Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS PANJANG

“COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA”

Oleh:
Julfikar Sudirjo
0941711019

Bagian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Dr. Hi. Chasan Boesoirie Ternate
Fakultas Kedokteran, Universitas Khairun
2021
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Pasien berinisial An. H. A. berjenis kelamin perempuan, lahir pada tanggal 16 April
2020. Usia pasien saat dilakukan pemeriksaan adalah 1 tahun 6 bulan. Pasien beragama
Islam dan bertempat tinggal di Kelurahan Kayu Merah.

B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien dilakukan pada hari Sabtu tanggal 9 Oktober 2021
pukul 00:30 WIT di ruang Perawatan Anak Kelas III A didukung catatan medis.
1. Keluhan Utama
Demam
2. Anamnesis Terpimpin
Pasien masuk RS dari rujukan tempat praktek dokter dengan keluhan demam ± 3
minggu yang lalu, naik turun, menggigil (-), kejang (-). Keluhan disertai batuk sejak 4
hari yang lalu, lendir (+), darah (-), sesak (-), mual (-), muntah (-). Nafsu makan
menurun. BAB dan BAK dalam batas normal.
a. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu disangkal
b. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga disangkal
c. Riwayat Kehamilan dan Pmemeliharaan Prenatal
Selama hamil, ibu rutin melakukan antenatal care dan tidak ada kelainan selama
hamil
d. Riwayat Kelahiran
Pasien dilahirkan dari ibu G1P1A0, hamil cukup bulan. Bayi lahir secara normal
pervaginam di Rumah Sakit dan ditolong oleh bidan
e. Riwayat Imunisasi
Imunisasi tidak
lengkap
f. Riwayat Alergi
Riwayat alergi pasien disangkal
g. Riwayat ASI (Air Susu Ibu)
Pasien diberikan ASI sampai dari usia 0-6 bulan, setelah itu dikombinasikan
dengan susu formula dan dilanjutkan dengan MPASI

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah alloanamnesis
1. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis dengan Pediatric
Glasgow Coma Scale (GCS) 15
b. Tanda-Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Nadi : 118 x/menit
- Pernapasan : 31 x/menit
- Suhu : 36.9ºC
- SpO2 : 98%
c. Status Antropometri
- BB : 7.3 kg
- PB/TB : 72 cm
d. Status Gizi
Berdasarkan Kurva Pertumbuhan WHO untuk Berat Badan menurut Panjang
Badan Anak Perempuan 0-2 tahun (z-score), anak termasuk dalam status gizi baik
(-2 SD sampai dengan +1 SD)

2. Pemeriksaan Fisik Khusus


- Pucat : tidak pucat
- Ikterus : tidak ikterus
- Kulit : petekie (-)
- Edema : tidak edema
- Kepala : normochepali
- Wajah : simetris
- Rambut : rambu hitam, distribusi merata
- Ubun-ubun : belum menutup sempurna
- Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
- Hidung : rhinore (-)
- Telinga : otorhea (-)
- Mulut : kering (-), sianosis (-)
- Tonsil : tidap dapat diukur
- Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
- Thoraks
 Bentuk : normochest
 Payudara : normal
- Paru-paru
 Inspeksi : simetris mengikut gerak napas, retraksi (-)
 Palpasi : fremitus taktil simetris
 Perkusi : sonor
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rho (+/+), whz (-/-)
- Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba
 Perkusi : batas jantung normal
 Auskultasi : BJ I/II murni reguler, bising jantung (-)
- Abdomen
 Inspeksi : cembung mengikuti gerak napas
 Auskultasi : perstaltik kesan menurun
 Perkusi : timpani
 Palpasi
 Hepar : tidak teraba
 Lien : tidak teraba
 Massa : tidak ada
- Alat kelamin : edema vulva (-)
- Status pubertas : A1M1P1
- Anggota gerak : CRT < 2 detik, akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tanggal 9 Oktober 2021 (Laboratorium IGD)
 Complete Blood Count (CBC)
 Leukosit : 18.700 μL
 HB : 10,8 g/dL
 Trombosit : 528.000 μL
 Hematokrit : 32,6%
 GDS : 89 mg/dL
2. Tanggal 12 Oktober 2021
 Complete Blood Count (CBC)
 Leukosit : 24.000 μL
 HB : 11,8 g/dL
 Trombosit : 423.000 μL
 Hematokrit : 34,1%
 GDS
I : 65 mg/dL
 II : 63 mg/dL
3. Tanggal 13 Oktober 2021
 Elektrolit
 Natrium : 124,38 mmol/L
 Kalium : 1,34 mmol/L
 Klorida : 85,69 mmol/L
 Fungsi ginjal dan hati
 Albumin : 1,6 g/dL
 Urea : 53,5 mg/dL
 Kreatinin : 2,22 mg/dL
 SGPT : 16,4 U/L
 SGOT :147,9 U/L
Klasifikasi RIFLE menurut the acute dialysis quality initiative (ADQI)

