Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. D
No. DM : 12 10 38
Tanggal Lahir : 08 Mei 2019
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 9,5 Kg
Agama : Kristen Protestan
Suku Bangsa : Batak
Alamat : Jalan Buper Waena
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Tanggal MRS : 21 September 2020
Tanggal KRS : 29 September 2020

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama

2. Riwayat Penyakit Sekarang

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Paru (-), penyakit jantung (-), alergi obat (-), alergi makanan (-)
4. Riwayat Keluarga
Ayah dan ibu dari pasien tidak ada sakit yang sama seperti pasien.
5. Riwayat Kebiasaan
Ayah Pasien perokok aktif di rumah.
6. Riwayat Sosial
Pasien adalah anak pertama. Ayah pasien bekerja sebagai tentara dan ibu
pasien sebagai bidan.
7 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
 Perawatan ANC : Ibu pasien kontrol rutin ke dokter 4x sampai bayi lahir.
2
 Tempat kelahiran : Rumah Sakit
 Penolong kelahiran : Bidan
 Cara persalinan : Normal, usia kehamilan 38 - 39 minggu
 Keadaan bayi : Sehat, langsung menangis
 BBL : 3000 gram
Kesan : Nenonatal aterm, riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal baik.

8 Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Ibu mengaku membawa anaknya ke Posyandu secara rutin dan mendapat imunisasi
dasar lengkap. Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.

9 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

- Pertumbhan
 BB lahir : 3000 gram.
 BB sekarang : 9,5 kg
 TB sekarang : cm.
 IMT = BB/(TB)2 : 16/(1,05)2 =
-
- Perkembangan
 Mengangkat kepala : 2 bulan
 Memiringkan Badan : 3 bulan
 Tengkurap dan mempertahankan posisi kepala : 4 bulan
 Duduk : 6 bulan
 Merangkak : 8 bulan
 Berdiri : 11 bulan
 Berjalan : 12 bulan
Kesan: pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai umur

a. Riwayat Imunisasi Dasar


 0-7 hari : Hb0
 1 bulan : BCG dan Polio 1
 2 bulan : DPT/HB1, Polio 2
 3 bulan : DPT/HB2, Polio 2
3
 4 bulan : DPT/HB3, Polio 3
 9 bulan : Campak
Kesan : Anak sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap.

b. Riwayat Pemberian Makan dan Minum


Pasien diberikan ASI hingga usia 2tahun tanpa minum susu formula. Mendapatkan
makanan pendamping usia 6 bulan. Nasi, sayur buah dan lauk di konsumsi setiap hari
dengan baik serta dalam jumlah yang cukup.

Status Generalis
a) Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/80 mmHg
 Nadi : x/menit
 Respirasi : x/menit
 Suhu Badan : 0C
 SpO2 : 95 %

b) Kepala/Leher
 Kepala : Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut.
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-),
 Telinga : Otorhhea (-/-), kemerahan (-/-), nyeri(-/-).
 Hidung : Discharge(-/-), mukosa kemerahan (-/-), epistaksis (-/-)
 Mulut : Sianosis (-),bibir kering(-), perdarahan (-), mukosa hiperemis (-), tonsil
T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
 Leher : Tidak ada pembesaran KGB

c) Thorax
 Inspeksi : Retraksi (-), masa (-), pergerakan dinding dada dextra dan sinistra
simetris.
 Palpasi : Stem fremitus Kanan = kiri, kreptasi(-), nyeri (-).
 Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
4
 Auskultasi : Suara Napas Vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), whezing (+/+)

d) Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : Iktus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra
 Perkusi
Batas kiri bawah : ICS V Linea midclavicula kiri, 2 cm ke medial
Batas kiri atas : ICS II Linea parasternal kiri
Batas kanan atas : ICS II Linea parasternais kanan
Batas kanan bawah :ICS III-IV Linea parasternalis dextra
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, bising jantung (-)

e) Abdomen
 Inspeksi : Datar, kemerahan (-), hernia umbilicalis (-)
 Auskultasi : Bising Usus (+) normal.
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Turgor kembali cepat, hepar lien tidak membesar

f) Extremitas : Akral hangat, Edema (-/-), CRT < 2”.

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 Darah Lengkap

5
No Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal

1 WBC 4.000 – 10.000/µL

2 RBC 4,20 – 6,90 juta/µL

3 HGB 11 – 16 g/dl

4 PLT 150.000 – 450.000/µL

 5 MCV 79 – 99 fL

6 MCH 27,0 – 31,0 pg

7 MCHC 33 – 37 %

8 Hematokrit 37-52 %

9 DDR Negative

Rapid Test Antibodi : Anti SARS-CoV-


NR
2
NR
10 Rapid Covid - 19 Anti SARS-COV-2 Ig G : Non Reaktif

NR Anti SARS-COV-2 Ig M : Non Reaktif

RADIOLOGI

Kesan: Cor tidak membesar, Pulmo corakan bronkovascular meningkat


Kesimpulan: Bronkopneumonia

6
Resume
Pasien laki-laki umur 37 tahun datang dengan keluhan muntah ± 10 kali
berisi air dan ampas maknan, dengan volume ± 70 cc tiap kali muntah, muntah
sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit, muntah disertai demam dan berkeringat
sejak 2 hari yang lalu, , pasien mengaku berkeringat baik pagi ataupun malam hari,
pasien merasa lemas setiap kali muntah, pasien juga mengeluhkan batuk berdahak
sejak ± 1 minggu yang lalu, nafsu makan dan minum menurun. Tekanan Darah:
110/80 mmHg, Nadi: 98 x/menit,Respirasi:20 x/menit,Suhu Badan: 36,3C, SpO2:
99%, status generalis : nyeri tekan di daerah epigastrium, lumbal sinistra,
hipogastric. Lab: GDS: 214 gr/dl GD2JPP: 550 gr/dl, HbA1C : 13,3%urine :
glukosa :+4 keton :+1 protein :+1 , foto thorax : tampak infilrat di apex dan lapang
paru kanan ( gambaran Tb paru aktif) CTR< 50%, TCM sputum : positif

2.6 Diagnosis Kerja


 DM tipe II
 Gastropati diabetikum
 TB paru

2.7 Penatalaksanaan
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ondancentron 3x 1 amp
 Inj. Omeprazole 2 x 1
 Inj. Novorapid 3x 18IU
 Inj. Levemir 0-0-16 IU
 Vistein 3 x1 caps
 Paracetamol 3 x 500mg
 FDC OAT 1x 4 tab

2.8 Prognosis
 Quo ad vitam : bonam
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia ad malam
7
2.9 Follow Up
Hari, Follow Up Planning
Tanggal (Hasil Lab dan Terapi
Medikamentosa

17/10/2019 S : mual (+) muntah 10x, lemas (+) batuk (+) Terapi Medikamentosa
demam (+) BAB cair (-)  IVFD RL 20 tpm
Kesadaran: Compos Mentis  Inj. Omeprazole 2 x 40mg
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
TTV: TD: 110/80 mmHg; Nadi 96x/m, reguler,  Vistein 3 x1 caps
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,3 C
 Paracetamol 3 x 500mg
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (+),
 Cefadroxil 2x500 mg
Tonsil T1/T1
 Cek DDR,UL, foto thorax
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
reguler
Abdomen
I: Cembung
A: Bising usus ±5-6x/menit
P: Supel, nyeri tekan

- + - 8
- - +
- + -
Hepar tidak membesar, lien tidak teraba
membesar
P: timpani
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-)
ulkus (-)
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A: vomiting profuse + obs. Febris +ISPA

18/10/2019 S : mual (+) muntah 5x, lemas (+) batuk (+) Terapi Medikamentosa
demam (+) BAB cair (-)  IVFD RL 20 tpm
Kesadaran: Compos Mentis  Inj. Omeprazole 40mg/24
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang jam
TTV: TD: 110/80 mmHg; Nadi 88x/m, reguler,  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,5 C K/P
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (+),  Vistein 3 x1 caps
Tonsil T1/T1  Paracetamol 3 x 500mg
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
 Cefadroxil 2x500 mg
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
 Cek GDP, GDJ2PP,
reguler
HBA1C, Ur,Cr profil lipid
Abdomen
I: Cembung
A: Bising usus ±5-6x/menit
P: Supel, nyeri tekan
Hasil Laboratorium
17/10/2019
- + -
DDR : negatif
- - + Urine lengkap:
- + - Warna : kuning
Hepar tidak membesar, lien tidak teraba Protein:+1

membesar Glukosa: +4
Keton : +1
Leukosit 2-4/ LP
9
Foto Thorax : gambaran
TB paru aktif
P: timpani
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-)
ulkus (-)
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A: vomiting profuse e.c susp gastropati
Susp DM tipe 2
Susp TB paru

19/10/2019 S : mual (+) muntah 10x, lemas (+) batuk 1 Terapi Medikamentosa
minggu (+) keringat dingin (+) sesak (-) demam  IVFD RL 20 tpm
(-) BAB cair (-)  Inj. Omeprazole 40mg/24
Kesadaran: Compos Mentis jam
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
TTV: TD: 110/80 mmHg; Nadi 111x/m, reguler, K/P
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,0 C  Vistein 3 x1 caps
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (+),  Paracetamol 3 x 500mg
Tonsil T1/T1 P>KGB (-)
 Cefadroxil 2x500 mg
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
 Metformin 3x500mg
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
 Glimepiride 2mg-0-0
reguler
 Cek GDP,GDJ2PP, TCM
Abdomen
sputum, PITC
I: Cembung
 Konsul Sp.P
A: Bising usus ±5-6x/menit
P: Supel, nyeri tekan

