Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. A
Umur : 2 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : bugangan IV. Semarang
No. CM : 2546xx
Tanggal masuk : 7 september 2015
IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Tn. A
Nama Ibu : Ny. D
B. DATA DASAR
I. ANAMNESIS (Alloanamnesis)

Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien di Ruang Nakula IV


RSUD Kota Semarang pada tanggal 9 september 2015 serta didukung catatan
medis pasien.
Keluhan utama : panas sejak 2 hari.
Keluhan tambahan : batuk dan pilek.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Sebelum masuk rumah sakit:
2 hari SMRS (sebelum masuk rumah sakit) ibu pasien mengeluh anaknya
mengalami demam tinggi. Keluhan dirasakan tiba tiba dan bertambah berat.
keluhan tidak berkurang meski sudah diberi obat penurun panas. Sang ibu juga
mengatakan bahwa anaknya sangat rewel.
1 hari SMRS ibu pasien juga mengeluhkan bahwa demamnya tidak berkurang.
Ibu pasien mengatakan bahwa anak nya mulai timbul keluhan batuk dan pilek.
Keluhan batuk seperti ada bunyi “grok grok” tetapi tidak ada lendir atau darah
yang keluar. Sang ibu juga mengatakan bahwa anaknya terlihat sesak ketika

1
bernafas. Ibu pasien mengaku anaknya masih mau makan dan minum. Ibu pasien
juga mengatakan bahwa keluhan pasien sampai mengganggu tidur sang anak.
Riwayat kejang disangkal. Riwayat berak cair juga disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat perdarahan spontan disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pada saat anak berusia 9 bulan pernah mengalami kejang sampai koma dan
dirawat di ICU. Kejang sempat berulang pada saat sang anak berusia 1 tahun
tetapi tidak separah saat yang pertama. Sampai saat ini perkembangan tumbuh
kembang anak terlihat terlambat.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
- Tidak terdapat anggota keluarga yang menderita batuk lama atau sakit paru.
- Riwayat asma pada anggota keluarga tidak ada..
Riwayat Sosial Ekonomi :
Ayah penderita bekerja sebagai karyawan swasta. Biaya perawatan ditanggung
Askes Gakin
Kesan : sosial ekonomi kurang.
Riwayat Prenatal dan Posnatal
Saat mengandung penderita, ibu periksa kehamilan di bidan lebih dari 5x,
dan disuntik TT 2 x. ibu pasien mengaku memiliki riwayat perdarahan saat
kehamilan. Riwayat pernah keguguran disangkal, riwayat sakit panas selama
kehamilan disangkal. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan yaitu vitamin
dan tablet penambah darah dari bidan.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
P2A0
Penderita lahir melalui sectio caesaria atas indikasi perdarahan dan plasenta
previa. Ibu mengatakan bahwa ketika lahir anaknya tidak langsung menangis
dan dirawat di ruang pengawasan selama 7 hari.

2
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Berat badan lahir 2500 gram, panjang badan saat lahir lupa. Berat badan dan
panjang badan sekarang berturut turut 10.5 kg dan 85 cm.

Sampai saat ini penderita belum dapat duduk sendiri berbicara dan berjalan.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan terlambat.
Riwayat Imunisasi
BCG :1x, usia 2 bulan, scar (+) di lengan kanan atas
Hepatitis B :3x; usia 0 dan 1 bulan
Polio : 2x usia 2 dan 4 bulan
DPT : 2x; usia 2, 4 bulan
Campak : 1x usia 9 bulan.
Kesan : imunisasi dasar lengkap, tidak terkonfirmasi [KMS (-)]

II. PEMERIKSAAN FISIK ( tgl. 9 september 2015 )


Seorang anak laki-laki, umur 2 tahun, berat badan 10.5 kg.
Keadaan umum : Sadar, kurang aktif, rewel, tampak sesak nafas, ada
retraksi, tidak sianosis.
Tanda Vital
Heart rate : 132 x/menit
Nadi : isi dan tegangan cukup.
RR : 62 x/menit
Temperatur : 38,9 °C

Kepala : lingkar kepala 45.5 cm. mikrochephaly


Rambut : hitam, tidak mudah dicabut, mudah dipilah
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung : nafas cuping hidung (+), sekret (-)
Telinga : sekret (-)

3
Mulut : kering (-), sianosis (-)
Selaput mukosa : sulit dinilai
Lidah : sulit dinilai
Gigi : dbn
Tenggorokan : sulit dinilai
Leher : simetris, pembesaran nnll -/-
Keadaan tubuh
Sianotik : (-)
Ikterik : (-)
Turgor : kembali cepat
Oedema : (-)
Dyspnoe : (+)

Dada
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi (+) suprastrernal, epigastrial
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara Tambahan : ronkhi basah halus nyaring +/+
hantaran +/+
wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga V 2 cm medial linea
medioclavicularis kiri
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : Bj I-II normal, bising (-), gallop (-), irama reguler,
aktivitas cukup, frekuensi jantung 132x/menit.

4
Abdomen
Inspeksi : datar, supel
Auskultasi : bising usus (+) N
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) N, pekak alih (-)
Alat Kelamin
Laki-laki, dalam batas normal, anus (+) dalam batas normal
Anggota gerak
Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-


Sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capp. Refill <2” <2”
klonus (+), spastis (-), Hipotonus (+)
Status neurologis : Refleks Fisiologis (+)
Refleks Patologis : Babinski (+)
Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-),
Brudzinski 1 dan 2 (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium tanggal 7 september 2015
Darah
Hb : 11,1 g/dl
Ht : 41,2 %
Leukosit : 10.700 /mm3
Trombosit : 300.000/mm3

5
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 8 september 2015
Darah
Hb : 11 g/dl
Ht : 39 %
Leukosit : 10.300 /mm3
Trombosit : 236.000/mm3
Usulan
- X foto thorax
- CT scan & MRI kepala
- Lumbal pungsi

Pemeriksaan Khusus
Data Antopometri
Anak laki-laki usia : 2 tahun
Berat badan : 10.5 kg
Tinggi badan : 85 cm
Pemeriksaan Status Gizi :
WAZ = BB – median = 10.5 –12,6= - 1.6 (Berat Badan normal)
SD 1,3
HAZ = TB – median = 85 –87,6= -0,78 (Tinggi Badan Normal)
SD 4,6
WHZ = BB – median = 10.5 –11,9 = -1,55 (normal)
SD 0.9
Kesan: status gizi anak baik

C. DIAGNOSIS BANDING
Batuk dan sesak dan demam
- Bronkopneumonia
- Bronkiolisis
- Asma
- TB

6
Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Cerebral palsy
- Proses degeneratif
- Tumor intraranial

DIAGNOSIS SEMENTARA
1. Bronkopneumonia
2. Cerebral Palsy spastik diplegia
3. Status gizi baik

FOLLOW UP
8/9/15 S: - sesak. Batuk. Demam. (advice dr.widi Sp.A)
- Batuk hari ke-2 Th:/
U: 2 Oksigen 2 lpm
BB:9kg O: KU/KESS : TSS/ CM Infus RL 12 tpm
Kepala : mikrochepaly Injeksi cefotaxim 3 x
HR:135x/m Mata : cekung -/- 250 mg (iv)
RR:24x/m Mulut : sianosis - Injeksi
t: 38,7°C Hidung : NCH (-) dexamethasone 2 x
N: i/t kuat Thorax : simetris (+) 1/2 amp (iv)
retraksi (+). Ronki basah halus Peroral : Parasetamol
(+) hantaran (+) syr 3 x 1 cth
cor:/ BJI-II req, Ambroxol 1/5
m (-), g (-) Methyl prednisolon 5
p:/ SNV+/+, mg
rh-/-, wh-/- Salbutamol 1 mg
Abdomen : datar, supel, BU
(+) Monitoring
Ekstremitas : akral dingin -/-, Keadaan umum,
CRT <2s tanda vital
klonus (+), (HR, RR, Suhu)

7
spastis (-), tanda distress
Hipotonus (+) respirasi,
Status neurologis : jaga jalan nafas
Refleks Fisiologis (+)
Jika suhu > 38 C
Refleks Patologis : Babinski (+)
inj.pct extra 100 mg
Tanda rangsang meningeal : Kaku
kuduk (-),
Brudzinski 1 dan 2 (-)

A: bronkopneumonia
Cerebral Palsy Spastik

9/9/15 11.00 WIB (advice dr.widi Sp.A)


