Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS Januari 2023

TINEA PEDIS

Disusun oleh :
dr. Masyrifah Kadir

Pendamping :
dr. Andi Isyana Muharram, S.Ked

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PROVINSI SULAWESI SELATAN
2023

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : dr. Masyrifah Kadir

Status : Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Judul Laporan Kasus : Tinea Pedis

Telah menyelesaikan tugas pembacaan Laporan Kasus sebagai salah satu


rangkaian tugas pada Program Internship Dokter Indonesia.

Jeneponto, 15 Januari 2023

Mengetahui,
Peserta
Pendamping

dr. Andi Isyana Muharram, S.Ked dr. Masyrifah Kadir

2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu
dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan
jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.1
Lingkungan kerja merupakan tempat yang potensial mempengaruhi
kesehatan pekerja. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan pekerja
antara lain faktor fisik, faktor kimia, dan faktor biologis. Lingkungan kerja
ataupun jenis pekerjaan dapat menyebabkan penyakit akibat kerja.1
Dermatofitosis ialah penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur
dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum
korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia.Terdapat tiga genus penyebab
dermatofitosis, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton.1
Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6% (Kumar et al,
2011). Di Indonesia sendiri pada tahun 2000-2004 prevalensinya mengalami
peningkatan 14,4% (Hidayati, 2009). Dari keseluruhan insidensi berhubungan
pekerja dengan pekerjaan, sehingga sering disebut dermatofitosis akibat kerja
antara lain Tinea pedis.1

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. U
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 58 th
Pekerjaan : Pensiunan Guru SD
Agama : Islam
Suku Bangsa : Makassar
Alamat : Alla - alla
Tanggal Periksa : 1 Desember 2022

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Gatal di kedua kaki
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Onset : 5 minggu yang lalu
Lokasi : telapak kaki dan sela jari kaki
Kronologi : Pasien datang ke poli Puskesmas dengan
keluhan adanya rasa gatal pada kedua kaki
disertai rasa nyeri bila tergesek, keluhan
dirasakan sejak 5 minggu yang lalu, muncul
tiba-tiba pada kaki kanan terlebih dahulu
terutama pada bagian sela-sela jari kaki.
Keluhan muncul pada kaki kiri setelah 1
minggu kemudian. Pasien mengaku telah
berobat 2 minggu yang lalu ke puskesmas
terdekat, mendapat obat salep dan minum,
pasien merasa belum sembuh total tetapi sudah
ada perbaikan seperti keluhan pada bagian
diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien memiliki
kebiasaan sering membiarkan kaki dalam

4
keadaan lembab dan sering memakai sepatu
dalam jangka waktu lama.
Kualitas : Pasien merasa gatal sekali sehingga
mengganggu aktifitas
Kuantitas : Keluhan gatal dirasakan setiap hari
Faktor Memperberat : -
Faktor Memperingan : obat dari dokter
Gejala penyerta :-

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat menderita keluhan yang sama : -
Riwayat hipertensi :-
Riwayat diabetes :-
Riwayat penyakit jantung :-
Riwayat alergi :-

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat menderita keluhan yang sama : -
Riwayat hipertensi :-
Riwayat diabetes :-
Riwayat penyakit jantung :-
Riwayat alergi : tidak diketahui

5. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama istrinya. Pasien merupakan seorang pensiunan
Guru SD. Pendidikan akhir pasien adalah D3. Pendapatan pasien dari
uang pensiunan, istrinya seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal di
lingkungan pedesaan yang kebersihannya kurang dijaga, jendela jarang
dibuka dan lingkungan yang lembab karena disekeliling rumahnya
adalah pekarangan.

5
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaram : compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respiration rate : 20x/menit
Suhu : 36 0C
Tinggi badan : 168 cm
Berat badan : 61 kg
IMT : 21, 2 kg/m2 = normal weight

Status Generalis
Kepala : Simetris, mesochepal, venektasi temporal (-/-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung: Discharge (-), deviasi septum (-)
Mulut : Lidah sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
Telinga: Kelainan bentuk (-), discharge (-)
Leher : Deviasi trakhea (-)
Status Lokalis
Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan
Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : tidak dilakukan pemeriksaan
Status Dermatologikus
Lokasi : Plantar pedis dex et sin dan interdigitalis pedis dex
Efloresensi :
Inspeksi : Pada plantar pedis tampak bercak eritema, bentuk tidak
teratur, dengan tepi berbatas tegas, disertai adanya erosi dan
skuama halus di bagian tepi. Pada interdigitalis terlihat fisura
sisik halus dan tipis berwarna putih
Palpasi : Teraba kasar dan berbatas tegas.

