Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

CEDERA KEPALA SEDANG (CKS) DENGAN EPIDURAL


HEMATOM

Oleh:
Herlinda Gustia Puteri, S.Ked
NIM 1408118773

Pembimbing:
dr. Gatot Aji Prihartomo, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


KSM ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Cedera Kepala Sedang

dengan Epidural Hematom”. Penulis menyusun laporan kasus ini sebagai sarana

untuk memahami bagaimana permasalahan yang berkaitan dengan cedera kepala agar

dapat melakukan penanganan yang tepat pada kasus ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Gatot Aji

Prihartomo, Sp.BS selaku pembimbing di KSM Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Riau serta pihak yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan

bahan sumber tulisan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan

masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu saran dan kritik yang

membangun sangat diharapkan penulis dari dokter pembimbing serta rekan-rekan

dokter muda demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini

membawa manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Februari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................ 3
DAFTAR GAMBAR............................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 5
1.1 Latar Belakang................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 6
2.1 Anatomi dan fisiologi kepala............................................. 6
2.1.1 Anatomi kepala....................................................... 6
2.1.2 Fisiologi kepala....................................................... 12
2.2 Cedera kepala................................................................... 14
2.2.1 Definisi dan epidemiologi....................................... 14
2.2.2 Klasifikasi............................................................... 14
2.2.3 Patomekanisme....................................................... 17
2.2.4 Perdarahan Ekstrakranial........................................ 18
2.2.5 Perdarahan Intrakranial........................................... 20
2.2.6 Tatalaksana............................................................. 26
2.2.7 Komplikasi.............................................................. 33
2.2.8 Prognosis................................................................ 34
BAB III LAPORAN KASUS................................................................. 35
3.1 Identitas............................................................................ 35
3.2 Primary survey................................................................. 35
3.3 Secondary survey............................................................. 36
3.4 Pemeriksaan fisik............................................................. 37
3.5 Pemeriksaan penunjang................................................... 39
3.6 Diagnosis......................................................................... 40
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 43

3
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi kulit kepala.......................................................... 6

Gambar 2.2 Anatomi tulang tengkorak................................................. 7

Gambar 2.3 Anatomi meningens........................................................... 9

Gambar 2.4 Sistem ventrikel................................................................. 11

Gambar 2.5 Vaskularisasi otak.............................................................. 11

Gambar 2.6 Doktrin Monroe-Kellie...................................................... 13

Gambar 2.7 Coup dan Countrecoup...................................................... 18

Gambar 2.8 EDH................................................................................... 20

Gambar 2.9 EDH................................................................................... 23

Gambar 2.10 SDH................................................................................... 23

Gambar 2.11 SDH................................................................................... 24

Gambar 2.12 SAH................................................................................... 25

Gambar 2.13 ICH.................................................................................... 26

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.

World Health Organization (WHO) melaporkan setiap tahun di seluruh dunia terdapat

lebih dari 1,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan sebanyak 20 –50

juta orang mengalami cedera atau cacat akibat kecelakaan lalu lintas. Sebagian besar

dari peristiwa tersebut terjadi di negara berkembang.1

Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian

tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun dan lebih didominasi oleh

jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Setiap peristiwa kecelakaan

biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yang muncul seperti faktor manusia, faktor

kendaraan, faktor jalan/lingkungan atau kombinasi dari beberapa faktor tersebut.2

Menurut Riskesdas tahun 2013 penyebab trauma terbanyak disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas (42,8%), kecelakaan industri (7,3%), kecelakaan olahraga

(7,1%) dan jatuh dari ketinggian (2,5%). Penyebab cedera kepala di Indonesia sendiri,

mayoritas karena kecelakaan lalu lintas dan dapat dilaporkan kecenderungannya dari

tahun 2007 sampai dengan 2013 untuk transportasi darat, terdapat kenaikan cukup

tinggi yaitu dari 25,9% menjadi 47,7%.2

Pada tahun 2011 di rumah sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung tercatat kasus

cedera kepala mencapai 2.509 kasus dengan 74% (1.856) kasus dikelompokan

menjadi cedera kepala ringan, 17% (438) kasus cedera kepala sedang dan 9% (215)

dalam kasus cedera kepala berat.2

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala

2.1.1 Anatomi kepala

a. Kulit kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,

connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,

loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.3

Gambar 2.1 Anatomi Kulit Kepala

Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat

laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi

dan anak-anak. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar memisahkan

galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah

hematoma subgaleal.3

b. Tulang tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang

6
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.

Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar

dibagi atas 3 fossa yaitu; fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat

temporalis dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. 3

Gambar 2.2 Anatomi Tulang tengkorak

c. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan

yaitu: 3

1. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
7
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat

suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan

arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,

pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus

sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat

mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis

superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus.

Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam

dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat

menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan

epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media

yang terletak pada fossa temporalis (fossa media).