S: ibu mengatakan anaknya masih Th:/
U: 2th batuk. Sesak. Tidak dapat tidur. Oksigen 2 lpm
BB:9kg O: KU/KESS : TSS/ CM Infus RL 12 tpm
Kepala : mikrochepaly Injeksi cefotaxim 3 x
Mata : cekung -/- 250 mg (iv)
HR:140x/m Mulut : sianosis - Injeksi
RR:25x/m Hidung : NCH (-) dexamethasone 2 x
t: 37,9°C Thorax : simetris (+) 1/2 amp (iv)
N:i/t cukup retraksi (+). Ronki basah halus Peroral : Parasetamol
(+) hantaran (+) syr 3 x 1 cth
cor:/ BJI-II req, Ambroxol 1/5
m (-), g (-) Methyl prednisolon 5
p:/ SNV+/+, mg
rh-/-, wh-/- Salbutamol 1 mg
Abdomen : datar, supel, BU

8
(+) Monitoring
Ekstremitas : akral dingin -/-, Keadaan umum,
CRT <2s tanda vital
klonus (+), (HR, RR, Suhu)
spastis (-), tanda distress
Hipotonus (+) respirasi,
Status neurologis :
jaga jalan nafas
Refleks Fisiologis (+)
Jika suhu > 38 C
Refleks Patologis : Babinski (+)
inj.pct extra 100 mg
Tanda rangsang meningeal : Kaku
kuduk (-),
konsul rehabilitasi
Brudzinski 1 dan 2 (-)
medik.
A: bronkopneumonia
Cerebral Palsy

RESUME
2 hari SMRS (sebelum masuk rumah sakit) ibu pasien mengeluh anaknya
mengalami demam tinggi. Keluhan dirasakan tiba tiba dan bertambah berat.
keluhan tidak berkurang meski sudah diberi obat penurun panas. Sang ibu juga
mengatakan bahwa anaknya sangat rewel.
1 hari SMRS ibu pasien juga mengeluhkan bahwa demamnya tidak berkurang.
Ibu pasien mengatakan bahwa anak nya mulai timbul keluhan batuk dan pilek.
Keluhan batuk seperti ada bunyi “grok grok” tetapi tidak ada lendir atau darah
yang keluar. Sang ibu juga mengatakan bahwa anaknya terlihat sesak ketika
bernafas. Ibu pasien mengaku anaknya masih mau makan dan minum. Ibu pasien
juga mengatakan bahwa keluhan pasien sampai mengganggu tidur sang anak.
Riwayat kejang disangkal. Riwayat berak cair juga disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat perdarahan spontan disangkal.

9
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pada saat anak berusia 9 bulan pernah mengalami kejang sampai koma dan
dirawat di ICU. Kejang sempat berulang pada saat sang anak berusia 1 tahun tetapi
tidak separah saat yang pertama. Sampai saat ini perkembangan tumbuh kembang
anak terlihat terlambat.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti ini.
- Tidak terdapat anggota eluarga yang menderita batuk lama dan penyait paru
- Riwayat asma pada anggota keluarga tidak ada..
Riwayat Sosial Ekonomi :
Ayah penderita bekerja sebagai karyawan swasta. Biaya perawatan ditanggung
Askes Gakin
Kesan : sosial ekonomi kurang.
Riwayat Prenatal dan Posnatal
Saat mengandung penderita, ibu periksa kehamilan di bidan lebih dari 5x,
dan disuntik TT 2 x. ibu pasien mengaku memiliki riwayat perdarahan saat
kehamilan. Riwayat pernah keguguran disangkal, riwayat sakit panas selama
kehamilan disangkal. Obat-obatan yang diminum selama kehamilan yaitu vitamin
dan tablet penambah darah dari bidan.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
P2A0
Penderita lahir melalui sectio caesaria atas indikasi perdarahan dan plasenta
previa. Ibu mengatakan bahwa ketika lahir anaknya tidak langsung menangis
dan dirawat di ruang pengawasan selama 7 hari.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Sampai saat ini penderita belum dapat duduk sendiri berbicara dan berjalan.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan terlambat.

2. Pemeriksaan Fisik

10
Keadaan umum : Sadar, kurang aktif, rewel, tampak sesak nafas, ada
retraksi, tidak sianosis.
Tanda Vital
Heart rate : 132 x/menit
Nadi : isi dan tegangan cukup.
RR : 62 x/menit
Temperatur : 38,9 °C
Kepala : lingkar kepala 45.5 cm. mikrochephaly
Keadaan tubuh
Sianotik : (-)
Ikterik : (-)
Turgor : kembali cepat
Tonus : normotoni
Oedema : (-)
Dyspnoe : (+)

Dada
Paru
Inspeksi : simetris, retraksi (+) suprastrernal, epigastrial
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler
Suara Tambahan : ronkhi basah halus nyaring +/+
hantaran +/+
wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga V 2 cm medial linea
medioclavicularis kiri
Perkusi : sulit dinilai
Auskultasi : Bj I-II normal, bising (-), gallop (-), irama reguler,

11
aktivitas cukup, frekuensi jantung 132x/menit.
Anggota gerak
Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-


Sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capp. Refill <2” <2”
klonus (+), spastis (-), Hipotonus (+)
Status neurologis : Refleks Fisiologis (+)
Refleks Patologis : Babinski (+)
Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk (-),
Brudzinski 1 dan 2 (-)

E. DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif
1. Bronkopneumonia
2 Cerebral palsy

F. INITIAL PLAN
Assesment
I. Bronkopneumoni

Terapi : Oksigen 2 lpm


Infus RL 12 tpm
Injeksi cefotaxim 3 x 250 mg (iv)
Injeksi dexamethasone 2 x 1/2 amp (iv)
Peroral : Parasetamol syr 3 x 1 cth
Ambroxol 1/5
Methyl prednisolon 5 mg

12
Salbutamol 1 mg

Monitoring : Keadaan umum, tanda vital (HR, RR, Suhu) tanda distress respirasi,
jaga jalan nafas.
Jika suhu > 38 C inj.pct extra 100 mg
Edukasi : Menjelaskan kepada orangtua penderita mengenai penyakit yang
diderita oleh pasien dan program terapi yang akan dilaksanakan
pada pasien, serta hal-hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan oleh
keluarga pasien untuk mengawasi keadaan pasien.

II. Cerebral palsy


Terapi : fisioterapi terapi perilaku komprehensif.
-.Konsul dokter spesialis mata
- konsul doter spesialis THT
- konsul dokter spesialis rehabilitasi medik

Monitoring :Keadaan umum, tanda vital (HR, RR, Suhu) tanda distress respirasi,
jaga jalan nafas.

Edukasi : Menjelaskan kepada orangtua penderita mengenai penyakit yang


diderita oleh pasien dan program terapi yang akan dilaksanakan
pada pasien, serta hal-hal yang perlu dilakukan dan diperhatikan oleh
keluarga pasien untuk mengawasi keadaan pasien.

13
DASAR TEORI

I. Bronkopneumonia
DEFINISI

Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang

disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh

penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

gangguan pertukaran gas setempat.

KLASIFIKASI

1. Berdasarkan lokasi lesi di paru

Pneumonia lobaris

Pneumonia interstitialis

Bronkopneumonia

2. Berdasarkan asal infeksi

Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =

CAP)

Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab

Pneumonia bakteri

Pneumonia virus

Pneumonia mikoplasma

Pneumonia jamur

4. Berdasarkan karakteristik penyakit

Pneumonia tipikal

14
Pneumonia atipikal

5. Berdasarkan lama penyakit

Pneumonia akut

Pneumonia persisten

ETIOLOGI

Etiologi pneumonia sulit dipastikan karena kultur sekret bronkus merupakan

tindakan yang sangat invasif sehingga tidak dilakukan.

Hasil penelitian  44-85% CAP disebabkan oleh bakteri dan virus, dan 25-40%

diantaranya disebabkan lebih dari satu patogen. Patogen penyebab pneumonia

pada anak bervariasi tergantung :

- Usia

- Status lingkungan

- Kondisi lingkungan (epidemiologi setempat, polusi udara)

- Status imunisasi

- Faktor pejamu (penyakit penyerta, malnutrisi)

Sebagian besar pneumonia bakteri didahului dulu oleh infeksi virus.

Etiologi menurut umur, dibagi menjadi :

1. Bayi baru lahir (neonatus – 2 bulan)

15
Organisme saluran genital ibu : Streptokokus grup B, Escheria coli dan kuman

Gram negatif lain, Listeria monocytogenes, Chlamydia trachomatis 

tersering , Sifilis kongenital  pneumonia alba.