E. FOLLOW UP
F. DIAGNOSA KERJA
Community Acquired Pneumonia (CAP)
G. RESUME
Pasien An. H. A. dirujuk dari praktek dokter ke IGD RSUD Dr. H. Chasan Boesorie Kota
Ternate dengan keluhan demam ± 3 minggu yang lalu, intermitten, menggigil (-), kejang (-).
Disertai batuk sejak 4 hari yang lalu, lendir (+), darah (-), dyspnue (-). Nausea (-), vomitus (-
), nafsu makan menurun, minum kurang. BAB dan BAK dbn. Sebelumnya pasien pernah
berobat tetapi tidak ad perbaikan. Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan KU tampak
sakit sedang, compos mentis, GCS 15, status gizi: baik. Pemeriksaan TTV TD: 100/70
mmHg, nadi: 123 x/m, pernapasan: 31 x/m, suhu: 37,1ºC, SpO2: 98%. Pada pemeriksaan
khusus pada auskultasi paru-paru terdapat suara napas tambahan yaitu rhonki (+/+), pada
inspeksi abdomen didapatkan distensi abdomen mengikuti gerak napas dan auskultasi
peristaltik kesan menurun
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi


Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstitial. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia merupakan suatu
keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk membuat suatu definisi tunggal yang
universal. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta perjalanan
penyakitnya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia hanya
berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi
napas.1
Definisi Community Acquired Pneumonia (CAP) menurut Infectious Diseases
Society of America (IDSA) adalah infeksi akut parenkim paru yang ditandai dengan
terdapatnya infiltrat baru pada foto toraks atau ditemukannya perubahan suara napas dan
atau ronkhi basah lokal pada pemeriksaan fisik paru yang konsisten dengan pneumonia
pada pasien yang tidak sedang dirawat di rumah sakit atau tempat perawatan lain dalam
waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala. Definisi yang lebih lengkap diberikan oleh
British Thoracic Society (BTS) yaitu timbulnya gejala infeksi saluran napas bawah yaitu:
batuk ditambah minimal satu gejala infeksi saluran napas bawah lain; perubahan hasil
pemeriksaan fisik paru; paling kurang satu dari tanda sistemik (berkeringat,demam,
menggigil, dan atau suhu ≥38OC); respons setelah pemberian antibiotik.2
Dasar inflamasi parenkim paru pada pneumonia sebagian besar adalah inflamasi
infeksi. Agen penyebab infeksi sebagian besar adalah virus dan bakteri. Walaupun
penyebab CAP lebih sering virus, namun membedakan antara penyebab virus dengan
bakteri sulit. Hal ini mendorong penggunaan antibiotik secara berlebihan. Proporsi
pneumonia karena virus cukup besar. Sekitar 80% pneumonia komunitas pada anak < 2
tahun disebabkan oleh virus. Makin muda usia anak makin besar kemungkinan virus
sebagai penyebab, dan sebaliknya makin besar anak makin mengarah ke bakteri. Pada
bayi dan balita, pneumonia bakterial biasanya merupakan komplikasi pneumonia yang
awalnya disebabkan oleh virus. Terdapat kecenderungan perubahan pola kuman
penyebab pneumonia sesuai dengan kelompok umurnya, seperti dapat dilihat dalam tabel
berikut:3,4
Kuman penyebab tersering CAP sebagai berikut:
Tabel 1.
Umur Kuman tersering
Neonatus Streptococcus grup B
Kuman enteric gram negative
1-3 bulan Chlamydia trachomatis
Ureaplasma ureolyticum
Virus
Bordetella pertussis
1-12 bulan Virus
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenza
Stapylocococcus aureus
Moraxella catharrahlis
1-5 tahun Virus
Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia trachomatis
>5 tahun Streptococcus pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia pneumonia