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar

yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang

potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium

subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub

arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

8
3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan

masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf

otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam

substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

Gambar 2.3 Anatomi Meningen

d. Otak

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak

belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.Serebrum terdiri atas

hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang dipisahkan oleh falks serebri. Falks serebri

merupakan lipatan duramater yang merupakan kelanjutan dari sinus sagitalis superior

9
di garis tengah. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur

fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses

penglihatan.3

Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikuler yang berfungsi

dalam kesadaran dan kewaspadaan. Medulla oblongata berfungsi sebagai pusat

kardiorespiratorik, dan berlanjut memanjang menjadi medulla spinalis. Serebelum

terutama berfungsi untuk koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fossa

posterior, membentuk hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan akhirnya

dengan kedua hemisfer serebri.3

e. Cairan serebrospinal

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui

foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.

CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang

terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat

granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan

kenaikan tekanan intrakranial (American College of Surgeon Committee on Trauma,

2004). Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml

dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.4

10
Gambar 2.4 Sistem ventrikel

f. Vaskularisasi Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya

yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan

bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.3

Gambar 2.5 Perdarahan otak

11
2.1.2 Fisiologi Kepala

Konsep fisiologis yang berhubungan dengan cedera otak meliputi tekanan

intracranial, doktrin monro-kellie dan aliran darah otak. Tekanan intrakranial (TIK)

dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan serebrospinal dan parenkim otak.

Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan

tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK

dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.

Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg,

terutama bila menetap.4

Doktrin monro-kellie merupakan suatu konsep sederhana dan penting untuk

memahami dinamika tekanan intracranial (TIK). Dalam doktrin monro-kellie, volume

intracranial harus selalu konstan karena rongga intracranial adalah rongga yang kaku

dan tidak mungkin mekar. Dalam keadaan normal, volume intracranial terdiri atas

volume vena, arteri, jaringan otak dan cairan serebrospinal. Bila terjadi cedera kepala,

dapat terbentuk massa intracranial baru seperti perdarahan yang menambah tekanan

intracranial. Darah didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan untuk mempertahankan

tekanan intracranial tetap normal. Mekanisme kompensasi berupa pengeluaran darah

didalam vena dan pengurangan volume CSS, memiliki batas kompensasi (Point of

decompensation). Sekali volume perdarahan melewati batas kompensasi, maka

tekanan intracranial akan meningkat dengan cepat, menyebabkan pengurangan atau

penghentian aliran darah otak.4

12
Gambar 2.6 Doktrin Monro-Kellie

Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800 ml/min atau 16%

dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah

otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram

jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usianya.

Penurunan ADO dapat mencapai 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada

keadaan cedera otak berat dan koma serta meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi

pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari

atau minggu setelah cedera. Aliran darah otak dipengaruhi oleh tekanan rata-rata

arteri (MAP), tekanan intra kranial, viskositas darah, produk-produk metabolik dan

diameter dari pembuluh darah otak. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO

(MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat direkomendasikan untuk meningkatkan

ADO. 4

13
2.2 Cedera Kepala

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degenerative, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi

fisik.5

Menurut data dari National Health Interview Survey (NHIS), angka kejadian

cedera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya sekitar 500.000 orang pada

kelompok populasi dengan resiko tertinggi pada usia 15-40 tahun yaitu 70-80%

cedera kepala ringan, 10% cedera kepala sedang dan 20% cedera kepala berat. Angka

kejadian cedera kepala pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 2-4:1.

Menurut data Centers for Dissease Control and Prevention (CDC) sekitar 80.000 –

90.000 orang bertahan hidup dengan kecacatan akibat cedera kepala.6

2.2.2 Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3

deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.

a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas:3

1. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu

lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi

dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial

dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak.

2. Cedera tajam atau tembus

14
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

b. Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi:3

1. Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur

dapat berupa garis/ linear, menyebar dari satu titik (stelata) dan dapat juga

berupa fraktur depress atau non depress. Fraktur atap tengkorak dapat berupa

fraktur tertutup dan terbuka yang mana fraktur tertutup secara normal tidak

memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur terbuka memerlukan tindakan

untuk memperbaiki tulang tengkorak.

2. Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural,

perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan

terjadi secara bersamaan.

c. Berdasarkan beratnya cedera kepala

Klasifikasi klinis membagi pasien berdasarkan kesadaran pasien yang dinilai

menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).Dengan demikian, pasien cedera kepala

dapat diklasifikasi menjadi:3

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

Klasifikasi patologis membagi pasien berdasarkan kelainan atau kerusakan

patologis yang terjadi, yaitu:7

15
1. Cedera kepala primer

Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terhadi pada masa akut,

yaitu segera setelah benturan terjadi. Cedera kepala primer dapat

berbentuk laserasi kulit kepala, perdarahan, fraktur dan kerusakan jaringan

otak. Kerusakan dapat bersifat fokal maupun difus, dan dapat mengenai

jaringan kulit sampai otak.

a. Kerusakan fokal : kerusakan jaringan yang bersifat fokal atau

terbatas pada suatu bagian dengan bagian lain relatif tidak terganggu.