Sumber infeksi lain : Pasase transplasental, aspirasi mekonium, CAP

2. Usia > 2 – 12 bulan

Streptococcus aureus dan Streptokokus grup A  tidak sering tetapi fatal.

Pneumonia dapat ditemukan pada 20% anak dengan pertusis

3. Usia 1 – 5 tahun

Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus 

tersering

Chlamydia pneumonia : banyak pada usia 5-14 th (disebut pneumonia

atipikal)

4. Usia sekolah dan remaja

S. pneumonia, Streptokokus grup A, dan Mycoplasma pneumoniae

(pneumonia atipikal)terbanyak

PATOGENESIS

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai

parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme

pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.

Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan

mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan

respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,

makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

16
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau

bila virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas

bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas

bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan

kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan

mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar

25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif

jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial.

Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran

pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi

neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan

menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran

darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran

fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan

terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan

kerja jantung. Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan

disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan

kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara

enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk.

Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura

menyebabkan terjadinya empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung

secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan

pembentukan perlekatan.

17
MANIFESTASI KLINIK

Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas akut bagian atas

selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil. Suhu tubuh

kadang-kadang melebihi 40 0c, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai

batuk dengan sputum mukoid atau purulen, kadang-kadang berdarah.

PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkhopneumoni ditemukan hal-hal

sebagai berikut :

a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,

dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah

retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping

hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan. Tekanan

intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan resistensi tinggi

jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh

pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub kostal, dan fossae

supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang

melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang semakin positif.

Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat

interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.

Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan

fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling dapat

18
dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi otot ini

terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat diamati dengan jelas ketika anak

beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area suboksipital.

Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada “head bobbing”,

adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya

distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara

abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung

memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan napas

atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan napas atas

dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan

getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi

perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi

akan berkurang.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan

berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi

ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi),

keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak

(tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari

mekanisme terjadinya).

19
Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret

jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan peningkatan

corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar di pinggir

lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung

leukosit dapat membantu membedakan pneumoni viral dan bakterial.

Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm3

dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm3

dengan neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran

ke kiri serta peningkatan LED.

Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, pada stadium

lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif

sehingga tidak rutin dilakukan.

KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut :

a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding

dada

b. panas badan

20
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit

predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

KOMPLIKASI

Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam

rongga thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran

bakteremia dan hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah

komplikasi yang jarang dari penyebaran infeksi hematologi.

PENATALAKSANAAN

a. Penatalaksaan umum

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau

PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

b. Penatalaksanaan khusus

- mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan

pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti

awal.

Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,

takikardi, atau penderita kelainan jantung

21
- pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan

manifestasi klinis

Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah

dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi

80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan

epidemiologis

b. Berat ringan penyakit

c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :

Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-

72 jam pertama) menurut kelompok usia.

a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

- ampicillin + aminoglikosid

- amoksisillin-asam klavulanat

- amoksisillin + aminoglikosid

- sefalosporin generasi ke-3

b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

- beta laktam amoksisillin

- amoksisillin-amoksisillin klavulanat

- golongan sefalosporin

- kotrimoksazol

22
- makrolid (eritromisin)

c. Anak usia sekolah (> 5 thn)

- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and

error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal

tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.

Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan

yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih

tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu

diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang

menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif)

2. Cerebral Palsy
Cerebral Palsy adalah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal
dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan) serta
merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik dapat berubah
selama hidup dan menunjukan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai
kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basal dan
serebelum juga kelainan mental.
Terminology ini digunakan untuk mendeskripisikan kelompok penyakit kronik
yang mengenai pusat pengendalian pergerakan dengan manifestasi klinis yang
tampak pada beberapa tahun pertama kehidupan dan secara umum tidak akan
bertambah memburuk pada usia selanjutnya. Istilah cerebral ditujukan pada kedua
belahan otak, atau hemisfer dan palsi mendeskripsikan bermacam penyakit yang
mengenai pusat pengendalian pergerakan tubuh. Jadi penyakit tersebut tidak
disebabkan oleh masalah pada otot atau jaringan saraf tepi, melainkan terjadi
perkembangan yang salah atau kerusakan pada area motorik otak yang akan

23
mengganggu kemampuan otak untuk mengontrol pergerakan dan postur secara
adekuat.
Gejala CP tampak sebagai spektrum yang menggambarkan variasi
beratnya penyakit. Seseorang dengan CP dapat menampakkan gejala kesulitan
dalam hal motorik halus, misalnya menulis atau menggunakan gunting, masalah
keseimbangan dalam berjalan atau mengenai gerakan involunter, misalnya tidak
dapat mengontrol gerakan menulis. Gejala dapat berbeda pada setiap penderita,
dan dapat berubah pada seorang penderita. Penderita CP derajat berat akan
mengakibatkan tidak dapat berjalan atau membutuhkan perawatan yang ekstensif
dan jangka panjang, sedangkan CP derajat ringan mungkin hanya sedikit
canggung dalam gerakan dan membutuhkan bantuan yang tidak khusus. CP bukan
penyakit menular atau bersifat herediter.

Klasifikasi Klinis Cerebral Palsy


CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda klinis neurologis.
Spastic diplegia untuk pertama kali dideskripsikan oleh dr.Little (1860),
merupakan salah satu bentuk penyakit yang dikenal selanjutnya sebagai CP.
Hingga saat ini, CP diklasifikasikan berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi
dan dibagi dalam 4 kategori, yaitu :
1. CP Spastik
Merupakan bentukan CP yang terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan dan
secara permanen akan menjadi kontraktur. Jika kedua tungkai mengalami
spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan
lurus. Gambaran klinis ini membentuk karakterisitik berupa ritme berjalan yang
dikenal dengan gait gunting (scissor gait) (Bryers, 1941).
Anak dengan spastic hemiplegia dapat disetai tremor hemiparesis, dimana
seseorang tidak dapat mengendalikan gerakan pada tungkai pada satu sisi tubuh.
Jika tremor memberat, akan terjadi gangguan gerakan berat.
a. Monoplegi  bila hanya mengenai 1 ekstremitas saja, biasanya lengan
b. Diplegia  keempat ekstremitas terkena, tetapi kedua kaki lebih berat
daripada kedua lengan

24
c. Triplegia  bila mengenai 3 ekstremitas, yang paling banyak adalah
mengenai kedua lengan dan kaki
d. Quadriplegia  keempat ekstremitas terkena dengan derajat yang sama
e. Hemiplegia  Mengenai salah satu sisi dari tubuh dan lengan terkena
lebih berat
2. CP Atetoid / diskinetik
Bentuk CP ini mempunyai karakteristik gerakan menulis yang tidak terkontrol dan
perlahan. Gerakan abnormal ini mengenai tangan, kaki, lengan atau tungkai dan
pada sebagian besar kasus, otot muka dan lidah, menyebabkan anak tampak selalu
menyeringai dan selalu mengeluarkan air liur. Gerakan sering meningkat selama
periode peningkatan stress dan hilang pada saat tidur. Penderita juga mengalami
masalah koordinasi gerakan otot bicara (disartria). CP atetoid terjadi pada 10-20%
penderita CP.
3. CP Ataksid
Jarang dijumpai, mengenai keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita yang
terkena sering menunjukkan koordinasi yang buruk, berjalan tidak stabil dengan
gaya berjalan kaki terbuka lebar, meletakkan kedua kaki dengan posisi yang
saling berjauhan, kesulitan dalam melakukan gerkan cepat dan tepat, misalnya
menulis atau mengancingkan baju. Mereka juga sering mengalami tremor, dimulai
dengan gerakan volunter misalnya mengambil buku, menyebabkan gerakan
seperti menggigil pada bagian tubuh yang baru akan digunakan dan tampak
memburuk sama dengan saat pendertia akan menuju obyek yang dikehendaki.
Bentuk ataksid ini mengenai 5-10% penderita CP.
4. CP Campuran
Sering ditemukan pada seorang penderita mempunyai lebih dari satu bentuk CP
yang akan dijabarkan di atas. Bentuk campuran yang sering dijumpai adalah
spastic dan gerakan atetoid tetapi kombinasi lain juga mungkin dijumpai.