- + -
- - + Hasil Laboratorium
- - -
18/10/2019
GDP: 214 gr/dl
Hepar tidak membesar, lien tidak teraba
GD2JPP: 550 gr/dl
membesar Ureum : 23 mg%
P: timpani Creatinin: 0,9 mg%
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-) HBA1C: 13,3%
ulkus (-) Trigliserid : 133 mg%
Kolesterol total: 155 mg%
HDL: 14 mg% 10
LDL : 114 mg%
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A: -
DM Tipe 2
Vomiting profuse e.c gastropati
Susp TB paru

20/10/2019 S : mual (+) muntah 3x, lemas (+) batuk Terapi Medikamentosa
berdahak (+) sesak (-) demam (+) BAB cair (-)  IVFD RL 20 tpm
Kesadaran: Compos Mentis  Inj. Omeprazole 40mg/24
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang jam -> stop
TTV: TD: 110/80 mmHg; Nadi 88x/m, reguler,  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,5 C  Vistein 3 x1 caps
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (-),  Paracetamol 3 x 500mg
Tonsil T1/T1 P>KGB (-)
 Cefadroxil 2x500 mg
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
 Omeprazole 1x 20mg
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
 Inj. Insulin Novorapid 3x8
reguler
IU
Abdomen
 Menunggu hasil TCM
I: Cembung
sputum
A: Bising usus ±5-6x/menit
 Cek GDP,GDJ2PP
P: Supel, nyeri tekan

- + -
- - -
- - -

Hepar tidak membesar, lien tidak teraba


membesar
P: timpani Hasil Laboratorium
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-) 19/10/2019
ulkus (-) GDP: pasien tidak puasa
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/ GDS: 304 gr/dl

+ HIV : NR

11
A: -
DM Tipe 2
Vomiting profuse e.c gastropati
Susp TB paru

21/10/2019 S : mual (+) muntah (-) lemas (+) batuk Terapi Medikamentosa
berdahak (+) sesak (-) demam (+) BAB cair (-)  IVFD RL 20 tpm
Kesadaran: Compos Mentis  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang K/P
TTV: TD: 130/90 mmHg; Nadi 82x/m, reguler,  Inj. Novorapid 3x10 IU->
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,8oC 12 IU
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (-),  Inj. Levemir 0-0-10IU-> 12
Tonsil T1/T1 P>KGB (-) IU
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas  Vistein 3 x1 caps
vesikuler (+/+), rhonki (+/+), whezing (-/-), BJ I-
 Paracetamol 3 x 500mg
II reguler
 Cefadroxil 2x500 mg
Abdomen
 Omeprazole 1x 20mg
I: Cembung
 Menunggu hasil TCM
A: Bising usus ±5-6x/menit
sputum
P: Supel, nyeri tekan
 Cek GDP,GDJ2PP

- + -
- - -
- - -

Hepar tidak membesar, lien tidak teraba


Hasil Laboratorium
membesar 20/10/2019
P: timpani GDP: 243 gr/dl
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-) GD2JPP: 411 gr/dl
ulkus (-)
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A: -
DM Tipe 2

12
Gastropati diabetic
Susp TB paru

22/10/2019 S : mual (-) muntah (-) lemas (-) batuk berdahak Terapi Medikamentosa
(+) sesak (-) demam (+) mengigil (+) BAB cair  IVFD RL 20 tpm
(-)  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
Kesadaran: Compos Mentis K/P
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang  Inj. Novorapid 3x 14IU
TTV: TD: 110/80 mmHg; Nadi 70 x/m, reguler,  Inj. Levemir 0-0-12 IU
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,7 C  Vistein 3 x1 caps
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (-),
 Paracetamol 3 x 500mg
Tonsil T1/T1 P>KGB (-)
 Cefadroxil 2x500 mg
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
 Omeprazole 1x 20mg
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
 Menunggu hasil TCM
reguler
sputum
Abdomen
Cek GDP,GDJ2PP
I: Cembung
A: Bising usus ±4-5x/menit
P: Supel, nyeri tekan

- - - Hasil Laboratorium
- - - 21/10/2019
- - - GDP: 243 gr/dl
GD2JPP: 440 gr/dl
Hepar tidak membesar, lien tidak teraba
membesar
P: timpani
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-)
ulkus (-)
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A:
DM Tipe 2
Gastropati diabetic

13
Susp TB paru

23/10/2019 S : mual (+) muntah (-) lemas (-) batuk berdahak Terapi Medikamentosa
(+) sesak (-) demam (+) mengigil (-) BAB cair  IVFD RL 20 tpm
(-)  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
Kesadaran: Compos Mentis K/P
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang  Inj. Novorapid 3x 18IU
TTV: TD: 110/80 mmHg; Nadi 80 x/m, reguler,  Inj. Levemir 0-0-16 IU
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,6 C  Vistein 3 x1 caps
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (-),
 Paracetamol 3 x 500mg
Tonsil T1/T1 P>KGB (-)
 Omeprazole 1x 20mg
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
 Menunggu hasil TCM
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
sputum
reguler
 FDC OAT 1x 4 tab
Abdomen
Cek GDP,GDJ2PP
I: Cembung
A: Bising usus ±4-5x/menit
P: Supel, nyeri tekan

Hasil Laboratorium
- - -
- - - 22/10/2019
- - - GDP: 208 gr/dl
GD2JPP: 378 gr/dl
Hepar tidak membesar, lien tidak teraba
membesar
P: timpani
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-)
ulkus (-)
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A: -
DM Tipe 2
Gastropati diabetic
Susp TB paru

14
24/10/2019 S : mual (+) muntah (-) lemas (-) batuk berdahak Terapi Medikamentosa
(+) sesak (-) demam (+)  IVFD RL 20 tpm
Kesadaran: Compos Mentis  Inj. Ondancentron 3x 1 amp
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang K/P
TTV: TD: 120/70 mmHg; Nadi 86 x/m, reguler,  Inj. Novorapid 3x 18IU
o
kuat angkat; RR: 20x/m, SB: 36,5 C  Inj. Levemir 0-0-16 IU
K/L: CA (-/-), SI (-/-), faring hiperemis (-),  Paracetamol 3 x 500mg
Tonsil T1/T1 P>KGB (-)
 Omeprazole 1x 20mg
Thorax : simetris, ikut gerak napas, suara napas
 Menunggu hasil TCM
vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezing (-/-), BJ I-II
sputum
reguler
 FDC OAT 1x 4 tab
Abdomen
 Rawat jalan
I: Cembung
A: Bising usus ±4-5x/menit
P: Supel, nyeri tekan

- - -
- - -
- - -
Hasil Laboratorium

Hepar tidak membesar, lien tidak teraba 23/10/2019

membesar GDP: 187 gr/dl


GD2JPP: 222 gr/dl
P: timpani
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2” udem (-)
ulkus (-)
Vegetatif: makan/minum kurang BAB/BAK :+/
+
A: -
DM Tipe 2
Gastropati diabetic
TB paru

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus


Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik (kebanyakan herediter) sebagai
akibat dari kurangnya insulin efektif (DM Tipe 2) atau insulin absolut (DM Tipe 1) di
dalam tubuh. Pada DM terdapat tanda-tanda hiperglikemi dan glukosuria,dapat
disertai dengan atau tidaknya gejala klinik akut seperti poliuri,polidipsi, penurunan
berat badan, ataupun gejala kronik.1

3.1.1 Gejala Diabetes Melitus


Kecurigaan adanya DMT2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik berupa;
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.1

3.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa darah secara enzimatik
dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan darah vena ataupun kapiler tetap dapat
dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler.1

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena dengan sistem


enzimatik dengan hasil :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl

16
7. HbA1c ≥ 6.5%
Meskipun TTGO dengan beban glukosa 75 g lebih sensitif dan spesifik
dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa, TTGO memiliki keterbatasan
tersendiri. TTGO sulit dilakukan berulang-ulang. Apabila hasil pemeriksaan TTGO
tidak memenuhi kriteria DMT2, dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi
glukosa terganggu/ impaired glucose tolerance) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu/ impaired fasting glucose). Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah
pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa darah 2 jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dL. Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa darah puasa
didapatkan antara 100-125 mg/dL.1

17
3.1.3 Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terapi non farmakologis Dari awal, pada pengelolaan pasien DMT2 harus
direncanakan terapi non farmakologis dan pertimbangan terapi farmakologis. Hal yang
paling penting pada terapi non farmakologis adalah monitor sendiri kadar glukosa darah
dan pendidikan berkelanjutan tentang penatalaksanaan diabetes pada pasien. Latihan
jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama 30 menit/ kali), merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain untuk
menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas
insulin sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang
dianjurkan adalah berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, joging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan
jasmani bisa ditingkatkan. Sementara bagi mereka yang sudah mengalami komplikasi