Kerusakan yang terjadi dapat berupa perlukaan dan persarafan

ekstrakranial, fraktur tulang kepala, perdarahan intrakranial, kontusio

dan laserasi serebri.

b. Kerusakan difus : kerusakan yang bersifat menyeluruh dari otak.

c. Cedera aksonal difusa (diffuse axonal injury)

2. Cedera kepala sekunder

Cedera kepala sekunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi

setelah terjadinya trauma atau benturan dan merupakan akibat dari

peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer. Kelainan dapat muncul

segera atau beberapa hari kemudian, dan dapat bersifat intracranial

ataupun sistemik. Kelainan yang terjadi antara lain:9

a. Gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi.

b. Edema serebral

c. Herniasi jaringan otak

d. Peningkatan tekanan intrakranial

e. Infeksi

f. Emboli lemak

16
g. Hidrosefalus

f. Fistula cairan serebrospinal

2.2.3 Patomekanisme

Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.

Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada

tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan

pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu :8

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak

2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam

3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur

oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).

Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala

diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,

pergeseran otak dan rotasi otak karena akselerasi dan deselerasi yang mendadak.8

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup.

Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang

yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan

hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup

terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.8

17
Gambar 2.7 Coup dan Contrecoup

2.2.4 Perlukaan dan Perdarahan Ekstrakranial

a. Laserasi Kulit Kepala

Pada pasien yang datang dengan laserasi kulit kepala, perdarahan yang terjadi

dapat cukup massif. Perdarahan harus dikendalikan secepat mungkin yaitu dengan

penekanan secara langsung, bila tidak berhasil dapat dilakukan infiltrasi lidokain dan

epinefrin secara lokal yang diikuti dengan pemasangan klem dan ligasi pembuluh

darah. Bekuan darah dan debris harus dibersihkan dengan baik sebelum luka ditutup.

Pada luka perlu diperhatikan dasar luka, ada tidaknya fraktur serta ada tidaknya

kebocoran cairan serebrospinal. Jika dasar luka adalah tulang dan intak, luka cukup

dibersihkan dengan irigasi menggunakan cairan normo saline, dilakukan debridement

dan luka dijahit. Pada pasien diberikan antibiotik, analgetik dan anti tetanus. Jika

didapatkan fraktur atau curiga cedera jaringan otak, maka perlu tindakan lebih

lanjut.4,7

b. Subgaleal Hemorrhage

Subgaleal hemorrhage terjadi pada saat cedera menyebabkan pembuluh darah

di lapisan jaringan ikat longgar bawah kulit pecah dan terjadi akumulasi darah, tanpa

18
robeknya lapisan kulit. Hemorrhage ini paling sering dijumpai pada kasus cedera

kepala. Pada subgaleal hemorrhage diberikan kompres dingin pada lokasi benjolan,

dan bila ukuran relatif kecil tidak perlu diberikan intervensi lebih lanjut.4,7

c. Sefal Hemorrhage

Sefal hemorrhage adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan periosteum

dan tulang tengkorak. Sefal hemorrhage terbatas pada satu tulang, terfiksir saat diraba

namun lapisan kulit diatasnya dapat digerakkan dengan mudah. Ada dua pendekatan

tatalaksana sefal hemorrhage yaitu non invasif dan invasif yaitu tindakan aspirasi. 4,7

d. Cedera pada Wajah

Cedera dapat mengenai berbagai bagian dari wajah pasien seperti daerah

sinus, mandibula dan mata. Pada daerah sinus dapat terjadi fraktur yang memerlukan

tindakan operatif. Mandibula yang terkena trauma dapat mengalami fraktur atau

dislokasi pada sendi temporo-mandibular yang juga membutuhkan tindakan operatif.

Kerusakan pada rongga mulut berupa laserasi lidah, gusi, bibir dan dapat berupa

tanggalnya gigi. Benturan pada mata dapat menyebabkan perdarahan intraorbita yang

selanjutnya dapat menjadi eksoftalmus.

e. Fraktur Tulang Kepala

Fraktur tulang kepala pada kasus cedera kepala tidak mencerminkan berat-

ringannya cedera otak dan sebaliknya. Namun adanya kecurigaan fraktur tulang

kepala pada kasus cedera kepala merupakan indikator pemeriksaan lebih lanjut untuk

cedera otak. Untuk memastikannya umumnya membutuhkan pemeriksaan penunjang

seperti rontgen atau CT-scan. Fraktur pada tulang tengkorak diklasifikasikan menjadi

beberapa kategori berdasarkan aspek yang berbeda yaitu berdasarkan gambaran garis

fraktur ada fraktur linier, fraktur diastase, fraktur kominutif, fraktur depressed.

Berdasarkan keadaan perlukaan yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup.