Dari defisit neurologis, CP terbagi :


1) Tipe spastis atau piramidal
Pada tipe ini gejala yang hampir selalu ada adalah:
•Hipertoni (fenomena pisau lipat)

25
•Hiperfleksi yang disertai klonus
•Kecenderungan timbul kontraktur
•Refleks patologis
2) Tipe ekstrapiramidal
Akan berpengaruh pada bentuk tubuh, gerakan involunter, seperti atetosis,
distonia, ataksia. Tipe ini sering disertai gangguan emosional dan retradasi mental.
Disamping itu juga dijumpai gejala hipertoni, hiperfleksi ringan, jarang sampai
timbul klonus. Pada tipe ini kontraktur jarang ditemukan apabila mengenai saraf
otak bisa terlihat wajah yang asimetris dan disartri
3) Tipe campuran
Gejala-gejala merupakan campuran kedua gejala di atas, misalnya hiperrefleksi
dan hipertoni disertai gerakan khorea.

CP juga dapat diklasifikan berdasarkan estimasi derajat beratnya penyakit dan


kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas normal (Tabel 1.)

Tabel 1. Klasifikasi CP berdasarkan Derajat Penyakit


Klasifikasi Perkembangan Gejala Penyakit
motorik penyerta
Minimal Normal, hanya  Kelainan tonus  Ganggua
terganggu secara sementar n
kualitatif  Refleks primitif komunik
menetap terlalu asi
lama  Ganggua
 Kelainan postur n belajar
ringan spesifik
 Gangguan gerak
motorik kasar dan
halus, misalnya
clumpsy
Ringan Berjalan umur 24  Perkembangan
bulan refleks primitif

26
abnormal
 Respon postular
terganggu
 Gangguan motorik
seperti tremor
 Gangguan
koordinasi
Sedang Berjalan umur 3  Berbagai kelainan  Retardasi
tahun kadang neurologis mental
memerlukan  Refleks primitif  Ganggua
bracing. Tidak menetap n belajar
perlu alat khusus  Respon postural dan
terlambat komunik
asi
 Kejang
Berat Tidak bisa berjalan  gejala neurologis
atau berjalan dominan
dengan alat bantu,  refleks primitif
kadang butuh menetap
operasi  respon postural
tidak muncul

Penyakit lain yang berhubungan dengan Cerebral palsy


Banyak penderita CP juga menderita penyakit lain. Kelainan yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan gangguan fungsi motorik dapat
menyebabkan kejang dan mempengaruhi perkembangan intelektual seseorang,
atensi terhadap dunia luar, aktivitas dan perilaku, dan penglihatan dan
pendengaran. 4 Penyakit – penyakit yang berhubungan dengan CP adalah :
 Gangguan mental
o Sepertiga anak CP memiliki gangguan intelektual ringan, sepertiga dengan
gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya normal. Gangguan
mental sering dijumpai pada anak dengan klinis spastik quadriplegia.
 Kejang atau epilepsi

27
o Setengah dari seluruh anak CP menderita kejang. Selam kejang, aktivitas
elektri dengan pola normal dan teratur di otak mengalami gangguan karena
letupan listrik yang tidak terkontrol. Pada pendertia CP dan epilepsi,
gangguan tersebut akan tersebar keseluruh otak dan menyebabkan gejala
pada seluruh tubuh, seperti kejang tonik-klonik atau mungkin hanya pada
satu bagian otal dan menyebabkan gejala kejang parsial. Kejang tonik-
klonik secara umum menyebabkan penderita menjerit dan diikuti dengan
hilangnya kesadaran, twitching kedua tungkai dan lengan, gerakan tubuh
konvulsi dan hilangnya kontrol kandung kemih.
 Gangguan pertumbuhan
o Sindroma gagal tumbuh sering terjadi pada CP derajat sedang hingga
berat, terutama tipe quadriparesis. Gagal tumbuh secara umum adalah
istilah untuk mendeskripsikan anak – anak yang terhambat pertumbuhan
dan perkembangannya walaupun dengan asupan makanan yang cukup.
Tampak pendek dan tidak tampak tanda maturasi seksual. Sebagai
tambahan, otot tungkai yang mengalami spastisitas mempunyai
kecenderungan lebih kecil dibanding normal. Kondisi tersebut juga
mengenai tangan dan kaki karena gangguan penggunaan otot tungkai
(disuse atrophy).
 Gangguan penglihatan dan pendengaran
o Mata tampak tidak segaris karena perbedaan pada otot mata kanan dan kiri
sehingga menimbulkan penglihatan ganda. Jika tidak segera dikoreksi
dapat menimbulkan gangguan berat pada mata.
 Sensasi dan persepsi normal
Sebagian pendertia CP mengalami gangguan kemampuan untuk
merasakan sensasi misalnya sentuhan dan nyeri. Mereka juga mengalami
stereognosia, atau kesulitan merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui
sensasi.

Patofisiology Cerebral Palsy


CP bukan merupakan satu penyakit dengan satu penyebab. CP merupakan
grup penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi dapat mempunyai

28
penyabab yang berbeda. Untuk menentukan penyebab CP, harus digali mengenai
hal : bentuk CP, riwayat kesehatan ibu dan anak, dan onset penyakit.
Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya neuron dan
degenerasi laminar akan menimbulkan narrowergyiri, suluran sulci dan berat otak
rendah. CP digambarkan sebagai kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang
disebabkan oleh cacat nonprogressive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu
presentasi CP dapat diakibatkan oleh suatu dasar kelainan (struktural otak : awal
sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-luka / kerugian setelah kelahiran dalam
kaitan dengan ketidakcukupan vaskuler, toksin atau infeksi).
Di USA, sekitar 10 – 20% CP disebabkan oleh karena penyakit setelah
lahir. Dapat juga merupakan hasil dari kerusakan otak pada bulan – bulan pertama
atau tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa infeksi otak, misalnya
meningitis bakteri atau ensefalitis virus, atau merupakan hasil dari trauma kepala
yang sering akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh atau penganiayaan anak.
Penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi
kejadian spesifik pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi
kerusakan pusat motorik pada otak yang sedang berkembang. Beberapa penyebab
CP kongenital adalah :
1. Infeksi pada kehamilan
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, akan menyebabkan
kerusakan sistem saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain yang dapat
menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan toxoplasmosis.
2. Ikterus neonatorum
Pada keadaan Rh/ABO inkompatibilitas, terjadi kerusakan eritrosit dalam waktu
singkat, sehingga bilirubin indirek akan menngkat dan menyebabkan ikterus.
Ikterus berat dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen.
3. Kekurangan oksigen berat pada otak atau trauma kepala selama proses
persalinan.
Asfiksia sering dijumpai pada bayi bayi dengan kesulitan persalinan. Asfiksia
menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak bayi dalam periode lama, anak
tersebut akan mengalami kerusakan otak yang dikenal dengan hipoksik iskemik

29
ensefalopati. Angka mortalitas meningkat pada kondisi asfiksia berat, dimana daat
bersama dengan gangguan mental dan kejang.
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai
penyebab CP :
1. Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri tali pusat
janin, atau neonatal dini pH=7 dan BE=12mmol/L
2. Neonatal encephalopathy dini berat sampai sedang pada bayi >34minggu
gestasi
3. Tipe CP spastik quadriplegia atau diskinetik
4. Tanda hipoksik pada bayi segera setelah lahir atau selama persalinan
5. Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk segera
setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui dalam batas normal
6. Apgar score 0-6 = 5 menit
7. Multi sistim tubuh terganggu segera setelah hipoksik
8. Imaging dini abnormalitas cerebral
4. Stroke
Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada fetus atau
bayi baru lahir. Stroke ini menyebabkan kerusakan jaringan otak dan
menyebabkan terjasinya masalah neurologis.