Sampai saat ini masih disepakati bahwa bakteri penyebab tersering CAP adalah
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae type B,
Moraxella catharralis dan Streptococcus pyogenes.3,4
Untuk S aureus, didapatkan bukti bahwa pneumonia anak oleh methicillin-
resistant S aureus (MRSA) makin meningkat. Pada anak usia sekolah dan remaja, selain
kuman yang biasa, ada kelompok kuman penyebab pneumonia yang disebut kuman
atipikal yaitu Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pnemoniae, Chlamyidia trachomatis,
dan Legionella pneumonia. Secara klinis, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
pencitraan, ada beberapa temuan yang dapat mengarahkan dugaan kita tentang etiologi
pneumonia. Misalnya gambaran infiltrat alveolar biasanya dikaitkan dengan infeksi
bakteri, sedangkan infiltrat intersisial akibat infeksi virus. Sayangnya tidak ada satupun
kriteria baik klinis maupun penunjang yang dapat memastikan penyebabnya virus atau
bakteri. Secara umum, baku emas diagnostik penyakit infeksi adalah dengan menemukan
kuman penyebab. Namun untuk pneumonia yang menjadi masalah adalah kesulitan untuk
mendapatkan spesimen pemeriksaan yang representatif. Spesimen paling representatif
tentunya jaringan parenkim yang mengalami inflamasi yang bisa diperoleh dengan biopsi
paru. Tantangannya adalah tindakan tersebut invasif dengan risiko komplikasi yang berat
seperti pneumotoraks atau perdarahan paru. Seandainya berhasil dilakukan biopsi tanpa
komplikasi, belum tentu jaringan yang terambil benar yang mengalami inflamasi. Lokasi
inflamasi pada pneumonia biasanya menyebar, tidak dalam satu lokasi yang sama,
kecuali pada pneumonia lobaris.3
Pilihan berikutnya adalah spesimen sekret saluran respiratori. Pada anak, apalagi
balita, belum mampu untuk mengekspektorasikan dahaknya. Memang ada cara untuk
mendapatkan sekret respiratori bawah pada anak yaitu dengan cara induksi sputum.
Sputum yang dihasilkan dapat dinilai apakah memang berasal dari saluran respiratori
bawah dengan menilai karakteristiknya dilihat dari jumlah sel epitel dan leukosit. Untuk
pemeriksaan mikrobiologi TB, sputum yang representatif dari hasil induksi dapat
digunakan, karena jika hasilnya positif berarti benar sakit TB. Namun, untuk hasil
mikrobiologi kuman non-TB masih mungkin yang didapat adalah kuman residen saluran
respiratori yang mengkontaminasi sputum. Jadi tidak dapat dipastikan sebagai kuman
penyebab pneumonia. 3
Pneumonia dibedakan menjadi Community-acquired Pneumonia (CAP) dan
Health Care-Associated Pneumonia (HCAP), dimana HCAP memiliki subkategori yaitu
Hospital-acquired Pneumonia (HAP) dan Ventilator-associated Pneumonia (VAP).
HAP didefinisikan sebagai pneumonia yang didapat di rumah sakit atau pneumonia yang
tidak berada dalam masa inkubasi saat masuk RS dan terjadi ≥ 48 jam sesudah masuk RS,
sedangkan VAP merupakan pneumonia yang terjadi ≥ 48 jam setelah pemasangan
intubasi endotrakeal. Pembagian ini menggambarkan pola penyebaran kuman penyebab
pneumonia yang terjadi di masyarakat, di tempat pelayanan kesehatan, dan secara khusus
pada pasien-pasien dengan ventilator. 3
HAP dapat disebabkan oleh bakteri aerob (gram positif, gram negatif). Penyebab
gram negatif pada HAP sebesar 50-60%. Patogen utama penyebab HAP adalah golongan
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumonia, E. coli, Serratia marcescens, Enterobacter
spp), Acinetobacter spp, dan Pseudomonas aeruginosa. HAP dan VAP juga memiliki
risiko tinggi kuman patogen Multy Drugs-Resistant (MDR), termasuk methicilin-
resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri penyebab HAP bersifat lebih virulen
dan cenderung menjadi multidrug resistant. 3
B. Epidemiologi
CAP pada balita merupakan beban masalah kesehatan masyarakat yang besar.
Bersama dengan diare, pneumonia merupakan peneybab mortalitas terbesar pada anak,
khususnya bayi dan balita. Sejak tahun 1990 hingga 2011 pneumonia merupakan
penyebab mortalitas balita sekitar 20%. Insiden pneumonia di negara berkembang 10 kali
lebih tinggi dibanding di negara maju, dengan mortalitas mencapai 5 juta kematian balita
pertahun.
Pneumonia merupakan penyebab dari 16% kematian balita, yaitu diperkirakan
sebanyak 920.136 balita di tahun 2015. Pneumonia menyerang semua golongan usia di
semua wilayah di dunia, yang terbanyak adalah di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara.
Untuk Indonesia, seperti tercantum dalam Profil Kesehatan Indonesia, angka kematian
akibat pneumonia pada balita tahun 2016 sebesar 0.11% sedangkan tahun 2015 sebesar
0.16%. pada tahun 2016, angka kematian akibat pneumonia pada kelompok umur 1-4
tahun sedikit lebih tinggi yaitu sebesar 0.13% dibandingkan pada kelompok bayi yang
sebesar 0.06%. 3