18
DM, intensitas latihan jasmani dapat dikurangi. Terapi nutrisi medis dilaksanakan
dalam beberapa tahap. Pengenalan sumber dan jenis karbohidrat, pencegahan dan
penatalaksanaan hipoglikemia harus dilakukan terhadap pasien. Terapi nutrisi medis ini
bersifat bersifat individu. Secara umum, terapi nutrisi medis meliputi upaya-upaya
untuk mendorong pola hidup sehat, membantu kontrol gula darah, dan membantu
pengaturan berat badan. 1

19
20
 Penggunaan Insulin pada Pasien Rawat Jalan
Terapi insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin dapat berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial (setelah
makan), atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya
hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial
menyebabkan timbulnya hiperglikemia setelah makan.1
 Pemberian Insulin basal
Pemberian insulin basal merupakan salah satu strategi pengobatan untuk
memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa
darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa puasa,
maka diharapkan dengan menurunkan glukosa basal, kadar glukosa darah setelah
makan juga ikut turun. 1
 Inisiasi terapi insulin
Insulin dapat diberikan pada semua pasien DMT2 dengan kontrol glikemik yang
buruk. Insulin juga dapat diberikan pada kasus-kasus DMT2 yang baru dikenal dengan
penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis. Contoh regimen insulin
sekali sehari:
1. Mulai dengan dosis 8 – 10 unit long acting insulin (insulin kerja panjang)
2. Teruskan pemakaian OAD (metformin)
3. Lakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi
4. Lakukan titrasi dosis untuk mengendalikan kadar glukosa darah sebelum makan
pagi

Dalam menggunakan insulin, dosis dinaikan secara bertahap. Apabila kadar


glukosa darah belum terkontrol, titrasi dosis dapat dilakukan setiap 2- 3 hari. Cara
mentitrasi dosis insulin basal :
 Naikan dosis 2 unit bila glukosa darah puasanya di atas 126 mg/dl
 Naikan dosis 4 unit bila glukosa darah puasanya di atas 144 mg/dlTitrasi dosis ini
dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama sampai kadar glukosa darah puasa
mencapai kadar yang diinginkan.1

21
 Pemberian Insulin Basal, basal plus insulin
Jika nilai HbA1c masih belum mencapai target, setelah kadar glukosa darah puasa
terkendali dengan regimen basal insulin, maka dibutuhkan insulin lain untuk
menurunkan HbA1c, yaitu dengan menambahkan insulin prandial. Pemberian basal
insulin dengan menambahkan insulin prandial disebut dengan terapi basal plus. Jika
dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil yang optimal, maka
pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap mau makan. Cara pemberian
insulin seperti ini disebut dengan basal bolus. Dengan menggunakan 2 macam insulin
dapat dilakukan berbagai metode untuk mencapai kontrol glukosa darah. Basal bolus
insulin merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam mencapai kontrol
glukosa darah. 1

Tabel Contoh Basal Insulin dan Bolus Insulin.

Basal bolus insulin merupakan salah satu bentuk pemberian insulin yang cukup
komplit, tetapi bisa jadi fleksibel sehingga kita mempunyai banyak pilihan dalam
penatalaksanaan DM. Contoh pemberian insulin basal bolus, pada seorang penderita
dapat diberi sekali injeksi insulin basal digabung dengan OAD, jika diperlukan
tambahan insulin pada satu waktu makan, maka dapat ditambahkan satu bolus insulin.
Jika setiap makan diperlukan insulin tambahan maka bolus insulin dapat diberikan
setiap kali akan makan. Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian baik glukosa darah puasa maupun glukosa
darah setelah makan.1
Efek samping terapi insulin Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemi. Efek samping lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin. Guna menghindari efek samping
hipoglikemi, maka kepada setiap penderita DMT2 yang akan diberikan insulin harus
dilakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemi. Bila seorang pasien
mengalami tanda atau gejala hipoglikemia setelah mendapat suntikan insulin, maka

22
yang bersangkutan harus segera memeriksa kadar glukosa darahnya secara mandiri
dan bila kadar glukosa darahnya < 70 mg/dl, maka pasien harus segera meminum air
gula dan menurunkan dosis insulin pada pemberian insulin berikutnya. Efek samping
lain dari terapi insulin basal bolus pada penderita rawat jalan adalah terjadinya
kenaikan berat badan secara signifikan. Pada pasien tertentu, kenaikan berat badan ini
juga merupakan suatu masalah.1

3.2 Tuberkulosis Paru

3.2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB ( M.
tuberculosis) sebagian besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh
lainnya seperti kulit, tulang, persendian, selaput otak, usus serta ginjal yang sering
disebut dengan TB ekstrapulmonal.2

3.2.2 Gejala Tuberkulosis Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.2

3.2.3 Pemeriksaan Tuberkuosis Paru


a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam
dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS),
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB dating berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
 P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes.
 S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
23
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil jaminan
mutu eksternal pemeriksaan laboratorium.2
b. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk
menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu :
- Pasien TB Ekstra Paru
- Pasien Tb Anak
- Pasien TB BTA Negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia
laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan.2

c. Uji Kepekaan Obat TB


Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT.
Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus
pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk
diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB-MDR.2

3.2.4 Diganosis Tuberkulosis Paru


 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
 Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan
indikasinya.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.
Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.2

Diagnosis TB ekstra paru


 Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe

24
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
 Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.2

Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai
berikut:
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis &
radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.2

25
Teknik kultur masih dianggap sebagai pemeriksaan baku emas karena
identifikasi dan sensitivitas yang lebih baik dibanding pemeriksaan BTA, namun
pertumbuhan lambat bakteri M. tuberculosis merupakan hambatan besar untuk diagnosis
cepat penyakit ini. Kelemahan lainnya adalah fasilitas pemeriksaan kultur yang hanya ada
di laboratorium tertentu. Adanya beberapa kekurangan metode ini dan membutuhkan
waktu yang lama dalam menentukan diagnosis pasti TB paru, maka dibutuhkan alat
diagnostik yang cepat dan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk
memperbaiki metoda diagnostik yang konvensional seperti pewarnaan BTA dan kultur.3,4
Berbagai metoda baru telah dikembangkan saat ini untuk diagnosis cepat TB aktif
dengan teknik terbaik seperti pemeriksaan genotip atau molekuler.12 GeneXpert
merupakan penemuan terobosan untuk diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan molekuler
yang menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction Assay (RT-PCR)
semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen rpoB pada M. tuberculosis, yang
terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic
acid (DNA) dalam cartridgesekali pakai. Penelitian invitro menunjukkan batas deteksi
kuman TB dengan metode RT-PCR GeneXpert minimal 131 kuman/ml sputum.Waktu
hingga didapatkannya hasil kurang dari dua jam dan hanya membutuhkan pelatihan yang
simpel untuk dapat menggunakan alat ini.13,14,15 Teknik pemeriksaan dengan metode
RT-PCR GeneXpert didasarkan pada amplifikasi berulang dari target DNA dan kemudian
dideteksi secara fluorimetrik. Teknik ini dapat mengidentifikasigen rpoB M. tuberculosis
dan urutannya secara lebih mudah, cepat dan akurat. Gen ini berkaitan erat dengan
ketahanan sel dan merupakan target obat rifampisin yang bersifat bakterisidal pada M.
tuberculosis dan M. leprae. Penelitian pendahuluan menyatakan sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi pada sampel saluran pernapasan untuk mendeteksi M.
tuberculosis dan sekaligus mendeteksi resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin.4

3.2.5 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru


a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru

26
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:2
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

3.3 DM sebagai Faktor Risiko TB


Diabetes mellitus merupakan suatu kondisi kronik dimana tubuh tidak dapat
emproduksi insulin yang cukup atau tidak efektif untuk dipergunakan yang akhirnya
menyebabkan penderita tidak dapat mempergunakan glukosa dengan sebaik-baiknya. Hal
ini akan menimbulkan tinnginya kadar glukosa di dalam darah (hiperglikemia) sehingga
pada akhirnya akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Penyakit ini pertamakali mulai
dikenal pada 1500 SM oleh seorang pengobat Mesir kuno dan istilah diabetes mellitus
baru digunakan oleh dokter Yunani saat itu untuk menggambarkan seseorang dengan
sering buang air kecil dan urinnya berasa manis.2
Diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu DM tipe 1, DM tipe 2,
DM tipe khusus yang lain dan DM pada kehamilan. Kecurigaan DM perlu dipikirkan
apabila terdapat keluhan klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) dan terdapat keluhan lain seperti kelemahan
badan, disfungsi ereksi pada laki-laki serta pruritus vulvae pada perempuan. Diagnosis
DM ditentukan dengan pemeriksaan kadar gula darah (KGD) dengan standar seperti di
bawah ini:
1. Gejala klasik DM + KGD sewaktu ≥ 200mg/dl
2. Gejala klasik DM + KGD puasa ≥ 126 mg/dl
3. Gejala tidak khas DM + KGD plasma 2 jam TTGO ≥ 220 mg/dl
Diabetes mellitus memberikan komplikasi-komplikasi yang serius seperti penyakit
kardiovaskular, nefropati, retinopati, infeksi termasuk TB. Patofisiologi TB sangat
kompleks. Terjadinya infeksi sangat tergantung dari faktor luar akan tetapi reaktivasi
kuman pun dapat terjadi dalam keadaan imunitas rendah. Data yang menujukkan TB
laten pada DM saat ini masih kurang akan tetapi dari beberapa penelitian menunjukkan
tingginya prevalens infeksi TB laten pada penderita DM. Penelitian yang dilaporkan oleh

