Oleh:
Herlinda Gustia Puteri, S.Ked
NIM 1408118773
Pembimbing:
dr. Gatot Aji Prihartomo, Sp.BS
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Cedera Kepala Sedang
dengan Epidural Hematom”. Penulis menyusun laporan kasus ini sebagai sarana
untuk memahami bagaimana permasalahan yang berkaitan dengan cedera kepala agar
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Gatot Aji
Universitas Riau serta pihak yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan
masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu saran dan kritik yang
dokter muda demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................ 3
DAFTAR GAMBAR............................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 5
1.1 Latar Belakang................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................... 6
2.1 Anatomi dan fisiologi kepala............................................. 6
2.1.1 Anatomi kepala....................................................... 6
2.1.2 Fisiologi kepala....................................................... 12
2.2 Cedera kepala................................................................... 14
2.2.1 Definisi dan epidemiologi....................................... 14
2.2.2 Klasifikasi............................................................... 14
2.2.3 Patomekanisme....................................................... 17
2.2.4 Perdarahan Ekstrakranial........................................ 18
2.2.5 Perdarahan Intrakranial........................................... 20
2.2.6 Tatalaksana............................................................. 26
2.2.7 Komplikasi.............................................................. 33
2.2.8 Prognosis................................................................ 34
BAB III LAPORAN KASUS................................................................. 35
3.1 Identitas............................................................................ 35
3.2 Primary survey................................................................. 35
3.3 Secondary survey............................................................. 36
3.4 Pemeriksaan fisik............................................................. 37
3.5 Pemeriksaan penunjang................................................... 39
3.6 Diagnosis......................................................................... 40
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 43
3
DAFTAR GAMBAR
Halaman
4
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
World Health Organization (WHO) melaporkan setiap tahun di seluruh dunia terdapat
lebih dari 1,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan sebanyak 20 –50
juta orang mengalami cedera atau cacat akibat kecelakaan lalu lintas. Sebagian besar
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka kejadian
tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun dan lebih didominasi oleh
biasanya disebabkan oleh beberapa faktor yang muncul seperti faktor manusia, faktor
(7,1%) dan jatuh dari ketinggian (2,5%). Penyebab cedera kepala di Indonesia sendiri,
mayoritas karena kecelakaan lalu lintas dan dapat dilaporkan kecenderungannya dari
tahun 2007 sampai dengan 2013 untuk transportasi darat, terdapat kenaikan cukup
Pada tahun 2011 di rumah sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung tercatat kasus
cedera kepala mencapai 2.509 kasus dengan 74% (1.856) kasus dikelompokan
menjadi cedera kepala ringan, 17% (438) kasus cedera kepala sedang dan 9% (215)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi
dan anak-anak. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar memisahkan
hematoma subgaleal.3
b. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
6
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar
otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar
dibagi atas 3 fossa yaitu; fossa anterior tempat lobus frontalis, fossa media tempat
temporalis dan fossa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum. 3
c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu: 3
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
7
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
8
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
d. Otak
Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.Serebrum terdiri atas
hemisfer kiri dan hemisfer kanan yang dipisahkan oleh falks serebri. Falks serebri
merupakan lipatan duramater yang merupakan kelanjutan dari sinus sagitalis superior
9
di garis tengah. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
penglihatan.3
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikuler yang berfungsi
posterior, membentuk hubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan akhirnya
e. Cairan serebrospinal
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
2004). Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml
10
Gambar 2.4 Sistem ventrikel
f. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya
yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
11
2.1.2 Fisiologi Kepala
intracranial, doktrin monro-kellie dan aliran darah otak. Tekanan intrakranial (TIK)
dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan serebrospinal dan parenkim otak.
Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK
Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg,
intracranial harus selalu konstan karena rongga intracranial adalah rongga yang kaku
dan tidak mungkin mekar. Dalam keadaan normal, volume intracranial terdiri atas
volume vena, arteri, jaringan otak dan cairan serebrospinal. Bila terjadi cedera kepala,
dapat terbentuk massa intracranial baru seperti perdarahan yang menambah tekanan
intracranial. Darah didalam vena dan CSS dapat dikeluarkan untuk mempertahankan
didalam vena dan pengurangan volume CSS, memiliki batas kompensasi (Point of
12
Gambar 2.6 Doktrin Monro-Kellie
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800 ml/min atau 16%
dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah
otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usianya.
Penurunan ADO dapat mencapai 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada
keadaan cedera otak berat dan koma serta meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi
pada penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari
atau minggu setelah cedera. Aliran darah otak dipengaruhi oleh tekanan rata-rata
arteri (MAP), tekanan intra kranial, viskositas darah, produk-produk metabolik dan
ADO. 4
13
2.2 Cedera Kepala
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
fisik.5
Menurut data dari National Health Interview Survey (NHIS), angka kejadian
cedera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya sekitar 500.000 orang pada
kelompok populasi dengan resiko tertinggi pada usia 15-40 tahun yaitu 70-80%
cedera kepala ringan, 10% cedera kepala sedang dan 20% cedera kepala berat. Angka
kejadian cedera kepala pada laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan yaitu 2-4:1.
Menurut data Centers for Dissease Control and Prevention (CDC) sekitar 80.000 –
2.2.2 Klasifikasi
lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi
dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga kranial
14
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
1. Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak. Fraktur
dapat berupa garis/ linear, menyebar dari satu titik (stelata) dan dapat juga
berupa fraktur depress atau non depress. Fraktur atap tengkorak dapat berupa
fraktur tertutup dan terbuka yang mana fraktur tertutup secara normal tidak
2. Lesi intrakranial
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat
15
1. Cedera kepala primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terhadi pada masa akut,
otak. Kerusakan dapat bersifat fokal maupun difus, dan dapat mengenai
terbatas pada suatu bagian dengan bagian lain relatif tidak terganggu.
b. Edema serebral
e. Infeksi
f. Emboli lemak
16
g. Hidrosefalus
2.2.3 Patomekanisme
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.
Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada
tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
pergeseran otak dan rotasi otak karena akselerasi dan deselerasi yang mendadak.8
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup.
Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang
yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan
hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup
17
Gambar 2.7 Coup dan Contrecoup
Pada pasien yang datang dengan laserasi kulit kepala, perdarahan yang terjadi
dapat cukup massif. Perdarahan harus dikendalikan secepat mungkin yaitu dengan
penekanan secara langsung, bila tidak berhasil dapat dilakukan infiltrasi lidokain dan
epinefrin secara lokal yang diikuti dengan pemasangan klem dan ligasi pembuluh
darah. Bekuan darah dan debris harus dibersihkan dengan baik sebelum luka ditutup.
Pada luka perlu diperhatikan dasar luka, ada tidaknya fraktur serta ada tidaknya
kebocoran cairan serebrospinal. Jika dasar luka adalah tulang dan intak, luka cukup
dan luka dijahit. Pada pasien diberikan antibiotik, analgetik dan anti tetanus. Jika
didapatkan fraktur atau curiga cedera jaringan otak, maka perlu tindakan lebih
lanjut.4,7
b. Subgaleal Hemorrhage
di lapisan jaringan ikat longgar bawah kulit pecah dan terjadi akumulasi darah, tanpa
18
robeknya lapisan kulit. Hemorrhage ini paling sering dijumpai pada kasus cedera
kepala. Pada subgaleal hemorrhage diberikan kompres dingin pada lokasi benjolan,
dan bila ukuran relatif kecil tidak perlu diberikan intervensi lebih lanjut.4,7
c. Sefal Hemorrhage
dan tulang tengkorak. Sefal hemorrhage terbatas pada satu tulang, terfiksir saat diraba
namun lapisan kulit diatasnya dapat digerakkan dengan mudah. Ada dua pendekatan
tatalaksana sefal hemorrhage yaitu non invasif dan invasif yaitu tindakan aspirasi. 4,7
Cedera dapat mengenai berbagai bagian dari wajah pasien seperti daerah
sinus, mandibula dan mata. Pada daerah sinus dapat terjadi fraktur yang memerlukan
tindakan operatif. Mandibula yang terkena trauma dapat mengalami fraktur atau
Kerusakan pada rongga mulut berupa laserasi lidah, gusi, bibir dan dapat berupa
tanggalnya gigi. Benturan pada mata dapat menyebabkan perdarahan intraorbita yang
Fraktur tulang kepala pada kasus cedera kepala tidak mencerminkan berat-
ringannya cedera otak dan sebaliknya. Namun adanya kecurigaan fraktur tulang
kepala pada kasus cedera kepala merupakan indikator pemeriksaan lebih lanjut untuk
seperti rontgen atau CT-scan. Fraktur pada tulang tengkorak diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori berdasarkan aspek yang berbeda yaitu berdasarkan gambaran garis
fraktur ada fraktur linier, fraktur diastase, fraktur kominutif, fraktur depressed.