6
Gambar 1. Gambaran pada Interdigitalis

Gambar 2. Gambaran pada Plantar Pedis

D. RESUME
Pasien laki-laki, 58 tahun, datang ke PKM dengan keluhan adanya
rasa gatal pada kedua kaki disertai rasa nyeri bila tergesek, keluhan
dirasakan sejak 5 minggu yang lalu, muncul tiba-tiba pada kaki kanan
terlebih dahulu terutama pada bagian sela-sela jari kaki. Keluhan muncul
pada kaki kiri setelah 1 minggu kemudian. Pasien mengaku telah berobat
2 minggu yang lalu ke puskesmas terdekat, mendapat obat salep dan
minum, pasien merasa belum sembuh total tetapi sudah ada perbaikan
seperti keluhan pada bagian diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien memiliki
kebiasaan sering membiarkan kaki dalam keadaan lembab dan sering
memakai sepatu dalam jangka waktu lama. Pada pemeriksaan status
generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan status dermatologis di
plantar pedis ditemukan bercak eritema, bentuk tidak teratur, dengan tepi
berbatas tegas, disertai adanya erosi dan skuama halus di bagian tepi. Pada
interdigitalis terlihat fisura sisik halus dan tipis berwarna putih.

7
E. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan lampu wood
2. Kerokan kulit dengan KOH 10%
3. Biakan agar Saboroud

F. DIAGNOSIS
1. Diagnosis Kerja : Tinea Pedis
2. Diagnosis Banding
a. Dermatitis Kontak Alergika
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang
biasanya batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada
bagian tengah. Predileksinya pada bagian yang kontak dengan
dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya
riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada
kultur tetapi hanya tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak
akan memberikan tes tempel positif, sedangkan pada tinea pedis
hasilnya negatif.

Gambar 3. Dermatitis kontak

b. Kandidiasis (Erosio Interdigitalis Blastomisetika)


Tinea Pedis murni agak sulit dibedakan dengan kandidiasis
ini. Pemeriksaan sediaan langsung dengan larutan KOH dan
pembiakan dapat membantu. Infeksi sekunder dengan spesies
Candida atau bakteri lain sering menyertai tinea pedis.

8
c. Pomfolix
Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada
anak-anak, agak kronik, sering pada musim dingin, sangat gatal
dan ada riwayat keluarga yang atopi. Kulit di dorsum pedis tidak
ditemukan jamur.

Gambar 4.
Pomfolik

d. Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal,
lesi yang batas jelas; psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh
yang lain dan pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin,
Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada pemeriksaan
kulit.

Gambar 5. Psoriasis
                 
G. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis
a. Jaga kebersihan kaki.
b. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering

9
c. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan
infeksi.
2. Farmakologis
a. Antihistamin : CTM 3x1
b. Ketoconazol 200mg 1x1 tab selama 14 hari
c. Miconazol cream 2% 3 x oles

H. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanasionam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam
Quo ad cosmeticum : dubia ad bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA PEDIS

A. DEFINISI
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai
sela jari dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis
dianggap sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari
kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab
mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada
sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena.
Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak
menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis adalah foot ringworm, athlete
foot, foot mycosis (Unandar, 2007).

B. EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling
sering terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19
sehubungan dengan penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika.
Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan orang keliling dunia, pendudukan koloni
oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan migrasi
penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi bahwa
area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara (Hapcioglu, 2006).
Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak
mencari nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini
bukan penyakit yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah
penduduk di banyak negara menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di
Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada beberapa masyarakat
tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea
pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang (Perea, 2000).
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja
terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak.

11
Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga
orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam
renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi (Perea, 2000).

C. ETIOLOGI
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum
(paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan
Epidermophyton floccosum. T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang
hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada
kaki; T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih
meradang sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua
pola lesi diatas (Hapcioglu, 2006).

D. PATOGENESIS
Patofisiologi tinea pedis atau athlete’s foot merupakan infeksi dermatofita
dengan tiga penyebab utama yaitu Trichophyton rubrum, Trichophyton
interdigitale, dan Epidermophyton floccosum, dimana Trichophyton rubrum
adalah penyebab tersering tinea pedis.
Dermatofita dapat melekat dengan kulit penjamu dalam waktu 1 jam
melalui adhesin pada sel dinding dermatofita. Pada tahap awal, dermatofita
melakukan pelekatan dari artrokonidia (spora aseksual yang dibentuk dari hifa
terfragmentasi) terhadap permukaan stratum korneum.
Setelah pelekatan berhasil terjadi, spora mulai tumbuh dan mempersiapkan
diri untuk tahapan berikutnya yaitu invasi. Dermatofita menginvasi permukaan
stratum korneum pada area dengan kelembaban tinggi dan kulit tipis, yaitu
sela-sela jari kaki. Invasi dermatofita hanya sebatas permukaan stratum
korneum dan tidak menyebar ke sel lain.
Selanjutnya dermatofita melepaskan lipase, fosfatase, protease
keratinolitik untuk mendegradasi keratin dan mengambil asam amino hasil
degradasi sebagai nutrisi bagi sel jamur. Molekul mannan dinding sel
dermatofita juga berfungsi menekan respon imun tubuh dan mengurangi
proliferasi keratinosit sehingga menurunkan kecepatan pengelupasan.

