sedang-berat tidak dianjurkan secara rutin
menggunakan obat pelumpuh otot (Kemenkes, 2020).
Penelitian menunjukkan strategi ini meningkatkan kelangsungan
hidup pasien dewasa dengan ARDS berat tanpa menyebabkan
kelemahan yang signifikan. Namun pada hasil uji coba terbaru,
blokade neuromuskular dengan PEEP tinggi tidak terkait dengan
peningkatan kelangsungan hidup bila dibandingkan dengan sedasi
ringan tanpa blokade neuromuskular (WHO, 2020).
8. Prone positioning
Prone ventilation efektif untuk memperbaiki keadaan hipoksia pada
Covid-19. Strategi ini dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan
dengan APD yang memadai untuk tenaga kesehatan dan dapat
meminimalisir risiko kejadian yang tidak diharapkan seperti
ekstubasi secara tidak sengaja (ANZICS, 2020). Posisi pronasi ini
juga dapat menurunkan angka mortalitas pada pasien dengan ARDS
berat (Phua et al., 2020). Pada pasien ARDS berat, prone ventilation
direkomendasikan selama 12-16 jam per hari (WHO, 2020).
Posisi pronasi seharusnya dilakukan pada tingkat awal penyakit,
bukan sebagai upaya akhir, karena posisi pronasi terbukti dapat
menurunkan angka mortalitas pada pasien Covid-19 (Meng et al.,
2020).
Gambar 2.3. Posisi Pronasi pada Covid-19. (A) Pasien dengan
intubasi posisi pronasi (B) Pasien dengan intubasi dan ECMO posisi
pronasi (Meng et al., 2020).
9. Manajemen cairan
Strategi manajemen cairan restriktif direkomendasikan dengan
tujuan mengurangi cairan paru eksravaskular. Bila memungkinkan
hindari cairan inravena rumatan, nutrisi enteral volume tinggi, dan
bolus cairan untuk hipotensi (ANZICS, 2020). Selain itu, strategi ini
direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan
ventilator (Kemenkes, 2020).
10. Suctioning
Suction dengan kaeter inline tertutup direkomendasikan untuk
menghindari pelepasan ventilator dari pasien. Bila diperlukan,
dilakukan klem pipa endotrakeal dan menonaktifkan ventilator untuk
mencegah aerosolisasi (ANZICS, 2020).
11. Trakeostomi
Trakeostomi merupakan prosedur aerosolisasi dan harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan klinis. APD yang
optimal diperlukan setiap saat (ANZICS, 2020).
12. Nebulisasi
Penggunaan nebulizer tidak direkomendasikan, dan penggunaan
inhaler dengan dosis terukur lebih dipreferensikan jika
memungkinkan (ANZICS, 2020).
13. Extracorporeal life support (ECLS)
Pada fasyankes yang memiliki ECLS, dapat dipertimbangkan
penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemia
refrakter meskipun sudah mendapat lung protective ventilation
(Kemenkes, 2020).
Venovenous extracorporeal membrane oxygenation (VV-ECMO)
tidak direkomendasikan. Laporan terbaru menunjukkan pasien
Covid-19 merespon baik terhadap strategi ventilator. Pemilihan
pasien untuk penggunaan VV-ECMO pada gagal napas berat harus
diterapkan dan didiskusikan dengan spesialis ECMO terlebih dahulu
dengan pemberian ECLS di pusat ahli dengan keahlian dan
pengalaman yang cukup (ANZICS, 2020). ECMO dapat
dipertimbangkan, tetapi hal ini berkaitan dengan angka mortalitas
yang tinggi (Jamil et al., 2020). Dalam Phua et al., 2020 dari 28
pasien yang menerima ECMO, 14 meninggal, 9 masih dalam terapi
ECMO, dan 5 berhasil diterapi.
14. Inhalasi nitrit oksida dan prostasiklin
Tidak terdapat bukti untuk penggunaan rutin inhalasi nitrit oksida,
prostasiklin, atau vasodilator paru selektif lainnya pada gagal napas
akut. Namun, selama wabah penyakit menular ketika sumber daya
habis, inhalasi nitrit oksida dan prostasiklin dapat dianggap sebagai
tindakan sementara ketika pasien mengalami hipoksemia refrakter
pada prone ventilation atau adanya kontraindikasi prone ventilation
atau ECMO (ANZICS, 2020).