19
Berdasarkan lokasi fraktur yaitu fraktur konveksitas dan fraktur basis kranii. Fraktur

basis kranii di bagi atas fraktur fossa anterior, medial dan posterior.4,7

2.2.5 Perdarahan Intrakranial

a. Epidural Hemorrhage

Hemorrhage epidural adalah penumpukan darah diantara duramater dan tabula

interna tulang tengkorang.7

Gambar 2.8 Epidural hemorrhage

Umumnya hemorrhage epidural disebabkan oleh trauma tumpul pada kepala,

mengakibatkan terjadinya fraktur linier. Sumber perdarahan yang paling lazim adalah

cabang arteri meningea media, akibat fraktur bagian temporal. Lokasi yang paling

sering adalah bagian temporal dan temporoparietal. Namun dapat pula dari arteri atau

vena lain. Perdarahan dari vena umumnya tidak besar karena tekanan yang

ditimbulkan tidak besar. Sedangkan sumber perdarahan dari arteri bertekanan kuat,

sehingga mampu mendesak perlekatan duramater pada tulang tengkorang. Didapatkan

pula kasus dimana tidak ada fraktur terutama pada anak. Namun benturan cukup kuat

untuk memnyebabkan robeknya pembuluh darah di permukaan saat tulang menekuk

ke dalam. Epidural hemorrhage yang tidak disertai fraktur tengkorak akan memiliki

20
kecenderungan lebih berat karena peningkatan tekanan intrakranial lebih cepat

terjadi.7

Secara klinis pada pasien epidural hemorrhage dapat terjadi lucid interval.

Namun hal ini bukan patognomonik, dan hanya dijumpai pada sepertiga kasus.

Gangguan kesadaran yang terjadi langsung setelah cedera umumnya karena

teregangnya serat-serat formatio retikularis di dalam batang otak. Gejala neurologis

muncul karena efek penekanan massa terhadap jaringan otak. Penekanan perdarahan

menyebabkan pendorongan dan menimbulkan herniasi yang menekan batang otak.

Perdarahan yang semakin besar akan mendorong jaringan otak ke bawah, sehingga

terjadilah herniasi jaringan otak yang akan menekan nervus okulomotorius pada sisi

yang sama. Sebagai dampaknya akan terjadi penyempitan pupil beberapa saat, yang

kemudian pelebaran pupil pada mata ipsilateral dengan perdarahan yang tidak lagi

berespon terhadap cahaya, dan terjadilah anisokoria. Defisit neurologis lainnya yang

dapat dijumpai adalah hemiparese, kejang, muntah, dan refleks babinsky kontralateral

yang positif. 7

Foto polos kepala tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hemorrhage.

Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma

pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria

meningea media. Diagnosa epidural hemorrhage didasarkan pada tanda klinis dan

hasil CT (Computed Tomography) - Scan kepala untuk memastikan diagnosa. Pada

pemeriksaan CT Scan kepala, hematoma epidural akan tampak gambaran massa

hiperdens dengan bentuk bikonveks. 7

21
Gambar 2.9 Epidural hemorrhage

b. Subdural Hemorrhage

Subdural Hemorrhage adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan

arakhnoid. 7

Gambar 2.10 subdural hematoma

Pada subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah

“bridging vein”. Perdarahan subdural paling sering terjadipada permukaan lateral dan

22
atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging

vein”.2

Mekanisme yang paling lazim adalah trauma kepala baik yang menyebabkan

fraktur atau tidak. Cara lain adalah trauma pada bagian tubuh lain yang memberikan

efek pergeseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya bila seseorang jatuh

terduduk. Selain itu dapat pula akibat guncangan pada badan yang memberikan efek

pada leher berupa gerakan akselerasi dan deselerasi, khususnya pada anak-anak dan

orang lanjut usia. Sering kali subdural hemorrhage menyebabkan lesi lain misalnya

perdarahan serebri, laserasi jaringan dan kontusio serebri sehingga pasien memiliki

mortalitas yang tinggi. 7

Berdasarkan perjalanan waktunya, gejala yang timbul pada subdural dibagi menjadi 3

jenis : 7

1. Subdural Hemorrhage Akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai dengan

hari ke tiga. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat

mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah

terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm

tebalnya tetapi melebar luas. Secara klinis subdural hemorrhage akut ditandai

dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering

berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan

gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit .

23
Gambar 2.11 Subdural hemorrhage

2. Subdural Hemorrhage Subakut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar hari ke 4 sampai hari ke 3

sesudah trauma. Gambaran perdarahan umumnya lebih tebal. Pada CT Scan

memberikan gambaran hiperdens, isodens dan hipodens.

3. Subdural Hemorrhage Kronis

Biasanya terjadi setelah hari kesepuluh bahkan berbulan-bulan setelah

kejadian. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua. Trauma yang

menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala yang

terasa hanya pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang

mudah menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan

cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika volumenya besar

langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika volume kecil akan menyebabkan

kapsul terbentuk lagi kemudian menimbun cairan dan akan ruptur lagi sehingga

akan terjadi re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang

dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.

Pada CT Scan tampak gambaran hipodens.

24
c. Subarakhnoid Hemorrhage

Subarakhnoid hemorrhage terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang

subarakhnoid atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak.