19
Berdasarkan lokasi fraktur yaitu fraktur konveksitas dan fraktur basis kranii. Fraktur
basis kranii di bagi atas fraktur fossa anterior, medial dan posterior.4,7
a. Epidural Hemorrhage
mengakibatkan terjadinya fraktur linier. Sumber perdarahan yang paling lazim adalah
cabang arteri meningea media, akibat fraktur bagian temporal. Lokasi yang paling
sering adalah bagian temporal dan temporoparietal. Namun dapat pula dari arteri atau
vena lain. Perdarahan dari vena umumnya tidak besar karena tekanan yang
ditimbulkan tidak besar. Sedangkan sumber perdarahan dari arteri bertekanan kuat,
pula kasus dimana tidak ada fraktur terutama pada anak. Namun benturan cukup kuat
ke dalam. Epidural hemorrhage yang tidak disertai fraktur tengkorak akan memiliki
20
kecenderungan lebih berat karena peningkatan tekanan intrakranial lebih cepat
terjadi.7
Secara klinis pada pasien epidural hemorrhage dapat terjadi lucid interval.
Namun hal ini bukan patognomonik, dan hanya dijumpai pada sepertiga kasus.
muncul karena efek penekanan massa terhadap jaringan otak. Penekanan perdarahan
Perdarahan yang semakin besar akan mendorong jaringan otak ke bawah, sehingga
terjadilah herniasi jaringan otak yang akan menekan nervus okulomotorius pada sisi
yang sama. Sebagai dampaknya akan terjadi penyempitan pupil beberapa saat, yang
kemudian pelebaran pupil pada mata ipsilateral dengan perdarahan yang tidak lagi
berespon terhadap cahaya, dan terjadilah anisokoria. Defisit neurologis lainnya yang
dapat dijumpai adalah hemiparese, kejang, muntah, dan refleks babinsky kontralateral
yang positif. 7
Foto polos kepala tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai epidural hemorrhage.
Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma
pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media. Diagnosa epidural hemorrhage didasarkan pada tanda klinis dan
21
Gambar 2.9 Epidural hemorrhage
b. Subdural Hemorrhage
arakhnoid. 7
“bridging vein”. Perdarahan subdural paling sering terjadipada permukaan lateral dan
22
atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging
vein”.2
Mekanisme yang paling lazim adalah trauma kepala baik yang menyebabkan
fraktur atau tidak. Cara lain adalah trauma pada bagian tubuh lain yang memberikan
efek pergeseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya bila seseorang jatuh
terduduk. Selain itu dapat pula akibat guncangan pada badan yang memberikan efek
pada leher berupa gerakan akselerasi dan deselerasi, khususnya pada anak-anak dan
orang lanjut usia. Sering kali subdural hemorrhage menyebabkan lesi lain misalnya
perdarahan serebri, laserasi jaringan dan kontusio serebri sehingga pasien memiliki
Berdasarkan perjalanan waktunya, gejala yang timbul pada subdural dibagi menjadi 3
jenis : 7
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma sampai dengan
hari ke tiga. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
tebalnya tetapi melebar luas. Secara klinis subdural hemorrhage akut ditandai
23
Gambar 2.11 Subdural hemorrhage
kejadian. SDH kronis biasanya terjadi pada orang tua. Trauma yang
menyebabkan perdarahan yang akan membentuk kapsul, saat tersebut gejala yang
terasa hanya pusing. Kapsul yang terbentuk terdiri dari lemak dan protein yang
mudah menyerap cairan dan mempunyai sifat mudah ruptur. Karena penimbunan
cairan tersebut kapsul terus membesar dan mudah ruptur, jika volumenya besar
langsung menyebabkan lesi desak ruang. Jika volume kecil akan menyebabkan
kapsul terbentuk lagi kemudian menimbun cairan dan akan ruptur lagi sehingga
akan terjadi re-bleeding. Begitu seterusnya sampai suatu saat pasien datang
dengan penurunan kesadaran tiba-tiba atau hanya pelo atau lumpuh tiba-tiba.