12
Enzim-enzim yang dilepaskan oleh dermatofita bekerja sebagai stimulus
imunogenik dan merangsang pelepasan berbagai sitokin dan kemokin yang
berperan dalam proses inflamasi di kulit. Oleh karena itu, pasien yang
memiliki kondisi imunokompromais seperti diabetes mellitus dan HIV lebih
rentan dengan tinea pedis dan biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih
buruk.

E. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
1) Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di
antara jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis.
Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari
yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering terdapat maserasi.
Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang
mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya
juga telah diserang oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu
karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi
sehingga pasien terasa sangat gatal. Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali.
Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi
selulitis, limfangitis dan limfadenitis (Unandar, 2007).

Gambar 6. Tinea pedis tipe interdigiti


2) Moccasin foot (plantar)
Tinea pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type
umumnya bersifat hiperkeratosis yang bersisik dan biasanya asimetris
yang disebut foci. Seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama

13
terlihat pada bagian tepi lesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul
dan kadang-kadang vesikel. Tipe ini adalah bentuk kronik tinea yang
biasanya resisten terhadap pengobatan (Unandar, 2007).

Gambar 7. Tine Pedis pada Telapak Kaki

3) Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan
kadang-kadang bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai
pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak
kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk
lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang
sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis,
limfangitis dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati
pada atap vesikel (Unandar, 2007).

Gambar 8. Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung kaki


4) Tipe Ulseratif
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke
dermis akibat maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi
pada sela-sela jari; dapat dilihat pada pasien yang imunokompromais dan
pasien diabetes (Unandar, 2007).

14
Gambar 9. Tinea pedis tipe ulseratif

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan
terlihat hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis
dermatofitosis. KOH digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel
sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah mikroskop. Kulit dari bagian
tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit
dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca,
kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20
menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea
pedis tipe vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi
hifa (Perea, 2000).

Gambar 10. KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)


2) Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan
menentukan spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam
bahan klinis pada media buatan, yang dianggap paling baik adalah
medium agar dekstrosa Sabouraud. Media agar ini ditambahkan dengan
antibiotik (kloramfenikol atau sikloheksimid) (Perea, 2000).

15
Gambar 11. Trichophyton rubrum; koloni Downy
3) Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum
adalah adanya akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler
superfisialis kronik pada dermis) (Perea, 2000).

Gambar 12. Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa


pada lapisan superfisial dari epidermis
4) Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu
bermakna karena banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi
kecuali pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsporum sp.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah tersebut dikerok untuk
mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi (Perea, 2000).

G. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-
20% ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan
transparan), dikotomi (bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan

16
artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-) tidak
menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. b) Kultur ditemukan
dermatofit (Unandar, 2007).

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis Kontak Alergika
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya
batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah.
Predileksinya pada bagian yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki,
bedak kaki dan sebagainya. Adanya riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak
ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya tanda-tanda peradangan.
Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif, sedangkan pada
tinea pedis hasilnya negative (Szepietowski, 2006). .
2. Kandidiasis (Erosio Interdigitalis Blastomisetika)
Tinea Pedis murni agak sulit dibedakan dengan kandidiasis ini.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan larutan KOH dan pembiakan dapat
membantu. Infeksi sekunder dengan spesies Candida atau bakteri lain
sering menyertai tinea pedis (Szepietowski, 2006).
3. Pomfolix
Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada anak-
anak, agak kronik, sering pada musim dingin, sangat gatal dan ada riwayat
keluarga yang atopi. Kulit di dorsum pedis tidak ditemukan jamur
(Szepietowski, 2006).
4. Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang
batas jelas; psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan
pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak
didapatkan jamur pada pemeriksaan kulit (Szepietowski, 2006). .             
5. Hiperhidrosis
Lesi dapat memburuk dan berwarna putih, erosi disertai maserasi
pada telapak kaki dan bau yang sangat busuk (Szepietowski, 2006).

17
I. PENATALAKSANAAN
1. Antifungal Topikal
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir.
Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi
dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau
komponen yang lain (Cheung, 2012).
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih
cocok pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada
dermatofit dan kandida.
1) Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan
menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua
kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping
obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.
2) Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas
golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan
komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel
jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.
3) Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel
meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga
berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada
daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu (Cheung, 2012).
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk
sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida.
Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam
24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh
antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya
diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas
dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat
digunakan dalam berbagai jenis jamur.