Perdarahan terletak antara arakhnoid dan piamater, mengisi ruang subarakhnoid dan

masuk ke dalam cairan serebrospinalis. Gejala dapat berupa nyeri kepala, demam,

kaku kuduk, iritabilitas dan fotophobia. Bila cedera berat dapat terjadi penurunan

kesadaran dengan pernafasan tipe Cheyne Stokes. Pada CT Scan tampak lesi

hiperdens yang mengikuti pola sulkus permukaan otak. 7

Gambar 2. 12 Subarakhnoid hemorrhage

d. Intraserebri Hemorrhage

Perdarahan yang terjadi dalam parenkim otak. Lesi dapat berupa fokus

perdarahan yang kecil atau perdarahan yang luas. Pada CT Scan akan tampak

bayangan hiperdens yang homogen dengan batas tegas, dan terdapat edema perifokal

disekitarnya. 7

25
Gambar 2. 13 Intraserebral hemorrhage

e. Kontusio Serebri

Kontusio adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau

gangguan pada jaringan otak yang lebih berat dari konkusio, dengan memiliki

karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan

kapiler, dan edema jaringan otak. Kontusio dapat terjadi di lokasi benturan (kontusio

koup) atau di tempat lain (kontusio kontra koup). Gejala yang muncul berupa

gangguan kesadaran, gangguan fungsi mental, amnesia post trauma dan defisit

neurologis. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala, bingung, irritable dan gelisah. 7

2.3 Tatalaksana

Tatalaksana cedera kepala dapat dibagi menjadi tatalaksana pra-rumah sakit

dan tatalaksana di unit gawat darurat.

a. Tatalaksana Pra-Rumah Sakit

Pada fase pra-rumah sakit, yang perlu diperhatikan adalah menjaga jalan

nafas, mengontrol penderita dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah

komplikasi dan cedera sekunder, serta perujukan segera ke rumah sakit yang memiliki

kompetensi yang sesuai. Sedapat mungkin sebelum korban dibawa ke rumah sakit,

dilakukan komunikasi dari lokasi penderita ke unit gawat darurat yang dituju.

26
Hal yang khusus dalam penanganan cedera kepala adalah kewaspadaan akan

adanya cedera pada daerah tulang leher atau servikal. Penanganan pada pasien yang

dicurigai mengalami cedera tulang leher adalah dengan imobilisasi daerah leher yang

baik.7

b. Tindakan di Unit Gawat Darurat

Tindakan di unit gawat darurat terutama dilakukan dengan primary survey

yang dilakukan dengan secondary survey. Langkah pertama yang dilakukan sejak

detik pasien masuk instlasi gawat darurat adalah pemeriksaan secara cepat dan efisien

yaitu primary survey. Dasar dari pemeriksaan primary survey adalah ABCDE, yaitu

Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure.

Gangguan pada airway yang sering terjadi adalah lidah yang jatuh

kebelakang. Bila tidak ada cedera di daerah servikal dilakukan ekstensi kepala. Bila

tidak dapat dilakukan, pada pasien dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal. Bila

pasien muntah, baringkan dalam posisi miring dan isi lambung dikosongkan dengan

pipa nasogastrik untuk mencegah aspirasi muntah.

Gangguan pada breathing dapat terjadi akibat gangguan sentral maupun

perifer. Gangguan perifer dapat akibat aspirasi atau trauma pada dada. Gangguan dari

sentral dapat terjadi akibat kerusakan pada pusat nafas di otak. Untuk mengatasi

gangguan pada breathing, perlu diketahui penyebab pasti gangguan. Sementara itu

dapat diberikan oksigen 10-15 liter/menit secara intermitten.

Gangguan pada sirkulasi (circulation) dapat disebabkan oleh cedera otak

maupun proses ekstrakranial. Cedera kepala sendiri sangat jarang sampai

menyebabkan hipotensi. Dalam kasus cedera kepala, diupayakan agar dapat dicapai

tekanan sistolik 120-140 mmHg atau MAP 90mmHg agar perfusi serebral adekuat.

27
Dalam rangkaian pemeriksaan awal ini dilakukan pemeriksaan status

neurologi (disability) secara cepat. Penilaian untuk cedera kepala umumnya mengacu

pada Skala Koma Glasgow (SKG) atau Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian

dengan GCS ini bermanfaat untuk menentukan klasifikasi berat ringannya cedera

yang terjadi, jenis tindakan dan prognosis.

Glasgow Coma Scale Nilai


Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan 4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale

28
Berdasarkan skor GCS, pasien cedera kepala dapat diklasifikasi menjadi:7

1. Cedera kepala ringan bila skor GCS 14-15

2. Cedera Kepala sedang bila skor GCS 9-13

3. Cedera kepala berat bila skor GCS 3-8

Setelah primary survey selesai dilakukan dan keadaan pasien stabil, maka

dilakukan fase kedua yaitu secondary survey. Pada secondary survey dilakukan

pemeriksaan ulang tanda vital, pencatatan hal yang penting, dan pemeriksaan fisik

secara cepat dan menyeluruh. Secara singkat dilakukan pemantauan terhadap 5B yaitu

breathing, blood, brain, bladder dan bowel.7

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat dilakukan setelah berbagai kondisi

gawat darurat teratasi dan keadaan pasien relative stabil. Anamnesis penting untuk

mengetahui mekanisme cedera, kondisi klinis yang terjadi setelah cedera hingga

sampai rumah sakit dan kelainan yang sudah ada sebelum cedera terjadi. Informasi

terkait cedera perlu ditelusuri dengan cermat pada anamnesis untuk mempermudah

pemahaman kemungkinan tingkat dan jenis cedera kepala yang terjadi, faktor risiko

serta komplikasinya.7

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tanda vital dan sistem organ.