24
c. Subarakhnoid Hemorrhage
subarakhnoid atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak.
Perdarahan terletak antara arakhnoid dan piamater, mengisi ruang subarakhnoid dan
masuk ke dalam cairan serebrospinalis. Gejala dapat berupa nyeri kepala, demam,
kaku kuduk, iritabilitas dan fotophobia. Bila cedera berat dapat terjadi penurunan
kesadaran dengan pernafasan tipe Cheyne Stokes. Pada CT Scan tampak lesi
d. Intraserebri Hemorrhage
Perdarahan yang terjadi dalam parenkim otak. Lesi dapat berupa fokus
perdarahan yang kecil atau perdarahan yang luas. Pada CT Scan akan tampak
bayangan hiperdens yang homogen dengan batas tegas, dan terdapat edema perifokal
disekitarnya. 7
25
Gambar 2. 13 Intraserebral hemorrhage
e. Kontusio Serebri
Kontusio adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau
gangguan pada jaringan otak yang lebih berat dari konkusio, dengan memiliki
karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan
kapiler, dan edema jaringan otak. Kontusio dapat terjadi di lokasi benturan (kontusio
koup) atau di tempat lain (kontusio kontra koup). Gejala yang muncul berupa
gangguan kesadaran, gangguan fungsi mental, amnesia post trauma dan defisit
neurologis. Pasien juga mengeluhkan sakit kepala, bingung, irritable dan gelisah. 7
2.3 Tatalaksana
Pada fase pra-rumah sakit, yang perlu diperhatikan adalah menjaga jalan
komplikasi dan cedera sekunder, serta perujukan segera ke rumah sakit yang memiliki
kompetensi yang sesuai. Sedapat mungkin sebelum korban dibawa ke rumah sakit,
dilakukan komunikasi dari lokasi penderita ke unit gawat darurat yang dituju.
26
Hal yang khusus dalam penanganan cedera kepala adalah kewaspadaan akan
adanya cedera pada daerah tulang leher atau servikal. Penanganan pada pasien yang
dicurigai mengalami cedera tulang leher adalah dengan imobilisasi daerah leher yang
baik.7
yang dilakukan dengan secondary survey. Langkah pertama yang dilakukan sejak
detik pasien masuk instlasi gawat darurat adalah pemeriksaan secara cepat dan efisien
yaitu primary survey. Dasar dari pemeriksaan primary survey adalah ABCDE, yaitu
Gangguan pada airway yang sering terjadi adalah lidah yang jatuh
kebelakang. Bila tidak ada cedera di daerah servikal dilakukan ekstensi kepala. Bila
tidak dapat dilakukan, pada pasien dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal. Bila
pasien muntah, baringkan dalam posisi miring dan isi lambung dikosongkan dengan
perifer. Gangguan perifer dapat akibat aspirasi atau trauma pada dada. Gangguan dari
sentral dapat terjadi akibat kerusakan pada pusat nafas di otak. Untuk mengatasi
gangguan pada breathing, perlu diketahui penyebab pasti gangguan. Sementara itu
menyebabkan hipotensi. Dalam kasus cedera kepala, diupayakan agar dapat dicapai
tekanan sistolik 120-140 mmHg atau MAP 90mmHg agar perfusi serebral adekuat.