Faktor – faktor yang menyatakan penyebab selain hipoksik intrapartum sebagai


penyebab CP :
1. Pada pemeriksaan analisis gas darah arteri umbilikal <1mmol/L atau
pH>7
2. Bayi dengan kelainan kongenital mayor atau multipel atau kelainan
metabolik
3. Infeksi SSP atau siskemik
4. Bayi dengan tanda hambatan pertumbuhan intra uterin
5. Mikrocefali
6. Adanya faktor resiko antenatal lain untuk CP, misalnya prematuritas,
kehamilan ganda dan penyakit autoimun

30
7. Adanya faktor resiko postnatal untuk CP seperti postnatal ensefalitis,
hipotensi memanjang atau hipoksik karena penyakit respirasi

Faktor Resiko Cerebral Palsy


Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya CP semakin
besar antara lain adalah:
a. Letak sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
Masalah vaskuler atau respirasi bayi selama persalinan merupakan tanda awal
yang menunjukkan adanya masalah kerusakan otak atau otak bayi tidak
berkembang secara normal. Komplikasi tersebut dapat menyebabkan kerusakan
otak permanen.
c. Apgar score rendah.
Apgar score yang rendah hingga 10-20 menit setelah kelahiran.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko CP lebih tinggi diantara bayi dengan berat lahir <2500gram dan bayi lahir
dengan usia kehamilan <37 minggu. Resiko akan meningkat sesuai dengan
rendahnya berat lahir dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan CP memperlihatkan malformasi SSP
yang nyata, misalnya lingkar kepala abnormal (mikrosefali). Hal tersebut
menunjukkan bahwa masalah telah terjadi pada saat perkembangan SSP sejak
dalam kandungan.
g. Perdarahan maternal atau proteinuria berat pada saat masa akhir
kehamilan. Perdarahan vaginal selama bulan ke 9 hingga 10 kehamilan
dan peningkatan jumlah protein dalam urine berhubungan dengan
peningkatan resiko terjadinya CP pada bayi
h. Hipertiroidism maternal, mental retardasi dan kejang.
i. Kejang pada bayi baru lahir

31
Diagnosis Cerebral Palsy
a. Gejala Awal
Tanda awal CP biasanya tampak pada usia <3 tahun, dan orang tua sering
mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak normal. Bayi dengan
CP sering mengalami kelambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk,
merangkak, tersenyum atau berjalan.1
1) Spastisitas
Terdapat peninggian tonus otot dan refleks yang disertai dengan klonus dan reflek
Babinski yang positif. Tonus otot yang meninggi itu menetap dan tidak hilang
meskipun penderita dalam keadaan tidur. Peninggian tonus ini tidak sama
derajatnya pada suatu gabungan otot, karena itu tampak sifat yang khas dengan
kecenderungan terjadi kontraktur, misalnya lengan dalam aduksi, fleksi pada sendi
siku dan pergelangan tangan dalam pronasi serta jari-jari dalam fleksi sehingga
posisi ibu jari melintang di telapak tangan. Tungkai dalam sikap aduksi, fleksi
pada sendi paha dan lutut, kaki dalam flesi plantar dan telapak kaki berputar ke
dalam. Tonic neck reflex dan refleks neonatal menghilang pada waktunya.
Kerusakan biasanya terletak di traktus kortikospinalis. Bentuk kelumpuhan
spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya kerusakan yaitu monoplegia/
monoparesis. Kelumpuhan keempat anggota gerak, tetapi salah satu anggota gerak
lebih hebat dari yang lainnya; hemiplegia/ hemiparesis adalah kelumpuhan lengan
dan tungkai dipihak yang sama; diplegia/ diparesis adalah kelumpuhan keempat
anggota gerak tetapi tungkai lebih hebat daripada lengan; tetraplegia/ tetraparesis
adalah kelimpuhan keempat anggota gerak, lengan lebih atau sama hebatnya
dibandingkan dengan tungkai.
2) Tonus otot yang berubah
Bayi pada golongan ini, pada usia bulan pertama tampak flaksid (lemas) dan
berbaring seperti kodok terlentang sehingga tampak seperti kelainan pada lower
motor neuron. Menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot dari
rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak fleksid dan sikapnya
seperti kodok terlentang, tetapi bila dirangsang atau mulai diperiksa otot tonusnya
berubah menjadi spastis, Refleks otot yang normal dan refleks babinski negatif,

32
tetapi yang khas ialah refelek neonatal dan tonic neck reflex menetap. Kerusakan
biasanya terletak di batang otak dan disebabkan oleh afiksia perinatal atau ikterus.
3) Koreo-atetosis
Kelainan yang khas yaitu sikap yang abnormal dengan pergerakan yang terjadi
dengan sendirinya (involuntary movement). Pada 6 bulan pertama tampak flaksid,
tetapa sesudah itu barulah muncul kelainan tersebut. Refleks neonatal menetap
dan tampak adanya perubahan tonus otot. Dapat timbul juga gejala spastisitas dan
ataksia, kerusakan terletak diganglia basal disebabkan oleh asfiksia berat atau
ikterus kern pada masa neonatus.
4) Ataksia
Ataksia adalah gangguan koordinasi. Bayi dalam golongan ini biasanya flaksid
dan menunjukan perkembangan motorik yang lambat. Kehilangan keseimbangan
tamapak bila mulai belajar duduk. Mulai berjalan sangat lambat dan semua
pergerakan canggung dan kaku. Kerusakan terletak diserebelum.
5) Gangguan pendengaran
Terdapat 5-10% anak dengan serebral palsi. Gangguan berupa kelainan neurogen
terutama persepsi nada tinggi, sehingga sulit menangkap kata-kata. Terdapat pada
golongan koreo-atetosis.
6) Gangguan bicara
Disebabkan oleh gangguan pendengaran atau retradasi mental. Gerakan yang
terjadi dengan sendirinya dibibir dan lidah menyebabkan sukar mengontrol otot-
otot tersebut sehingga anak sulit membentuk kata-kata dan sering tampak anak
berliur.
7) Gangguan mata
Gangguan mata biasanya berupa strabismus konvergen dan kelainan refraksi.pada
keadaan asfiksia yang berat dapat terjadi katarak.
b. Pemeriksaan fisik
Dalam menegakkan diagnosis CP perlu melakukan pemeriksaan kemampuan
motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai dari riwayat kehamilan,
persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan
mengukur perkembangan lingkar kepala anak.4

33
Perlu juga memeriksa penggunaan tangan, kecenderungan untuk menggunakan
tangan kanan atau kiri. Jika dokter memegang obyek didepan dan pada sisi dari
bayi, bayi akan mengambil benda tersebut dengan tangan yang cenderung dipakai,
walaupun obyek didekatkan pada tangan yang sebelahnya. Sampai usia 12 bulan,
bayi masih belum menunjukkan kecenderungan menggunakan tangan yang
dipilih. Tetapi bayi dengan spastik hemiplegia, akan menunjukkan perkembangan
pemilihan tangan lebih dini, sejak tangan pada sisi yang tidak terkena menjadi
lebih kuat dan banyak digunakan.
Langkah selanjutnya dalam diagnosis CP adalah menyingkirkan penyakit lain
yang menyebabkan masalah pergerakan. Yang terpenting, harus ditentukan bahwa
kondisi anak tidak bertambah memburuk. Walaupun gejala dapat berubah
bersama waktu, CP sesuai dengan definisinya tidak dapat menjadi progresif. Jika
anak secara progresif kehilangan kemampuan motorik, ada kemungkinan terdapat
masalah yang berasal dari penyakit lain, misalnya penyakit genetik, penyakit
muskuler, kelainan metabolik, tumor SSP. Penelitian metabolik dan genetik tidak
rutin dilakukan dalam evaluasi anak dengan CP. Riwayat medis anak,
pemeriksaan diagnostik khusus, dan, pada sebagian kasus, pengulangan
pemeriksaan akan sangat berguna untuk konfirmasi diagnostik dimana penyakit
lain dapat disingkirkan.
PEMERIKSAAN NEURORADIOLOGIK
Pemeriksaan khusus neuroradiologik untuk mencari kemungkinan penyebab CP
perlu dikerjakan, salah satu pemeriksaan adalah CT scan kepala, yang merupakan
pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan otak. CT scan dapat
menjabarkan area otak yang kurang berkembang, kista abnormal, atau kelainan
lainnya. Dengan informasi dari CT Scan, dokter dapat menentukan prognosis
penderita CP.
MRI kepala, merupakan tehnik imaging yang canggih, menghasilkan gambar
yang lebih baik dalam hal struktur atau area abnormal dengan lokasi dekat dengan
tulang dibanding dengan CT scan kepala.
Dikatakan bahwa neuroimaging direkomendasikan dalam evaluasi anak CP jika
etiologi tidak dapat ditemukan.

34
Pemeriksaan ketiga yang dapat menggambarkan masalah dalam jaringan otak
adalah USG kepala. USG dapat digunakan pada bayi sebelum tulang kepala
mengeras dan UUB tertutup. Walaupun hasilnya kurang akurat dibanding CT dan
MRI, tehnik tersebut dapat mendeteksi kista dan struktur otak, lebih murah dan
tidak membutuhkan periode lama pemeriksaannya.