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey bila cedera

tidak terlalu berat. Selain penilaian GCS, perlu dilakukan pemeriksaan lebih dalam

yaitu pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik

dan refleks. Gangguan pada fungsi batang otak menunjukkan adanya cedera yang

serius di daerah batang otak dan saraf kranial. Fungsi penglihatan juga perlu diperiksa

karena walaupu tidak sering, cedera kepala dapat menyebabkan gangguan penglihatan

dan perdarahan intraocular.7

29
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien cedera kepala yaitu

pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium.7

Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah untuk dilakukan yaitu

rontgen kepala. Rontgen kepala kerap dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur

tulang tengkorak. Foto rontgen kepala harus dilakukan dalam dua posisi yaitu

anteroposterior dan lateral. Hal yang harus diperhatikan dalam menginterpretasi foto

polos kepala yaitu:

1. Adanya fraktur yang dilihat dari adanya garis kehitaman berbatas

tegas, tidak bercabang, cenderung lurus dan berhenti bila bertemu

sutura

2. Membedakan garis fraktur dengan vascular marking

3. Gambaran peningkatan densitas dengan daerah penurunan densitas

didekatnya

4. Gambaran air fluid level di sinus paranasal

5. Gambaran udara intracranial

6. Fraktur basis krani tidak selalu dapat terlihat pada foto polos kepala.7

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu computed-tomography scan (CT-

scan). CT-scan diindikasikan pada pasien dengan :11

1. GCS <13 setelah resusitasi

2. Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih, hemi paresis,

kejang

3. Nyeri kepala, muntah yang menetap

4. Terdapat tanda fokal neurologis

5. Terdapat tanda fraktur, atau curiga fraktur

6. Terdapat trauma tembus, atau curiga trauma tembus

30
7. Evaluasi pasca operasi

8. Pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1 organ)

9. Indikasi sosial

Kasus cedera kepala membutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium

seperti pemeriksaan darah rutin, golongan darah, gula darah sewaktu, fungsi ginjal,

analisis gas darah dan pemeriksaan elektrolit.7

c. Tatalaksana cedera kepala ringan

Umumnya pasien hanya memerlukan perawatan luka-luka yang dialami.

Debridement atau penjahitan luka dilakukan bila luka cukup besar. Kepada pasien

dapat diberikan obat-obatan simtomatik dan ditambahkan antibiotik sesuai keadaan

luka. Sebagian pasien dengan cedera kepala ringan membutuhkan perawatan di rumah

sakit untuk observasi. Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan adalah:

1. Tidak ada CT-scan

2. Gambaran abnormal CT-scan

3. Terdapat cedera tembus

4. Adanya riwayat kehilangan kesadaran atau pasien penurunan

kesadaran

5. Sakit kepala sedang hingga berat

6. Intoksikasi obat-obatan atau alkohol

7. Fraktur tengkorak

8. Rinorhea atau otorhea

9. Cedera penyerta yang cukup bermakna

10. Tidak ada keluarga yang dapat mendampingi dirumah

31
d. Tatalaksana cedera kepala sedang dan berat

Prinsip penanganan awal cedera kepala sedang dan berat mencakup primary

survey, secondary survey, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Hal yang membedakan adalah cedera kepala sedang dan berat harus segara dilakukan

CT-scan dan harus dirawat di rumah sakit.

Selama perawatan pasien dilakukan observasi tanda vital dan pemeriksaan


status neurologis secara periodik. Pemeriksaan neurologis mencakup penilaian ulang
GCS, pemeriksaan refeleks cahaya, bentuk dan ukuran pupil, kekuatan motorik dan
refleks patologis. Observasi idealnya dilakukan setiap 30 menit pada 6 jam pertama ,
lalu setiap jam pada 6 jam kedua dan setiap 2 jam pada 12 jam selanjutnya.
Penanganan lain yang dapat diberikan yaitu yang bersifat suportif dan simtomatik,
serta disesuaikan dengan kondisi pasien, seperti:
1. Terapi cairan. Pada pasien dewasa dapat diberikan cairan intravena NaCl 0,9%
atau Ringer laktat.
2. Pemberian asupan per oral ditunda bila pasien belum sepenuhnya sadar.
Pasien dipasangkan pipa nasogastrik bila pada hari ketiga belum sadar dan
bising usus normal
3. Pasien cedera kepala sedang dan berat sering mengalami gastritis erosi. Pada
pasien dapat diberikan antasida, obat H2 reseptor blocker, gastroprotektor atau
pemberian proton pump inhibitor.
4. Vitamin C intravena sebagai bahan oksidatif.
5. Obat analgetik yang tanpa sifat hipnotik atau sedative untuk mengatasi nyeri.

Operasi pada Epidural hematoma (EDH) dilakukan apabila:11

a. Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume >30cc, atau ketebalan

>15mm, atau pergeseran midline >5mm, atau

b. Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor

32
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah: 11

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau

pergeseran midline shift >5 mm pada CT-Scan.

b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK.

c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan

pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin

antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.

d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi

asimetris/fixed.

e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmHg

f. Pasien dengan SDH kronis dan terdapat gejala klinis penurunan kesadaran

maupun defisit neurologis fokal atau kejang

g. Pasien dengan SDH kronis dan ketebalan lesi >1cm

2.2.7 Komplikasi

Hematoma epidural dapat memberikan komplikasi :

a. Edema serebri, merupakan keadaan gejala patologis, radiologis di mana

keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian

pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intracranial.

b. Kompresi batang otak.

Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :

a. Hemiparese/hemiplegia.

b. Disfasia/afasia

c. Epilepsi.

d. Hidrosepalus.

e. Subdural empiema

33
2.2.8 Prognosis

Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :

a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )

b. Besarnya

c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,

karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi.

Pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah

GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi

lain akan memperjelek prognosanya.

34
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. JK

Umur : 14 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Raya Pekanbaru – Minas

Pekerjaan : Pelajar

No. RM : 01004634

Tanggal Masuk RS : 31 Desember 2018

3.2 PRIMARY SURVEY

Airway & C-Spine Control

Objektif : Pasien tidak dapat menjawab saat ditanya

Tidak terdapat suara nafas tambahan

Assesment : Tidak terdapat gangguan pada jalan nafas

Tindakan : Oksigen 10L/menit dengan NRM

Monitoring saturasi oksigen dengan pulse oksimetri

Pasang neck collar

Breathing & Ventilation

Objektif : Inspeksi: Normochest, nafas spontan, gerakan dinding dada simetris,

frekuensi nafas 18 kali/menit

Palpasi: Deviasi trakea (-), Vocal Fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi: Sonor (+/+)

35
Auskultasi: Vesikuler (+/+)

Assesment : Tidak terdapat kelainan pada pernafasan dan paru-paru

Tindakan : Lanjutkan oksigenasi

Circulation & Bleeding Control

Objektif : Nadi: 80 kali/menit reguler, Tekanan Darah: 100/70 mmHg

akral hangat, CRT < 2s, perdarahan aktif (-)

Assesment : Sirkulasi baik, tidak terdapat tanda-tanda syok hipovolemik

Tindakan : IVFD Ringer Laktat 20 tpm maintenance

Pasang kateter urin

Disability

Objektif : GCS 9 (E2V2M5), Pupil isokor (2mm/2mm), Refleks pupil (+/+),

paresis (-)

Assesment : Pemeriksaan mini neurologis tidak baik, lateralisasi (-)

Exposure

Objektif : Suhu: 36,7oC

Assesment : Tidak terdapat tanda hipotermia

Tindakan : Selimuti pasien untuk mencegah hipotermia, atur suhu lingkungan,

Log roll à (-) jejas, (-) perdarahan

3.3 SECONDARY SURVEY

AUTOANAMNESIS & ALOANAMNESIS

Keluhan Utama:

Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas ±3 jam SMRS.

36
Riwayat Penyakit Sekarang:

±3 jam SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai motor

sendiri tanpa menggunakan helm dan terjatuh. Pasien mengaku kecepatan

mengendarai motor sekitar 50 km/jam. Pasien terjatuh ke kanan dan kepala terbentur

ke jalan. Setelah terjatuh pasien tidak sadarkan diri sekitar 30 menit. Muntah 1 x

menyemprot (+), kejang tidak ada. Riwayat keluar darah dari hidung (+), telinga (+)

dan mulut (-). Pasien dibawa ke Puskesmas Minas lalu dirujuk ke RSUD AA untuk

mendapatkan penanganan.

AMPLE

Alergy : Tidak ada alergi

Medication : Tidak mengkonsumsi obat tertentu

Past Illness : Tidak memiliki riwayat penyakit tertentu

Last Meal : ±4 jam sebelum kejadian

Event : Kecelakaan lalu lintas

Riwayat Penyakit Dahulu:

Tidak terdapat riwayat penyakit tertentu, riwayat operasi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan keluhan saat ini

3.4 PEMERIKSAAN FISIK

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Sopor GCS 9 (E2V2M5)

Keadaan gizi : Baik

Tanda Vital : Tekanan Darah: 100/70 mmHg

37
Frekuensi Nafas: 18 kali/menit

Nadi: 80 kali/menit reguler

Suhu: 36,7oC

Berat Badan: 55 kg

Tinggi: 158 cm

KEPALA & LEHER : Status lokalis

THORAX : Dalam batas normal

ABDOMEN : Dalam batas normal

EKSTREMITAS : Dalam batas normal

KGB : Dalam batas normal

STATUS LOKALIS

Inspeksi :

a. Tidak terdapat jejas dan swelling pada palpebra

b. Tidak terdapat hematom dan raccon eyes pada palpebra

c. Tidak ditemukan battle sign

d. Rinorrhea (+), Otorrhea (+),

e. Tampak hematom pada regio frontoparietal dextra

Palpasi :

a. Nyeri pada regio frontoparietal dextra

b. Krepitasi (-)

Mata :

a. Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

b. Refleks cahaya (+/+), pupil isokor

c. Diplopia (-)

38
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

DARAH RUTIN (31/12/2018)

Hemoglobin : 11,5 gr/dL

Leukosit : 17200/uL

Trombosit : 320.000/uL

Hematokrit : 33%

CT SCAN KEPALA (31/12/2018)

Brain Window:

Soft Tissue Swelling (+) pada regio frontoparietal dextra

Terdapat lesi hiperdens pada regio frontoparietal dextra berbentuk bikonveks dengan

ukuran: 5,5 x 2 x 3 cm. Volume: 33 cc.