27
Dalam rangkaian pemeriksaan awal ini dilakukan pemeriksaan status
neurologi (disability) secara cepat. Penilaian untuk cedera kepala umumnya mengacu
pada Skala Koma Glasgow (SKG) atau Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian
dengan GCS ini bermanfaat untuk menentukan klasifikasi berat ringannya cedera
28
Berdasarkan skor GCS, pasien cedera kepala dapat diklasifikasi menjadi:7
Setelah primary survey selesai dilakukan dan keadaan pasien stabil, maka
dilakukan fase kedua yaitu secondary survey. Pada secondary survey dilakukan
pemeriksaan ulang tanda vital, pencatatan hal yang penting, dan pemeriksaan fisik
secara cepat dan menyeluruh. Secara singkat dilakukan pemantauan terhadap 5B yaitu
gawat darurat teratasi dan keadaan pasien relative stabil. Anamnesis penting untuk
mengetahui mekanisme cedera, kondisi klinis yang terjadi setelah cedera hingga
sampai rumah sakit dan kelainan yang sudah ada sebelum cedera terjadi. Informasi
terkait cedera perlu ditelusuri dengan cermat pada anamnesis untuk mempermudah
pemahaman kemungkinan tingkat dan jenis cedera kepala yang terjadi, faktor risiko
serta komplikasinya.7
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi tanda vital dan sistem organ.
Pemeriksaan fisik dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey bila cedera
tidak terlalu berat. Selain penilaian GCS, perlu dilakukan pemeriksaan lebih dalam
yaitu pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik
dan refleks. Gangguan pada fungsi batang otak menunjukkan adanya cedera yang
serius di daerah batang otak dan saraf kranial. Fungsi penglihatan juga perlu diperiksa
karena walaupu tidak sering, cedera kepala dapat menyebabkan gangguan penglihatan
29
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien cedera kepala yaitu
Pemeriksaan radiologi yang paling sering dan mudah untuk dilakukan yaitu
rontgen kepala. Rontgen kepala kerap dijadikan pemeriksaan skrining adanya fraktur
tulang tengkorak. Foto rontgen kepala harus dilakukan dalam dua posisi yaitu
anteroposterior dan lateral. Hal yang harus diperhatikan dalam menginterpretasi foto
sutura
didekatnya
6. Fraktur basis krani tidak selalu dapat terlihat pada foto polos kepala.7
kejang
30
7. Evaluasi pasca operasi
9. Indikasi sosial
seperti pemeriksaan darah rutin, golongan darah, gula darah sewaktu, fungsi ginjal,
Debridement atau penjahitan luka dilakukan bila luka cukup besar. Kepada pasien
luka. Sebagian pasien dengan cedera kepala ringan membutuhkan perawatan di rumah
sakit untuk observasi. Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan adalah:
kesadaran
7. Fraktur tengkorak
31
d. Tatalaksana cedera kepala sedang dan berat
Prinsip penanganan awal cedera kepala sedang dan berat mencakup primary
Hal yang membedakan adalah cedera kepala sedang dan berat harus segara dilakukan
a. Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume >30cc, atau ketebalan
32
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah: 11
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK.
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan
pergerakan struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin
asimetris/fixed.