27
Nwabudike dkk. menunjukkan reaksi purified protein derivate (PPD) memiliki korelasi
bermakna dengan derajat hiperglikemia. Penelitian yang dilakukan di Spanyol dari 163
pasien DM 69 (42%) pasien memiliki reaksi tuberkulin positif. Hubungan DM dengan
TB pertamakali dilaporkan oleh Avicenna pada abad ke XI yaitu TB merupakan
penyebab kematian utama penderita DM. Pada otopsi postmortem penderita DM ternyata
didapatkan 50% nya juga menderita TB. Pada awal abad 20 ketoasidosis diabetikum dan
TB dianggap menjadi penyebab kematian pada penderita DM tapi setelah ditemukannya
insulin maka terjadi penurunan angka kematian akibat kedua penyakit tersebut.
Peningkatan risiko terjadinya TB aktif pada penderita DM diduga akibat gangguan
sistem imun, peningkatan daya lekat kuman M.tb pada sel penderita DM, mikroangiopati,
makroangiopati dan neuropati.2
Pada diabetes imunitas seluler berkurang yang berdampak pada berkurang limfosit
Th1 termasuk produksi TNFα, IL 1β dan IL6. Padahal marker ini memainkan peranan
penting dalam pertahanan terhadap kuman M.Tb. Terjadinya keadaan hiperglikemia
menciptakan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya kuman
M.Tb. beberapa peneliti juga menyatakan bahwa fungsi perlindungan sel yang berkurang
meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi ditambah meningkatnya kadar gliserol dan
nitrogen yang menjadi faktor pertumbuhan kuman M.Tb. Penyebab lain meningkatnya
risiko TB pada penderita DM adalah disfungsi kelenjar pituitari yang menyebabkan
berlebihnya produksi hormon adrenokortikotropik sehingga meningkatkan kadar
kortikosteroid di dalam darah. Kortikosteroid merupakan antagonis insulin sehinnga
kadarnya yang berlebih akan mengakibatkan diabetes insulin resisten. Netrofil pada
penderita DM memiliki sifat kemotaksis dan oksidatif yang berkurang.bebrapa peneliti
menganggap hal ini disebabkan olehkarena berkurangnya produksi IL1β, TNFα.
Penelitian-penelitian ini membuktikan bahwa pada DM terjadi gangguan fungsi respons
imun innate dan adaptive yang sangat penting menghambat pertumbuhan kuman M.Tb.2

3.4 TB Aktif
Diabetes mellitus menjadi salah satu faktor risiko timbulnya TB aktif selain
HIV/AIDS, hal yang dapat menekan imunitas tubuh, silikosis, malnutrisi, merokok,
penyalahgunaan obat dan alkhol. Frekuensi DM diantara penderita TB aktif berkisar
5,6%-14,8%. Pada penderita tersebut 35-61% DM di diagnosis pertamakalinya setelah
diagnosis TB. Toleransi glukosa juga merupakan keadaan yang umum ditemukan pada
penderita TB. Beberapa penelitian juga menunjukkan terdapatnya intoleransi glukosa

28
tidak spesifik pada TB akan tetapi banyak penelitian juga berhasil membuktikan
hubungan antara DM dengan TB aktif.2
Pada beberapa penelitian menunjukkan risiko terjadinya TB diantara DM adalah
2.2-2.52 kali. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor yaitu usia, tipe DM, derajat keparahan
DM, prevalens TB di di daerah tersebut dan etnis. Restrepo1 menunjukkan odds ratio
(OR) pasien TB dengan DM sebesar 1,3 sampai 7,8 kali. Penelitian yang dilakukan
Alisjahbana dkk. di Indonesia menunjukkan bahwa prevalens DM pada penderita TB
adalah 14,8% dibandingkan 3,2% pada populasi normal. TB paru aktif akan lebih sering
muncul pada pasien DM yang tergantung insulin (insulin dependent diabetes
mellitus/IDDM) dibandingkan dengan pasien DM tidak tergantung insulin (non insulin
dependent DM/NIDDM).2
Penelitian dengan hasil serupa juga di dapatkan oleh Faurholt dkk yang melakukan
penelitian di Tanzania. Kedua hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketergantungan
terhadap insulin menjadi prediktor meningkatnya resiko TB. Penelitian yang di lakukan di
Hongkong terhadap terhadap 4680 pasien DM usia tua di dapatkan hasil bahwa pasien
dengan nilai HbA1c >7 memiliki resiko 7 kali untuk mendapatkan Tb aktif dibandingkan
kelompok pasien dengan HbA1c<7 yang artinya kontrol gula darah yang buruk menjadi
faktor risiko timbulnya TB pada pasien DM.2
Kegagalan sistem imun merupakan penyebab meningkatnya faktor risiko aktivasi
TB laten. DM memiliki potensi untuk bermanifes dalam bentuk klinis yang lebih berat.
Respons imun seluler menjadi tergagnggu pada pasien DM padahal respon imun ini
merupakan respon imun yang paling penting untuk membatasi infeksi TB. Aweis dkk
menunjukkan terdapatnya penurunan jumlah limfosit pada psien TB dengan DM
dibandingkan pasien TB tanpa DM. Di sisi lain terdapat peningkatan kadar TNF-α dan
IFN-γ pada pasien TB dan DM. Hal ini menunjukkan bahwa respon imunitas selular
menurun dan membutuhkan rangsangan yang lebih tinggi untuk optimalisasi respons
imun.2

3.5 Manifestasi klinis dan Radiologis pada penderita TB dengan DM


Penderita TB dengan DM biasanya berusia lebih tua dibandingkan dengan TB
tanpa DM. Hal ini mungkin disebabkan karena penderita DM tipe 2 lebih banyak pada usia
lebih tua. Beberapa penelitian menunjukkan TB lebih banyak terjadi pada penderita DM
laki-laki dibandingkan perempuan. Beberapa gejala klinis DM dan TB memiliki persamaan
seperti penurunan berat badan dan fatique. Gejala klinis respirasi seperti batuk dapat

29
menjadi klinis yang tidak menonjol pada penderita TB dengan DM. Hal ini diakibatkan
terdapatnya gangguan motilitas silia yang menurunkan refleks batuk. Selain itu gangguan
mikro dan makroangiopati pada penderita DM dapat menimbulkan kegagalan migrasi
sistem imun yang dapat mengakibatkan kondisi penyakit menjadi lebih buruk. Alisjahbana
menunjukkan bahwa pasien TB dengan DM menunjukkan gejala yang lebih banyak
dibandingkan penderita TB tanpa DM meskipun tidak didapat bukti kondisi yang
memperparah penyakit dari pemeriksaan darah, bakteriologi mapun radiologi. Penderita
TB dengan DM biasanya memilki keluhan demam dengan durasi yang lebih lama dan
penurunan berat badan yang lebih besar daripada pasien TB tanpa DM.2
Gambaran radiologi penderita TB dengan DM merupakan gambaran atipikal yaitu
sering melibatkan lobus bawah paru. Penelitian yang dilakukan oleh Parenz dkk pada 192
pasien TB dengan DM melaporkan bahwa 84% penderita TB dengan DM menunjukkan
gambaran TB pada lobus bawah dan 16% pada lobus atas dari foto toraks, 68% hanya di
satu sisi paru dan sisanya 32% pada kedua paru. Penelitian yang dilakukan oleh Patel dkk
juga menunjukkan hal yang hampir sama bahwa gambaran infiltrat domina berada pada
lobus bawah dibandingkan atas (56%), sering terdapat gambaran kavitas (82%) dan lebih
sering gambaranya multiple. Perbedaan gambaran radiologi foto toraks pada TB dengan
DM dan tanpa DM olehkarena penderita DM memiliki gangguan imunitas selular dan
disfungsi sel PMN. Penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara gambaran efusi
pleura pada penderita TB dengan DM dan tanpa DM. Gambaran kavitas terutama lesi
cavitary nodular lebih sering dijumpai pada penderita TB dengan DM. Beberap penelitian
menunjukkan bahwa hal ini berkaitan dengan terkontrolnya gula darah berdasarkan nilai
HbA1c.2

3.6 Efek DM terhadap respons terapi TB


Diabetes dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan meningkatkan risiko
toksisitas obat. Diabetes merupakan faktor prediktor terjadinya DILI (drug induced liver
injury). Toksisitas hepar olehkarena OAT akan meningkat dengan terdapatnya DM.2
Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang berbeda-beda mengenai konversi
sputum pada pasien TB dengan DM. Beberapa penelitian tidak menunjukkan bahwa DM
menjadi faktor risiko meningkatnya lama masa konversi sputum. Akan tetapi beberapa
penelitian mendapatkan hasil yang berlawanan bahwa terdapat peningkatan lama masa
konversi sputum. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa pasien TB dengan DM
memeiliki persentase sputum BTA lebih tinggi, masa konversi yang lebih lama