C. Patofisiologi
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor yaitu keaadan (imunitas)
pasien, mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu
sama lain. Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Adanyanya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang
biak dan berakibat timbulnya sakit.1
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan;
- Inokulasi langsung;
- Penyebaran melalui darah;
- Inhalasi bahan aerosol;
- Kolonosiasi di permukaan mukosa.
Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bacteria dengan ukuran 0.5-2.0 mikron melalui udara dapat mencapai
brokeolus terminal atau alveolus dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi
kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke
saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan
infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran,
peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung
konsentrasi bakteri yang sangat tinggi 108-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil
sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi
pneumonia.1

Gambar 1. Patofisiologi pneumonia oleh bakteri pneumococcus

Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi
radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel polimorfo-nuclear
(PMN) dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan
leukosit yang lain melalui pseudopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut
kemudian terjadi proses fagositosis. pada waktu terjadi perlawanan antara host dan
bakteri maka akan nampak empat zona yaitu:1
- Zona luar (edema): alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema;
- Zona permulaan konsolidasi (red hepatization). Terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah;
- Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization). Daerah tempat terjadi fagositosis
yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak;
- Zona resolusi. Daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.

D. Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak
adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikoorganisme penyebab yang luas, gejala
klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan
prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering dan faktor
patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang
menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan
faktor penting dalam tatalaksana pneumonia.4
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut;4
- Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan
gejala infeksi ekstrapulmoner.
- Gejala gangguan respiratori: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping
hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara
napas melemah dan ronkhi. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda
pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan.4

E. Langkah-langkah Diagnosis
Anamnesis
- Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak purulen
bahkan bisa berdarah
- Sesak napas
- Demam
- Kesulitan makan atau minum
- Tampak lemah
- Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma.2

Pemeriksaan fisik
- Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat
awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat meyebabkan anak gelisah
atau rewel
- Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan makan atau
minum
- Gejala distres pernapasan seperti takipnu, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan
penurunan suara paru
- Demam, bisa sianosis
- Anak < 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang klasik. Pada
anak yang demam dan sakit berat, terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke
abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipoapnea.2
Pemeriksaan penunjang
- Darah: pada bakteri dapat terjadi leukositosis dengan dominansi PMN atau
leukopenia.
- Mikrobiologis: usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus, sputum, aspirasi
trakea, pungsi pleura (bila terdapat efusi pleura).
- Foto dada PA atau AP: terdapat infiltrat atau konsolidasi. Gambaran umum
pneumonia karena bakteri adalah infiltrat atau konsolidasi lobar, segmental atau
patchy. Sedangkan pada virus, umumnya memberikan gambaran infiltrat interstisial
atau patchy.2