Manajemen klinis pasien kritis pada Covid-19 dapat dilihat pada gambar 2.2
sebagai berikut.
Pasien Kritis Covid-19

Gagal Napas Akut ARDS Manajemen Perawatan Intensif


lainnya

Suplementasi Oksigen Treshold rendah untuk intubasi jika Kultur darah; pertimbangkan
NIV atau HFNO digunakan pada ARDS antibiotik empirik dan inhibitor
target ≥90%
ringan neuraminidase

Intubasi pada perburukan Operator berpengalaman dengan Ukur laktat; hati-hati cairan pada
gagal napas atau gagal multi- APD lengkap dan minimalisir hipovolemia; cek preload;
organ ventilasi dengan bagmask vasopressor/inotrop bila perlu

ARDS ringan; Limit volume tidal ≤ 6 ml/kg Cegah penggunaan rutin


PaO2/FiO2 ≤300 mmHg PBW, tekanan plateau ≤30 cm kortikosteroid; cegah transfer
H2O pasien yang tidak perlu;
pertimbangkan terapi
eksperimental dalam uji klinis
ARDS sedang; Positive end-expiratory
PaO2/FiO2 ≤200 mmHg pressure (PEEP) moderat atau
tinggi Terapi penggantian ginjal bila
berlu; sedasi ringan sesuai
protokol; nutrisi enteral dan kontrol
ARDS berat; Prone positioning, glikemik; terapi fisik; pencegahan
PaO2/FiO2 ≤100 mmHg pertimbangkan blokade infeksi nosokomial; profilaksis
neuromuskular dan ECMO trombosis vena dalam; profilaksis
ulkus; pembebasan ventilasi
mekanik

Gambar 2.4. Manajemen Pasien Kritis Covid-19


BAB III

KESIMPULAN

Pandemik Covid-19 merupakan sebuah tantangan besar yang belum pernah


terjadi sebelumnya. Peningkatan jumlah kasus dan angka mortalitas menunjukkan
bahwa pandemik ini harus menjadi perhatian khusus dunia. Meski upaya
pencegahan dan penundaan penyebaran Covid-19 terus ditingkatkan, dunia harus
bersiap untuk potensi besar lonjakan pasien. Kolaborasi di tingkat lokal, regional,
nasional, dan internasional dengan berfokus pada penelitian berkualitasn tinggi,
praktik berbasis bukti, dan integritas dalam menghadapi tantangan Covid-19 akan
menjadi kunci keberhasilan.

Manajemen untuk pasien Covid-19 masih terus dikembangkan, termasuk


manajemen gagal napas pasien Covid-19 mengingat mortalitas karena kejadian
gagal napas cukup tinggi. Peningkatan kualitas manajemen pasien Covid-19
diharapkan dapat menekan insidensi kasus dan angka mortalitas karena Covid-19.
DAFTAR PUSTAKA

Australian and New Zealand Intensive Care Society. 2020. ANZICS Covid-19
Guidelines. Melbourne : ANZICS.

Gattinoni, L., Coppola, S., Cressoni, M., Busana, M., & Chiumello, D. 2020.
Covid-19 does not lead to a “typical” acute respiratory distress
syndrome. American journal of respiratory and critical care medicine, (ja).

Infeksi Emerging Kementerian Kesehatan RI. 2020. Perkembangan COVID-19.


Diakses di https://infeksiemerging.kemkes.go.id/.

Jamil, S., Mark, N., Carlos, G., Dela Cruz, C. S., Gross, J. E., & Pasnick, S. 2020.
Diagnosis and Management of COVID-19 Disease. American Journal of
Respiratory and Critical Care Medicine, (ja).

Kementerian Kesehatan RI. 2020. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian


Coronavirus Disease (COVID-19). Jakarta: Kemenkes.

Meng, L., Qiu, H., Wan, L., Ai, Y., Xue, Z., Guo, Q., ... & Liu, H.. 2020.
Intubation and Ventilation amid the COVID-19 Outbreak Wuhan’s
Experience. Anesthesiology: The Journal of the American Society of
Anesthesiologists.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2020. Diagnosis dan Penatalaksanaan


Pneumonia COVID-19. Jakarta: PDPI.

Phua, J., Weng, L., Ling, L., Egi, M., Lim, C. M., Divatia, J. V., ... & Nishimura,
M. (2020). Intensive care management of coronavirus disease 2019 (COVID-
19): challenges and recommendations. The Lancet Respiratory Medicine.

World Health Organization. Clinical management of severe acute respiratory


infection when novel coronavirus (2019-nCoV) infection is suspected. interim
guidance. [Serial on The Internet]. Diakses pada 26 April 2020. Available on:
https://www.who.int/publications-detail/clinical-management-ofsevere-acute-
respiratory-infection-when-novel-coronavirus-(ncov)-infection-is-suspected.

Anda mungkin juga menyukai