PEMERIKSAAN LAIN
Pada akhirnya, klinisi mungkin akan mempertimbangkan kondisi lain yang
berhubungan dengan CP, termasuk kejang, gangguan mental, dan visus atau
masalah pendengaran untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang
dibutuhkan.
Jika dokter menduga adanya penyakit kejang, EEG harus dilakukan (Level A,
Class I-II evidence. EEG akan membantu dokter untuk melihat aktivitas elektrik
otak dimana akan menunjukkan penyakit kejang. Pemeriksaan intelegensi harus
dikerjakan untuk menentukan derajat gangguan mental. Kadangkala intelegensi
anak sulit ditentukan dengan sebenarnya karena keterbatasan pergerakan, sensasi
atau bicara, sehingga anak CP mengalami kesulitan melakukan tes dengan baik.
Jika diduga ada masalah visus, dokter harus merujuk ke optalmologis untuk
dilakukan pemeriksaan; jika terdapat gangguan pendengaran, dapat dirujuk ke
dokter THT. Identifikasi kelainan penyerta sangat penting sehingga diagnosis dini
akan lebih mudah ditegakkan. Banyak kondisi diatas dapat diperbaiki dengan
terapi spesifik, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup penderita CP.

Tatalaksana Cerebral Palsy


Masalah utama penderita cerebral palsy
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang menderita CP antara
lain :
1. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah akan
menyebabkan anak tampak selalu berliur.
Air liur dapat menyebabkan iritasi berat kulit dan menyebabkan seseorang sulit
diterima dalam kehidupan sosial dan pada akhirnya menyebabkan anak akan

35
terisolir dalam kehidupan kelompoknya. Walaupun sejumlah terapi untuk
mengatasi drooling telah dicoba selama bertahun-tahun, dikatakan tidak ada
satupun yang selalu berhasil. Obat yang dikenal dengan antikholinergik dapat
menurunkan aliran saliva tetapi dapat menimbulkan efek samping yang bermakna,
misalnya mulut kering dan digesti yang buruk. Pembedahan, walaupun kadang-
kadang efektif, akan membawa komplikasi, termasuk memburuknya masalah
menelan. Beberapa penderita berhasil dengan teknik biofeedback yang dapat
memberitahu penderita saat drooling atau mengalami kesulitan untuk
mengendalikan otot yang akan membuat mulut tertutup. Terapi tersebut
tampaknya akan berhasil jika penderita mempunyai usia mental 2-3 tahun, dimana
dapat dimotivasi untuk mengendalikan drooling, dan dapat mengerti bahwa
drooling akan menyebabkan seseorang secara sosial sulit diterima.
2. Kesulitan makan dan menelan, yang dipicu oleh masalah motorik pada
mulut, dapat menyebab gangguan nutrisi yang berat.
Nutrisi yang buruk, pada akhirnya dapat membuat seseorang rentan terhadap
infeksi dan menyebabkan gagal tumbuh. Untuk membuat menelan lebih mudah,
disarankan untuk membuat makanan semisolid, misalnya sayur dan buah yang
dihancurkan. Posisi ideal, misalnya duduk saat makan atau minum dan
menegakkan leher akan menurunkan resiko tersedak. Pada kasus gangguan
menelan berat dan malnutrisi, klinisi dapat merekomendasikan penggunaan selang
makanan, yang digunakan untuk memasukkan makanan dan nutrien ke saluran
makanan, atau gastrostomy, dimana dokter bedah akan meletakkan selang
langsung pada lambung.
3. Inkontinentia Urin.
Inkontinentia urin adalah komplikasi yang sering terjadi. Inkontinentia urin ini
disebabkan karena penderita CP kesulitan mengendalikan otot yang selalu
menjaga supaya kandung kemih selalu tertutup. Inkontinentia urin dapat berupa
enuresis, dimana seseorang tidak dapat mengendalikan urinasi selama aktivitas
fisik (stress inkonentia), atau merembesnya urine dari kandung kemih. Terapi
medikasi yang dapat diberikan untuk inkonensia meliputi olah raga khusus,
biofeedback, obat- obatan, pembedahan atau alat yang dilekatkan dengan
pembedahan untuk mengganti atau membantu otot.

36
CP tidak dapat disembuhkan, terapi yang dilakukan ditujukan untuk memperbaiki
kapabilitas anak. Dalam perkembangannya, hingga saat ini tujuan terapi pada CP
adalah mengusahakan penderita dapat hidup mendekati kehidupan normal dengan
mengelola problem neurologis yang ada seoptimal mungkin. Disini tidak ada
terapi standar yang berlaku untuk semua penderita CP. Klinisi diharapkan dapat
bekerja sama dalam tim, untuk mengidentifikasi kebutuhan khusus masing-
masing anak dan kelainan-kelainan yang ada dan kemudian menentukan terapi
individual yang cocok untuk setiap penderita (Goldberg, 1991; Champbell, 1996).
Beberapa pendekatan tatalaksana yang direncanakan meliputi obat-obatan untuk
mengontrol kejang dan spasme otot, penyangga khusus untuk kompensasi
keseimbangan otot, pembedahan, peralatan mekanis untuk membantu kelainan
yang timbul, konseling emosional dan kebutuhan psikologis, dan fisik, okupasi,
bicara dan terapi perilaku.

TIM TERAPI CEREBRAL PALSY

Tim Penanganan CP adalah multidisipliner dan anggota tim terapi CP berdasarkan


profesionalisme dengan berbagai spesialisasi, antara lain: 2
1. Dokter.
Misalnya spesialis anak, spesialis saraf anak atau psikiatri anak, dilatih untuk
membantu memonitoring dan memperbaiki kecacatan perkembangan anak. Klinisi
tersebut, sering menjadi pemimpin tim, bekerja untuk membuat
kesimpulan/rangkuman semua nasihat profesional dari seluruh anggota tim hingga
dicapai kesepakatan rencana terapi, implementasi terapi, dan mengikuti
perkembangan penderita selama beberapa tahun
2. Orthopedist
Dokter spesialisasi dalam bidang tulang, otot, tendon, dan bagian lain dari sistim
skeletal tubuh. Orthopedis dilibatkan untuk menentukan prediksi, diagnosis atau
terapi masalah otot yang berkaitan dengan CP
3. Terapis fisik
Membuat dan mengimplementasikan program latihan khusus untuk memperbaiki
gerakan dan kekuatan

37
4. Terapis okupasi
Merupakan orang yang dapat membantu kemampuan pemahanan penderita untuk
kehidupan sehari-hari, sekolah dan bekerja
5. Pelatih bicara dan bahasa
Spesialisasi dalam diagnosis dan terapi masalah komunikasi
6. Pekerja sosial
Bertugas untuk membantu penderita dan keluarga yang hidup dalam komunitas
dan program edukasi
7. Psikolog
Psikolog dibutuhkan agar dapat membantu penderita dan keluarga menghadapi
tekanan khusus dan kebutuhan dari penderita CP. Pada banyak kasus, psikolog
dapat mengatur terapi dengan memodifikasi perilaku yang tidak membantu atau
destruktif
8. Guru
Seseorang yang dapat berperan penting jika terdapat gangguan mental atau
gangguan proses belajar
Penderita, keluarga dan pengasuh merupakan kunci dari keberhasilan terapi,
mereka seharusnya terlibat jauh pada semua tingkat rencana, pembuatan
keputusan, dan mengaplikasikan terapi. Penelitian menunjukkan bahwa dukungan
keluarga dan determinasi personal adalah dua dari prediktor-prediktor yang sangat
penting untuk mencapai kemajuan jangka panjang
Terapi spesifik Cerebral palsy
 Terapi Fisik, Perilaku dan Lainnya
Terapi, apakah untuk pergerakan, bicara atau kemampuan mengerjakan tugas
sederhana, merupakan tujuan dari terapi CP. Terapi CP ditujukan pada perubahan
kebutuhan penderita sesuai dengan perkembangan usia.
Terapi fisik selalu dimulai pada usia tahun pertama kehidupan, segera setelah
diagnostik ditegakkan. Program terapi fisik menggunakan gerakan spesifik
mempunyai 2 tujuan utama yaitu mencegah kelemahan atau kemunduran fungsi
otot yang apabila berlanjut akan menyebabkan pengerutan otot (disuse atrophy)
dan yang kedua adalah