F. Penatalaksanaan
Tidak semua pasien pneumonia memerlukan rawat inap untuk pemberian
antibiotik suntikan. Pada awal tahun 1980-an, WHO membuat pedoman tatakelola
pneumonia yang ditujukan untuk layanan kesehatan primer dalam bentuk yang mudah
untuk diterapkan. Pneumonia ditegakkan cukup dengan temuan klinis awal berupa batuk,
yang kemudian diikuti timbulnya napas cepat sesuai dengan batasan umur, dan sesak.
Pemeriksaan radiologis tidak diperlukan. Pasien pneumonia dengan napas cepat tanpa
napas sesak dapat diterapi secara rawat jalan.2
Panduan pneumonia balita yang dibuat WHO ditujukan untuk fasilitas layanan
kesehatan primer di lapangan dengan segala keterbatasan sarana dan sumber daya
manusia. Untuk fasilitas layanan rujukan, digunakan kriteria yang lebih rinci. Pasien anak
dengan pneumonia komunitas dapat dirawat apabila:2
- Tidak sesak
- Saturasi oksigen >90% pada udara kamar
- Orangtua / pengasuh dinilai mampu merawat di rumah

Indikasi rawat pada pneumonia komunitas:


- Bayi < 6 bulan
- Sesak napas: grunting, napas cuping hidung, head bobbing, retraksi, apnea
- Saturasi oksigen <90%
- Bayi dan anak dengan dugaan atau terbukti infeksi oleh patogen virulen seperti
community-associated methicillin-resistant Staphylococcus aureus (CA-MRSA)
- Pasien tampak toksik
- Orangtua / pengasuh diragukan kemampuan merawat di rumah
- Kegagalan terapi rawat jalan
Untuk menilai tingkat keparahan pneumonia pada anak, British Thoracic Society
membuat kriteria seperti:3
Tabel 2.

Pneumonia dapat dilakukan rawat jalan dan diberikan amoksisilin oral 40


mg/kgBB/kali setiap 12 jam selama 5 hari. Evaluasi dilakukan dalam 72 jam setelah
pemberian antibiotik. Bila terdapat perburukan klinis sebelum 72 jam atau tidak ada
perbaikan klinis setelah 72 jam, ditatalaksana sebagai pneumonia berat.1
Pneumonia berat dilakukan rawat inap dengan tatalaksana yaitu oksigen nasal
kanul atau sungkup untuk menjaga agar saturasi perifer di atas 90%, cairan sesuai derajat
dehidrasi dan kebutuhan maintenance, antipiretik bila demam. Dan Antibiotik intravena.
Antibiotik intravena yang dapat dberikan:
- Lini pertama: ampisilin 50 mg/kgBB/kali setiap 6 jam dan gentamisin 7.5
mg/kgBB/kali setiap 24 jam selama 5 hari.
- Lini kedua: ceftriakson 25-50 mg/kgBB/kali setiap 12 jam selama 5 hari.
Pemberian antibiotik pada pneumonia
Semua pedoman tatakelola pneumonia dunia menyebutkan antibiotik sebagai
terapi utama. Padahal cukup besar porsi pneumonia yang disebabkan oleh virus. Alasan
diberikannya antibiotik pada semua pneumonia adalah karena dua hal utama. Pertama,
tidak ada cara untuk membedakan secara pasti apakah suatu pneumonia hanya
disebabkan oleh virus tanpa keterlibatan bakteri.3
Kedua, pneumonia merupakan penyakit dengan risiko mortalitas yang tinggi.
Dengan demikian pemberian antibiotik secara rutin pada pneumonia adalah terapi yang
rasional. Berbeda dengan infeksi respiratori akut lain yang dalam pemberian antibiotik
harus ketat kriterianya. Idealnya, pemberian antibiotik sesuai dengan kuman penyebab,
dan dipilih antibiotik spektrum sempit yang kumannya sensitif. Karena sulitnya
penentuan etiologi pneumonia, maka antibiotik diberikan secara empirik, berdasarkan
observasi dan pengalaman.3