30
dibandingkan dengan pasien TB bukan DM dan cenderung mengalami resistensi OAT.
Pada penelitian menunjukkan DM yang tidak terkontrol yang ditandai dengan nilai
HbA1c ≥ 7 memiliki risiko untuk lebih lama mendapatkan konversi sputum BTA (lebih
dari 2 bulan). Tuberkulosis dengan DM memiliki efek negatif terhadap hasil pengobatan
TB. TB dengan DM memiliki tingkat kegagalan terapi dan angka mortalitas yang tinggi.
Hal ini disebabkan tingginya angka resistensi OAT, terganggunya imunitas selular.2
Penelitian yang dilakukan oleh Singla dkk menunjukkan bahwa sputum BTA
positif pada awal diagnosis lebih sering ditemukan pada pasien DM dibandingkan yang
bukan DM. Penelitian yang dilakukan Alisjahbana di Indonesia menunjukkan hasil yang
agak berbeda bahwa sputum BTA positif saat awal diagnosis lebih banyak pada pasien
Tb bukan DM (38,9% vs 29,8%) akan tetapi hal yang menarik adalah setelah dilakukan
pemberian OAT selama 6 bulan ditemukan bahwa hasil kultur tetap positif 7.65 kali pada
pasien TB dengan DM dibandingkan TB tanpa DM.2
Pasien DM memliki konsentrasi plasma OAT yang rendah terutama rifampisin.
Penelitian yang dilakukan oleh Baghei dkk menunjukkan rerata AUC Rifampisin 53%
lebih rendah dibandingkan pasien TB tanpa DM. Hal ini diduga disebabkan oleh beratnya
hiperglikemia yang terjadi. Walaupun mekanisme pasti penyebab hal ini belum diketahui
pasti tapi dugaan hal ini juga disebabkan berkurangnya sekresi asam hidroklorida
lambung pada pasien DM.2
Beberapa penelitian membuktikan bahwa risiko terjadinya MDR TB meningkat di
antara pasien TB dengan DM dengan risiko 2.1-8.8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien TB tanpa DM. Penelitian yang dilakukan oleh Condos dkk menunjukkan bahwa
sering terjadi kekambuhan dengan strain kuman TB yang resisten pada pasien TB dengan
DM. Walaupun begitu mekanisme ini masih belum dapat dijelaskan walapun satu
hipotesis mengatakan hal ini berhubungan dengan gen katG yang melindungi kuman
M.Tb dari kerusakan oksidatif. Pada pasien TB dengan DM tipe 2 produksi oksigen
reaktif terganggu sehingga strain dengan mutasi gen katG dapat dengan baik bertahan dan
selanjutnya dapat berkembang.2

3.7 Terapi pada TB dengan DM


Sampai saat ini belum ada rekomendasi kuat untuk memberikan paduan OAT yang
berbeda antara TB DM dengan TB tanpa DM. Pasien TB dengan DM mendapatkan terapi
standar sesuai dengan pasien TB lain yang hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada panduan tentang TB DM menyarankan

31
hal yang sama dengan WHO dengan syarat gula darah terkontrol. Apabila kadar gula
darah tidak terkontrol maka lama pengobatan dapat diperpanjang sampai dengan 9 bulan.
Rifampisin sebagai OAT utama harus diperhatikan penggunaannya pada pasien TB
dengan DM karena akan mengurangi efektifitas sulfonil urea dan biguanides sehingga
dosisnya perlu ditingkatkan. Biasanya efek ini akan terlihat setelah dilakukannya terapi
selama 1 minggu dan efeknya akan berkurang sampai menghilang setelah penghentian
Rifampisin dalam waktu 2 minggu. Penggunaan etambutol harus diawasi ketat karena
efek sampingnya pada mata karena di sisi lain pasien dengan DM lebih sering mengalami
komplikasi pada mata. Penggunaan INH juga harus dipantau oleh karena efek
sampingnya yang akan menimbulkan neuropati perifer yang memungkinkan
memberatnya keluhan neuropati yang telah ada pada pasien DM.2
Pasien TB sering menunjukkan terjadinya keadaan intoleransi glukosa,
kekerapannya berkisar 16.5%-49% dari pasien TB. Penelitian menunjukkan bahwa pada
56.6% pasien TB yang baru terdiagnosis terdapat intoleransi glukosa dan segera menjadi
normal kembali setelah dimulai terapi TB, hal ini dikenal sebagai transient
hyperglicemia. Yang harus diperhatikan adalah bahwa seringkali hiperglikemia lebih sulit
dikontrol selama TB masih aktif sehingga diperlukan penggunaan insulin untuk
mengatasi hal ini. Penyebab pasti hal ini belum dapat dipastikan akan tetapi diduga
sitokin inflamasi yang diproduksi seperti IL6 dan TNFα akibat infeksi TB akan
meningkatkan resistensi insulin dan berkurangnya produksi insulin sehingga pada
akhirnya akan mengakibatkan terjadinya hiperglikemia.2
Tuberkulosis sering memperburuk kontrol gula darah dan membuat diabetes
menjadi sulit untuk dikontrol. Penatalaksanaan DM pada pasien TB dengan DM harus
dilakukan secara agresif. Tercapainya kontrol gula darah akan memberikan hasil akhir
yang baik. Hal ini dapat dicapai melalui pemeberian obat antidiabetes orala atapun
insulin. Hal ini biasanya diawali dengan pemberian terapi insulin dengan insulin secara
bolus atau premixed. American Association of Clinical Endocrinologist
merekomendasikan penggunaan insulin modern atau insulin analoque. Kebutuhan insulin
dimulai dengan peningkatan dosis insulin dan kemudian secara perlahan diturunkan
setelah gula darah terkontrol dalam beberapa minggu. Dosis insulin akan ditingkatkan
kembali seiring dengan perbaikan nafsu makan menuju normal dan peningkatan asupan
kalori. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan keton urin pada pasien.rerata dosis insulin yang
dibutuhkan pasien adalah 1I/kgbb/hari dibagi 60C%C bolus dan 40% sisanya basal

32
insulin. Setelah beberapa minggu dosis diturunkan menjadi 0.5 U/kgbb/hari. Pemberian
insulin eksogen bagi pasien TB dengan DM dianjurkan pada keadaan:2

1. TB berat
2. hilangnya fungsi pancreas
a. pancreatic endocrine deficiency
b. pankreatitis TB
3. peningkatan kebutuhan kalori, diet tinggi protein
4. penyakit hati yang menghambat penggunaan obat antidiabetes oral
Kadar gula yang diharapkan pada pasien TB dengan DM berkisar 120-
150mg/dl. Kadar gula darah yang terkontrol membuat kerja OAT menjadi lebih efektif
dan perbaikan klinis serta radiologis yang lebih cepat pula.
Untuk mencegah semakin memberatnya kedua penyakit maka deteksi dini
terdapatnya DM pada pasien TB paru dan deteksi TB paru pada pasien DM merupakan
cara yang dianjurkan WHO untuk kelompok yang beresiko untuk timbulnya TB. pada
penderita DM skrening TB menunjukkan tingkat kepositifan 1,7-37% tergantung pada
angka pevalens TB dan beratnya DM. Sedangkan skrening DM pada penderita TB
kepostifan berkisar 1,9-35%. Diabetes mellitus secara klinis sulit dikenali pada pasien TB
untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan gula darah baik kadar gula darah sewaktu diikuti
pemeriksasaan kadar gula darah puasa. Penelitian yang dilakukan di China dan India
dengan melakukan pemeriksaan ini berhasil dideteksi DM pada 12-13% pasien TB.
Pemeriksaan kadar gula darah ini sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapatkan
terapi OAT. Deteksi TB paru pada pasien DM dilakukan masih dengan metode standar
yang dianjurkan untuk diagnosis TB yaitu dengan pemeriksaan sputum BTA ditambah
pemeriksaan foto toraks. Deteksi TB pada pasien DM dengan mengandalkan klinis
memiliki sensitifitas yang rendah. Pemeriksaan foto toraks memberikan hasil yang lebih
baik akan tetapi memerlukan biaya yang lebih tinggi. Masih diperlukan penelitian untuk
menentukan uji diagnosis yang tepat sekaligus biaya yang murah untuk skrening dua arah
TB dan DM.2

3.8 Patogenesis Gastroparesis Diabetika


Patogenesis gastropati DM masih sulit dipahami; Namun, kemungkinan dimulai
dengan penurunan mikrosirkulasi dinding lambung, yang juga terlihat dalam komplikasi
lain dari diabetes (yaitu, nefropati dan retinopati). Hilangnya neuron lambung yang

33
mengandung nitrat oksida (NO) sintetase mungkin terjadi pada pasien dengan Diabetes
Militus, dan gangguan NO jalur di pleksus myenteric dapat mengakibatkan gangguan
akomodasi refleks lambung dengan gejala dispepsia berikutnya.5,6

(Gambar 1). Kerusakan intrinsik / ekstrinsik neuron, hilangnya interstitial cells of Cajal
(ICC), dan hilangnya heme oxygenase 1 (HO1) interstitial cells of Cajal (ICC) juga telah
terlibat dalam gastropati DM. Kurangnya enzim pelindung heme oxygenase (HO1), yang
dinyatakan dalam tipe 2 makrofag terhadap stres oksidatif, telah dikaitkan dengan
gastropati DM. Vegal Cholinergics juga lebih sering terkena di gastropati DM daripada di
gastroparesis idiopatik. Murine model telah menyatakan adanya hubungan potensial
antara berkurang insulin / IGF-1 sinyal dan penipisan ICC, atrofi otot polos, dan
mengurangi produksi faktor sel induk. 6