38
menghindari kontraktur, dimana otot akan menjadi kaku yang pada akhirnya akan
menimbulkan posisi tubuh abnormal.
Kontraktur adalah satu komplikasi yang sering terjadi. Pada keadaan normal, dengan
panjang tulang yang masih tumbuh akan menarik otot tubuh dan tendon pada saat
berjalan dan berlari dan aktivitas sehari-hari. Hal ini memastikan bahwa otot akan
berkembang dalam kecepatan yang sama. Tetapi pada anak dengan CP, spastisitas
akan mencegah peregangan otot dan hal tersebut akam menyebabkan otot tidak dapat
berkembang cukup pesat untuk mengimbangi kecepatan tumbuh tulang. Kontraktur
dapat mengganggu keseimbangan dan memicu hilangnya kemampuan yang
sebelumnya. Dengan melakukan terapi fisik saja atau dengan kombinasi penopang
khusus (alat orthotik), kita dapat mencegah komplikasi dengan cara melakukan
peregangan pada otot yang spastik. Sebagai contoh, jika anak mengalami spastik
pada otot hamstring, terapis dan keluarga seharusnya mendorong anak untuk duduk
dengan kaki diluruskan untuk meregangkan ototnya.
Tujuan ketiga dari program terapi fisik adalah meningkatkan perkembangan motorik
anak. Cara kerja untuk mendukung tujuan tersebut dengan tehnik Bobath. Dasar dari
program tersebut adalah refleks primitif akan tertahan pada anak CP yang
menyebabkan hambatan anak untuk belajar mengontrol gerakan volunter. Terapis
akan berusaha untuk menetralkan refleks tersebut dengan memposisikan anak pada
posisi yang berlawanan. Jadi, sebagai contoh, jika anak dengan CP normalnya selalu
melakukan fleksi pada lengannya, terapis seharusnya melakukan gerakan ekstensi
berulang kali pada lengan tersebut.
Pendekatan kedua untuk terapi fisik adalah membuat pola, berdasarkan prinsip
bahwa kemampuan motorik seharusnya diajarkan dalam ururtan yang sama supaya
berkembang secara normal. Pada pendekatan kontrovesial tersebut, terapis akan
membimbing anak sesuai dengan gerakan sepanjang alur perkembangan motorik
normal. Sebagai contoh, anak belajar gerakan dasar seperti menarik badannya pada
posisi duduk dan merangkak sebelum anak mampu berjalan, yang berhubungan
dengan tanpa melihat usianya.
Terapi perilaku merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan kemampuan anak.
Terapi ini, menggunakan teori dan tehnik psikologi, yang dapat melengkapi terapi

39
fisik, bicara dan okupasi. Sebagai contoh, terapi perilaku meliputi menyembunyikan
boneka dalam kotak dengan harapan anak dapat belajar bagaimana meraih kotak
dengan menggunakan tangan yang lebih lemah. Seperti anak belajar untuk berkata
dengan huruf depan b dapat menggunakan balon untuk menciptakan kata tersebut.
Pada kasus yang lain, terapis dapat mencoba menghindari perilaku yang tidak
menguntungkan atau perilaku merusak, misalnya menarik rambut atau menggigit,
dengan menunjukkan hadiah pada anak yang menunjukkan aktivitas yang baik.

Terapi Medikamentosa
Untuk penderita CP yang disertai kejang, dokter dapat memberi obat anti kejang
yang terbukti efektif untuk mencegah terjadinya kejang ulangan. obat yang diberikan
secara individual dipilih berdasarkan tipe kejang, karena tidak ada satu obat yang
dapat mengontrol semua tipe kejang. Bagaimanapun juga, orang yang berbeda
walaupun dengan tipe kejang yang sama dapat membaik dengan obat yang berbeda,
dan banyak orang mungkin membutuhkan terapi kombinasi dari dua atau lebih
macam obat untuk mencapai efektivitas pengontrolan kejang
Tiga macam obat yang sering digunakan untuk mengatasi spastisitas pada penderita
CP adalah:
1. Diazepam
Obat ini bekerja sebagai relaksan umum otak dan tubuh.
Pada anak usia <6 bulan tidak direkomendasikan, sedangkan pada anak usia >6 bulan
diberikan dengan dosis 0,12 - 0,8 mg/KgBB/hari per oral dibagi dalam 6 - 8 jam, dan
tidak melebihi 10 mg/dosis
2. Baclofen
Obat ini bekerja dengan menutup penerimaan signal dari medula spinalis yang akan
menyebabkan kontraksi otot.
Dosis obat yang dianjurkan pada penderita CP adalah sebagai berikut:
■ 2 - 7 tahun:
Dosis 10 - 40 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 - 4 dosis. Dosis dimulai 2,5 - 5 mg per
oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 - 15 mg/hari, maksimal 40 mg/hari
■ 8 - 11 tahun:

40
Dosis 10 - 60 mg/hari per oral, dibagi dalam 3 -4 dosis. Dosis dimulai 2,5 - 5 mg per
oral 3 kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 5 - 15 mg/hari, maksimal 60 mg/hari
■ > 12 tahun:
Dosis 20 - 80 mg/hari per oral, dibagi dalam 3-4 dosis. Dosis dimulai 5 mg per oral 3
kali per hari, kemudian dosis dinaikkan 15 mg/hari, maksimal 80 mg/hari
3. Dantrolene
Obat ini bekerja dengan mengintervensi proses kontraksi otot sehingga kontraksi otot
tidak bekerja.
Dosis yang dianjurkan dimulai dari 25 mg/hari, maksimal 40 mg/hari
Obat-obatan tersebut diatas akan menurunkan spastisitas untuk periode singkat,
tetapi untuk penggunaan jangka waktu panjang belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Obat - obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, misalnya mengantuk, dan
efek jangka panjang pada sistem saraf yang sedang berkembang belum jelas. Satu
solusi untuk menghindari efek samping adalah dengan mengeksplorasi cara baru
untuk memberi obat - obat tersebut .Penderita dengan CP atetoid kadang-kadang
dapat diberikan obat-obatan yang dapat membantu menurunkan gerakan-gerakan
abnormal. Obat yang sering digunakan termasuk golongan antikolinergik, bekerja
dengan menurunkan aktivitas acetilkoline yang merupakan bahan kimia messenger
yang akan menunjang hubungan antar sel otak dan mencetuskan terjadinya kontraksi
otot. Obat-obatan antikolinergik meliputi trihexyphenidyl, benztropine dan
procyclidine hydrochloride.Adakalanya, klinisi menggunakan membasuh dengan
alkohol atau injeksi alkohol kedalam otot untuk menurunkan spastisitas untuk
periode singkat. Tehnik tersebut sering digunakan klinisi saat hendak melakukan
koreksi perkembangan kontraktur. Alkohol yang diinjeksikan kedalam otot akan
melemahkan otot selama beberapa minggu dan akan memberikan waktu untuk
melakukan bracing, terapi. Pada banyak kasus, teknik tersebut dapat menunda
kebutuhan untuk melakukan pembedahan.
 Botulinum Toxin (BOTOX)
Merupakan medikasi yang bekerja dengan menghambat pelepasan acetilcholine dari
presinaptik pada pertemuan otot dan saraf. Injeksi pada otot yang kaku akan
menyebabkan kelemahan otot. Kombinasi terapi antara melemahkan otot dan

41
menguatkan otot yang berlawanan kerjanya akan meminimalisasi atau mencegah
kontraktur yang akan berkembang sesuai dengan pertumbuhan tulang. Intervensi ini
digunakan jika otot yang menyebabkan deformitas tidak banyak jumlahnya, misalnya
spastisitas pada tumit yang menyebabkan gait jalan berjinjit (Toe-heel gait) atau
spastisitas pada otot flexor lutut yang menyebabkan crouch gait. Perbaikan tonus otot
sering akibat mulai berkembangnya saraf terminal, yang merupakan proses dengan
puncak terjadi pada 60 hari.
Intervensi botulinum dapat digunakan pada deformitas ekstremitas atas yang secara
sekunder akibat tonus otot abnormal dan tumbuhnya tulang. Kelainan yang sering
dijumpai adalah aduksi bahu dan rotasi internal, fleksi lengan, pronasi telapak tangan
dan fleksi pergelangan tangan dan jari-jari. Botulinum toksin sangat efektif untuk
memperbaiki kekakuan siku dan ekstensi ibu jari. Seperti sudah diduga sebelumnya,
fungsi motorik halus tidak banyak mengalami perbaikan. Keuntungan dari segi
kosmetik untuk memperbaiki fleksi siku sangat dramatik.
Komplikasi injeksi botulinum toksin dikatakan minimal. Nyeri akibat injeksi
minimal, biasanya akan hilang tidak lebih dari 5 menit setelah injeksi. Efikasi
tercapai dalam 48-72 jam dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah injeksi.
Lama waktu penggunaan botulinum toksi dilanjutkan tergantung dari derajat
abnormalitas tonus otot, respon penderita dan kemampuan untuk memelihara fungsi
yang diinginkan.
 Baclofen Intratekal
Baclofen merupakan GABA agonis yang diberikan secara intratekal melalui pompa
yang ditanam akan sangat membantu penderita dalam mengatasi kekakuan otot berat
yang sangat mengganggu fungsi normal tubuh. Karena Baclofen tidak dapat
menembus BBB secara efektif, obat oral dalam dosis tinggi diperlukan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan jika dibandingkan dengan cara pemberian
intratekal. Dijumpai penderita dengan baclofen oral akan tampak letargik.
Baclofen intratekal diberikan pertama kali sejak tahun 1980 sebagai obat untuk
mengendalikan spasme otot berat akibat trauma pada tulang belakang. Sejak tahun
1990, metode pengobatan ini mulai digunakan untuk koreksi pada penderita CP dan
menunjukkan efikasi yang baik.