18
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis,
kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam
bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif
dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga
berguna pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik
kronik).
Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1
sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa
terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine
10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil
dan lebih aman.
e. Antijamur Topikal Lainnya.
1) Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan
asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini
dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek
fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik.
Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru
tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas
seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian,
juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para
pemakainya karena salep ini berlemak.
2) Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama
dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk
salep campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.
3) Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik,
berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut
dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan
dengan kadar 1 % (Cheung, 2012).

19
2. Antifungal Sistemik
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal
gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat
diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain
(Cheung, 2012).:
a. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin
dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g
untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25
mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit,
penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis
dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan
dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan
dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian
besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah
penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai,
yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 %
penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
b. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis
yaitu ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasusyang resisten
terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg
per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan
hepar.
c. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat
digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik
terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi
dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat
sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang
merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian
obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit

20
jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul
selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat
memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat
menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan
resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe
moccasion.
d. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat
diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya
62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme sebagai
antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol
menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 %
penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya
nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya
ringan. Efek samping lainnyadapat berupa gangguan pengecapan
dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian
atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat
sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar
dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. Terbinafin baik digunakan pada
pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu
penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan
terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin
(Cheung, 2012).

J. PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki
tetap dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari
hindari kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya
asimptomatik, sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan
suatu hal yang sulit dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi
sebaiknya kaki dicuci dengan benzoil peroksidase (Wahab, 2010).

21
K. PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa
minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut
maupun kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral.
Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan
pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi (Wahab, 2010).

22
BAB III
PEMBAHASAN

Dari anamnesis didapatkan keluhan adanya rasa gatal pada kedua kaki
disertai rasa nyeri bila tergesek, keluhan dirasakan sejak 5 minggu yang lalu,
muncul tiba-tiba pada kaki kanan terlebih dahulu terutama pada bagian sela-sela
jari kaki. Keluhan muncul pada kaki kiri setelah 1 minggu kemudian. Pasien
mengaku telah berobat 2 minggu yang lalu ke puskesmas terdekat, mendapat obat
salep dan minum, pasien merasa belum sembuh total tetapi sudah ada perbaikan
seperti keluhan pada bagian diantara ruas-ruas jari kaki. Pasien memiliki
kebiasaan sering membiarkan kaki dalam keadaan lembab dan sering memakai
sepatu dalam jangka waktu lama.
Pada pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan
status dermatologis di plantar pedis ditemukan bercak eritema, bentuk tidak
teratur, dengan tepi berbatas tegas, disertai adanya erosi dan skuama halus di
bagian tepi. Pada interdigitalis terlihat fisura sisik halus dan tipis berwarna putih.
Hal ini sesuai teori untuk klinis dari tinea pedis. Bentuk interdigitalis
adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan V
terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke
bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini
lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih
dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit
baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Jika perspirasi
berlebihan (memakai sepatu karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi
akut akan terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat secara topikal dan sistemik. Tetapi yang paling utama adalah memberikan
edukasi kepada pasien. Untuk pengobatan topikal dan sitemik dapat diberikan
Antihistamin : loratadin 10 mg 2x1 tab untuk mengurangi rasa gatal, Ketoconazol
200mg 1x1 tab sebagai fungistatik, dan Miconazol cream 2% 3 x oles.
Prognosis dari tinea pedis yang diderita pasien pada umumnya baik bila
diobati dengan benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi,

23
demikian juga sebaliknya. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan, karena
walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan
maka pasien dapat terkena reinfeksi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Cheung, H.C. 2012. Management of tinea pedis in a private clinic Hong Kong J.
Dermatol. Venereol; 20, 21-22

Hapcioglu, B., Yegenoglu Y., Disci R. 2006. Epidemiology of superficial


mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in
Istanbul, Turkey. Coll Antropol; 30: 119-24.

Perea, S., Ramos MJ., Garau M., Gonzalez A., Noriega AR., Palacio AD. 2000.
Prevalence and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general
population in Spain. J Clin Microbiolog ; 38:3226-30.

Szepietowski, JC., Reich A, Garlowska E etal. Factors influencing coexistence of


toenail onychomycosis with tinea pedis and other dermatomycoses. Arch
Dermatol 2006; 142:1279-84.

Unandar, B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. 2007. Ilmu


penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI.

Wahab, M. A., Rokeya Begum., Biswas Shaheen Hassan. 2010. Tinea pedis: a
clinical dilemma in Bangladeshi population. Journal of Pakistan
Association of Dermatologists; 20: 23-7.

25

Anda mungkin juga menyukai