34
Disfungsi pilorus sering diabaikan dalam patogenesis GP. Ada bukti dari
“pylorospasm” di antara pasien dengan diabetes. Dikombinasikan disfungsi antral dan
pilorus berkontribusi GP, dengan hilangnya relaksasi di pilorus dan bersamaan hilangnya
motilitas antral. Selain itu, hilangnya ICC dan fibrosis otot lebih sering terjadi pada
pilorus daripada di daerah antrum pasien dengan GP refraktori. Gejala cepat kenyang dan
kepenuhan postprandial yang berbanding terbalik dengan diameter dan luas penampang
dari sfingter pylorus.6
Selain itu, pengujian motilitas kapsul nirkabel telah menunjukkan bahwa ada
penundaan ekstra-lambung di usus kecil dan transit kolon hingga 40% pasien dengan GP.
Gejala yang terkait dengan penundaan ekstra-lambung mungkin kurang optimal diatasi
ketika merawat pasien dengan DMGP karena kurangnya kesadaran.6
Hiperglikemia akut dan kronik dapat menghambat pengosongan lambung, Namun,
penelitan juga menunjukkan bahwa kontrol glukosa jangka panjang dapat meningkatkan
pengosongan lambung. Dalam Epidemiologi Diabetes studi Komplikasi Intensif, HbA1c
yang tinggi dan pasien yang menderita diabetes dikaitkan dengan lamanya pengosongan
lambung pada pasien dengan DM . Pada pasien dengan hiperglikemia (gula darah ≥ 200
mg / dL) mengurangi motilitas antrum dan hiperglikemia berat (glukosa darah 290-340
mg / dL) dapat mengurangi motilitas antrum dan pengosongan lambung pada pasien
dengan DM. 6

3.9 Penatalkasaan gastropati diabetikum


Adapun tujuan penatalaksanaan gastroparesis diabetika adalah memperbaiki
kwalitas hidup, mencegah komplikasi dan membantu terselenggaranya kendali diabetes
yang lebih baik. Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus
yang simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik
belum diperlukan pengobatan, namun dalam rangka membantu mencapai kendali gula
darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi, pengobatan terhadap kasus asimptomatik
dapat diberikan.5
Terhadap penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan
penyesuaian diet, yang dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan kadar lemak
dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang cukup. Bila cara tersebut
tidak menolong dapat diberikan makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi, dan pada
kasus yang sangat berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum untuk nutrisi

35
enternal. Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan pengosongan
lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam pengobatan penderita gastroparesis
yang simptomatik. Sebelum terapi prokinetik dimulai seharusnya waktu pengosongan
lambung diukur, namun karena tidak praktis dapat diberikan terapi pengobatan selama 4
minggu, bila symptom tidak berkurang ataupun muncul kembali setelah terapi dihentikan
maka waktu pengosongan lambung harus diukur. Ada berbagai bahan fannakologik yang
memiliki efek prokinetik lambung, namun obat-obat prokinetik yang secara luas
digunakan, dalam mengobati gastroparesis diabetika adalah metoclopramide,
domperidone, cisapride dan erythromycin.5
Sebuah penelitian dilakukan di Medline hingga 1 Agustus 2017. Mesh dan istilah
non-Mesh yang digunakan, termasuk “gastroparesis,” “terapi,” “antiemetik,” “clonidine,”
“nabinole,”“dronabinol,”“Marinol”‘cannabinoids,’‘ondansetron“Granisetron,”
“tropisetron,” “dolasetron,” dan “aprepitant.6
Karena sifat kelainan motorik yang beraneka ragam pada gastroparesis diabetika
maka tidak mungkin untuk memperoleh perbaikan terhadap seluruh kelainan motorik /
sensorik dengan satu obat. Waktu pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa
sehingga kadar plasma obat. Waktu pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa
sehingga kadar plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan waktu makan
yaitu setidaknya 30 menit peprandial, selain itu juga perlu diberikan dosis malam hari
untuk mengurangi pembentukan bezzoar. Metoclopramide adalah suatu derivat
procainamide merupakan antagonis reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3, pelepas
acetylcholine dan inhibitor cholinesterase, memiliki khasiat prokinetik lambung dan anti
emetik dan dapat melewati sawar darah otak . Aktivitas prokinetiknya diperkirakan
berasal dari antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan pelepasan
acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya antara lain
meningkatkan tekanan sfingter esophagus bawah, menghambat relaksasi fundus,
meningkatkan kontraktilitas antrum dan merelaksasi sfingter pylorus. Aksi
metoclopramide pada aktivitas IMMC masih belum jelas. Aktivitas antiemetiknya adalah
berdasarkan antagonisme reseptor dopamine sentral pada chemoreceptor trigger zone dan
vomiting center. Metoclopramide dapat menurangi symptom statis lambung dan
memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid, namun antara perbaikan
symptom dengan pengosongan lambung tidak berkorelasi. Pada pemakaian yang
berkepanjangan efek prokinetiknya akan menghilang meskipun perbaikan
simptomatiknya terus berlangsung. Metoclopramide dianggap merupakan obat yang

36
paling efektif dalam hal memperbaiki symptom. Metoclopramide diberikan per oral
dengan dosis 5 – 20 mg sebelum makan dan pada waktu tidur. Dapat pula diberikan
melalui intravena, intramuskuler, subkutan, intrarektal maupun intraperitoneal. Efek
samping metoclopramide setidak-tidaknya mengenai 20% penderita, sifatnya tergantung
dosis, dan yang tersering adalah gangguan neurologik dan endokrinologik. Gangguan
neurologik berupa mengantuk, gelisah, cemas, depresi, symptom dystonic (yaitu tardive
dyskinesia, oculogyric crisis, opisthotonus, trismus dan torticollis), dan symptom
parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan akinesia). Gangguan endokrinologik antara lain
hiperprolaktinemia yang menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan
amenorrhea, selain itu dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan
penurunan kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone dan growth
hormone.5,6,7
Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis reseptor
dopamine yang tidak melewati sawar darah otak. Aksi prokinetik lambungnya adalah
melalui penghambatan reseptor dopamine pada lambung dan duodenum, sedangkan efek
antiemetiknya hanya terjadi pada chemoreceptor trigger zone. Domperidone efektif
dalam mengendalikan symptom dan memperbaiki pengosongan lambung pada
gastoparesis diabetika. Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan
meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun liquid, sesudah pengobatan 4
minggu peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi namun pengosongan solid tidak,
sedangkan symptom klinis membaik pada pengobatan akut maupun kronis. Domperidone
dapat diberikan melalui oral, intravena, intramuskuler ataupun intrarektal. Dosis awal oral
adalah 10 mg sebelum makan dan malam sebelum tidur, dapat ditingkatkan menjadi 4
kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30
mg perhari. Insidens efek samping domperidone bervariasi dari 2-7%, umumnya adalah
mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal diare, kegelisahan dan gangguan endokrin
yang berkaitan dengan hiperproklaktinemia. Cisapride merupakan suatu derivat
benzamide yang tidak memiliki sifat antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan
pelepasan acetylcholine pada plexus myentericus intestinalis dan juga bersifat antagonis
terhadap reseptor 4 HT3 dan antagonis 5HT4. Cisapride tidak mempunyai efek
antiemetik langsung, namun dapat meningkatkan amplitudo kontraksi di seluruh bagian
saluran cerna sehingga menguntungkan bagi penderita. Obat ini meningkatkan kontraksi
antrum dan duodenum dan juga meningkatkan koordinasi antroduodenal. Pada penderita
gastroparesis diabetika cisapride dapat memperbaiki pengosongan lambung liquid, solid

37
maupun non digestible solid, dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun
kronis. Dibanding dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan dianggap sebagai
obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini. Cisapride diberikan melalui oral
dengan dosis 5-20mg, sebelum makan dan atau pada waktu tidur . Efek samping
cisaapride jauh lebih sedikit disbanding metoclopramide, umumnya adalah kram perut,
diare dan sakit kepala, biasanya bersifat sementara dan dapat diatasi dengan pengurangan
dosis. 5,6,7
Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek menyerupai
motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai agonis motilin dengan cara
berkaitan dengan reseptor motilin pada antrum dan duodenum bagaian atas, dan aktivitas
ini tidak berkaitan dengan efek antimikrobialnya. Studi inviro menunjukkan bahwa selain
merangsang kontraksi antrum dan duodenum, erythromycin juga menginhibisi otot
pylorus. Pada manusia erythromycin dapat meningkatkan kontraksi antrum, memperbaiki
kontraksi antroduodenal, mengurangi waktu aktivitas IMMC fase 2 dan merangsang
serta memperpanjang aktivitas IMMC fase 3 (5 kutip). Erythromycin efektif terhadap
gastroparesis diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan pengosonganlambung.
Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat prokinetik pada penderita
gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih unggul disbanding cisapride,
metoclopramide maupun domperidone dalam hal mempercepat pengosongan lambung.5,6,7
Pemberian erythromycin 200 mg intravena kepada penderita gastroparesis
diabetika akan memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid secara dramatis
menjadi seperti yang terlihat pada orang norml, bila diberi secara oral 3 kali 250 mg
selama 4 minggu, pewrbaikan juga terjadi namun hasilnya kurang disbanding intravena,
Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam bentuk stearat dan etyl succinate.
Dosis erythromycin stearst adalah 3 kali 250 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum
makan. Untuk penggunaan intravena dalam bentuk lactobionate diberikan sebagai infus
selama 30 menit dengan dosis 200mg, diencerkan dalam larutan garam fisiologis. Pada
orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping mual, muntah, kejang
abdomen dan diare, sedangkan pemberian yang berlama-lama sebagai prokinetik akan
meningkatkan resiko timbulnya strain bakteri resisten. Saat ini dikembangkan derivat
erythromycin, ER 523, suatu agonis reseptor motilin yang 18 kali lebih kuat dari
erythromycin namun tidak memiliki aksi antibiotik, dan terbukti efektif memperpendek
waktu pengosongan lambung liquid maupun solid pada penderita IDDM dengan
gastroparesis yang berat. Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy

38
dan pyloroplasty terhadap gastroparesis diabetika umumnya mengecewakan sehingga
hampir tidak digunakan, kalaupun digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang
tidak respons terhadap terapi medis lainnya. Pemakaian gastric pacing yaitu stimulasi
listrik terhadap otot polos lambung sedang dalam penelitiaan. Kelihatannya gastric pacing
dapat memperbaiki symptom gastroparesis dan mempercepat pengosongan lambung pada
penderita gastroparesis yang berat, sehingga pada masa mendatang mungkin dapat
merupakan pilihan terapi pada gastroparesis.5,6,7

39
BAB IV
PEMBAHBAHASAN

1. Mengapa pada Pasien ini di diagnosa Diabetes Melitus


Berdasarkan teori diagnosa Diabetes militus ditegakkan apabila terdapat keluhan
klasik berupa; poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis
DM dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah vena dengan sistem enzimatik
dengan hasil :
1. Gejala klasik + GDP ≥ 126 mg/dl
2. Gejala klasik + GDS ≥ 200 mg/dl
3. Gejala klasik + GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
5. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
6. Tanpa gejala klasik + 2x Pemeriksaan GD 2 jam setelah TTGO ≥ 200 mg/dl
7. HbA1c ≥ 6.5%
Sedangkan pada pasien ini didapatkan keluhan muntah ± 10 kali berisi air dan ampas
maknan, dengan volume ± 70 cc tiap kali muntah, muntah sejak 2 jam sebelum masuk
rumah sakit, muntah disertai demam dan berkeringat sejak 2 hari yang lalu, pasien
merasa lemas setiap kali muntah, pasien juga mengeluhkan batuk berdahak sejak ± 1
minggu yang lalu, nafsu makan dan minum menurun. Dan pada pemeriksaan fisik dan
laboratorium di dapatkan Tekanan Darah: 110/80 mmHg, Nadi: 98
x/menit,Respirasi:20 x/menit,Suhu Badan: 36,3C, SpO2: 99%, status generalis : nyeri
tekan di daerah epigastrium, lumbal sinistra, hipogastric. Lab: GDS: 214 gr/dl
GD2JPP: 550 gr/dl, HbA1C : 13,3% urine : glukosa :+4, keton :+1, protein :+ , dan
hasil follow up pada pemeriksaan GDP 2 kali pemeriksaan di dapatkan hasil:
21/10/2019: GDP: 243 mg/dl dan GD2JPP: 411 mg/dl
22/10/2019: GDP: 243 mg/dl dan GD2JPP: 440 mg/dl
Sehingga pasien ini di diagnose Diabetes Milirus karena tidak di dapatkan tanda-tanda
gejala klasik namun pada dua kali pemeriksaan di dapatka GDP >126 mg/dl

40
Dan GD2JPP > 200 mg/dl dan HbA1c :13,3%.

2. Mengapa pada pasien ini di diagnosis menderita penyakit TB paru?


Berdasarkan teori gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama
2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.

Dan pada kasus ini didapatkan gejala demam dan berkeringat sejak 2 hari yang lalu,
pasien mengaku berkeringat baik pagi ataupun malam hari, pasien juga mengeluhkan
batuk berdahak sejak ± 1 minggu yang lalu, sesak disangkal, nyeri dada (-) batuk
bercampur darah (-) penurunan berat badan di sangkal namun pasienmengaku nafsu
makannya menurun dan pasien mengaku jika di rumah dan tetangga tidak ada yang
menderita batuk lama atau pun mengkonsumsi obat program berwarna merah. Dari
gejala yang di keluhkan pasien tidak memberi gambaran khas gejala TB.

Namun gambaran foto rontgen paru menunjukan adanya infiltrat di apex paru
kanan yang mengambarkan TB paru aktif, dimana keadaan tersebut sesuai dengan
teori bahwa penyakit Diabetes Militus merupakan factor risiko untuk terinfeksi
Tuberkulosis Paru.

Sehingga pada pasien ini di lakukan pemeriksaan TCM (GenXpert) didapatkan


hasil positif pada pemeriksaan TCM sputum (GenXpert). GeneXpert merupakan
penemuan terobosan untuk diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan molekuler yang
menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction Assay (RT-PCR) semi
kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen rpoB pada M. tuberculosis, yang
terintegrasi dan secara otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic
acid (DNA) dalam cartridgesekali pakai. Penelitian invitro menunjukkan batas deteksi
kuman TB dengan metode RT-PCR GeneXpert minimal 131 kuman/ml sputum.Waktu
hingga didapatkannya hasil kurang dari dua jam dan hanya membutuhkan pelatihan
yang simpel untuk dapat menggunakan alat ini. Teknik pemeriksaan dengan metode
RT-PCR GeneXpert didasarkan pada amplifikasi berulang dari target DNA dan

41
kemudian dideteksi secara fluorimetrik. Teknik ini dapat mengidentifikasigen rpoB M.
tuberculosis dan urutannya secara lebih mudah, cepat dan akurat. Gen ini berkaitan
erat dengan ketahanan sel dan merupakan target obat rifampisin yang bersifat
bakterisidal pada M. tuberculosis dan M. leprae. Penelitian pendahuluan menyatakan
sensitivitas dan spesifisitas yang cukup tinggi pada sampel saluran pernapasan untuk
mendeteksi M. tuberculosis dan sekaligus mendeteksi resistensi M. tuberculosis
terhadap rifampisin.
Dengan demikian pasien ini dapat di diagnose dengan TB paru.

3. Mengapa pada pasien ini dapat terserang penyakit Tuberkulosis paru, apakah
pasien penderita Diabetes Melitus dapat berisiko terinfeksi Tuberculosis Paru?
Berdasarkan teori peningkatan risiko terjadinya TB aktif pada penderita DM
diduga akibat gangguan sistem imun, peningkatan daya lekat kuman M.tb pada sel
penderita DM, mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.
Pada diabetes imunitas seluler berkurang yang berdampak pada berkurang limfosit
Th1 termasuk produksi TNFα, IL 1β dan IL6. Padahal marker ini memainkan peranan
penting dalam pertahanan terhadap kuman M.Tb. Terjadinya keadaan hiperglikemia
menciptakan lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya kuman
M.Tb. beberapa peneliti juga menyatakan bahwa fungsi perlindungan sel yang berkurang
meningkatkan kemungkinan timbulnya infeksi ditambah meningkatnya kadar gliserol dan
nitrogen yang menjadi faktor pertumbuhan kuman M.Tb. Penyebab lain meningkatnya
risiko TB pada penderita DM adalah disfungsi kelenjar pituitari yang menyebabkan
berlebihnya produksi hormon adrenokortikotropik sehingga meningkatkan kadar
kortikosteroid di dalam darah. Kortikosteroid merupakan antagonis insulin sehinnga
kadarnya yang berlebih akan mengakibatkan diabetes insulin resisten. Netrofil pada
penderita DM memiliki sifat kemotaksis dan oksidatif yang berkurang.bebrapa peneliti
menganggap hal ini disebabkan olehkarena berkurangnya produksi IL1β, TNFα.
Penelitian-penelitian ini membuktikan bahwa pada DM terjadi gangguan fungsi respons
imun innate dan adaptive yang sangat penting menghambat pertumbuhan kuman M.Tb
Dan pada kasus ini pada pemeriksaan sputum didapatkan hasil positif dan
gambaran foto rontgen paru menunjukan adanya infiltrat di apex paru kanan yang
mengambarkan TB paru aktif, dimana keadaan tersebut sesuai dengan teori bahwa
penyakit Diabetes Militus merupakan factor risiko untuk terinfeksi Tuberkulosis Paru.