42
 Terapi Bedah
Pembedahan sering direkomendasikan jika terjadi kontraktur berat dan menyebabkan
masalah pergerakan berat. Dokter bedah akan mengukur panjang otot dan tendon,
menentukan dengan tepat otot mana yang bermasalah. Menentukan otot yang
bermasalah merupakan hal yang sulit, berjalan dengan cara berjalan yang benar,
membutuhkan lebih dari 30 otot utama yang bekerja secara tepat pada waktu yang
tepat dan dengan kekuatan yang tepat. Masalah pada satu otot dapat menyebabkan
cara berjalan abnormal. Lebih jauh lagi, penyesuaian tubuh terhadap otot yang
bermasalah dapat tidak tepat. Alat baru yang dapat memungkinkan dokter untuk
melakukan analisis gait. Analisis gait menggunakan kamera yang merekam saat
penderita berjalan, komputer akan menganalisis tiap bagian gait penderita. Dengan
menggunakan data tersebut, dokter akan lebih baik dalam melakukan upaya
intervensi dan mengkoreksi masalah yang sesungguhnya. Mereka juga menggunakan
analisis gait untuk memeriksa hasil operasi.
Oleh karena pemanjangan otot akan menyebabkan otot tersebut lebih lemah,
pembedahan untuk koreksi kontraktur selalu diamati selama beberapa bulan setelah
operasi. Karena hal tersebut, dokter berusaha untuk menentukan semua otot yang
terkena pada satu waktu jika memungkinkan atau jika lebih dari satu produser
pembedahan tidak dapat dihindarkan, mereka dapat mencopba untuk menjadwalkan
operasi yang terkait secara bersama-sama.
Teknik kedua pembedahan, yang dikenal dengan selektif dorsal root rhizotomy,
ditujukan untuk menurunkan spastisitas pada otot tungkai dengan menurunkan
jumlah stimulasi yang mencapai otot tungkai melalui saraf. Dalam prosedur tersebut,
dokter berupaya melokalisir dan memilih untuk memotong saraf yang terlalu
dominan yang mengontrol otot tungkai. walaupun disini terdapat kontroversi dalam
pelaksanaannya.
Teknik pembedahan eksperimental meliputi stimulasi kronik cerebellar dan
stereotaxic thalamotomy. Pada stimulasi kronik cerebelar, elektroda ditanam pada
permukaan cerebelum yang merupakan bagian otak yang bertanggung jawab dalam
koordinasi gerakan, dan digunakan untuk menstimulasi saraf-saraf cerebellar, dengan

43
harapan bahwa teknik tersebut dapat menurunkan spastisitas dan memperbaiki fungsi
motorik, hasil dari prosedur invasif tersebut masih belum jelas. Beberapa penelitan
melaporkan perbaikan spastisitas dan fungsi, sedang lainnya melaporkan hasil
sebaliknya (Pape et al, 1993).
Stereotaxic thalamotomy meliputi memotong bagian thalamus, yang merupakan
bagian yang melayani penyaluran pesan dari otot dan organ sensoris. Hal ini efektif
hanya untuk menurunkan tremor hemiparesis.

Prognosis Cerebral Palsy


Beberapa faktor sangat menentukan prognosis CP, tipe klinis CP, derajat kelambatan
yang tampak pada saat diagnosis ditegakkan, adanya refleks patologis, dan yang
sangat penting adalah derajat defisit intelegensi, sensoris, dan emosional. Tingkat
kognisi sulit ditentukan pada anak kecil dengan gangguan motorik, tetapi masih
mungkin diukur (McCarthy et al, 1986). Tingkat kognisi sangat berhubungan dengan
tingkat fungsi mental yang akan sangat menentukan kualitas hidup seseorang.
Anak-anak dengan hemiplegia tetapi tidak menderita masalah utama lainnya selalu
dapat berjalan pada usia 2 tahun; kegunaan short brace hanya dibutuhkan sementara
saja. Adanya tangan yang kecil pada sisi yang hemiplegi, dengan kuku ibu jari yang
lebih runcing dibanding dengan kuku lainnya, dapat diasosiasikan dengan disfungsi
sensoris parietalis dan defek sensori tersebut akan membatasi kemampuan fungsi
motorik halus pada tangan tersebut. 25% anak dengan hemiplegia akan mengalami
hemianopsia, karena hal ini anak sebaiknya diberi tempat duduk dikelas untuk
memaksimalkan fungsi visus. Kejang dapat merupakan masalah yang terjadi pada
anak yang hemiplegik.
Lebih dari 50% anak-anak dengan spastik diplegia dapat belajar berjalan tesering
pada usia 3 tahun, tetapi tetap menunjukkan gait abnormal, dan beberapa kasus
membutuhkan alat bantu, misalnya kruk. Aktivitas tangan secara umum akan terkena
dengan derajat yang berbeda, walaupun kerusakan yang terjadi minimal. Abnormal
gerakan ekstraokuler relatif sering dijumpai.
Anak dengan spastik quadriplegia, 25% membutuhkan perawatan total; paling
banyak hanya 3% yang dapat berjalan, biasanya setelah usia 3 tahun. Fungsi

44
intelektual sering seiring dengan derajat CP dan terkenanya otot bulbar akan
menambah kesulitan yang sudah ada.
Hipotonia trunkus, dengan refleks patologis atau kekakuan yang persisten
merupakan gambaran yang menunjukkan buruknya keadaan. Mayoritas anak-anak
tersebut memiliki limitasi intelektual.
Sebagian besar anak yang tidak memiliki masalah lain yang serius yang berhubungan
dengan spastisitas tipe athetoid kadang-kadang dapat berjalan. Keseimbangan dan
penggunaan kemampuan tangan tampaknya masih sulit. Sebagian besar anak-anak
yang baru duduk pada usia 2 tahun dapat belajar berjalan. Sebaliknya, anak-anak
yang masih menunjukkan moro refleks, tonik neck refleks asimetrik, kecenderungan
ekstensi, dan tidak menunjukkan refleks parasut tidak mungkin dapat belajar
berjalan; sebagian dari mereka yang tidak dapat duduk pada usia 4 tahun dapat
belajar berjalan.

Pencegahan Cerebral Palsy


Beberapa penyebab CP dapat dicegah atau diterapi, sehingga kejadian CP pun bisa
dicegah. Adapun penyebab CP yang dapat dicegah atau diterapi antara lain:
1. Pencegahan terhadap cedera kepala dengan cara menggunakan alat pengaman
pada saat duduk di kendaraan dan helm pelindung kepala saat bersepeda, dan
eliminasi kekerasan fisik pada anak. Sebagai tambahan, pengamatan optimal selama
mandi dan bermain.
2. Penanganan ikterus neonatorum yang cepat dan tepat pada bayi baru lahir
dengan fototerapi, atau jika tidak mencukupi dapat dilakukan transfusi tukar.
Inkompatibilitas faktor rhesus mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan darah rutin
ibu dan bapak. Inkompatibilitas tersebut tidak selalu menimbulkan masalah pada
kehamilan pertama, karena secara umum tubuh ibu hamil tersebut belum
memproduksi antibodi yang tidak diinginkan hingga saat persalinan. Pada sebagian
besar kasus-kasus, serum khusus yang diberikan setelah kelahiran dapat mencegah
produksi antibodi tersebut. Pada kasus yang jarang, misalnya jika pada ibu hamil
antibodi tersebut berkembang selama kehamilan pertama atau produksi antibodi tidak
dicegah, maka perlu pengamatan secara cermat perkembangan bayi dan jika perlu

45
dilakukan transfusi ke bayi selama dalam kandungan atau melakukan transfusi tukar
setelah lahir.
3. Rubella, atau campak jerman, dapat dicegah dengan memberikan imunisasi
sebelum hamil.

46

Anda mungkin juga menyukai