Terdapat midline shift, sulcus dan gyrus tidak jelas

Bone Window:

Terdapat diskontinuitas tulang

39
3.6 DIAGNOSIS

Cedera Kepala Sedang (GCS 9) + Fraktur linear ad Regio Fronto Parietal Dextra +

Epidural Hematom ad Regio Fronto Parietal Dextra

3.6 TERAPI

NON-FARMAKOLOGIS

a. Oksigen 10L/menit via NRM

b. IVFD Ringer Lactat 1900cc/24 jam

c. Bed Rest, Head up 30o

d. Observasi GCS

e. Pasang NGT

FARMAKOLOGIS

a. Mannitol loading 200 cc, kemudian 4 x 100 cc

b. Ceftriaxone inj. 1 x 1 gr

c. Tramadol 2 x 50 mg

d. Asam traneksamat 1 x 250 mg

e. Ranitidine inj. 2 x 25 mg/2mL

40
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien anak laki-laki berusia 14 tahun dengan riwayat kecelakaan lalu lintas 3

jam SMRS. Pada pemeriksaan mini neurologis, didapatkan Glasgow Coma Scale

(GCS) 9 (E2V2M5), pupil isokor dengan diameter 2 mm kiri dan kanan, refleks

cahaya positif di kedua mata dan tidak ditemukan tanda-tanda laserasi serta

kelemahan motorik. Telah dilakukan pemeriksaan awal (primary survey) dengan hasil

pemeriksaan Airway clear dan diberikan oksigen melalui NRM 10L/menit, tidak

terdapat gangguan terhadap ventilasi pasien, tidak ditemukan tanda syok hipovolemik

pada pasien dan diberikan infus Ringer Laktat 20 tpm, tidak terdapat gangguan

neurologis, dan pasien tidak hipotermia.

Setelah dilakukan primary survey, dilakukan secondary survey meliputi

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 3 jam

SMRS dan jatuh dari motor tanpa menggunakan helm sebelumnya. Pasien terjatuh

dengan kepala mendarat terlebih dahulu dan pingsan selama 30 menit. Muntah (+),

dan darah keluar dari telinga (+). Pada pemeriksaan fisik ditemukan hematom pada

regio frontoparietal dextra. Pasien juga merasa nyeri pada regio frontoparietal dextra.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai leukosit yang meningkat. Dilakukan

pemeriksaan CT Scan dan didapatkan hasil berupa soft tissue swelling pada regio

frontoparietal dextra, terdapat lesi hiperdens berbentuk bikonkaf pada regio fronto

parietal dextra dengan ukuran 5,5 x 2 x 3 cm dan volume 33 cc. Pada CT Scan bone

window, didapatkan diskontinuitas pada tulang.

Penatalaksanaan pada pasien berupa terapi non farmakologis dan

farmakologis. Terapi non farmakologis berupa pemberian oksigen 10L/menit melalui

41
NRM, IVFD Ringer Laktat 20 tpm, bed rest, head up 30 o, dan observasi terhadap

tekanan intrakranial. Sedangkan terapi farmakologis pada pasien ini adalah pemberian

antibiotik yaitu ceftriaxone injeksi 1 x 1 gr, analgetik yatu tramadol injeksi 2 x 50

mg/1mL, ranitidine injeksi 2 x 25 mg/2mL, dan mannitol loading 200 cc dilanjutkan 4

x 100 cc. Pada pasien ini dilakukan operasi karena memenuhi indikasi untuk

dilakukannya operasi, yaitu perdarahan dengan volume >30cc atau pasien dengan

EDH akut (GCS < 9) dan pupil anisokor.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization, 2009. Global Status Report on Road Safety, Time for

Action.

2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013. Laporan Riset Kesehatan

Dasar 2013. Jakarta.

3. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto

H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi

Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59.

4. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:

Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,

penerjemah. Edisi 8. Komisi trauma IKABI, 2007; 153-77.

5. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006 [10 Februari

2017]. Diunduh dari: http://www.biausa.org/pages /type_of_brain_injury.htm

6. Whyte J, Hart T, Laborde A, Rosenthal M. Rehabilitation Issues in Traumatic

Brain Injury. Dalam: Physical Medicine and Rehabilitation, Principles and

Practice. 4th ed. Volume 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005;

1640-85.

7. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Delta

Citra Grafindo, 2005.

8. Gerdes SL. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury. 2007

9. Early Management of Patients with Head Injury: A National Clinical Guideline.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network.2009

10. Wilkins, Williams L., Contralateral Acute Epidural Hematoma After Decompressive

Surgery of Acute Subdural Hematoma, Vol.65. 2008.

43
11. Surabaya Neuroscience Institute. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya: Tim

Neurotrauma RSU Dr. Soetomo – Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2014

12. Price D., Epidural Hematoma, Available from : www.emedicine.com.

44

Anda mungkin juga menyukai