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmHg
f. Pasien dengan SDH kronis dan terdapat gejala klinis penurunan kesadaran
2.2.7 Komplikasi
a. Hemiparese/hemiplegia.
b. Disfasia/afasia
c. Epilepsi.
d. Hidrosepalus.
e. Subdural empiema
33
2.2.8 Prognosis
b. Besarnya
GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi
34
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama : An. JK
Umur : 14 tahun
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 01004634
Palpasi: Deviasi trakea (-), Vocal Fremitus kiri dan kanan sama
35
Auskultasi: Vesikuler (+/+)
Disability
paresis (-)
Exposure
Keluhan Utama:
36
Riwayat Penyakit Sekarang:
±3 jam SMRS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai motor
mengendarai motor sekitar 50 km/jam. Pasien terjatuh ke kanan dan kepala terbentur
ke jalan. Setelah terjatuh pasien tidak sadarkan diri sekitar 30 menit. Muntah 1 x
menyemprot (+), kejang tidak ada. Riwayat keluar darah dari hidung (+), telinga (+)
dan mulut (-). Pasien dibawa ke Puskesmas Minas lalu dirujuk ke RSUD AA untuk
mendapatkan penanganan.
AMPLE
Tidak terdapat riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan keluhan saat ini
STATUS GENERALIS
37
Frekuensi Nafas: 18 kali/menit
Suhu: 36,7oC
Berat Badan: 55 kg
Tinggi: 158 cm
STATUS LOKALIS
Inspeksi :
Palpasi :
b. Krepitasi (-)
Mata :
c. Diplopia (-)
38
3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Leukosit : 17200/uL
Trombosit : 320.000/uL
Hematokrit : 33%
Brain Window:
Terdapat lesi hiperdens pada regio frontoparietal dextra berbentuk bikonveks dengan
Bone Window:
39
3.6 DIAGNOSIS
Cedera Kepala Sedang (GCS 9) + Fraktur linear ad Regio Fronto Parietal Dextra +
3.6 TERAPI
NON-FARMAKOLOGIS
d. Observasi GCS
e. Pasang NGT
FARMAKOLOGIS
b. Ceftriaxone inj. 1 x 1 gr
c. Tramadol 2 x 50 mg
40
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien anak laki-laki berusia 14 tahun dengan riwayat kecelakaan lalu lintas 3
jam SMRS. Pada pemeriksaan mini neurologis, didapatkan Glasgow Coma Scale
(GCS) 9 (E2V2M5), pupil isokor dengan diameter 2 mm kiri dan kanan, refleks
cahaya positif di kedua mata dan tidak ditemukan tanda-tanda laserasi serta
kelemahan motorik. Telah dilakukan pemeriksaan awal (primary survey) dengan hasil
pemeriksaan Airway clear dan diberikan oksigen melalui NRM 10L/menit, tidak
terdapat gangguan terhadap ventilasi pasien, tidak ditemukan tanda syok hipovolemik
pada pasien dan diberikan infus Ringer Laktat 20 tpm, tidak terdapat gangguan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 3 jam
SMRS dan jatuh dari motor tanpa menggunakan helm sebelumnya. Pasien terjatuh
dengan kepala mendarat terlebih dahulu dan pingsan selama 30 menit. Muntah (+),
dan darah keluar dari telinga (+). Pada pemeriksaan fisik ditemukan hematom pada
regio frontoparietal dextra. Pasien juga merasa nyeri pada regio frontoparietal dextra.
pemeriksaan CT Scan dan didapatkan hasil berupa soft tissue swelling pada regio
frontoparietal dextra, terdapat lesi hiperdens berbentuk bikonkaf pada regio fronto
parietal dextra dengan ukuran 5,5 x 2 x 3 cm dan volume 33 cc. Pada CT Scan bone
41
NRM, IVFD Ringer Laktat 20 tpm, bed rest, head up 30 o, dan observasi terhadap
tekanan intrakranial. Sedangkan terapi farmakologis pada pasien ini adalah pemberian
x 100 cc. Pada pasien ini dilakukan operasi karena memenuhi indikasi untuk
dilakukannya operasi, yaitu perdarahan dengan volume >30cc atau pasien dengan
42
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization, 2009. Global Status Report on Road Safety, Time for
Action.
3. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
5. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2006 [10 Februari
Practice. 4th ed. Volume 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005;
1640-85.
10. Wilkins, Williams L., Contralateral Acute Epidural Hematoma After Decompressive
43
11. Surabaya Neuroscience Institute. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. Surabaya: Tim
44