Pilihan antibiotik
Rawat jalan
Hampir semua pedoman tatakelola pneumonia komunitas menganjurkan
pemberian amoksisilin sebagai lini pertama karena efektifitasnya terhadap streptococcus,
ditoleransi dengan baik, murah dan mudah didapat. Amoksisilin merupakan pilihan
pertama untuk pneumonia komunitas pada bayi, anak prasekolah, anak sekolah dan
remaja tanpa penyakit dasar dan imunisasi lengkap. Amoksisilin efektif untuk
Streptococcus pneumoniae sebagai patogen utama.Untuk anak sekolah dan remaja, bila
temuan klinis mengarah ke pneumonia atipikal diberikan antibiotik golongan makrolid
seperti eritromisin, klaritromisin, dan azitromisin.Untuk pasien yang alergi dengan
golongan penisilin, dapat diberikan sefalosporin generasi 2 atau 3, atau klindamisin.3
Pada tahun 2013 Cochrane Library menerbitkan kajian tentang Antibiotik untuk
pneumonia komunitas pada anak. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk rawat jalan,
amoksisilin sebagai antibiotik alternatif pengganti kotrimoksazol. Koamoksiklav dan
sefpodoksim sebagai antibiotik alternatif lini kedua pasien rawat jalan. Untuk pasien
rawat inap, penisilin atau ampisilin + gentamisin lebih unggul dibanding kloramfenikol
tunggal. Antibiotik alternatif lini kedua untuk pasien rawat inap adalah koamoksiklav dan
sefuroksim.3
Panduan tatakelola pneumonia balita yang diterbitkan oleh WHO pada awalnya
mengajurkan pemberian kotrimoksazol sebagai antibiotik untuk pneumonia komunitas
rawat jalan. Pada tahun 2014 WHO menerbitkan revisi panduan dan mengganti
kotrimoksazol dengan amoksisilin untuk pneumonia rawat jalan.14 Pada tahun 2016
dilakukan kajian terhadap bukti ilmiah terbaru. Disimpulkan bahwa hingga dilakukannya
kajian tersebut, tidak ditemukan bukti baru yang dapat menjadi alasan untuk mengubah
panduan WHO tahun 2014.3