42
4. Bagaimana penatalaksaan TB paru pada pasien dengan Diabetes Melitus

Berdasarkan teori sampai saat ini belum ada rekomendasi kuat untuk
memberikan paduan OAT yang berbeda antara TB DM dengan TB tanpa DM. Pasien
TB dengan DM mendapatkan terapi standar sesuai dengan pasien TB lain yang hal ini
sesuai dengan rekomendasi WHO. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada
panduan tentang TB DM menyarankan hal yang sama dengan WHO dengan syarat
gula darah terkontrol. Apabila kadar gula darah tidak terkontrol maka lama
pengobatan dapat diperpanjang sampai dengan 9 bulan. Rifampisin sebagai OAT
utama harus diperhatikan penggunaannya pada pasien TB dengan DM karena akan
mengurangi efektifitas sulfonil urea dan biguanides sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan. Biasanya efek ini akan terlihat setelah dilakukannya terapi selama 1
minggu dan efeknya akan berkurang sampai menghilang setelah penghentian
Rifampisin dalam waktu 2 minggu. Penggunaan etambutol harus diawasi ketat karena
efek sampingnya pada mata karena di sisi lain pasien dengan DM lebih sering
mengalami komplikasi pada mata. Penggunaan INH juga harus dipantau oleh karena
efek sampingnya yang akan menimbulkan neuropati perifer yang memungkinkan
memberatnya keluhan neuropati yang telah ada pada pasien DM.
Pasien TB sering menunjukkan terjadinya keadaan intoleransi glukosa,
kekerapannya berkisar 16.5%-49% dari pasien TB. Penelitian menunjukkan bahwa pada
56.6% pasien TB yang baru terdiagnosis terdapat intoleransi glukosa dan segera menjadi
normal kembali setelah dimulai terapi TB, hal ini dikenal sebagai transient
hyperglicemia. Yang harus diperhatikan adalah bahwa seringkali hiperglikemia lebih sulit
dikontrol selama TB masih aktif sehingga diperlukan penggunaan insulin untuk
mengatasi hal ini. Penyebab pasti hal ini belum dapat dipastikan akan tetapi diduga
sitokin inflamasi yang diproduksi seperti IL6 dan TNFα akibat infeksi TB akan
meningkatkan resistensi insulin dan berkurangnya produksi insulin sehingga pada
akhirnya akan mengakibatkan terjadinya hiperglikemia.
Tuberkulosis sering memperburuk kontrol gula darah dan membuat diabetes
menjadi sulit untuk dikontrol. Penatalaksanaan DM pada pasien TB dengan DM harus
dilakukan secara agresif. Tercapainya kontrol gula darah akan memberikan hasil akhir

43
yang baik. Hal ini dapat dicapai melalui pemeberian obat antidiabetes orala atapun
insulin. Hal ini biasanya diawali dengan pemberian terapi insulin dengan insulin secara
bolus atau premixed. American Association of Clinical Endocrinologist
merekomendasikan penggunaan insulin modern atau insulin analoque. Kebutuhan insulin
dimulai dengan peningkatan dosis insulin dan kemudian secara perlahan diturunkan
setelah gula darah terkontrol dalam beberapa minggu. Dosis insulin akan ditingkatkan
kembali seiring dengan perbaikan nafsu makan menuju normal dan peningkatan asupan
kalori
Kadar gula yang diharapkan pada pasien TB dengan DM berkisar 120-
150mg/dl. Kadar gula darah yang terkontrol membuat kerja OAT menjadi lebih efektif
dan perbaikan klinis serta radiologis yang lebih cepat pula.
Untuk mencegah semakin memberatnya kedua penyakit maka deteksi dini
terdapatnya DM pada pasien TB paru dan deteksi TB paru pada pasien DM merupakan
cara yang dianjurkan WHO untuk kelompok yang beresiko untuk timbulnya TB
Dan pada pasien ini telah di berikan terapi yang sesuai yaitu
 Inj. Novorapid 3x 18IU
 inj. Levemir 0-0-16 IU
 FDC OAT 1x 4 tab

5. Mengapa Diabetes Melitus bisa menyebabkan komplikasi ke system pencernaan


(gastropaty)
Patogenesis gastropati DM masih sulit dipahami; Namun, kemungkinan
dimulai dengan penurunan mikrosirkulasi dinding lambung, yang juga terlihat dalam
komplikasi lain dari diabetes (yaitu, nefropati dan retinopati). Hilangnya neuron
lambung yang mengandung nitrat oksida (NO) sintetase mungkin terjadi pada pasien
dengan Diabetes Militus, dan gangguan NO jalur di pleksus myenteric dapat
mengakibatkan gangguan akomodasi refleks lambung dengan gejala dispepsia
berikutnya.
Pasien dengan hiperglikemia akut dan kronik dapat menghambat pengosongan
lambung, Namun, penelitan juga menunjukkan bahwa kontrol glukosa jangka panjang
dapat meningkatkan pengosongan lambung. Dalam Epidemiologi Diabetes studi
Komplikasi Intensif, HbA1c yang tinggi dan pasien yang menderita diabetes dikaitkan
dengan lamanya pengosongan lambung pada pasien dengan DM . Pada pasien dengan
hiperglikemia (gula darah ≥ 200 mg / dL) mengurangi motilitas antrum dan

44
hiperglikemia berat (glukosa darah 290-340 mg / dL) dapat mengurangi motilitas
antrum dan pengosongan lambung pada pasien dengan DM. Dan pada pasien ini di
dapatkan GDS: 214 gr/dl GD2JPP: 550 gr/dl, HbA1C : 13,3% sehingga pasien ini
mengalami penurunan motilitas antrum dan penghambatan pengosongan lambung
yang diakibatkan dari tingginya kadar glukosa dalam darah sehingga pasien sering
mengalami keluhan mual muntah dimana kondisi tersebut dikatakan dengan istilah
gastropaty DM.

6. Bagaimana penatalaksanaan gastropaty diabetikum?

Adapun tujuan penatalaksanaan gastroparesis diabetika adalah memperbaiki


kwalitas hidup, mencegah komplikasi dan membantu terselenggaranya kendali diabetes
yang lebih baik. Sampai saat ini tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus
yang simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik
belum diperlukan pengobatan, namun dalam rangka membantu mencapai kendali gula
darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi, pengobatan terhadap kasus asimptomatik
dapat diberikan.
Terhadap penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan
penyesuaian diet, yang dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan kadar lemak
dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang cukup. Bila cara tersebut
tidak menolong dapat diberikan makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi, dan pada
kasus yang sangat berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum untuk nutrisi
enternal. Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan pengosongan
lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam pengobatan penderita gastroparesis
yang simptomatik. Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik
lambung, namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati
gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride dan erythromycin
dan obat antiemetic seperti ondancentron, granisentron, dolasentron, tropisentron,
marinol, dorabinol, clonidine dan aprepitant. Waktu pemberian obat prokinetik haruslah
sedemikian rupa sehingga kadar plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan
dengan waktu makan yaitu setidaknya 30 menit peprandial, selain itu juga perlu diberikan
dosis malam hari untuk mengurangi pembentukan bezoar.
Pada pasien ini diberikan terapi antiemetik yaitu Ondancentron. Ondansetron
termasuk kelompok obat antagonis serotonin 5-HT3, yang bekerja dengan menghambat

45
secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine berikatan pada reseptornya yang ada di
chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan di saluran. Ondansetron selektif dan kompetitif
untuk mencegah mual dan muntah. Obat ini memblok reseptor di gastrointestinal dan area
postrema di CNS (Central Nervous System).
Dan pada pasien ini juga diberikan obat Omeprazole dimana Omeprazol adalah
penghambat pompa proton selektif dan bersifat tidak terbalikkan (irreversible). Obat
menekan sekresi asam lambung oleh penghambatan spesifik pompa proton H +/K+-
ATPaseyang ditemukan pada permukaan sekresi sel parietal lambung. Karena sistem
enzim ini dianggap sebagai asam (proton, atau H +) memompa ke dalam mukosa
lambung, omeprazol menghambat langkah terakhir dari produksi asam.

46
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor risiko aktivasi menjadi TB aktif
2. Diabetes mellitus dapat menjadi salah satu faktor risiko memperparah infeksi TB yang
dapat mengakibatkan keterlambatan konversi sputum BTA setelah terapi OAT, kegagalan
terapi dan risiko untuk terjadinya resistensi (MDR TB).
3. Diperlukan monitor kadar gula darah yang ketat pada pasien TB dengan DM Diperlukan
deteksi dini DM pada penderita TB dan TB pada penderita DM
4. Gangguan motilitas lambung, khususnya keterlambatan pengosongan lambung
merupakan kelinan yang seering dijumpai pada penderita diabetes mellitus. Pada
penderita diabetes, adanya neuropati otonom dan tingginya kadar gula darah merupakan
factor penting dalam terjadinya gastroparesis.
5. Karena keterlambatan pengosongan lambung dapat berpengaruh terhadap kendali gula
darah maka pengelolaan yang baik terhadap gastroparesis diabetika khususnya yang
simptomatik perlu mendapat parhatian, dalam hal ini penggunaan obat-obat prokinetik
dan antiemetik sangat bermanfaat.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva Decroli. Diabetes Melitus Tipe 2. Edisi Pertama. Pusat Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, 2019
2. Yunita Arliny. Tuberculosis dan Diabetes Melitus Implikasi Klinis Dua Epidemik.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.Volume 15 Nomor 1 April 2015
3. Devi Darliana. Manajemen Pasien Tuberculosis Paru. Bagian Keilmuan Keperawatan
Medikal Bedah, Jurnal PSIK-FKUniversitas Syiah Kuala. Vol.II No.1.2016
4. Eka Kurniawan. Nilai Diagnostik Metode “Real Time” PCR GeneXpert pada TB Paru
BTA Negatif. Artikel Penelitian. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016
5. Sri Maryani Sutadi. Gastroperasis Diabetika. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara.2003
6. Danny J Avalos. Diabetic gastroparesis: current challenges and future prospects.
Clinical and Experimental Gastroenterology.2018
7. Farmakologi Dan Terapi Edisi 6. Farmakologi dan Terapi penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2017

48

Anda mungkin juga menyukai