Rawat inap
Pemberian antibiotik secara oral aman dan efektif bahkan untuk pasien anak
dengan pneumonia komunitas yang berat, dan hal ini dianjurkan. Antibiotik secara injeksi
diberikan bila anak tidak dapat minum misalnya karena muntah atau sesak berat sehingga
dikhawatirkan terjadi aspirasi, atau pasien dengan sepsis, atau pneumonia dengan
komplikasi.3
Ampisilin atau penisilin G diberikan kepada bayi dan anak dengan CAP yang
memerlukan rawat inap dengan riwayat imunisasi lengkap. Terapi empirik dengan
sefalosporin generasi ketiga (seftriakson, sefotaksim) diberikan pada bayi dan anak yang
imunisasinya tidak lengkap, infeksi berat yang mengancam nyawa, atau empiema.
Antibiotik injeksi yang dianjurkan untuk pneumonia berat termasuk amoksisilin,
koamoksiklav, sefuroksim, sefotaksim, atau seftriakson. Pemilihan antibiotik akan lebih
rasional bila ada hasil biakan.3
Penambahan terapi kombinasi empirik dengan makrolid (oral atau injeksi)
diberikan kepada anak dengan temuan yang mengarah ke pneumonia atipikal.
Vankomisin atau klindamisin perlu ditambahkan jika temuan klinis, laboratoris, atau
radiologis sesuai dengan infeksi oleh S. aureus. Selengkapnya anjuran pemberian
antibiotik untuk pneumonia komunitas pada anak dapat dilihat dalam tabel berikut:3
Durasi pemberian antibiotik
Durasi pemberian antibiotik untuk pneumonia yang optimal 10 hari, dengan
rentang antara 3 hingga 14 hari, dan umumnya pedoman tatakelola pneumonia
mengajurkan pemberian selama 7-10 hari. Infeksi oleh patogen tertentu misalnya
CAMRSA memerlukan waktu yang lebih lama.15-17 Untuk azitromisin durasi
pemberian cukup 5 hari saja karena farmakokinetik obat di jaringan yang bertahan lebih
lama. Penentuan durasi belum mempunyai dasar yang kuat, hanya berdasarkan observasi
dan kesepakatan semata.3
Evaluasi respons tatalaksana
Bila jenis dan dosis antibiotik yang kita berikan sesuai yaitu kuman penyebabnya
sensitif dengan antibiotik tersebut maka perbaikan klinis akan terlihat dalam 48-72 jam
awal. Demam cenderung turun menuju normal. Sesak akan berkurang secara bertahap
seiring dengan penurunan kebutuhan terapi oksigen. Bila terlihat kecenderungan
perbaikan klinis, tidak perlu dilakukan evaluasi pemeriksaan penunjang. Pada pasien
yang menerima antibiotik injeksi, pengalihan ke oral dapat dipertimbangkan bila terjadi
perbaikan klinis yang jelas.3
Pneumonia perbaikan lambat adalah pneumonia yang secara klinis atau radiologis
menetap setelah jangka waktu yang lazimnya sudah terjadi perbaikan. Bila dalam 3 hari
belum tampak tanda perbaikan klinis, apalagi justru terjadi perburukan dalam 48-72 jam
pertama, maka mulai perlu dipikirkan berbagai kemungkinan penyebabnya.
Kemungkinan pertama antibiotik yang kita berikan belum tepat atau terjadi resistensi
kuman terhadap antibiotik yang kita berikan. Perlu dipikirkan pula adanya penyakit dasar
atau penyerta yang belum terdeteksi pada saat awal, sehingga membuat respons terapi
kurang. Perlu dilakukan evaluasi pemeriksaan penunjang berupa darah tepi untuk melihat
nilai leukosit dan hitung jenisnya. Pemeriksaan penanda inflamasi bakteri yaitu
prokalsitonin perlu dilakukan sejak awal sakitnya berat atau bila terjadi perburukan klinis
dengan dugaan sepsis. Pemeriksaan foto thorax ulangan perlu dilakukan untuk menilai
apakah terjadi perluasan gambaran patologi atau kemungkinan terjadinya komplikasi
seperti atelektasis, pneumotoraks, efusi pleura, atau gambaran pneumatokel.3
Bila terjadi perbaikan klinis tidak perlu dilakukan pemeriksaan radiologis ulang.
Namun bila dilakukan, dan secara radiologis belum ada perbaikan, tidak perlu
dikhawatirkan dan tidak perlu perpanjangan pemberian antibiotik atau penggantian
dengan antibiotik lain. Perlu diingat bahwa pada sebagian kasus, resolusi lengkap
radiologis memerlukan waktu hingga beberapa pekan, ada yang hingga 3 bulan. Waktu
resolusi untuk S. aureus bahkan lebih lama lagi. Bahkan untuk pneumonia virus
sekalipun terkadang perlu waktu lama untuk mengalami perbaikan radiologis.3
Bila secara klinis tidak terjadi perbaikan klinis dalam rentang waktu yang
diharapkan, apalagi bila terjadi perburukan klinis, disertai perburukan hasil pemeriksaan
penunjang maka antibiotik perlu diganti dengan antibiotik alternatif atau dikombinasikan
dengan antibiotik tambahan. Antibiotik makroid dapat ditambahkan untuk semua
kelompok umur, bila dengan antibiotik lini pertama responsnya tidak baik.3

G. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi bila tidak tertangani yaitu efusi pleura, empiema,
pneumotoraks, pneumomediastinum, dan gagal napas. Prognosis pada pasien umumnya
baik bila tidak disertai penyakit dasarnya.4
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiadi, A.,H., Hegar, B., Handryastuti., et al. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter
Indonesia; 2009.
2. Arlini, Y. Diagnosis community acquired pneumonia (CAP) dan tatalaksana terkini.
Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala; 2019. Diakses dari http://conference.unsyiah.ac.id
3. Prosiding Simposium LXXIV A to Z about infections pediatric antibiotic stewardship:
How to prevent of antibiotic resistance. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia RS. Cipto Mangunkusomo; Jakarta. 2018.
4. Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, B, D. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.
5. Pudjiadi, A. H. et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokteer Anak Indonesia. Edisi
Pertama Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009.

Anda mungkin juga menyukai